My Story: Kisah Gue 10 Tahun yang Lalu


Tidak terasa gue sudah beranjak dewasa, bulu-bulu halus telah bermunculan bahkan lebat. Bulu kaki, bulu hidung, bulu ketiak, jenggot, kumis, bulu di perut, bulu di dada, dan bulu-bulu lainnya. Ada satu hal yang membuat gue bangga sama diri gue sekarang, yaitu alis. Ya, alis gue semakin tebal, seperti ulat bulu yang suka nemplok di pohon rambutan. Dengan alis tebal seperti ini membuat gue agak gantengan. Padahal, ini alis nggak diapa-apain, natural tumbuh secara bijaksana seiring matangnya umur. Sssttt ... gue tulis artikel ini kebetulan lagi ngaca di kamar trus ngomong ke cermin, “Gue emang ganteng, gue semakin ganteng.” Berlebihan? bodo amat.
Asal kalian tahu, seharusnya gue nanti kuliah jam 3 sore, tapi males harus nunggu di kampus, lama. Mending cabut balik ke rumah; makan, nyeduh kopi, nge-blog, main ps, ngupil, dan lain-lain. Nikmatilah hidup kalian, jangan terlalu diseriusin. Lagian, mencari ilmu nggak harus di sekolah atau di kampus, mencari ilmu bisa di mana saja dan kapan saja. Ironisnya, seringkali gue menunggu lama-lama di kampus, si dosennya malah nggak masuk. Bangke! Kampret! Asu! Atas dasar yang kuat itulah gue lebih memilih menulis artikel ini.
Jadi gini, maksud gue nulis artikel “10 Tahun Lalu” adalah karena ingin menceritakan sekelumit kisah yang masih gue ingat kepada kalian. Contohnya, mungkin di antara kalian 10 tahun lalu ada yang pernah menderita sakit keras, memory kelam, kebiasaan baik maupun buruk kalian, lantas 10 tahun kemudian yaitu saat ini hal-hal tersebut sudah tiada, berubah, hilang, lenyap, berganti, dan semacamnya. Kita nggak pernah tahu bakal seperti apa kita 10 tahun yang akan datang, sama saja 10 tahun yang lalu, kita nggak pernah menyangka hal-hal buruk maupun baik akan terjadi pada saat ini. Well, inilah beberapa cerita gue 10 tahun lalu yang akan disampaikan kepada kalian:
1.      10 Tahun Lalu...
Masih ingat secara jelas dulu tahun 2005, kelas 5 SDN 09 Petang, Bu Harianja (guru kelas 5) bertanya kepada kami sekelas.
“Di sini siapa yang belum bisa naik sepeda?” tanyanya lantang.
Deg! Jantung seakan berdegup kencang, karena gue belum bisa naik sepeda saat itu, kecuali sepeda roda tiga.
Hening. Semua murid nggak ada satu pun yang mengacung. Mungkin pikir Bu Harianja semua murid-muridnya sudah pada bisa naik sepeda.
Dengan sangat terpaksa gue mengacungkan tangan. Set!
“Lho? Faris kamu belum bisa naik sepeda?” tanyanya.
Gue nggak jawab. Malu.
“Ya udah nanti belajar ya biar bisa,” ucap Bu Harianja.
Gue masih diam, malu banget. “Ternyata cuma gue yang belum bisa naik sepeda,” batin gue, sedih.
Jujur, saat itu mungkin gue merasa nggak akan pernah bisa naik sepeda macam teman-teman lain. Bisa dibilang putus asa, putus harapan, dan patah semangat.
***
Pernah dulu ketika gue, Aji, Dias, dan Tata berkumpul di teras rumahnya Aji. Waktu itu suasana ramai, karena sanak-saudara dari keluarga Aji dan Dias ditambah para tetangga sedang berbincang-bincang. Ketiga teman gue di atas semuanya pada mahir naik sepeda, sedangkan gue mahir naik punggung nenek gue. Beda tipis. Ketika mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba topik obrolan beralih ke tentang sepeda. Lalu, ada tetangga bernama Mbak Pipit bertanya ke anak-anak termasuk kami.
“Ayo di sini siapa yang gak bisa naik sepedaaa?” tanya Mbak Pipit.
“Mas Faris ...!” serentak mereka menjawab dibarengi raut muka gembira.
Gue nggak ngomong, percuma, hanya tersipu malu.
Ilustrasi Nggak Bisa Naik Sepeda
“Kalau udah bisa naik sepeda enak, Mas ... nanti bisa naik motor,” tambah Mbak Pipit.
Gue nggak berkutik, cuma bergumam, “Iya,” itu pun nggak kedengaran, bahkan semut sekalipun.
Nggak ada hujan nggak ada bajing loncat, tiba-tiba Mpok Intan nyeletuk, “Mas Faris mah langsung naik pesawat, hahaha ...,” celetuknya lalu tertawa lebar, selebar magic jar.
Yang lain pun ikut-ikutan tertawa, seperti sangat senang mem-bully gue. Gue nggak tahu harus ngapain, cuma bisa berteriak dalam hati, “TAIII!”
Selalu terngiang kalimat “Langsung naik pesawat” dari mulut Mpok Intan. Kalimat itu seperti joke sekaligus menyindir gue yang belum bisa atau nggak bisa-bisa naik sepeda. Meskipun nggak bermaksud mencela, tetap saja gue dibikin jengkel dan kesal.
***
Dias dan Aji beserta teman-teman dari RT sebelah sedang sibuk menghias sepeda mereka masing-masing. Kala itu sedang ramai-ramainya lomba/ festival/ pawai/ parade untuk memperingati hari Kemerdekaan Indonesia. Setiap gang terdapat hiasan bendera merah-putih menggantung di bagian sisi atas. Hiasan tersebut lumayan panjang dari pinggir jalan raya sampai ke pelosok rumah penduduk. Begitu meriah jika memperingati hari 17 Agustus di Betawi, orang-orang sepertinya sibuk untuk dapat berkontribusi di ruang lingkup RT (Rukun Tetangga). Mereka (warga) layak diacungi jempol atas kontribusinya mengingat para pahlawan Indonesia telah berjuang gigih dalam mempertahankan bangsa Indonesia dari serangan penjajah. Sudah seharusnya kita mengenang mereka semua (para pahlawan) dengan rela mengabdi pada nusa bangsa sesuai kemampuan kita.
Gue melihat sepeda Aji dan Dias sungguh ramai. Terdapat hiasan berupa bendera merah-putih di bagian stang, kan nggak mungkin bendera Jerman dipasang. Dalam hati gue berdecak kagum campur iba, “Buseeet nih sepeda udah kayak barongsai, rame amat.” Selanjutnya, Dias mengajak gue untuk bergabung mengikuti parade sepeda hias.
“Ayo Mas, ikut aja,” ajaknya sambil mengotak-atik sepeda miliknya.
“Ikut? tapi kan ...,” sebelum gue selesai memberi jawaban, Dias berkata lagi.
“Nggak apa-apa Mas, ngeramein aja,” katanya sotoy banget.
“I-iya sih, tapi sepeda yang silver kempes Yas,” jawab gue.
“Yaahhh ...,” timpalnya pura-pura kecewa.
Segera gue menuju rumah (kontrakan) untuk mengecek kondisi sepeda peninggalan Abang gue, dan ternyata memang kempes, juga rantainya rusak. Selamat. Akhirnya gue nggak ikutan parade sepeda lomba hias. Toh meskipun ikutan, hanya gue yang nggak bakal gowes sepanjang rute lomba karena belum bisa naik sepeda. Kecuali, gue naik sepeda roda tiga dengan posisi start paling belakang diiringi musik: Mammah, mammah. Pappah, pappah.
Ilustrasi Sepeda Roda Tiga
Di balik rasa senang, terbersit rasa sedih karena gue nggak bisa mengikuti parade tersebut seperti temain lainnya. Ketika Dias dan Aji ‘ngageleuyeung’ bersama sepeda hiasnya, gue cuma bisa melongo tanpa arti berharap bisa ikutan seperti mereka. Tinggal gue sendiri sore itu, ditemani dinginnya terpaan angin, seakan menusuk dada ini dalam-dalam. Gue duduk di bale (dipan), menghembuskan nafas kekecewaan, kemudian menatap langit dan awan, samar-samar terdengar suara keriyuhan acara tersebut, lalu gue pejamkan mata selama tiga detik, bangkit dari bale segera menuju ke kontrakan bersiap tuk mandi sore. Nggak akan pernah gue lupa kejadian-kejadian naas di atas.
10 Tahun Kemudian...
Sekarang? Alhamdulillah Allah Maha Penyayang. Jangankan naik sepeda "cungkring", gue sudah bisa selap-selip naik sepeda motor dari Padalarang-Bandung, bukan rute dekat lho guys. Walaupun motor matic sih, tapi yang penting kan gue bisa naik motor/ sepeda. Berhasil! Eureka! Vamos! Kemudian gue sudah bisa nganter-jemput adik gue, membonceng Nyokap gue yang berbadan cukup besar, membonceng abang, membonceng teman ke kampus, mengantarkan barang, dan mengantarkan cucian ke laundry. Namun, ada satu yang belum, apa? Mengantarkan pendamping hidup kelak ke jenjang pelaminan. So sweet! Haha.
Subhanallah, sama sekali nggak nyangka, nggak kepikiran, dan nggak terbayang pada akhirnya gue bisa naik motor dengan jarak cukup jauh. Tapi, di satu sisi tangan gue menjadi belang (hitam-putih) akibat momotoran melulu. Gue dulu cuma berangan-angan, berharap, dan berkhayal untuk bisa naik sepeda seperti teman lain pada umumnya, kini angan-angan itu berubah menjadi kenyataan. Once more, alhamdulillah.
2.      10 Tahun Lalu...
Dahulu, berat badan gue bisa dibilang bongsor (gendut). Perut buncit, paha segede ular piton, dan pipi semembel bakpau. I’m seriously. Kalau duduk, maka perut buncit gue menjadi berlipat-lipat, kelihatannya seperti logo produsen ban terkenal, Michelin. Oleh karena itu, gue sering menaikkan dada supaya perut buncit gue bisa diminimalisir (tidak terlihat) meskipun masih jua tetap terlihat. Lucu juga, kalau mengingat kembali masa-masa SD.
