Mengenang Kalian Teman-teman M2M Part 2



Artikel ini adalah lanjutan dari artikel sebelumnya, yaitu: Mengenang kalian teman-teman M2M Part 1. Masih membahas teman-teman semasa SMK dulu, dimana mereka semua pada seru, kocak, unik, dan nggak ada bandingannya. Jadi, tunggu apa lagi. Mari kita lihat sohib-sohib gue di bawah ini. Let’s go …

16.  Faiz Biazmi Firdaus
Tulisan “MTs 7 Model” terpampang jelas di belakang baju olahraga warna biru dari seorang calon murid berkulit putih agak kemerah-merahan cenderung albino. Berambut keriting 2 sentimeter, hidung mancung, mata bulat, serta badan kurus kering.
Gue mempersepsikan sama dengan apa yang gue persepsikan terhadap Dhika Kamesywara (bule gadungan dari Solo), bahwa Faiz adalah seorang bule dari Belanda atau anak dari hasil persilangan Betawi campur Iraq.
Untuk yang kedua kalinya, gue berdecak kagum kepada SMK PKP 1 karena sudah mendatangkan pelajar dari luar negeri. Satu dari Australia (Dhika), satu lagi dari Belanda (Faiz). Apalagi ditambah dengan kata ”model” yang tertera di baju olahraga yang dia pakai, maka semakin meyakinkan bahwa Faiz bukanlah orang sembarangan. Selain Faiz, ada Mohammad Abyanara Fatah (lihat nomor 23), Ariq Habibi (Multimedia 1), dan Novita Prabandary (Administrasi Perkantoran) yang juga mengenakan baju olahraga yang sama.
Faiz si Bule Terminal Kampung Rambutan
Beberapa minggu setelah kami sekelas, terungkaplah bahwa ia bukan bule apalagi keturunan Iraq, jauh. Faiz hanyalah seorang warga Indonesia biasa yang telah lama terkena paparan radiasi dari sinar ultraviolet yang menyebabkan warna kulitnya berubah menjadi putih pucat tanpa noda. Fakta lain yang tidak kalah mencengangkan ialah Faiz bertempat tinggal di Kampung Rambutan. Mendengar Kampung Rambutan, otak gue langsung tertuju pada terminal bus, atau lebih tepatnya gue membayangkan bahwa Faiz adalah: bule gadungan yang selalu mangkal di terminal.
Sejak kelas 1 SMK sampai kelulusan, Faiz sebangku bersama Mohammad Abyanara Fatah (Aby). Mungkin, mereka selalu sebangku karena sudah tidak ada lagi kecanggungan di antara keduanya, dan juga merupakan jebolan MTs yang sama.
Faiz tergabung bersama kelompok bela diri Taekwondo Junos Club. Gue kurang tahu Faiz menyandang sabuk warna apa, jika tidak salah dia menyandang sabuk warna merah. Ia kerapkali mengikuti beberapa turnamen cabang olahraga Taekwondo tingkat kotamadya. Salah satu aksen unik darinya adalah ketika tertawa maka ia akan mangap dibarengi memerahnya pigmen di sekitar wajahnya.
Hal itu membuat Faiz sering dicemooh dengan sebutan “pantat monyet” oleh teman-teman. Karena pada kenyataannya, rerata pantat monyet berwarna kemerahan. Dulu (atau bahkan hingga kini), Faiz punya pacar bernama Fitriyani Nurmalasari (adik kelas) yang kalau berjalan seperti seekor penguin antartika.
Gue baru ngeh, ternyata Fitriyani adalah teman di pengajian sekaligus adik kelas sewaktu SMP. Dunia begitu sempit. Faiz beruntung bisa mendapatkannya, karena menurut gue dia mirip penyanyi jebolan X-Factor, Fatin Shidqia Lubis.
Terkadang, Faiz suka mengejek bekas SMP gue dan Fitriyani, yakni SMPN 237.
“Apaan SMP 237? Emang terkenal? Sekolah di kampung gitu,” sungut Faiz ke Fitriyani.
“Yeee … tuh Kakak itu aja dari 237 … hebat ya, Kak,” timpal Fitriyani sambil meminta dukungan ke gue.
“Iya, Iz … 237-lah jelas,” balas gue, sok asik.
Dari sekian banyak gue menebeng/ diboncengi pulang bersama teman-teman, Faiz merupakan yang ternyaman dalam hal mengendarai motor. Waktu itu, gue diboncengnya menggunakan motor Vario Techno warna hijau. Kebetulan, Faiz mau ke rumah Fitriyani yang terletak di gang SMAN 64. Jadi, pulangnya searah.
Jika ingin ke rumah Fitriyani, ia berinisiatif mengajak gue tanpa pamrih. Faiz memang teman baik.
“Jat, bareng gak?” tanya Faiz.
“Emang lu mau ke 64?” tanya gue.
“Iya, mau ke rumah cewek gue,” jawab Faiz.
“Ayo, Iz!” Seru gue.
