My Opinion: Merdeka? Ya Boleh Lah...

"Merah putih teruslah kau berkibar...” itulah sepenggal lirik lagu dari grup band Coklat yang biasanya diputar di beberapa stasiun televisi apabila akan menyambut HUT Republik Indonesia. Di hari jadi Indonesia yang ke-69, bangsa yang dulu dikenal sebagai ‘Nusantara’ ini telah berevolusi menjadi bangsa yang modern namun masih tetap dicap sebagai ‘negara berkembang’. Bangsa yang sangat hangat kepada negara-negara lain di seantero dunia. Bangsa yang mempunyai ambisi besar untuk menjadi sebuah bangsa ‘yang sebenarnya’ dan ‘seutuhnya’. Bangsa yang sempat tertindas oleh bangsa lain, berdiri, jatuh lagi, lalu bangkit kembali dengan mengorbankan darah segar yang tercecer dimana-mana kala itu. Pada akhirnya darah yang tercecer tersebut tidak sia-sia dengan berdaulatnya Negara Republik Indonesia sampai gue nulis artikel ini!

Kita sebagai anak, cucu, dan cicit pejuang-pejuang Tanah Air harus sadar diri serta bersyukur, karena tidak mengalami kejadian yang bisa dibilang ‘memilukan’ pada waktu itu. Sudah sepantasnya kita sebagai penerus bangsa yang ‘pemberani’ harus bercermin pada perjuangan pahlawan yang sudah bersusah-payah menumpas para penjajah. Tidak perlu kita meruncingkan tombak, mempersiapkan senjata, atau memasang ranjau, buat apa? Toh kita hidup sudah didaulatkan oleh mereka-mereka yang ‘pemberani’. Kita hanya perlu belajar dengan giat supaya bangsa yang memiliki sumber daya alam melimpah ini tidak ditipu oleh ‘orang asing’. Pintar-pintarlah wahai kalian semua bahwa di era globalisasi seperti sekarang, penjajah masih banyak berkeliaran bebas lenggang kangkung, baik di Indonesia ataupun di negara-negara lain.

Indonesia memang sudah merdeka bagi sebagian orang yang sudah ‘merdeka’ juga. Namun, apakah semua elemen masyarakat sudah benar-benar merdeka? belum tentu. Sangat disayangkan sekali, 69 tahun Indonesia sudah merdeka, lalu insya allah tahun depan yang ke-70 tahun, Indonesia masih dibayang-bayangi konflik sosial, ekonomi, kesenjangan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Kita bisa lihat masih banyak orang-orang yang berkehidupan di bawah pas-pasan, angka pengangguran masih tinggi, bahkan terus melonjak dari tahun ke tahun, orang stres, depresi, dan frustrasi selalu menghiasi jalanan di kota-kota besar. Kian maraknya pungutan liar di berbagai instansi atau perusahaan dapat menggambarkan betapa bobroknya negara ‘Ibu Pertiwi’ yang sudah merintih kesakitan akibat ‘ketololan’ masyarakat yang kian semena-mena.

Pemerintah seakan-akan hanya fokus pada satu titik saja, yaitu fokus kepada kota-kota besar yang ada di pulau Jawa. Sedangkan kota-kota yang berada di luar pulau Jawa, rasanya kurang diperhatikan, apalagi tingkat kabupaten atau daerah, mungkin sudah dianggap bukan pertanggungjawaban pemerintah. Walaupun pemerintah mensubsidikan sebagian dananya ke daerah-daerah terpencil di luar pulau Jawa, subsidi tersebut belum tentu sampai ke daerah yang dituju. Pasti ada saja oknum-oknum ‘lintah darat’ yang berusaha menjegal subsidi dari pemerintah hanya untuk isi perut buncitnya sendiri. Sangat miris, memang. Pemerintah terus mengembangkan aspek pembangunan dan infrastruktur di kota-kota besar supaya terlihat semakin mewah. Bandingkan dengan kehidupan pedalaman nan terpencil, sangat jauh sekali perbedaannya. Bahkan di sebagian daerah, anak-anak yang akan berangkat sekolah harus menyeberangi sungai dengan keadaan jembatan yang sungguh memprihatinkan.

Peristiwa tersebut sampai memancing surat kabar dari luar negeri untuk meliputnya bahwa sangat ‘mengenaskan’ sekali bangsa kita ini. Diibaratkan dengan gaji para ‘tikus’ bertopeng birokrat, hal tersebut tidak ada apa-apanya. Yang ‘tololnya’ lagi adalah dinas kedaerahan di wilayah tersebut tidak cepat tanggap bahwa ada jembatan yang sudah hampir putus namun masih tetap digunakan anak-anak untuk berangkat dan pulang sekolah. Bisa jadi dinas kedaerahan tidak mempunyai cukup uang untuk memperbaiki jembatan tersebut, atau bisa saja dari pemerintah pusat sudah diberikan subsidi namun oleh mereka ‘dibelokkan’ ke perut masing-masing.