Ilustrasi Kelebihan Berat Badan
Gue menahan nafas demi mengecilkan perut, tapi dada malah membusung. Jonathan Saragi, teman yang selalu memakai slayer biru lalu dibuat seperti masker apabila ingin berangkat sekolah, sekaligus teman pertama gue waktu pertama kali pindahan dari SDN 010 Petang ke SDN 09 Petang, pernah berkata saat pulang sekolah.
“Ray (panggilan gue sewaktu SD), elu kalau kurusan dikit dan bisa naik sepeda kayaknya cewek-cewek pada suka sama elu,” kata Jonathan kala itu sambil melangkah pulang.
“Masa sih, Tan?” tanya gue sedikit percaya.
“Iya Ray, coba aja,” katanya sambil memakaikan slayer biru ke mulutnya.
“Seandainya,” gumam gue dalam hati.
Kedua masalah tersebut sepertinya sangat impossible bagi gue saat itu.
***
Di setiap sekolah, selalu terdapat teman-teman rese yang membuat kita jengkel, marah, kesal, sebal, dan sebagainya. Tidak terkecuali gue pada saat menjadi anak baru di SDN 09 Petang. Badan gendut serta berkulit kuning langsat, gue sering digunjingkan dengan sebutan Finlay (pemain Smack Down bertubuh gendut yang suka bawa orang bogel di kolong ring). Jika kalian penggemar WWE, pasti tahu. Andreas Samuel atau biasa dipanggil Buluk (karena kulitnya hitam), adalah teman yang senantiasa mencela gue dengan sebutan Finlay. Dulu, gue selalu nggak bisa terima dengan panggilan kampret tersebut. Bawaannya pengen nampol si Buluk setiap kali dia mencela gue, lalu ketawa-ketiwi seperti tanpa dosa. Kita memang sering mencela satu sama lain, hal itu lumrah hampir setiap hari. Karena kulitnya hitam, maka gue panggil Buluk dengan sebutan Boker-T (pemain SmackDown berkulit hitam berambut gimbal suka melotot sambil melet-melet).
***
Pernah suatu ketika gue terserang tifus, badan panas tinggi sampai kulit berubah warna menjadi putih pucat pasi. Mata sayu, badan lemas, dan kepala puyeng nggak karuan. Kejadian tersebut membuat Nyokap panik, ia segera membawa gue ke dokter. Tapi bukan dokter hewan. Setelah diperiksa ternyata benar gue terserang tifus, lalu dokter berkata pada Nyokap.
“Bu, sepertinya anak Ibu harus mengurangi berat badannya,” saran dokter.
“Lho, emang kenapa dok?” tanya Nyokap.
“Anak Ibu kelebihan berat badan,” jawab dokter mantap.
Kemudian gue nggak sekolah hampir satu bulan, tapi tetap saja badan tidak mengecil. Benar-benar konsisten. Tubuh gue dulu gendut kemungkinan penyebabnya adalah sering makan leher ayam. Tidak dipungkiri, leher ayam terdapat kulit, dan kulit terdapat banyak lemak, lemak jahat mungkin. Lemaknya suka menjambret dan main sabung ayam, lho? Bisa dibilang gue dulu adalah chickenholic (penggemar daging ayam) apapun jenis menu ayamnya. Ayam goreng, ayam bakar, ayam pepes, ayam semur, ayam kecap, ayam pedas, ayam penyet, ayam crispy, ayam rica-rica, ayam balado, kecuali ayam mentah dan ayam kampus. Eh ayam kampus gue demen deh.
Ilustrasi Berbagai Masakan Ayam
Gue nggak akan makan kalau nggak sama daging ayam. Dari pagi sampai tengah malam, menunya pasti harus ada daging ayam. You don’t believe me? Ask my mother. Pernah suatu malam, gue kelaparan secara tidak manusiawi dan tidak beradab. Buka rak makanan, kosong-melompong, isinya hanya ada sarang tarantula. Buka kulkas, isinya hanya ada sambel sachet, itupun cuma dua biji. Lantas gue hanya bisa mengelus perut yang sedang meronta-ronta secara perlahan. Karena lapar semakin menjadi-jadi, Nyokap akhirnya prihatin, dan dia bersedia pergi tengah malam sampai ke Cilangkap hanya untuk membeli fried chicken. Sungguh benar ungkapan “Kasih Ibu Tak Terhingga Sepanjang Masa.”
Nyokap berhasil membawa sesuatu dan ketika dibuka isinya adalah dua buah fried chicken, maka gue senang tak terkira. Detik itu juga langsung gue caplok bagian dada wanita, eh dada ayam. Gue makan secara rakus, cepat, dan tergesa-gesa. Percis bak orang rimba yang ditemukan di pesisir pantai. Nyokap? Nyokap nggak kebagian karena dua buah daging ayam yang dibelinya telah ludes habis ditelan oleh si gembul (gue). Sedari dulu Nyokap selalu mengalah demi anaknya kenyang. Tidak terkecuali Bokap, dia cuma senyum-senyum bangga karena anaknya doyan (rakus) makan. Prinsip bokap doyan makan sama dengan sehat.
10 Tahun Kemudian...
Kini? Puji Syukur Alhamdulillah badan gue proporsional, nggak kurus juga nggak gendut. Pas, sedang, dan enak dipandang. Hanya perlu merutinkan olahraga, joging, dan angkat beban maka tubuh ini semakin sedap untuk diraba, eh dilihat. Mengapa bisa begitu? Mungkin semakin gue bertambah usia, semakin bertambah pula masalah dalam kehidupan. Hal itu membuat gue banyak berpikir (banyak pikiran) sehingga membutuhkan banyak energi. Maka, tidak heran kini gue berubah drastis dari segi bentuk tubuh. Terbukti, dengan banyaknya pikiran dapat membuat badan cepat menyusut. Terbukti juga, kerja otak lebih membutuhkan asupan nutrisi cukup ketimbang kerja otot.
Ilustrasi Badan Proporsional
Semenjak kehadiran jerawat batu yang tumbuh di antara kedua mata, dokter menyarankan kurangi makan daging ayam. Sejak itu, gue paranoid sama daging ayam. Yah, meskipun daging ayam bukan penyebab tumbuhnya jerawat, namun konon daging ayam bisa memperparah jerawat. Apapun jua pasti ada hikmahnya, sejak kelas 3 SMP daging ayam mulai dikurangi secara perlahan. Terasa berat memang ketika makanan favorit harus "diatur" dan "dibatasi". Namun, dengan dijaganya asupan makanan, alhamdulillah tubuh gue berkembang seperti pria tulen pada umumnya. Terpenting, gue nggak harus menaikkan dada agar perut terlihat lebih langsing.
3.      10 Tahun Lalu...
Ketika pertama kali kaki menginjakkan di Sekolah Dasar 09 Petang, siswa-siswi di sana segera mengerubungi gue laksana semut mengerubungi gula. Hari "bersejarah" tersebut membuat gue speechless, bak artis internasional yang disambut oleh para fans, awak media, dan paparazzi di bandara. Tak lama setelah itu tersiar kabar bahwa beberapa murid cewek ada yang menaruh hati ke gue. Entah, gue nggak tahu siapa nama-namanya hanya terkadang ada yang bilang,
“Faris dapet salam,” kata teman di sekolah.
“Dari?” tanya gue, senang.
“Ada deh ...,” jawab mereka cekikikan.
Ilustrasi Ketika Murid Cewek Melihat Anak Baru (Gue)
Dapat ucapan salam dari beberapa murid cewek misterius membuat gue bangga, tapi gue nggak pernah ada niatan buat mendekati seorang cewek satupun. Mungkin, karena sifat gue yang pendiam dan apatis membuat Gea (siswi berambut kribo mirip Whitney Houston), nekat terang-terangan memberi surat cinta ditemani teman dekatnya, Ade. Masih jelas di ingatan, dia ngasih surat cinta padasaat sore langit gelap mau hujan besar, tepatnya sehabis mata pelajaran olahraga.
“Faris, baca,” kata Ade sembari menyodorkan secarik kertas dari tangannya.
“Hah?” reaksi gue kaget.
Kemudian, gue baca isi surat dari Gea secara saksama. Tulisannya acak-acakan, kalimatnya nggak begitu jelas, dan bertele-tele. Namun, pada intinya isi surat tersebut mencurahkan bagaimana perasaan dia sejak pertama kali melihat batang hidung gue di sekolah SDN 09 PT. Selanjutnya setelah memahami isi surat tersebut, gue bingung harus ngapain. Karena, gue nggak ada perasaan apa-apa sama Gea. I’m so sorry. Maka, surat itupun gue kembalikan lagi ke Ade.
“Nih, gue ke kelas dulu,” ucap gue singkat sembari mengembalikan surat.
Semenjak sore mendung itu, Gea nggak pernah ngasih surat lagi. Meskipun, gue tahu dia sering menatap dari kejauhan.
10 Tahun Kemudian...
Kini? ucapan salam yang dulu sempat "mengalir" ke gue tidak pernah lagi terdengar. Ibarat kata gue itu seperti megabintang yang sedang melempem karirnya. Kalau di dunia sepak bola, gue kayak Fernando Torres yang main apik di Liverpool, tapi merosot ketika Torres pindah ke Chelsea. Tak ubahnya seperti Radamel Falcao, bermain bagus di Atletico Madrid, namun kehilangan tajinya baik di Manchester United maupun di Chelsea. Kira-kira sepertu itulah gue. Yah, namanya roda kehidupan terkadang kita di atas, kadang di bawah. Berputar silih berganti.