Sesuai dengan prinsip gue terdahulu, bahwa rezeki tidak baik untuk ditolak, maka gue dengan sigap mengiyakan tawaran “gratis” tersebut. Setelah duduk dengan nyaman, maka motor dihidupkan, lalu kami pulang dengan parlente. Di perjalanan, gue merasakan sensasi berkendara yang begitu dinamis dan inovatif. Hal itu mungkin karena faktor motornya atau karena faktor pengendaranya (Faiz), atau bahkan karena ada gue yang senantiasa dinaungi oleh malaikat kemanapun gue beranjak? Dramatisir.
Pastinya, kecepatan motor dibarengi liukan begitu bersatu-padu menyalip beberapa kendaraan. Tidak terasa, setelah itu maka gue dibuang (diturunkan) di gang 64. Tidak lupa, gue selalu mengucapkan “terima kasih” kepada siapapun yang mau memboncengi gue. Maka hari itu, gue tidak mengeluarkan ongkos sepeser pun.
Sebelum beralih ke Vario Techno, ia mempunyai motor Ninja RR warna hijau. Mitos kuno yang sudah lama beredar mengatakan, “Apabila cowok membawa Ninja, maka cewek-cewek akan segera melirik kepadanya.” Mitos kampret macam apa ini. Tapi, mitos tersebut bukanlah isapan jempol belaka, terbukti ketika Faiz membawa Ninja RR bersuara “breng breng breng” segelintir cewek di sekitar sekolah langsung melihatnya dengan tatapan: “Hai ganteng, bawa aku bersamamu dong.” Mereka (cewek-cewek) refleks menoleh bukan karena Faiz keren, tapi karena suara knalpotnya berisik, jadi nengok. Begitu.
Ia selalu memamerkan jaket hijau bertuliskan “Kawasaki” di bagian punggung setiap berangkat maupun pulang sekolah, yang menandakan bahwa dia pengendara “Ninja”. Di parkiran sekolah, Ninja RR milik Faiz terlihat begitu kontras dengan motor “usang” lain. Gue sudah bisa menduga, bahwa kala itu harga diri Faiz meningkat 160°. Gue berimajinasi, Faiz berubah menjadi seorang raja yang disegani, seperti Xerxes (raja lalim pada periode kekaisaran Persia). Setiap kali ia datang ke sekolah menunggangi Ninja RR, maka seluruh murid diharuskan membungkuk kepadanya. Bisa dibayangkan? Bisa, namun mustahil. Mungkin, karena hal “itulah” Fitriyani bersedia menjadi pacarnya. Wallahuallam.
Namun, momen indah tersebut tidak berlangsung lama. Faiz sudah tidak mengendarai Ninja RR yang mengeluarkan suara rombeng itu lagi. Hal ini mengundang pertanyaan dari siswa-siswi lain. Gue pernah mendengar kabar bahwa Ninja RR tersebut sudah dijualnya. Namun, pernyataan bertolok belakang datang dari teman sebangkunya, Aby. Aby berkata pada gue bahwa motor Ninja RR miliknya raib digondol pencuri. Gue mengernyitkan alis, percaya nggak percaya.
Sangat disayangkan sekali, motor Ninja RR warna hijau, masih baru, masih mulus, dan tanpa lecet (walaupun suara knalpotnya memekakkan telinga) telah raib tanpa jejak. Jika gue jadi Faiz, maka gue akan bengong selama 7 hari 7 malam diiringi lagu dari band D’Masiv yang berlantunkan: “Apa salahkuuu ….” Sejak kejadian naas itu, Faiz mengganti motornya dengan motor matic Vario Techno warna … hijau.
Ada satu kejadian yang nggak akan pernah gue lupakan sekaligus mengenaskan ketika latihan berkelahi untuk pertunjukan teater kelas M2M. Jadi begini, kami para pejantan M2M berencana untuk membuat gladiresik di sekolah. Latihan berkelahi sangat diperlukan supaya nanti ketika tampil, masing-masing pemeran sudah paham betul apa yang harus dilakukan. Kami latihan sungguh-sungguh, latihan diulangi beberapa kali. Rasa capek hilang, larut dengan gelak canda tawa. Jatuh bangun terus dipraktikkan oleh kami demi sebuah penampilan epik. Kemudian, tibalah dimana adegan gue dan Faiz berkelahi.
Kami berhadapan satu sama lain, percis seperti tayangan gulat Smack Down dan RAW. Gue tatap mata Faiz tajam, laksana singa menatap domba arab. Satu detik kemudian, Faiz berlari kencang ke arah gue, lalu mengayunkan kepalan tangannya secepat kilat, dan … kena pelipis gue. “ANJENG!” Gue refleks teriak ketika ujung kepalan tangannya mengenai daerah alis. Seketika gue ambruk sambil memegang pelipis, dan gue tercengang ketika darah segar mengalir. Sontak teman-teman teriak, “Ijat kenapa, Ijat kenapa?!” Dengan sigap mereka berlarian ke arah gue yang sedang tergeletak di tengah lapangan TK. Konyol.
Setelah itu, gue dibopong ke pinggir lapangan, lebih tepatnya gue diangkut ke saung. Macam kangkung di pasar yang diangkut dari mobil bak. Teman-teman beranggapan bahwa darah yang mengalir berasal dari jerawat, padahal bukan. Meskipun, memang ada jerawat yang tumbuh di daerah pelipis, tapi bukan, itu murni dari pelipis gue yang robek gara-gara bogem mentahnya. Kamvret.