Lalu pemerintah hanya memperhatikan segi impor, segala kebutuhan didominasi oleh barang-barang impor. Walaupun ada sebagian yang diekspor, tapi masih kalah telak dibandingkan barang-barang impor. Jelas hal tersebut merugikan masyarakat Indonesia. Seharusnya, apabila bangsa kita ingin maju dan grafik perekonomian berjalan dengan mulus, perhatikan sistem ekonomi dan lapangan pekerjaan. Nikmatilah hasil atau karya anak bangsa, juga pergunakan sumber daya alam yang melimpah untuk memperbaiki ekonomi Indonesia. Pemerintah mungkin sudah keenakan dengan sistem impor dari luar negeri, mereka hanya mau membeli tanpa memperhatikan nasib rakyatnya sendiri. Itu semua berimbas kepada masyarakat yang sudah mulai menjadi ‘masyarakat konsumtif’ nan sembrono.

Kemudian, pemerintah seperti acuh tak acuh bila ada anak bangsa yang menemukan sebuah varian baru. Entah apapun itu, pemerintah hanya berempati di awalnya saja, setelahnya tidak peduli lagi, bahkan dilupakan seperti ‘tidak terjadi apa-apa’. Mass media sama halnya, mereka meliput sebuah rancangan karya anak berprestasi, lalu hangat diperbincangkan dalam kurun waktu satu minggu, setelah itu berita tersebut menghilang tanpa jejak. Pemerintah juga tidak serta-merta mendukung penuh karya-karya tersebut. Contohnya saja mobil ESEMKA, yang digadang-gadang akan sukses dan bisa membanggakan Indonesia, bahwa Indonesia sudah mampu membuat mobil, dimana negara lain sudah mampu membuat pesawat ulang-alik. Namun hingga sekarang, mobil tersebut kemana? Bagi gue, pemerintah Indonesia kudu menghargai rakyatnya agar diberikan kesempatan untuk unjuk kebolehan kepada dunia, bahwa kita tuh bisa dan mampu.

Itu baru tiga peristiwa, belum lagi di daerah-daerah terpencil lain, yang masih belum terekspos oleh kamera pengintai. Mungkin kita akan puyeng sendiri apabila memikirkan nasib bangsa yang kita tinggali tidak kunjung mereda. Ada banyak persoalan yang tidak mungkin terselesaikan dengan cara individu, tapi harus diselesaikan secara bersama-sama, tapi itu tidak gampang, akan sangat sulit untuk mewujudkannya secara nyata. Kesadaran masyarakat masih sangat kurang, baik di pemerintahan maupun di pedesaan. Sudah sepantasnya kita sebagai generasi penerus bangsa harus merubah cara pandang dan pikir orang-orang sesudah kita. Sudah saatnya kita bergerak maju di jalan yang benar, karena di era kita sekarang, gue yakin cara berpikirnya akan berubah serta sadar bahwa kita bangsa Indonesia belum ada apa-apanya dibandingkan dengan negara lain.

 69 tahun merah putih menjulang tinggi, berkibar dengan gagahnya, melambangkan keagungan bangsa yang abadi, melambai-lambai elok mencerminkan keindahan panorama alam Indonesia. Wahai kalian generasi emas bangsa Indonesia. Sadarlah bahwa kalian hidup di zaman gila, berpikirlah secara jernih ke depan untuk menyongsong kehidupan kalian supaya lebih berkualitas. Karena para penjajah, sampai sekarang masih ada, bahkan mereka berusaha kembali untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Namun, kini berbeda dengan ‘zaman baheula’, tidak ada kekerasan, pemberontakan, dan pemaksaan. Kini mereka menyalurkan hasratnya dengan cara halus serta bersahabat. Kemudian janganlah bertindak ‘bodoh’ seperti melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, karena itu semua hanya akan merugikan bangsa sendiri.
Ibu Pertiwi mungkin mengharapkan panji-panji tonggak kemerdekaan yang sesungguhnya agar tertancap di bawah kendali kita, generasi penerus bangsa. Tonggak itu kini telah patah, bahkan lebur terkikis dosa-dosa rakyatnya. Memang akan sangat sukar apabila ingin menancapkan kembali tonggak tersebut seorang diri. Dengan demikian, kita harus bersatu padu berpikir serta berusaha untuk menancapkan kembali tonggak tersebut ke atas langit setinggi-tingginya, supaya Ibu Pertiwi berhenti dari rintihan sakit dan bisa tersenyum lebar. Majulah-majulah menang!

Komentar