Ilustrasi Gue yang Dilupakan oleh Kaum Hawa
Kemungkinan besar perempuan dewasa tidak se-frontal anak SD.Mereka mulai mengerti tentang hakikat cinta sejati dan tidak ingin menampakkan perasaannya (menjaga perasaan). Bahkan bisa jadi gue yang sekarang beda dengan gue dulu. Segalanya pasti akan berubah, itulah hakikat kehidupan. Mungkin kita mengakui, bahwa perubahan yang dirasa merugikan justru baik buat kita. Sebaliknya, perubahan yang dirasa menguntungkan justru buruk buat kita. Sekali lagi, kita nggak akan pernah tahu ada apa dibalik semua perubahan (ketentuan) dalam kehidupan. Terpenting, kita wajib mensyukurinya.
Nggak jadi masalah, gue sekarang nggak pernah dapat salam lagi dari siapapun, kecuali dari petugas kasir minimarket, “Selamat pagi/ Selamat sore, selamat datang di ....” Itu terjadi setiap gue membuka pintu minimarket dibarengi dengan suara lonceng ‘tengneng’. Setidaknya, gue pernah merasakan bagaimana rasanya dapat ‘titipan salam’ dari lawan jenis walaupun itu sudah lama sekali. Alhamdulillah.
4.      10 Tahun Lalu...
Awal mula gue kenal komputer adalah ketika mengikuti pelajaran Dasar-dasar Ilmu Komputer kelas 4 SD tahun 2004. Sudah lama sekali. Sedangkan tahu nama "komputer" sejak tahun 2001. Saat itu Pak Dani (guru komputer) menyuruh sebagian murid kelas 4 untuk pergi ke Lab. Komputer. Sistemnya bergantian sesuai nomor urut absen. Tibalah nama gue disebut, lalu beranjak menuju Lab. Komputer. Tiba di depan pintu masuk, kami disuruh membuka pakaian, eh sepatu. Setelah pintu dibuka, hawa dingin dari AC (Air Conditioner) berbaur bersama aroma wewangian membelai lembut hidung kami, terutama gue.
Ilustrasi Bentuk Komputer Zaman Baheula
Suasananya yang amat mendukung proses pembelajaran, membuat gue semangat mendengarkan instruksi dari Pak Guru. Dulu, bentuk komputer masih berbentuk tabung, berwarna putih, sistem operasi masih Windows 98, tempat penyimpanan disket, mouse berbentuk besar dengan memakai bola seperti bola bekel sebagai scroll, dan keyboard agak keras. Beda dengan sekarang, bentuk komputer semakin tipis/ slim, rata-rata berwarna hitam, sistem operasi tercanggih, tempat penyimpanan flashdisk, mouse pakai laser, dan keyboard super empuk.Waktu itu jemari tangan masih kaku, menekan tombol keyboard masih satu-satu menggunakan jari telunjuk. Sebentar-sebentar melihat keyboard takutnya salah ketik, lalu melihat layar, lihat keyboard lagi, lihat layar lagi, dan terus begitu. Itu adalah proses, tak ada yang instant. Dari situlah awal mula gue belajar ngetik, lalu bisa ngetik, dan sampai sekarang ngetik artikel ini. Subahanallah.
Gue memiliki satu kebiasaan unik jika sedang menggunakan komputer. Kebiasaan tersebut ialah me-refresh komputer secara cepat serta berulang-ulang. Alasan kenapa gue sering berbuat demikian ialah: senam tangan dan supaya komputernya segar (refresh= menyegarkan kembali). Akan lebih afdal lagi jika me-refresh memakai mouse. Dikarenakan dulu sama sekali nggak tahu-menahu mengenai komputer, gue hanya bisa membuka dan mengganti wallpaper atau screensaver. Di mata gue komputer adalah barang yang cukup baru, mewah, dan eksklusif. Segan untuk menggunakannya, takut jika kenapa-kenapa dengan barang "kantoran" tersebut, pikir gue waktu kecil.
Terdapat game legendaris dalam komputer, yaitu game ski salju. Game tersebut adalah game yang pertama kali gue lihat ketika sedang bermain di rumah tetangga. Kesan pertama kali melihat game ski salju, gue langsung tertarik ingin memainkannya. Di dalam game ini terdapat makhluk misterius (makhluk ngeselin) karena ketika sedang asyik-asyik bermain, tiba-tiba makhluk tersebut datang dan langsung memangsa pemain. Makhluk "kampret" itu menurut gue adalah Yeti atau Bigfoot (makhluk astral di pegunungan Himalaya). Yang lebih ngeselinnya lagi, kita (pemain) tidak dapat menghindar dari serangannya. Pokoknya si Yeti ujug-ujug datang lalu mencaplok si pemain, game over deh. Pendapat gue motto game "bangke" ini ialah “Pemain Mesti Dimakan Yeti (Player Must Be Eaten by Yeti)”. Karena seumur-umur gue belum pernah menang main game "sialan" tersebut, pasti selalu saja ditelan oleh si Yeti.
10 Tahun Kemudian...
Komputer berbentuk tabung, mouse bola sebagai scroll, keyboard warna putih dan permainan ski salju kini sudah tidak diketahui lagi keberadaannya alias langka. Teknologi informasi dan komunikasi kini telah berkembang sangat pesat, khususnya di Tanah Air. Teknologi dan elektronik terbarukan seakan tidak habisnya untuk terus berinovasi serta berkreasi dalam menciptakan suatu produk tercanggih. Barang-barang kuno semacam disebut di atas, sudah "diperkosa" sedari dulu oleh produk-produk yang lebih mumpuni, minimalis, dan menarik. Bahkan, di zaman "edan" ini handphone pun kinerjanya hampir menyamai komputer/ laptop. Karena, semakin kemari barang semakin efesien, mudah dibawa (portable), dan daya kinerja tinggi.
Ilustrasi Komputer Masa Kini (Zaman Edan)
Handphone berevolusi menjadi smartphone, laptop semakin tipis, dan muncul nama-nama baru seperti; tablet, ipad, iphone, notepad, dan sebagainya. Lalu produsen handphone ternama dunia yakni Nokia sudah diakuisisi oleh Microsoft menjadi Windows Phone, Sony Ericsson menjadi Sony, dan semakin menjamurnya smartphone buatan China. Too fast i think. Kartu SIM semakin murah, serta dapat dengan mudah dibeli di setiap counter. Jauh berbeda dengan zaman dulu, kartu SIM masih sangat mahal, bahkan ada yang satu juta. Gila! Bayangkan dengan zaman sekarang, kartu SIM paling goceng (lima ribu rupiah). Satu lagi, dulu voucher pulsa bagus-bagus gambarnya serta berbentuk kartu, seperti kartu ATM. Ada edisi Kung Fu Panda, edisi Bung Hatta, edisi Hari Kemerdekaan, dan masih banyak lagi. Coba bandingkan dengan saat ini, voucher pulsa laksana kunci jawaban Ujian Nasional, amat simpel.
Dari sisi hiburan, game masa kini sudah sangat nyata (real). Nice graphics, full colour, and not flat. Bahkan, game Playstation 1 kini sudah dapat dimainkan di tablet. Game Playstation 2 sudah dapat dimainkan di laptop. Bandingkan dengan game masa lampau yang tampilannya masih amat terlihat berupa kotak-kotak (pixel). Bandingkan pula Winning Eleven 1999 dengan PES (Pro Evolution Soccer) 2016, amat jauh berbeda dari segala aspek. Dengan demikian, sudah sepatutnya kita bersyukur pada masa lampau, masa dimana lahirnya sebuah ide, gagasan, konsep, tujuan, cita-cita, dan asal-muasal dari apa yang kita lihat, gunakan, dan rasakan saat ini. Thank you very much past age. Then today, don’t forget to say Alhamdulillah wa syukurillah.
5.      10 Tahun Lalu...
Kami sekeluarga (masih) menetap di kontrakan. Kontrakan yang beralamat di Jl. Raya Cipayung Jakarta Timur tersebut ialah milik Bang Udin (orang Betawi asli). Awal mula kami pindah, kontrakan itunggak bagus-bagus amat. Jika hujan turun, maka halaman depan (teras) akan becek, tidak adanya pagar, mesin pemompa air sering rusak, serta antara dapur dan kamar mandi tidak ada sekat. Kebayang dong, kalau ada orang mandi atau buang air besar sedangkan di dapur ada orang sedang memasak mie? Kontrakan tersebut terdapat empat bagian/ ruangan. Ruangan pertama adalah ruang tamu, ruangan kedua adalah ruang keluarga, ruangan ketiga adalah ruang serbaguna, dan ruangan keempat ialah dapur serta kamar mandi.
Gue Sedang Bersantai di Teras Kontrakan
Kita mulai dari ruangan pertama dahulu. Ruangan pertama dari kontrakan tersebut adalah ruangan yang paling sering gue tempati. Kenapa? karena di ruangan itu terdapat kipas angin dan dekat pintu, jadi angin buatan dan angin alam berkumpul di situ. Awalnya, ruangan tersebut adalah "kamar" abang gue. Namun, ketika abang gue memutuskan hijrah ke Bandung untuk melanjutkan kuliah, maka ruangan itu diwariskan ke gue.Di ruangan pertama tidak ada kursi dan meja, meskipun namanya "ruang tamu". Kenapa? karena Bokap berpikiran kursi dan meja tidak cocok untuk berada di kontrakan "sebagus" itu. Juga ruangannya sempit, jadi percuma saja. Jadi, jika ada tamu atau bahkan Presiden berkunjung pun (Presiden ngapain coba?) mau tidak mau harus lesehan.
Teras Kontrakan di Jakarta
Sering tamu-tamu Bokap bertamu untuk membahas penulisan skripsi dan tesis. Mereka mesti lesehan, meskipun mereka orang berada atau orang penting. Pernah suatu ketika, gue tidur siang di ruangan tersebut lalu saat membuka mata tiba-tiba sudah ramai oleh para tamu Bokap. Karena malu, gue langsung ngacir meskipun ada iler kering menempel di mulut. Malam tiba, ruangan tamu beralih fungsi menjadi kamar. Dengan beralaskan kasur kapuk Surabaya dan hembusan angin dari kipas angin, maka gue pun tidur secara manis, bersahaja, dan khidmat. Bahagia itu simpel. Jika ada tamu datang, ya mau tidak mau gue harus dilipat, eh kasurnya dilipat. Selain dijadikan tempat tidur, ruangan itu juga berfungsi sebagai tempat gue menimba ilmu: membaca, menulis lirik, mengerjakan PR, membuat tugas, bereksperimen, berimajinasi, merangkai cerita, mengedit,dan sebagainya. Maka tidak heran, ketika hendak pindah ke Bandung, gue sedih. Teringat amat banyak cerita di dalamnya, penuh sejarah, penuh kenangan baik senang maupun susah. “Terima kasih untuk semuanya,” batin gue pilu, sambil memandang seluruh penjuru ruangan.