Hal yang membuat gue terharu adalah pasca kejadian “pemukulan tanpa disengaja” itu, teman-teman langsung mengerubungi gue di saung, sembari memberikan kata-kata semangat dan motivasi. Tidak terkecuali “sang tersangka” langsung meminta maaf. Gue maafkan, Iz.
Keesokan harinya, Faiz berbaik hati mengajak gue pergi bareng ke sekolah untuk latihan fighting. Mungkin, dia ingin “membayar” insiden kemarin. Sesampainya di sekolah, beberapa teman cewek berseloroh, “Cieee, udah baikan.” Kalimat tersebut terdengar seperti sepasang kekasih yang habis berantem hebat. Geli. Lebih geli lagi kalau, “Cieee, udah balikan.” Macam maho baru putus, lalu esoknya sudah balikan lagi. Geli banget.
***
Lamunan gue terganggu oleh suara handphone. Blup. Gue cek, ada sms (Short Message Service) masuk dari Faiz berbunyi, “Jat, bareng sama gue gak?” Tanpa pikir panjang, gue balas, “Bareng, Iz.” Tak lama kemudian, ada balasan dari Faiz, “Oke, nanti gue tunggu di depan gang.” Gue balas, “Yoi, bentar gue mandi dulu, Iz.” Tak ingin Faiz menunggu, gue segera menuju kamar mandi untuk mandi pagi.
Ya, waktu itu kami ingin kerja kelompok di restoran cepat saji McDonald’s (MCD) yang beralamat di Jl. Jambore Nomor 1, atau lebih tepatnya di dekat pintu masuk Bumi Perkemahan Graha Wisata Cibubur (BUPERTA). Gue masih ingat, kerja kelompok yang dimaksud adalah tugas seminar dari Bu Sundel (guru bahasa Indonesia). Selain gue dan Faiz, ada beberapa teman lain yang juga sekelompok, yakni; duo D (Dwi-Diana), si jambul (Fadel), murid penyuka toket (Bagus), bocah ingusan (Clazara), dan imigran gelap (Dhika).
Selagi berkemas, handphone gue kembali berbunyi. Blup. Ada sms masuk. Gue buka kotak masuk, berisikan, “Jat, gue udah di depan.” Pesan tersebut dari Faiz, dia sudah menunggu di depan gang. “Oke, tunggu bentar,” balas gue. Dirasa sudah agak ganteng, gue pamit ke nyokap, lalu bergegas menghampiri Faiz. Setiba di depan gang, gue celingukan karena nggak ada yang hijau-hijau (motor Faiz kan selalu hijau).
Setelah menengok ke samping kanan lebih dalam, ternyata Faiz menunggu di samping warung tenda biru. Pantas dia saja tidak kelihatan.
“Iz!” sapa gue dengan senyum Pepsodent.
“Jat!” sapa Faiz.
Lalu kami berpelukan.
Nggak lah!
“Udah lama, lu? Sorry ya, gue lama,” kata gue.
Jika dipikir-pikir, kalimat di atas kayak cewek yang akan berangkat kerja, dan disamper oleh cowoknya, seperti, “Kamu udah lama nunggu? Maaf ya, aku lama.”
“Ah, nggak Jat. Yok, Jat,” ajak Faiz.
“Oke.”
Motor dinyalakan, maka kami ngabiur menerjang udara segar.
Sepanjang perjalanan, sinar mentari hangat membelai poni gue yang bergoyang terkena sapuan angin. Gelombang langit kebiruan bermunculan di balik hadirnya awan tipis. Rembulan malu menampakkan wujudnya seiring tampaknya cahaya dari ufuk timur. Pesawat udara menembus angkasa di atas sana, menandakan aktivitas umat manusia amatlah sibuk. Gue mengepalkan tangan, udara segar itu berubah menjadi dingin. Gue tarik retsluiting jaket ke atas, supaya dinginnya tidak terlalu terasa. Gue lihat Faiz lewat kaca spion, jaketnya bergetar hebat terkena tusukan angin. Untungnya, kupluk yang dikenakannya tidak lepas melayang.
Maka, di pagi yang gemilang itu, gue berharap bisa merasakannya kembali. Semoga …
Di tengah perjalanan, tiba-tiba Faiz membelokkan motornya menuju Jambore. Gue heran, padahal tujuan utama ialah ke MCD dekat Jambore, bukan ke Jamborenya. Boleh jadi, Faiz ada keperluan penting, maka gue tidak menanyakan mengenai keputusannya yang mendadak itu.
Kini, motor hijaunya menyusuri jalanan yang penuh dengan dedaunan kering berserakan. Gue menengadah, sinar matahari redup tertutupi oleh lebatnya pepohonan. Pada samping kiri jalan tersebut adalah hutan, di samping kanan jua. Gue mulai curiga, jangan-jangan gue mau diserahkannya ke sindikat perdagangan manusia antarnegara.
Setelah diikuti lebih lanjut, ujung jalan tersebut ramai oleh para murid baru SMK PKP 1. Ternyata, calon murid baru (adik kelas), baru saja menggelar acara Latihan Dasar Kepemimipnan Siswa (LDKS). Tentu saja, mereka didampingi oleh para guru dan juga kakak kelas. Ketika gue perhatikan, para murid baru tersebut sedang melepaskan atribut “berlebihan” yang melekat di badan mereka. Atribut mereka bermacam-macam, ada yang berwarna hijau, biru, kuning, merah, ungu, dan lain-lain.