Selanjutnya, ruang keluarga. Ruang keluarga adalah ruangan favorit Nyokap, Bokap, dan adik gue. Soalnya mereka sering "berdesakan" di ruangan tersebut. Di ruang keluarga terdapat televisi, magic jar, lemari, kipas angin, dan kasur reyot. Mengapa dinamakan kasur reyot? karena kasur tersebut memang sudah bajret (rusak parah) akibat bekas ompolan adik gue saat masih bayi dulu. Kerusakan berada di tengah kasur berbentuk bundaran menurun (jebol) ke bawah. Kemungkinan besar penyebabnya ialah karena dari zat berbahaya yang terkandung dalam air seni adik gue. Jadi, air seninya mengendap lalu merembes ke dalam busa yang menyebabkan busa menjadi kempes. Kira-kira seperti itu penjelasannya.
Kemudian, meskipun kasur sudah rusak dan tidak layak pakai, tapi mereka (Bokap, Nyokap, dan adik) tetap enjoy. Termasuk gue. Nggak penting mau kasur bagus apa kasur rusak, bahkan tanpa kasur sekalipun, yang penting tetap kumpul. Hal yang akan selalu gue ingat adalah pada saat Bokap membentangkan kain (kain gendongan) lalu merebahkan badannya (tidur) di kasur reyot tersebut sambil berucap:
“Hadeeuhh ... kayak di Camry (mobil sedan Toyota) euy,” katanya nyengir.
Padahal, Bokap sendiri belum pernah naik Camry. Gue tersenyum melihat tingkah laku Bokap yang sedang berimajinasi tinggi melewati batas ruang dan waktu. Sekaligus gue berdoa suatu saat nanti bisa membelikannya satu unit Toyota Camry. Aamiin.
Malam tiba, ruang keluarga pasti akan ditempati oleh BonYok dan adik gue. Mereka kumpul sembari menonton tayangan favorit (biasanya acara dangdut) juga bercengkrama, bercanda, dan tertawa ria. Sesekali Nyokap pindah ke ruang tamu (kamar gue) karena alasannya lantai di ruang tamu lebih adem daripada di ruang tengah. Ya jelas adem soalnya ada gue yang berhati lemah lembut. Taik. Haha. Tidak jarang adik gue juga ikut-ikutan pindah ke ruang tamu, alasannya sama yaitu lebih adem, tapi bukan karena lantainya, tapi karena ada kipas angin. Dengan hadirnya dua anggota keluarga ke ruangan (wilayah) gue membuat lapak (tempat) menjadi terasa sempit. Dengan begitu, maka gue akan menggendong adik gue lalu membantingnya ke kasur reyot miliknya. Sekilas, posisi tidur mereka (BonYok dan adik) laksana ikan asin yang sedang dijejerkan di pasar. Hanya perlu ditaburi garam sebagai alas supaya terlihat lebih menarik. I’m just kidding everybody.
Next, ruang serbaguna. Dari namanya saja mungkin kalian sudah tahu ruang apa ini sebenarnya? tepat sekali, ruang serbaguna adalah ruangan yang bisa ditempati dan bisa ditiduri, kecuali dikencani. Di ruangan ini, kita bisa berkaca, makan, tidur, sembahyang, push up, shit up, bahkan melamun, asal jangan melamun jorok. Di ruangan ini terdapat kulkas, rak piring, kaca ukuran besar, kasur, dan perabot rumah tangga. Ruangan ini terlihat sepele, membosankan, dan terkesan tidak berguna, namun itu semua salah. Jika nenek berkunjung ke Jakarta, maka ruangan tersebut disulap menjadi kamar. Ya, hitung-hitung kamar untuk tamu atau sanak saudara yang ingin menginap di sana. Meskipun serba berantakan, tapi jika sudah diatur sedemikian rupa maka akan terlihat ... agak berantakan. Yang penting kan, ada kemajuan.
Pertama kali pindah dari gang Tangki ke kontrakan itu, gue tidur di ruangan serbaguna. Sebabnya waktu itu barang-barang belum sempat dibereskan dan menumpuk di ruang tengah dan depan, jadi mau nggak mau harus tidur di ruangan tersebut. Di bawah kasur, ada banyak ember dan jolang (bak) untuk menyimpan air. Ember untuk menyimpan beras, dan jolang untuk tempat mandi gue. Dikarenakan gue dulu sangat suka berendam dan berlama-lama di jolang. Apalagi ketika sedang berendam, tiba-tiba kentut: Blubub, bunyi suara kentut terkena air dibarengi gumpalan yang keluar dari pantat. Sungguh masa kecil yang super bahagia. Selain ember dan jolang, terdapat beberapa mainan semisal mobil-mobilan, robot-robotan, pesawat-pesawatan, dan lain-lain. Tidak jarang di ruangan serbaguna ada tikus, karena kondisinya yang amat berantakan.
Kasur yang Terdapat di Ruangan Serbaguna *lihat tuh berantakan*
Jika di bawah kasur adalah tempat untuk menyimpan ember, bak, tas, koper, kresek, dan mainan. Maka, di atas kasur adalah tempat untuk menaruh segala barang, kecuali "barang" milik pribadi. Barang-barang yang dimaksud adalah: piring, coet, rigen (tempat menyimpan baju), rempah-rempah (bumbu masakan), boneka, buku, majalah, poster, brosur, topi, dan sebagainya. Sesekali Bokap merokok di ruangan serbaguna, supaya asap dari rokok bisa langsung terbawa angin dan tidak dihirup oleh anggota keluarga lainnya.
Terakhir, ruangan keempat yakni dapur dan kamar mandi. Telah disebutkan di atas, bahwa awalnya kamar mandi dan dapur tidak ada batasan/ tidak ada sekat. Maka, semenjak kedatangan kami ruangan tersebut akhirnya diberi dinding/ tembok pembatas. Horeee! akhirnya gue bisa berak dengan damai.
Kamar Mandi yang Telah Diberi Pembatas *genting di atas bolong, dan di belakang kontrakan adalah tempat shooting film Narnia. wkwkwkwk*
Nggak kebayang kalau gue sedang berak dan tiba-tiba ada orang masuk mau ngambil nasi, maka orang tersebut dapat dipastikan akan muntah tanpa jeda selama sebulan. Dulu, kompor gas masih sangat jarang, apalagi untuk rakyat kecil seperti kami. Plus, minyak tanah masih berlimpah di warung-warung terdekat. Jadi, kompor yang dipakai adalah kompor sumbu dengan merk Hock. Jika ingin memasak, hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan mencelupkan sebatang lidi ke minyak tanah, lalu dekatkan lidi ke korek api. Sesudah api merembet ke lidi, masukkan lidi ke sumbu yang terdapat pada kompor. Tunggu sebentar sampai api benar-benar stabil, setelah itu putar/ atur tuas kompor sampai api menjadi biru. Selesai.
Kondisi Dapur Waktu Itu *gue jadi kangen*
Di dalam dapur, terdapat sebuah meja berwarna putih kucel terbuat dari kayu. Meja tersebut berfungsi untuk mengolah bahan masakan, seperti memotong bawang, daging, daun bawang, tomat, dan lain-lain. Sekilas, meja itu seperti meja untuk belajar. Bedanya, meja belajar terkesan anggun, kalau ini (meja kucel) terkesan kampungan dan kolot. Untungnya cuma meja, coba kalau manusia, mungkin udah gue usir dari jauh-jauh hari. Meja tersebut diciptakan oleh Pakde Malih, yakni seorang aki-aki, penjaga sekolah SMK PGRI 16 (dulu), sekaligus teman Bokap. Pakde Malih orangnya baik banget, kalau disuruh jarang nolak, selalu mengiyakan setiap permintaan BonYok. Faktanya ketika gue sakit tifus dulu, dia yang bikin air rebusan cacing (konon katanya air rebusan cacing ampuh untuk meredakan penyakit tifus). Lalu, ketika gue disuruh bawa pernak-pernik buat MOS, dia juga yang membuat segala kebutuhan tersebut. Jua, saat gue disuruh membuat tugas patung dari tanah liat, dia yang bikin. Sungguh berjasa beliau. Semoga panjang umur buat Pakde Malih.
Lanjut, di dapur banyak peralatan untuk memasak (namanya juga dapur) yang digantung di dinding. Semisal katel, bakul, tempat nanak nasi, spatula, keranjang, wajan, pencapit gorengan, penyaring beras, dan masih banyak lagi. Jika hujan datang, bocor tidak terelakkan lagi. Sebab itu, tempat penyimpanan sendok selalu ditutup oleh kresek supaya tidak terkena air yang jatuh dari atas. Ketika diperiksa, kebocoran bukan disebabkan oleh genting rusak, melainkan disebabkan oleh genting yang merosot (turun). Genting yang merosot menurut tetangga disebabkan oleh ulah kucing yang senang berlalu-lalang di atap kontrakan. Soalnya nggak mungkin, jika ulah tersebut disebabkan oleh beruang australia atau babon afrika.
Ada satu momen yang akan selalu dikenang, yakni bikin mie saat ada pertandingan bola. Entah itu pertandingan Big Match, El Clasico, Piala Dunia, Piala Eropa, atau Liga Champions. Gue dan Bokap memang "gila" sama yang namanya pertandingan bola, khususnya dari luar negeri. Gue diperkenalkan bola mungkin sedari balita, terlebih Bokap saat itu adalah fans AC Milan dan Belanda. Soalnya ada Marco Van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard (Trisula maut Belanda). Gue pribadi pertama kali merasa "jatuh hati" pada bola adalah ketika melihat pertandingan Prancis vs Brazil di kompetisi piala dunia tahun 1998. Dulu banget. Lucunya, gue dan Bokap nonton bareng sama Pakde Malih, sedangkan Nyokap kalau nggak salah sedang mengupas selong (petai China/ petai kecil-kecil). Dari pertandingan tersebut, gue mulai mengagumi sepakbola. Juga, gue mulai terkesan dengan pesepak bola yang gue anggap "sensasional" kala itu, yaitu Zinedine Zidane dan Fabian Barthez.