Sama percis dengan apa yang kami lakukan ketika MOS dulu. Gue melihat di kumpulan sana, terdapat calon murid baru laki-laki agak kemayu bernama Ademsari. Sekilas, badannya mirip Busuzima (karakter di game Bloody Roar) terkena polio, yakni lemah tak bertulang. Tak disangka, tepat di belakang Ademsari ada murid kemenakannya Bu Sundel, yakni Abyanara (Aby).
Faiz dan gue turun dari motor. Faiz melihat ke sekitar, sepertinya dia tidak ingin diketahui oleh orang banyak mengenai keberadaannya di tempat senyap tersebut.
“Jat, bentar ya gue ke Aby dulu,” katanya.
“Ho’oh.”
Faiz lantas menghampiri Aby yang sedang sibuk menata barisan murid baru. Mereka terlihat sedang merundingkan sesuatu, prasangka gue mulai nggak enak.
Tidak lama kemudian, Faiz dan Aby menghampiri gue yang masih berdiri di hutan itu.
Faiz memulai pembicaraan, “By, gue mau jemput Fitri, Ijat sama lu ya?”
“Tuh kan bener, gue mau dititipin lagi kayak opium,” gumam gue dalam hati.
“Trus, lu ke sini lagi nggak?” Aby bertanya pada Faiz.
“Kagak By, gue langsung ke sana,” katanya. “Ya elah, lu mau pulang kan habis ini, searah ini By.”
“Yeeeh …, elu Iz,” Aby terlihat kesal. Dikarenakan malah dia yang mendapat titipan yang tidak diharapkan (gue).
Gue mengira, Faiz bakal ngomong kayak gini, “Ya elah, lu mau pulang kan habis ini, searah ini By. Kalau lu keberatan, Ijat mah buang aja di tengah jalan.”
Dengan begitu, maka Faiz berpamitan untuk menjemput ceweknya yang berada di Antartika.
“Jat, lu nggak apa-apa ya, sama Aby?” tanyanya. “Gue mau ngejemput cewek gue dulu.”
“I–iya Iz, gak papa,” jawab gue. Padahal dalam hati lain lagi, “NGEHEK LO, IZ!”
“Gue berangkat ya …,” ucap Faiz sambil menghidupkan motornya.
Sesaat dia ngomong begitu, gue berumpat dalam hati, “PERGI LO JAUH-JAUH!”
Faiz pergi menyisakan bau bensin premium (bensin khusus kaum duafa) disertai hembusan dari knalpot motornya. Kemudian, Aby mengajak gue untuk melihat-lihat tempat penginapan calon murid baru.
“Ayo, Ris,” ajaknya.
Untungnya, ada Aby teman yang maha baik yang senantiasa mau menolong gue.
Gue dan Aby berjalan menuju sebuah tempat seperti vila. Di vila itulah para calon murid baru dicuci otaknya (dilatih). Gue melihat ke dalam ruangan vila tersebut, di selasar utama terdapat banyak kursi dan bungkus snack yang berantakan. Sepertinya, ulah tersebut adalah perbuatan para murid baru.
Gue masuk ke dalam selasar, lalu memeriksa barangkali ada snack yang masih utuh. Sesaat kemudian, ternyata ada satu bungkus snack yang masih mulus. Setelah gue buka, isinya masih lengkap, yakni lontong, lemper, dan risol. Makanan tersebut adalah makanan favorit gue ketika nggak ada nasi dan lauk-pauk. Mumpung nggak ada yang melihat, gue telan ketiga makanan tersebut. Alhasil, gue nggak terlalu lapar.
Setelah menyantap makanan “hasil mulung”, gue kembali melanjutkan untuk melihat-lihat ruangan vila. Tepat di samping selasar utama, terdapat ruangan cukup lega. Ruangan itu adalah ruangan dimana para murid baru dibius (tidur). Lalu, di samping ruangan tersebut adalah tempat basah-basahan (mandi). Ada dua kamar mandi, satu untuk jalu (laki-laki) dan satu lagi untuk bikang (perempuan).
Gue bisa menebak, bahwa murid baru agak kemayu yang bernama Ademsari akan mandi di antara kedua kamar mandi tersebut. Sampoannya di kamar mandi bikang, sementara sabunannya di kamar mandi jalu. Selagi gue memandang beberapa ruangan, Aby sibuk membereskan kardus, plastik, kertas karton, dan sebagainya.
Ketika gue sedang asyik memandangi vila, Aby memberikan beberapa bungkus chiki buat gue.
“Nih, Ris, ambil aja,” katanya sambil memberikan chiki Lays.
Gue kaget, punya siapa chiki tersebut, “Hm? Punya siapa, By?”
Aby menjawab, “Snack dari calon murid, Ris.”
“Oh …, enak ya kalau jadi kakak pembina, dapet snack gratis, hehe,” ujar gue, terkekeh.
Aby nggak jawab, masih sibuk merapikan vila tersebut.