Sejak saat itu, gue mulai sering menonton pertandingan bola di televisi. Tapi, dulu menonton bola ya menonton saja, nggak pakai acara bikin mie segala. Baru, pada tahun 2006 tepat pertandingan final antara Prancis kontra Italia, Bokap bikin mie goreng. Saat itu televisi yang ada di ruang keluarga sengaja ditaruh di teras supaya gue beserta teman-teman bisa nobar (nonton bareng). Awalnya gue hampir ketiduran, mengingat final Piala Dunia dimulai larut malam. Namun, dengan hadirnya mie goreng membuat hidung dan mata ini kembali bergairah. Siapa sih yang nggak suka harum "seliwir" dari mie goreng? Seingat gue, orang yang masih "bertahan" untuk menonton pertandingan final piala dunia 2006 adalah gue, Bokap, Dias (teman gue), dan Bang Ucup. Teman-teman lain ada yang pulang ke rumah, dicariin emaknya, dan ada yang tepar di tempat (saking ngantuknya).
Dirasa ada yang kurang atau memang Bokap lapar, dia mengajak gue untuk membantunya memasak mie.
“Ris, bikin mie yuk ah,” ajak Bokap beranjak masuk ke kontrakan.
“Hah? mie?” respons gue segera mengikutinya.
Tiba di dapur, gue lihat Bokap sedang menuangkan air ke dalam katel. Tanpa banyak bertanya, gue langsung menuju kulkas untuk mengambil mie. Biasanya, mie disimpan di keranjang paling bawah. Setelah keranjang digeser, ternyata mienya hanya ada tiga bungkus. Hebatnya, ketiga mie tersebut adalah mie goreng! Tragisnya, mie tersebut cuma tiga, sedangkan penonton ada empat orang! Dikarenakan mie kurang satu kardus, eh bungkus, segera gue tanya Bokap.
“Yah, ini gimana mienya cuma ada tiga?” tanya gue.
“Kenapa emang? pas kan?” Bokap balik tanya, dia mulai halusinasi.
“Lah, kan yang nonton ada empat orang, di luar ada Bang Ucup sama si Dias,” jawab gue.
“Oh gitu, aduhehe ..., gimana atuh?” tanya Bokap antara kecewa campur senang, karena sesudah "aduh" tertawa kecil.
Gue nggak menjawab, bingung. “Yang pasti, gue mienya harus satu porsi,” kata gue dalam hati malam itu. Di antara ketiga orang itu harus ada yang mengalah. Untuk Bokap, sepertinya dia nggak akan mau mengalah, karena sudah jelas ide bikin mie itu sendiri dari Bokap. Dias? Sahabat gue sewaktu kecil ini ibarat manusia dusun yang kerjaannya makan melulu. Badannya super gede, kulit agak kehitaman, tinggi, dan lumayan menyeramkan. Tapi, dia baik. Ada kemungkinan, Dias mempunyai niat terselubung yakni karena ingin dijamu (makan gratis) oleh Tuan Rumah. Jadi, kemungkinan Dias juga nggak akan mau mengalah, apalagi dalam urusan makanan, dia rajanya. Rajanya dalam menghabiskan makanan. Terlebih, Dias sudah mau menemani gue untuk menyaksikan pertandingan bersejarah sampai tengah malam. Bang Ucup? Nah, mungkin dialah orang yang tepat untuk dijadikan sebagai penonton ... kami memakan mie.
Sekilas tentang Bang Ucup. Bang Ucup kelahiran Kuningan, merantau di Jakarta untuk bertahan hidup. Pekerjaannya sehari-hari adalah sebagai penjual koran di depan gang PBSI (Persatuan Bulu Tangkis Indonesia), jual pulsa, dan ngojek. Orangnya kocak, kulit sawo matang, dan baik. Pernah suatu ketika, dia meletakkan rambutan miliknya di depan teras. Kebetulan, dulu Bang Ucup masih satu kontrakan dengan kami. Ibaratnya tetangga dekat lah. Mungkin karena tergoda, gue mengambil rambutan tersebut secara diam-diam tanpa diketahui si empunya (Bang Ucup). Perbuatan tercela tersebut dilakukan sampai tiga kali. Merasa berdosa, gue hentikan aksi tidak beradab tersebut. Sampai sekarang, Bang Ucup tidak tahu bahwa dulu rambutannya pernah gue embat.
Kembali ke masalah mie kurang satu. Mie matang, gue dan Bokap segera kembali ke teras sambil membawa tiga piring mie goreng + telur.
“Wih ... apaan tuh, Mas Faris?” tanya Dias pura-pura nggak tahu.
“Mie, Yas,” jawab gue sembari menaruh mie goreng ke hadapannya.
“Widih ... mantep nih!” seru Dias.
Bang Ucup hanya melihat sekilas tanpa arti dengan tatapan ambigu, berharap ditawarin. Tanpa diduga, Bokap secara "kerasukan" memakan mie goreng tersebut sambil menawarkan sekaligus meminta maaf pada Bang Ucup.
“Cup mie, Cup?” tawar Bokap, mulutnya penuh dengan mie.
Belum sempat Bang Ucup menjawab, Bokap kembali berucap,
Hampura yeuh, miena kurang satu. (Maaf nih, mienya kurang satu)” Bokap memberi penjelasan.
Ngan aya tilu di kulkas (Cuma ada tiga di kulkas),” ucapnya.
Mun arek yeuh bagi dua miena (Kalau mau nih bagi dua mienya),” Bokap menawarkan Bang Ucup dari piringnya.
“Ah nggak Pak, makasih Pak.” jawab Bang Ucup sambil memeluk kakinya. Mungkin kedinginan.
Sepertinya, alasan Bokap langsung memakan mie goreng yang masih ngebul (panas) sebelum ditawarkan ke Bang Ucup, adalah supaya Bang Ucup merasa jijik (geuleuh) karena mie tersebut sudah tersentuh mulutnya. Aw! Apalagi, Bokap makannya nggak slow (tenang) dan sengaja terkesan berantakan dengan mie goreng penuh di dalam mulutnya. Gue, sebagai anaknya saja sudah bergidik, apalagi Bang Ucup. Sementara Dias, tumben-tumbennya dia makan tenang dan berhati-hati. Biasanya, Dias makan lahap bak manusia rimba yang dikerangkeng selama tiga minggu kalau dia sedang memakan nasi bungkus dari warteg. Kali ini, dia nggak begitu. Sepertinya dia malu sama Bokap, atau ingin merasakan kenikmatan dari mie goreng plus telur secara perlahan. Namun, gue senang setiap kali berbagi, entah makanan, kebahagiaan, uang, atau apapun itu kepada orang di sekitar. Gue geli melihatnya makan, lalu berujar,
“Habisin, Yas!” seru gue.
“Pasti, Mas!” jawabnya mantap dibarengi satu suapan mie goreng hangat ke mulutnya.
Sementara Bokap masih mencoba menawarkan mie goreng "sisa" kepada Bang Ucup, siapa tahu Bang Ucup berubah pikiran.
Ieu hayang teu? (Ini mau nggak?)” tanya Bokap, kali ini ia sambil mencongkel-congkel kuning telur.
“Sok Pak, udah kok tadi,” kilahnya ngeles.
Padahal gue tahu bahwa Bang Ucup sebenarnya belum makan, dan sebenarnya dia mau tapi malu. Eh bukan, tapi jijik.
“Yeeeuuh ...,” jawab Bokap sibuk mengaduk-aduk kuning telur menggunakan sendok. Untungnya bukan pakai tangan. Kalau pakai tangan, gue yakin Bang Ucup bakal pulang ke Kuningan dini hari itu juga.
Bang Ucup mulai berkaca-kaca (mata berair): entah ngantuk, kelaparan, atau nangis karena nggak kebagian mie. Sementara kami bertiga masih asyik mengunyah mie goreng hangat, sesekali pandangan mengarah ke televisi. Pada akhirnya, ketiga mie goreng tersebut habis tak tersisa. Nikmat terasa, kenyang tak terkira, dan bertepatan di momen istimewa (Piala Dunia). Bang Ucup hanya bisa menelan ludah dan mencium aroma mie goreng dari sendawa kami. Hebatnya, Bang Ucup tetap tidak beranjak pergi dan tetap menonton sampai pertandingan selesai. Bokap dan Dias mendukung Italia, gue mendukung Prancis, dan Bang Ucup sepertinya netral. Soalnya, ketika masing-masing kedua tim berada di kemelut gawang hendak memasukkan bola, Bang Ucup teriak refleks, “Iya dikiit lagiii, iyaa, iyaaa ... yaaaaahhh ...,” teriaknya penuh rasa kecewa.
Ada dua momen yang akan selalu gue ingat di pertandingan final Piala Dunia 2006; Italia kontra Prancis. Yakni, pada saat Zinedine Zidane melakukan tendangan bebas. Saat itu skor sementara 2-1 unggul bagi Italia, kemudian salah satu pemain Italia melakukan pelanggaran di luar kotak penalti. “Kesempatan emas buat Prancis,” kata gue dalam hati berharap Prancis bisa menyamakan kedudukan. Pilihan tepat sekali Zidane ditunjuk sebagai kick tackers (penendang bola dalam tendangan bebas). Pada video game pun Zidane memiliki ability (kemampuan) lumayan tinggi dalam akurasi tendangan bebas. “Pasti masuk nih.” gue bergumam dalam hati penuh keyakinan. Tak lama setelah itu, wasit meniupkan pluit, “priitt,” tanda bola harus ditendang. Boom. Bola meluncur deras melengkung ke arah gawang, dan ... ditepis. “YAAHH!” gue teriak lumayan kencang, untungnya Nyokap nggak bangun, cuma ngendusin.
“Italia mah susah ditembus, Ris,” ucap Bokap sotoy bak analis sepakbola.
Gue malas mendengarkan celetukannya. Gue masih belum percaya, harusnya tendangan bebas barusan masuk.
“Hahah, nggak bisa Mas, ada Buffon.” Dias menimpali.
Buffon (penjaga gawang Italia) memang memiliki skill mumpuni dalam posisinya. Kiper nomor satu Juventus itu dari dulu sudah cukup menjanjikan, bahkan sampai sekarang. Nggak salah Buffon adalah salah satu legenda pesepakbola Italia dan Juventus, selain Del Piero.
Insiden Zidane Menanduk Materazzi. Sumber: footballworldcuplive.com
Momen kedua, yakni terjadinya insiden "tandukan" antara Zidane dan bek jangkung Italia, Marco Materazzi. Insiden tidak sportif tersebut terjadi di tengah jalannya pertandingan. Sangat jelas Zidane menanduk dada Materazzi sehingga membuat bek penuh tato itu terkapar kesakitan di tengah lapangan. Atas perlakuan tidak sportifnya tersebut, Zidane mendapat kartu merah serta dikeluarkan dari lapangan. “Bangke! Tamatlah Prancis,” gerutu gue kesal. Kapten, bintang, sekaligus tumpuan tim Prancis harus rela keluar lapangan secara tidak hormat. Sejadi-jadinya gue terbawa euforia (emosi), raut muka mulai cemas, gelisah, dan takut. Pluit panjang berbunyi, maka pertandingan dilanjutkan ke extra time. Kedua tim sama-sama ngotot sampai pada akhirnya harus adu penalti. Fabio Grosso menjadi pahlawan bagi Italia lewat penalti terakhir. Dengan demikian, Italia menjadi pemenang Piala Dunia 2006.
Selanjutnya kita ke kamar mandi. Sudah tahu dong fungsi dari ruangan ini buat apa? Yap betul sekali, buat tidur. Jelas-jelas ruangan ini buat membersihkan diri dari segala kotoran yang menempel di tubuh, kecuali dosa. Di kamar mandi terdapat bak mandi, ember, jolang, gayung, slang, dan berbagai alat mandi lainnya. Karena amat tidak mungkin bila ada televisi, dvd, dan tikar. Siapa juga yang mau nonton film di kamar mandi. Seperti sudah disebutkan di atas, bahwa saat kami menempati kontrakan itu, kamar mandi dan dapur diberi dinding pembatas. Jadi, jika mau mandi harus ditutup pintunya terlebih dahulu. Supaya tidak terlihat orang, serta menandakan bahwa di dalam kamar mandi ada orang. Dinding pembatas tersebut nggak tinggi-tinggi amat. Bila ada orang jahil yang berniat untuk mengintip, pasti berhasil. Hanya dengan menjinjit kita sudah bisa melihat penjuru kamar mandi. Terlebih untuk orang berbadan tinggi, tidak usah menjinjit juga sudah kelihatan.
Selain itu, di dalam kamar mandi terdapat banyak ember. Fungsinya untuk persediaan jika sewaktu-waktu air di bak kurang atau kalau ada tamu yang numpang ke kamar mandi. Terlebih, air di bak cepat menyusut, entah karena faktor kebocoran atau faktor udara yang panas. Jadi, ember dan jolang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Aby, salah satu teman gue di SMK pernah bilang, “Ris, itu di kamar mandi ember banyak banget. Kayak drum, lu suka latihan nge-drum ya di situ?” katanya bercanda, sehabis dari kamar mandi.
“Ember? Oh ... emang kayak gitu By, buat persediaan,” jawab gue.
“Itu bukan buat latihan nge-drum, tapi untuk latihan orkestra,” seloroh gue dalam hati.
Ada satu kejadian "menyeramkan" saat gue sedang asyik mandi. Waktu itu, sekitar maghrib gue baru pulang sekolah. Rasa penat, letih, dan lengket bersatu menjadi satu. Pokoknya, kondisi gue lusuh banget karena saking capeknya. Dengan demikian, gue memutuskan untuk mandi sore. Terbukti, dengan mandi badan menjadi segar kembali. Segera gue mengambil handuk di teras, kemudian ke kamar mandi. Pintu ditutup, lalu dikunci 'cklek'. Air dingin mengalir membasahi wajah, rambut, dan badan. Gue merasa segar, jantan, dan sexy saat itu. Gue gosok semuanya, dari ujung aspal, eh ujung kepala, sampai ujung kaki. Tidak terlewati "si otong" juga digosok, karena dialah masa depan gue.
Pada saat ingin membilas rambut, gue kelimpungan mencari gayung karena mata pedih tertutup busa shampo. Gue cari gayung sembari merem dan tangan menggapai ke segala sisi, “Mana sih gayung? Kamvret pedih lagi nih mata!” gerutu gue campur kesal. Syukurnya, gayung berhasil digapai. Kemudian gue siram busa yang menyebabkan mata pedih, “Fyuh, akhirnya,” kata gue sambil mengedip-ngedipkan mata. Gue lalu berdiri supaya airnya berjatuhan. Ketika sedang berdiri, gue lihat samar-samar di atas boboko kayu (tempat menyimpan nasi) ada sesuatu bergerak kehitaman. Disebabkan pandangan nggak begitu jelas karena terkena air, gue usap mata sampai terlihat jelas. Objek apakah itu? Awalnya gue kira daun kering, ternyata setelah diamati lebih lanjut itu adalah ... ULAT BULU GEDE BANGET!
“ANJIR! NGEHEK! BANGKE!” Gue kaget campur takut.
“Harus ngapain nih gue?! teriakkah?! siramkah?!” Gue bingung harus berbuat apa. Nggak mungkin banget jika gue ambil ulat bulu gede itu, lalu gue taruh di pundak.
Takut keburu ulat bulu tersebut jatuh dari boboko, dengan langkah seribu gue langsung buka pintu kamar mandi dan menyabet handuk. Gue panggil Nyokap yang sedang berada di luar.
“Bu! sini!” teriak gue panik.
“Ada apa?! ada apa, Dis?!” Nyokap lebih panik.
“Itu di atas boboko ada ulat bulu gede banget!” jawab gue ngos-ngosan, padahal dari kamar mandi ke teras jalan biasa, nggak lari.
“Apa?! Ulat bulu?!” tanya Nyokap semakin panik.
“Sebentar! Ibu panggil si Ayah,” kata Nyokap ngibrit mencari Bokap yang entah dimana. Paling di rumah Pak RT.
Gue dan Nyokap memang phobia ulat, terutama ulat bulu. Meskipun gue cowok macho, entah mengapa jika dihadapkan dengan perkara seperti ini nggak berkutik. Tak lama kemudian Bokap datang.
“Mana ulat bulunya?” tanya Bokap woles.
“Di atas boboko, Yah,” jawab gue.
“Wah ... iya ini mah bahaya,” ucap Bokap dari dapur.
“Gede yah?!” tanya Nyokap sedikit berteriak.
“Gede! Hati-hati bulunya!” jawab Bokap.
“Hiiyy! Ihh! Ihh! Geli Ihh!” reaksi Nyokap sedikit lebay sembari bahunya diangkatkan.
Jujur, kalau melihat reaksi Nyokap kayak gitu, gue ikut-ikutan paranoid. Tak lama setelah itu, Bokap berhasil menenteng boboko yang "dikudeta" ulat bulu gede tersebut. Bokap melintas dari dapur melewati ruang keluarga dengan membawa boboko. Gue segera buang muka, nggak berani melihat ulat bulu hitam segede jempok kaki Nyokap. Dirasa aman, gue kembali ke kamar mandi, menuntaskan apa yang belum dituntaskan: yaitu menyiram kepala penuh busa shampo. Gue perlahan melangkah ke dapur, takutnya nanti 200 ulat bulu hitam menyerbu kontrakan kami karena telah menangkap salah satu teman mereka. Gue tatap langit-langit dapur, aman. Gue tatap dinding dapur, aman. Gue tatap piring ada tempe goreng, makan. Dengan demikian, gue berhasil menjejakkan kaki di lantai kamar mandi.
Ulat bulu hitam? Ulat bulu tersebut nasibnya sungguh naas. Dia (ulat bulu) terpaksa dibakar karena cukup membahayakan. Dikhawatirkan nanti bulunya akan mengenai kulit dan menyebabkan gatal-gatal bahkan meriang. Gue cukup prihatin dengan apa yang telah menimpa ulat bulu gede tersebut. Seharusnya ada orang yang cukup berani mau memeliharanya. Tapi, siapa juga yang mau memelihara ulat bulu? Toh, memelihara diri saja tidak becus. Intinya, kejadian "menegangkan" di atas akan menjadi kenangan yang indah di masa akan datang.
10 Tahun Kemudian...
Allah Maha Besar, Allah Maha Baik, dan Allah Maha Pemberi. Kini, kami sekeluarga telah memiliki rumah. Ya, walaupun pembayarannya dicicil dan belum lunas. Tapi yang penting kan punya rumah. Rumah kami berdiri di atas bukit, tepatnya di komplek perumahan Pondok Padalarang Indah. Jadi, jika malam tiba udara di sini cukup "menusuk" tulang. Selain itu, kita bisa memandang pemandangan dari atas bukit. Akan terasa lebih indah jika dilakukan saat malam hari, karena kita akan melihat kelap-kelip atau cahaya dari lampu rumah penduduk. Cocok banget dijadikan tempat untuk PDKT (pendekatan). Kenapa? suasananya yang tenang, dingin, romantis, dan harmonis. Kita bisa mengajak doi melihat pemandangan, dinner outdoor, atau memandang langit luas penuh bintang. Benar-benar perfect.