Setelah kondisi vila lumayan rapi, Aby memutuskan untuk pulang.
“Dah, rapi Ris,” katanya, napasnya memburu. “Ayo, naik.”
Gue pun seperti biasa, diboncengnya, bukan memboncengnya.
“Lu mau kerja kelompok ya, Ris?” tanya Aby di atas motornya yang sedang melaju kencang.
Gue jawab, “Iya, By.”
“Tugas Bu Sundel itu, ya? Seminar?” tanyanya lagi.
“Iya, By. Tugas Bu Sundel,” jawab gue.
Bagi kalian para pembaca yang belum tahu inisial tersebut jangan salah paham dahulu. Sundel adalah nama seorang guru yang disamarkan. Jadi, sundel di sini bukan hantu sundel bolong.
Lima menit kemudian, gue dibuang (diturunkan) di depan MCD dekat pintu masuk Jambore.
“Nyampe sini aja ya, Ris,” pinta Aby.
“Iya, By. Makasih ya …,” ucap gue sambil menepuk pundaknya.
Aby menuju rumahnya, sementara gue berdiri seorang diri sambil menutup mata disebabkan silau dari pancaran matahari yang mulai meninggi.
Gue ambil saputangan di dalam tas, untuk menyeka keringat yang bercucuran. Sesudah itu, gue ambil handphone Nokia tipe 6116 Classic di kantong celana. Gue periksa, ada sms “mama minta pulsa”. Sms yang sangat tidak penting, gue hapus seketika. Gue yang sedang kegerahan membuat gue semakin gerah ketika membaca isi sms tersebut. Seenaknya saja orang lain mengirim sms penipuan di saat orang lain sedang tersengat matahari.
Gue bingung harus kemana, gue berusaha mencari yang hijau-hijau (Faiz) tapi nggak ada. Hanya terdapat tukang gorengan dan tukang ojek yang sedang mangkal di sekitar tempat tersebut. Tadinya, gue mau bertanya begini pada tukang ojek, “Pak, lihat orang kurus kering kerontang gak? Bawa motor matic warna hijau? Kulitnya putih agak kemerahan kayak bengkoang mateng, matanya bulat, dan rambutnya keriting nanggung?” Namun, jawaban mereka pasti seperti ini, “Yang adek maksud manusia, apa lengkuas?”
Dikarenakan takut nyasar, maka gue mengirim pesan singkat kepada Faiz.
“Iz, lu di mana?” sms dikirim.
Blup. Sms masuk ke handphone gue.
“Gue di dalem Jat, lu ke sini,” isi pesan tersebut.
Gue mengetik, “Oke.”
Lantas, gue masuk ke restoran cepat saji tersebut.
Di dalam restoran cepat saji itu, ada banyak pelanggan yang sedang duduk-duduk. Disinyalir, mereka hanya mengambil kesempatan untuk ber-online ria secara gratis tanpa memesan satu pun makanan. Gue pandangi penjuru ruangan, tetapi tidak ada tanda-tanda kehidupan Faiz: kurus, putih kemerahan, keriting, dan hijau.
Dikarenakan gerak-gerik gue yang penuh misteri dan terkesan seperti maling, mbak-mbak MCD lantas menatap gue dengan tajam. Mbak-mbak tersebut menerima pesanan pelanggan sambil matanya terus tertuju pada gue. Sepertinya, gue telah dicirikannya sebagai pelanggan: mesen kagak, duduk iya.
Gue mulai menaruh curiga pada Faiz, jangan-jangan gue dikibulinya, dengan mengatakan bahwa dia ternyata bukan di dalam MCD Jambore, tapi di MCD Graha Cijantung.
Untuk mengantisipasi hal buruk seperti itu, gue sms Faiz, “Mana, Iz? Lu nggak ada di sini.”
Tak lama, handphone gue kembali berbunyi. Blup.
“Gue di atas, Jat …,” isi pesan tersebut.
“Oh …, di atas,” gue baru tahu. “Eh apa?! Faiz di atas?! Jadi ada tangga toh?”
Jujur, sedari tadi kaki menapakkan di restoran cepat saji itu, gue nggak melihat adanya tangga. Setelah diperhatikan baik-baik, tangga tersebut berada di depan dan berwarna hitam. Seakan-akan, tangga itu berkamuflase dengan padatnya orang banyak.
Tak mau ditatap lekat terus-menerus oleh mbak-mbak kasir, maka gue memutuskan untuk ke lantai dua. Perlahan gue menaiki tangga dan terdapatlah sepasang remaja jatuh cinta sedang duduk berendengan di kursi panjang (lounge). Sepasang remaja jatuh cinta itu adalah Faiz dan Fitriyani.
“Sini, Jat,” panggil Faiz sambil melambaikan tangan.
Gue menghampiri mereka.
Gue senyum ke adik kelas SMP dulu (Fitriyani), “Eh–hehe.”
Fitriyani balas senyum canggung, “Eh–heh, Kak.”
Gue berbasa-basi, “Udah lama, kalian?”
“Nggak kok, baru …,” jawab Fitriyani.
Gue manggut-manggut.