Rumah Kami Sekeluarga *tampak bagian depan*
Rumah kami tidak besar-besar amat, tapi cukup untuk lima orang anggota keluarga. Di dalamnya, terdapat dua kamar mandi, dua kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga, dan dapur. Bukan bermaksud pamer atau sombong, gue hanya menjelaskan seadanya. Kamar tidur pertama ialah kamar untuk abang gue. Meskipun pada kenyataannya, abang gue lebih sering tinggal di rumah nenek. Jadi, kamar pertama bisa dihuni oleh siapa saja. Kamar tidur kedua ialah kamar untuk adik gue. Kamar ini lumayan ramai, dipenuhi oleh tas dan boneka-boneka. Walaupun pada kesehariannya, adik gue jarang tidur di kamar ini. Dia lebih suka tidur sama Nyokap di ruang keluarga, sekaligus bisa nonton acara dangdut. Oleh karena itu, kamar tidur kedua lebih sering "ditiduri" oleh gue.
Kamar Tidur Depan
Mengapa harus dua kamar mandi? Kenapa nggak tujuh kamar mandi agar seperti tempat pemandian umum? Haha. Bokap beralasan jika hanya satu kamar mandi, maka harus mengantri. Ibaratnya Bokap lagi mandi, sedangkan gue mau berak, kan otomatis gue harus menunggu Bokap keluar dari kamar mandi. Begitu. Jadi, Bokap nggak mau kalau harus mengantri/ menunggu. Efektif, efesien, dan ekonomis. Juga, Bokap beralasan bahwa salah satu dari kedua kamar mandi adalah kamar mandi untuk tamu. Dapur, ruang tamu, dan ruang keluarga nggak perlu dijelaskan lagi. Kalian pasti sudah paham.
Dua Kamar Mandi
Dulu sama sekali nggak ada niatan mau bangun rumah di atas bukit (PPI). Teringat ketika kami pulang kampung (mudik), kami menaiki delman menuju rumah nenek. Di tengah jalan, terdapat persimpangan. Ke kiri menuju rumah nenek, sedangkan ke kanan saat itu masih belum tahu. Setiap kali melewati persimpangan tersebut, gue selalu menoleh ke atas penasaran, “Di sana ada apa ya?” tanya gue dalam hati. Setiap mudik, gue selalu bertanya dalam hati tentang jalan menuju ke atas itu. Ditambah, waktu kecil gue nggak pernah diajak jalan-jalan menuju jalanan menanjak tersebut. Gue hanya melihat itu sekilas, seperti ada sesuatu.
Tidak disangka. Allah mengizinkan kami membangun rumah di atas bukit. Dulu gue yang selalu bertanya pada diri sendiri, “Ada apa sih di atas?” setiap kali delman melewati persimpangan. Sekarang, alhamdulillah, di atas ternyata ada rumah kami. Bukan kontrakan, indekos, atau semacamnya, tapi rumah. Seperti mimpi, benar-benar di luar dugaan. Awalnya dulu kami masih ngontrak, serba becek, kontrakannya angker, kamar mandinya jember. Kemudian kami pindah kontrakan. Kontrakan kedua mendingan daripada kontrakan pertama. Setiap bulan harus menyetor ke Bang Udin, jika pompa air dinyalakan maka bermain playstation mesti dimatikan sebentar, rebutan acara televisi, dan tek-tek bengek lainnya. Kini? kesabaran tersebut dibayar dengan sebuah rumah di atas bukit. Kami tidak harus lagi menyetor. Kami hanya perlu bersyukur pada-Nya.
Ruang Tamu *nggak mesti lesehan lagi*
Gue sadar, dibalik itu semua adalah hasil dari jerih payah Bokap dan Nyokap. Gue benar-benar bangga sama mereka. Meskipun gue masih suka melawan sih. Terutama Bokap, kerja kerasnya menjadi guru di Jakarta tidak sia-sia. Cita-cita dia juga ingin mempunyai rumah di atas bukit. God bless him. Bokap yang dulu kering kerontang (kurus) laksana orang-orangan sawah, sekarang alhamdulillah gemuk berisi percis Raul Lemos.
Gue ingat, Bokap pernah nyeletuk ke Nyokap saat di rumah nenek, “Enak mereun mun punya rumah di dieu (Enak kali kalau punya rumah di sini).” Namun, itu hanya sebatas celetukan. Celetukan yang didengar oleh-Nya. Nyokap hanya mengaminkan. Gue? gue sedang asyik makan nasi padang. Tak lama setelah itu, Bokap membuat sketsa rumah. Saking ngebetnya ingin mempunyai rumah, Bokap menyuruh mahasiswa jurusan arsitektur untuk membuatkannya sketsa. Soal biaya? itu urusan-Nya, biar Dia yang ngatur. Kemudian, BonYok mendapat brosur perumahan "Pondok Padalarang Indah" atau biasa disebut PPI. Setelah dipertimbangkan secara matang, maka fix di situlah basecamp kami. Simpulannya, hidup nggak akan selamanya di bawah. Jua, hidup nggak akan selamanya di atas.
Ruang Keluarga *jika malam tiba ruangan ini berubah menjadi konser dangdut*
Rencananya, rumah kami akan ditingkatkan sampai tingkat 70. Supaya bisa menembus awan serta melanglang buana menuju angkasa. Nggak, bercanda. BoNyok ingin rumah kami ditingkatkan supaya bila ada teman gue atau teman adik-abang bermain kemari, mereka bisa lebih leluasa di lantai dua. Namun, hal ini masih sekedar wacana. Semoga wacana yang didengar oleh-Nya. Aamiin. Rencananya, di lantai dua bakalan ada dua kamar tidur, buat gue dan abang. Meskipun sudah punya rumah, gue masih belum punya kamar tetap. Jadi, gue di rumah bisa disebut sebagai manusia nomaden. Manusia yang selalu berpindah-pindah tempat ketika ingin tidur. Kadang di kamar mandi, kadang di dapur, kadang di teras, bahkan kadang di genting. Nggak tetap.
Kamar Tidur Kedua
Mendengar pernyataan positif seperti itu gue sangat mendukung dan berharap segera direalisasikan oleh-Nya. Apalagi, jika rumah berlantai dua, maka kemungkinan akan terlihat pemandangan syahdu Kabupaten Bandung Barat. Juga, sambil menyeruput secangkir kopi hangat di sore hari ditemani belaian angin. Terlebih jika hari perayaan Idul Fitri atau menyambut tahun baru, kembang api akan terlihat dengan jelas. Membayangkannya pun gue sudah mesem-mesem sendiri. Namun, kami masih belum ada biaya untuk mewujudkannya. Diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk membangun lantai dua. Dengan demikian, gue meminta doa kalian wahai readers supaya rumah kami kuat, kokoh, tentram, sejahtera, penuh rahmat, penuh berkah, bermanfaat, dan agar dapat segera memiliki biaya untuk meningkatkannya.
6.      10 Tahun Lalu...
Kami masih menetap di Jakarta, kota metropolitan, sekaligus Las Vegasnya Indonesia. Soalnya, seakan-akan kota Jakarta nggak pernah tidur. Ramai terus, terang terus, dan nggak pernah sepi. Untungnya kami tinggal bukan di tengah kota, tapi agak di pinggiran kota Jakarta. Jadi, kehidupan kami masih dalam batas kewajaran. Kalian pasti sudah tahu dong selama kami di Jakarta tinggal di mana? Yap betul sekali, di kastil. Jelas-jelas ngontrak, baca lagi dong!
Jakarta Kota Metropolitan. Sumber: solusiproperti.com
Pendapat gue, suhu udara di Jakarta luar biasa gersang. Siang hari atau malam hari tidak jauh berbeda, kecuali menjelang subuh. Bagi kalian yang ingin bermigrasi ke Jakarta, diharapkan untuk membeli kipas angin terlebih dahulu, minimal kipas sate. Kalau perlu bawa kipas angin dari kampung halaman. Hal ini sangat penting untuk mencegah dehidrasi, letih berlebihan, bau badan, dan uring-uringan disebabkan udara di sana begitu ekstrim. Selain kipas angin,selalu sedia air mineral untuk menjaga kebugaran tubuh agar selalu fit. Air mineral bisa dibeli di stasiun, terminal, bandara, dan warung terdekat. Jika dirasa masih kurang, maka dianjurkan untuk membawa galon supaya tidak pingsan di tengah jalan. Sekali lagi, suhu udara di sana lumayan "kejam" bagi setiap pendatang baru.
Ilustrasi suhu di Jakarta. Sumber: irma-perkembangananak.blogspot.com
Namun, jika sudah terbiasa berdiam di sana, hal itu bukan masalah. Bisa karena biasa. Maksudnya biasa menahan lapar, biasa menahan haus, dan biasa menahan emosi. Contohnya gue yang sudah malang melintang hidup di Jakarta selama hampir 13 tahun lamanya: Sehabis pulang sekolah dimana saat terik matahari sedang menyengat ubun-ubun, gue nggak tidur tapi ... langsung tepar. Ketika orang lain berbuka puasa dengan satu gelas teh manis karena saking hausnya, gue ... minum tiga gelas teh manis. Saat teman-teman SD ngos-ngosan karena disuruh lari keliling lapangan di siang bolong, gue cuma ... muntah-muntah. Itu semua membuktikan bahwa gue bisa beradaptasi dengan "baik" di Jakarta.
Selama kami merantau di Jakarta, alhamdulillah tetangga selalu care. Bahkan, tetangga di sana sudah kami anggap sebagai saudara sendiri. Meskipun awalnya kami masih canggung dalam bergaul dengan mereka. Tapi lama-kelamaan, rasa canggung berubah menjadi nggak tanggung-tanggung. Kami, khususnya gue tinggal dan dibesarkan di lingkungan etnis Betawi. Maka tidak heran, gue lebih suka berbicara dengan sebutan “gue” dan “elu” ketimbang aku-kamu, urang-maneh, aing-sia, ane-ente, dan semacamnya. Tetangga di sana bukan hanya dari suku Betawi saja, melainkan dari berbagai suku. Seperti dari Sumatera, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Semuanya berkumpul membentuk kesatuan sehingga menciptakan rasa toleransi, tenggang rasa, dan saling menghormati satu sama lain.