Tak ingin mengganggu mereka berdua, gue melipir ke kursi yang disediakan untuk empat orang. Gue duduk di situ, sendirian. Sesekali gue membuka handphone, lalu berpura-pura mengetik sms. Mungkin saja pikir mereka gue sedang sms-an sama gebetan. Padahal, gue cuma mengecek pulsa dan main game klasik: Bounce. Tak jarang, gue mengatur kursi yang gue duduki sampai terdengar suara: brrrtttt. Tak ayal, Faiz dan Fitriyani berbarengan memandang gue yang nggak bisa diam. Dipandang oleh mereka berdua, reaksi gue cuma, “Eheheheh.”
Sudah hampir setengah jam, teman lain belum datang juga. Gue cek handphone, jarum jam menunjukkan angka 12.50. Itu tandanya, hari mulai merangkak naik. Semakin meningginya matahari, mereka berdua semakin asyik mengobrol, sementara gue asyik membersihkan kotak masuk. Mereka duduknya semakin rapat, sementara posisi duduk gue semakin menungging. Mereka saling bercanda, sementara gue bercanda sama siapa? Sama mbak-mbak kasir judes yang ada di lantai bawah? Jadi jomblo itu nggak gampang, guys. Percaya deh.
Sinar mentari menyeruak melalui jendela MCD Jambore, sehingga setengah badan gue menjadi terang. Dengan badan yang setengah terang dan setengah gelap, maka gue kayak manusia silver yang suka minta sumbangan di lampu merah. Di luar, suara bising dari kendaraan berlalu-lalang terdengar amat jelas. Ditambah, cuaca di luar begitu panas, sehingga setiap orang mencari tempat yang adem, tertutup, dan dapat internetan gratis: McDonald’s.
Di lantai dua restoran cepat saji tersebut, bukan hanya gue dan sepasang remaja jatuh cinta saja, melainkan ada banyak orang. Di bagian depan terdapat mainan anak-anak seperti seluncuran, terowong-terowongan, dan semacamnya. Di situ, ada banyak anak-anak sedang bermain sambil ditemani oleh kedua orangtua mereka. Di samping tempat bermain anak, terdapat ruangan khusus untuk acara ulang tahun. Ruangan tersebut terpisah dari tempat makan dan diberi sekat. Pada ruangan tersebut, kebetulan ada anak yang sedang ulang tahun.
Tepat di samping kiri gue ada bapak-bapak gendut berkemeja putih. Dari penampilannya, bapak tersebut seperti seorang pengusaha. Dia sibuk sms-an sambil memamerkan kunci mobil dan dompetnya yang tebal di atas meja. Sementara di depan bapak gendut ada sepasang kekasih, yaitu mbak-mbak dan mas-mas. Mbak dan mas tersebut tampaknya bukan asli dari Pulau Jawa. Melainkan serupa orang Timur (Ambon, NTB, atau NTT). Mereka berdua menikmati sup hangat, sambil sesekali berbincang hangat.
Dikarenakan belum makan siang, maka Faiz beranjak ke lantai bawah untuk memesan makanan. Tidak lupa, sebagai cowok yang baik, Faiz bertanya pada Fitriyani, “Kamu mau makan apa, Yang?” Jawaban Fitriyani tidak terdengar oleh telinga gue, mungkin dia menjawab, “Aku cah kangkung aja, Say.” Sesaat Faiz pergi ke lantai bawah, maka Fitriyani menjadi sendiri. Rasa super kikuk mulai menelusup di ruangan tersebut. Gue hanya menunduk sambil bermain Bounce yang sudah dikode. Sementara Fitriyani hanya diam melihat ke ruangan anak yang sedang menggelar acara ulang tahun.
Karena menunduk melulu berdampak pegal pada bagian leher, maka gue merubah posisi kepala menjadi tegak. Saat gue menegakkan kepala, terkadang ceweknya Faiz menatap gue. Ditatap olehnya membuat gue merasa kagok, dan gue hanya merespons, “Heeee.” Bukan sekali dua kali dia menatap gue, tapi beberapa kali. Ada dua kemungkinan gue ditatap terus olehnya; Pertama, Fitriyani baru menyadari bahwa gue lebih realistik daripada Faiz, dan kedua, Fitriyani baru menyadari bahwa gue mirip engkongnya. Bukannya gue kegeeran, jika ditatap terus-menerus oleh pacar orang, maka semuanya menjadi serba kikuk. Percaya deh.
Sepuluh menit kemudian, bule terminal Kampung Rambutan (Faiz) datang sambil membawa dua nampan yang mewadahi fried chicken. Dia menaiki tangga begitu tenang sembari bersenandung ria. Gue perhatikan, gaya berjalannya mirip Shaggy Scooby-Doo. Kemudian, Faiz menaruh nampan tersebut di atas meja, lalu duduk kembali di samping permaisurinya (Fitriyani). Sambil membuka kertas nasi MCD, Faiz menawarkan gue, “Jat, makan Jat.” Gue yang sedang mematung tanpa arti membalas tawarannya, “Sip.” Sedangkan Fitriyani hanya tersenyum ke gue, yang berarti: “Kak, mari makan.”