Semakin akrabnya hubungan kami dengan tetangga, maka kita mulai rutin mengadakan acara buka puasa bersama. Acara tersebut biasa diselenggarakan di pos ronda. Yang mempeloporinya tentu saja Bokap. Nyokap membantu memasak bersama emak-emak lain. Sedangkan gue membantu menghabiskan tempe goreng dan sambal terasi. Kenapa? masalah? yang penting kan ngebantuin. Buka puasa bersama selalu ramai dan meriah, walaupun lauk-pauk sekala-kadarnya. Kita menilai serta menghargai dari rasa solidaritas, kebersamaan, dan kehangatan, bukan dari lauk-pauk. Setelah bukber selesai, biasanya bapak-bapak dan ibu-ibu mengobrol sejenak sambil "ngemil" sisa makanan. Dirasa perut mulai "begah", barulah mereka kembali ke rumah masing-masing.
Suasana di Jakarta memang "nggak ada matinya". Siang atau malam di sana selalu "ribut" oleh ocehan warganya yang mayoritas Betawi asli. Terutama, di sana terdapat pos ronda yang selalu mempertemukan dan menyambungkan tali silaturahim antara warga dengan warga lainnya. Semenjak kami pindah ke Bandung, pos ronda tersebut kini sudah dipasangi televisi, papan untuk agenda, kentungan, dan tikar untuk berleha-leha bagi siapa saja. Biasanya, saat sore pos ronda ditongkrongi oleh emak-emak beserta anak dan cucunya. Mereka bercengkrama, ngerumpi, ngegossip, mengasuh cucu, memotong sayuran, mengupas kentang, membuat rujak, dan mencabut uban. Ba’da maghrib, anak-anak disuruh pulang ke rumah masing-masing. “Ayo ayo dah maghrib, dah maghrib. Mandi sore sana,” kata Mbak Mar tetangga terdekat kami.
Barulah menjelang pukul sembilan malam, Bapak-bapak mulai menguasai pos ronda. “Bapaknya ada Mas?” tanya Om Sersan menyamper Bokap untuk berkumpul di pos. Mereka mengobrol, merokok, nobar, berbekam, dikerok, main kartu, main karambol, dan sebagainya. Syukur-syukur jika ada maling atau orang ingin berbuat jahat, bisa menciutkan niatan busuk mereka. Di sana, mungkin suasana baru tenang (sepi) setelah jam satu dini hari. Apalagi jika bulan puasa tiba, pos ronda amat ramai dengan ikutnya para remaja. Mereka ikut ronda dengan cara main kartu remi/ gaple, main karambol, dan nonton bareng siaran sepakbola untuk mengisi waktu luang. Waktu sahur tiba, mereka pergi keliling dunia, eh keliling rumah penduduk untuk membangunkan orang bahwa sahur harus segera dilaksanakan. I’ll miss it, forever.
10 Tahun Kemudian...
Kami sudah beruralisasi (berpindah dari kota ke desa) sekaligus bertempat tinggal di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Gue sebenarnya kurang paham dengan sebutan “Kabupaten Bandung Barat”. Karena pada kenyataannya: Padalarang lebih dekat ke Cimahi, sedangkan Cimahi lebih dekat ke Bandung. Seharusnya Cimahi termasuk Kabupaten Bandung Barat atau Kabupaten Bandung, tetapi faktanya Cimahi adalah Kota Cimahi. Sudahlah, tidak seharusnya jua mempermasalahkan tentang silsilah daerah. Toh, memprotesnya pun gue nggak bakal dikasih duit.
Logo Kabupaten Bandung Barat. Sumber: www.bandungbaratkab.go.id
Bandung identik dengan udaranya yang sejuk, dingin, dan adem. Tapi kalau siang hari tidak berbeda jauh dengan Jakarta, hareudang. Yang gue rasakan perbedaan udara panas di Jakarta dan udara panas di Bandung ialah; Di Jakarta matahari nggak terik-terik amat, tapi cukup untuk menghasilkan seember keringat. Di Bandung mataharinya cukup terik tapi nggak selalu bikin gerah, namun kulit berubah menjadi agak gelap. Sewaktu kecil saat pulang liburan dari Bandung, reaksi tetangga ketika melihat gue ialah, “Ih, Mas Faris agak iteman,” dan “Mas Faris di sana ngayeng (keluar rumah) mulu ya?” Untungnya tetangga nggak pernah bilang, “Mas Faris kok jadi bulukan, di sana sering main comberan ya?”
Kami kini bertempat tinggal di lingkungan komplek (perumahan). Menurut gue, suasana di perumahan penuh dengan kejaiman, apatis, dan acuh tak acuh. Sepertinya masing-masing keluarga di komplek perumahan lebih enak untuk "bermeditasi" di dalam rumah mereka ketimbang harus bertemu dengan manusia sekitar (tetangga). Di sini, saat siang hari begitu sepi laksana perpustakaan. Hanya ada suara gemericik air, dedaunan bergoyang, dan hembusan angin. Terkadang gue merasa menetap di sini seperti menetap di dunia kebisuan. Anak-anak lebih sering mendominasi dalam hal bersosialisasi daripada orang dewasa yang keluar rumah hanya untuk memanaskan motor, menyiram tanaman, menjemur pakaian, mencabut bulu ketiak, membersihkan udel, atau bahkan hanya untuk menyapa mentari “hai”, lalu masuk lagi ke rumah.
Gue berpendapat bahwa warga komplek perumahan seperti vampire karena saking jarangnya mereka terpapar sinar matahari. Seandainya jika ada orang yang melewati komplek lalu tiba-tiba tergeletak jatuh ke tanah pun sepertinya akan dibiarkan begitu saja meski orang tersebut berteriak, “Tolooong! Tolooong!” Hanya kerikil kecil berserakan terkena sapuan angin yang akan menjawab lolongan tersebut. Sementara orang yang berada di dalam rumah berkata, “Biarin aja, bukan urusan gue,” atau “Biarin aja, tunggu Pak RT datang.”
Jika malam datang, suasana lebih sunyi daripada siang hari. Hanya terdengar suara jam dinding yang terus berdetak. Kadang, terdengar suara dari tukang sate, tukang bakpau, tukang tahu bulat, dan petugas siskamling yang sedang bertugas. Suasana sepi, sunyi, hening, dan dingin di malam hari amat cocok untuk bergumul ria (berhubungan suami-istri). Sayangnya, gue belum beristri. Intinya, bagi orang yang ingin mencari ketenangan, kekhusyuan, jauh dari keramaian, dan istirahat cukup, maka di sinilah tempatnya. Let’s say alhamdulillah.
7.      Penutup
Waktu cepat berlalu, sudah dua minggu gue mengerjakan artikel ini sejak hari senin jam 2 siang. Seharusnya artikel ini bisa selesai kurang dari dua minggu. Namun, karena gue harus ngampus, suasana hati yang buruk, dan adanya aktivitas lain menyebabkan artikel ini harus diundur beberapa hari. Gue memang tidak seperti blogger lain yang sering nge-post tulisan setiap hari. Meskipun jarang, Insya Allah gue akan selalu menghasilkan karya terbaik untuk kalian, para readers. Tidak diragukan lagi, untuk menghasilkan tulisan yang bagus dan enak dibaca harus didukung dengan suasana, situasi, dan kondisi yang baik pula. Sebab itulah gue lebih memilih jarang nge-post tapi menghasilkan tulisan/ karya terbaik, daripada sering nge-post tapi menghasilkan tulisan/ karya yang apa adanya, asal-asalan, dan hampa.
Menilik kembali dari beberapa kisah di atas bahwa: Gue berpikir nggak akan bisa naik sepeda selamanya, menjadi bisa. Gue bertubuh super gendut, kini telah menyusut. Gue dulu sering mendapatkan salam dari teman cewek di sekolah, kini kenyataan itu menjadi nihil. Gue awam tentang komputer, sekarang itu bukan hal yang tabu. Gue beserta keluarga ngontrak di Jakarta, alhamdulillah sekarang telah punya rumah. Terakhir, gue pernah merasakan cuaca di Jakarta dan hari ini merasakan cuaca di Bandung.
Intinya, kehidupan adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Sulit ditebak, selalu berubah-ubah, dan penuh kejutan. Masa lalu jangan dilupakan, tapi jadikan ia pembelajaran di masa kini. Masa depan tidak perlu dihindari dan ditakuti, tapi jalani serta hadapi dengan semangat tinggi. Bagus ya kata-katanya? But sorry, i am not motivator, just a dreamer. Kita nggak akan pernah tahu bakal seperti apa 10 tahun kemudian. Jangankan 10 tahun ke depan, besok pun masih menjadi misteri. Full of surprises honey.
So, untuk kalian yang sedang putus asa, patah semangat, stres, depresi, sakit hati, bahkan secara kasarnya ingin bunuh diri, pikirkan bahwa kalian begitu berharga. Mengapa? karena nggak akan selamanya hal buruk menimpa kalian terus-menerus. Hujan pasti ada redanya. Api pasti ada padamnya. Air laut pasti ada surutnya. Demikian juga dengan kalian yang sedang bahagia, ceria, diberi kesenangan, diberi kelapangan, diberi jabatan, diberi kekayaan, diberi keturunan, diberi kepintaran, dan hal-hal menyenangkan lainnya, pikirkan jua bahwa itu semua tidak kekal "bertengger" di kehidupan kalian.
Kenyataan di atas bukan hal aneh, karena Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 140 berbunyi: “... Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim.” Berdasarkan ayat tersebut terkandung maksud: “Bahwa semua orang di dunia ini pasti akan diberi ujian atau cobaan berupa kemelaratan dan kesenangan.”
Demikian kisah kehidupan gue 10 tahun lalu. Kisah yang membuat gue jauh lebih kuat, kisah yang membuat gue lebih baik, kisah yang membuat gue tersenyum, kisah yang membuat gue takjub, kisah yang membuat gue berkaca-kaca, dan kisah yang akan diceritakan kepada istri, anak, dan cucu kelak. Jadi, berdasarkan beberapa kisah kehidupan gue di atas dapat ditarik kesimpulan yakni, “We will never know what would be happened in ours future. We just do it, still calm, don’t forget to be relax, and enjoy ours life.”

Komentar