Kini, kedua insan tersebut telah menyantap nasi hangat dan juga ayam goreng buatan MCD. Mereka berdua makan sambil bercakap ringan, begitupun dengan mbak dan mas dari Timur itu. Gue perhatikan Faiz dan Fitriyani tak ubahnya bonyok (bokap nyokap) dua puluh tahun silam. Gue perhatikan mbak dan mas dari Timur tak ubahnya bonyok sepuluh tahun silam. Gue perhatikan diri gue sendiri tak ubahnya bonyok tiga puluh tahun silam, yakni belum punya pasangan.
Kini, gaya makan Faiz berubah bagaikan sedang menyantap lontong. Ya, tata caranya kira-kira seperti ini; Kertas nasi dipegang, lalu ujung kertas nasi dibuka setengah, kemudian nasinya dibuang, eh dimakan. Tak heran memang, karena Faiz sering kali membawa bekal lontong ke sekolah. Mungkin, ketika sedang memesan makanan tadi, dia ingin paket lontong ekstra pedas berisikan oncom atau sayuran. Namun, karena di MCD nggak menjual lontong, maka dengan terpaksa dia harus makan nasi.
Kini, mulutnya kembu karena penuh oleh nasi hangat tersebut. Tidak ketinggalan, Faiz mencocol kentang goreng ke sambal pedas dan sambal tomat dengan ekspresi muka: sedap, euy. Gue yang sedari tadi melihatnya mengunyah ayam goreng, menjadi ngences. Setiap kali Faiz memasukkan kentang goreng berlumuran sambal ke mulutnya, gue usap-usap perut. Setiap kali Faiz mengunyah kulit ayam goreng renyah, gue menelan ludah. Setiap kali Faiz menyantap nasi hangat, gue hanya mengecap.
Memang, awalnya gue mau memesan makanan yang dipesan Faiz. Tapi, gue cuma bawa duit ceban (sepuluh ribu rupiah). Sementara kalau nggak salah, harga ayam goreng plus nasi berkisar dua puluh ribu rupiah. Bedanya juga sepuluh ribu rupiah, masa iya gue harus ngamen dulu, supaya bisa menutup kekurangan tersebut.
Juga, tadinya gue ada niatan mau membeli sebungkus nasi dengan lauk-pauk kacang panjang di warteg terdekat. Tapi, gue urungkan niatan tersebut, karena nanti malah ketahuan oleh mbak kasir judes, lalu gue ditempeleng sama celemek.
Pesan moral: jika ingin bepergian kemanapun, diharuskan membawa duit secukupnya, bukan sekurang-kurangnya. Kekurangan duit itu, nggak enak. Percaya deh.
Kini, Faiz dan Fitriyani semakin lahap menyantap makanan tersebut. Tak ketinggalan, mereka menyeruput minuman bersoda serupa Pepsi atau Coca-cola buatan MCD sampai merem melek. Mereka sepertinya kelaparan, dan ada indikasi bahwa mereka sudah tiga hari tidak makan. Gue yang dari tadi cuma bisa mengelus perut, semakin ngences. Dikarenakan gue sudah tidak sanggup lagi melihat mereka makan dengan lahap, maka gue mengubek tas untuk mengambil botol minum.
Setelah memeriksa isi tas, gue baru sadar, ternyata di dalam tas ada chiki Lays pemberian Aby tadi. Gue tersenyum lebar. Ada saja pertolongan dari Yang Maha Pemberi, ketika gue yang saat itu sedang “menderita” kelaparan. Dengan adanya dua chiki Lays di tangan kanan dan kiri, maka gue nggak gengsi lagi. Gue makan chiki tersebut dengan elegan, tidak lupa gue meneguk air putih dari kontrakan.
Ketika Faiz menggigit kulit ayam crispy, “Kresss.” Gue balas dengan satu gigitan chiki Lays, “Cekresss.” Ketika Faiz menggigit kentang goreng, “Krauk.” Gue balas dengan tiga gigitan chiki Lays, “Grausak.” Ketika Faiz menyeruput minuman bersoda, “Slupuuut.” Gue balas dengan menenggak air putih asli kontrakan, “Gluguk gluguk.” Tak jarang, Fitriyani menatap absurd. Gue balas menatapnya dengan tatapan: “Ape lo, mau ini ya? bweee, beli dong.”
Selagi gue “main balas-balasan” dengan kedua remaja (labil) jatuh cinta, datanglah ibu-ibu berpakaian buricak burinong (serba terang). Ibu-ibu tersebut mendatangi bapak gendut berkemeja putih yang di samping gue. Kemudian mereka mengobrol secara intim. Tak lama, ibu menor masuk ke ruangan khusus perayaan ulang tahun anak. Kemudian, ibu menor memanggil bapak gendut dengan sebutan: Pah. Ternyata, ibu menor adalah istrinya si bapak gendut, pantas saja mereka terlihat dekat.
Ibu menor menyuruh masuk bapak gendut ke ruangan khusus, “Pah! Cepet, sebentar lagi anak kita niup lilin.” Tatkala mendengar kalimat ibu menor, gue spontan tertawa kecil. Karena kesannya si anak kayak mau berubah wujud menjadi (maaf) babi ngepet. Tak dianya, bapak gendut adalah bapaknya anak yang sedang merayakan hari jadinya di MCD Jambore. Sertamerta Bapak gendut bergegas masuk ke ruangan privat dengan ekspresi muka: excited.
Dari dalam ruangan tersebut, terdengar suara MC (pembawa acara) memeriahi hari “burung” anak dari bapak gendut dan ibu menor. “Kalo Chila, mau kado apa dari temen-temennya, Chilaaaa?” tanya MC dengan intonasi khas anak-anak. Pembawa acara ulang tahun juga menyelipi beberapa games, jokes, dan quiz kepada para tamu undangan yang hadir. Semakin lama, semakin banyak tamu yang menghadiri acara tahunan tersebut. “Tuuuuh, temen-temennya pada bawa kado buat Chilaaaa,” seru MC. Ada kemungkinan, anak dari bapak gendut dan ibu menor tersebut: matre.
Acara ulang tahun tersebut semakin hingar-bingar. Pembaca acara, ibu menor dan bapak gendut, dan para tamu undangan bernyanyi bersama diiringi beberapa kelakar. Anak-anak berusia sekitar lima tahun berlarian kesana-kemari sembari memegang balon warna-warni. Mereka terlihat amat ceria keluar-masuk ruangan khusus tersebut sambil bermain perosotan.
Pun, orangtua mereka mondar-mandir mengikuti anaknya yang pecicilan. Para orangtua tersebut ada yang memantau anaknya, menuntun anaknya, dan menyuapi anaknya. Sementara anak-anak tetap “sibuk” dengan “dunianya” dan terlihat tidak peduli bagaimana repotnya orangtua mengatur mereka.
Mungkin, karena di dalam ruangan khusus tersebut lebih banyak ibu-ibu daripada bapak-bapak, maka bapak gendut keluar dan kembali duduk di samping meja gue. Tidak lupa, dia menaruh dompet tebal dan kunci mobilnya dengan angkuh sampai terdengar bunyi: bledag. Sepertinya, bapak gendut (sengaja) ingin memamerkan harta bendanya pada gue, “Cil, lihat nih! Kaya kan, gue?” Gue yang duduk di sampingnya menatapnya dengan tatapan: “Lagak lo, brot.”
Tak lama, ibu menor pun keluar dari acara ulang tahun anaknya, lalu menghampiri suaminya yang somse (sombong sekali) itu. Mereka bercakap-cakap sebentar, kemudian ibu menor pergi ke lantai bawah. Sekitar lima belas menit kemudian, ibu menor datang membawa makanan siap saji. Tentu saja, makanan siap saji tersebut untuk dirinya dan suaminya, bukan buat gue. Dia menaiki tangga “gaib” secara pelan-pelan, karena takut jika makanan yang dibawanya akan jatuh ke lantai. Kemudian, ibu menor duduk di samping bapak gendut. Mereka bersama menyantap makanan siap saji dibarengi percakapan dan candaan ala suami-istri. Sungguh romantis.
Karena gue keasyikan memandangi bapak gendut dan ibu menor, sehingga gue lupa bagaimana dengan keadaan sepasang remaja (labil) jatuh cinta. Saat gue menengok mereka berdua (Faiz dan Fitriyani), tak tahunya mereka sedang suap-suapan. Fitriyani mencocol sambal, kemudian menyorongkan kentang goreng ke mulut Faiz, dan … am. Faiz disuapi. Faiz begitu girang, kulit mukanya berubah menjadi merah marun bagai bayi sehabis gumoh. Sekarang bergantian. Faiz mencocol sambal, kemudian menyorongkan secuil daging ayam renyah ke mulut Fitriyani, dan … am. Fitriyani disuapi. Fitriyani amat senang, saking senangnya dia meniup-niup bagian atas kerudungnya. Sementara gue hanya menghela napas.
Kini, pandangan gue beralih ke mbak dan mas dari Timur. Mereka pun sama, yakni suap-suapan. Mbaknya mengaduk sup hangat, kemudian menyorongkan sendok ke mulut masnya, dan … am. Masnya disuapi. Masnya begitu bahagia sembari bergidik, mungkin dia bergidik karena sup tersebut masih panas. Sekarang bergantian. Masnya mengaduk sup hangat, lalu menyorongkan sendok ke mulut mbaknya, dan … am. Mbaknya disuapi. Mbaknya tertawa sambil menengadahkan kepala, mungkin dia kaget karena mulutnya kepanasan dari sup yang masih mengepul tersebut. Sementara gue hanya menghela napas.
Gue nggak mau semakin keki hanya karena melihat kedua pasangan (mesra) tersebut. Dengan demikian, maka kini pandangan gue berpindah ke bapak gendut dan ibu menor. Apesnya, mereka pun sama, yakni suap-suapan. Bapak gendut mencomot daging ayam renyah, kemudian menyorongkan daging ayam tersebut ke mulut ibu menor, dan … am. Ibu menor disuapi. Ibu menor mengernyih dibarengi mencubit dagu suaminya. Sekarang bergantian. Ibu menor mencomot daging ayam crispy, kemudian menyorongkan daging ayam itu ke mulut bapak gendut, dan … am. Bapak gendut disuapi. Bapak gendut tertawa hingga perutnya menggelambir tak beraturan. Lagi, gue hanya menghela napas.
Melihat ada tiga pasangan sedang suap-suapan membuat status gue semakin kentara: jomblo teraniaya. Ketiga pasangan asyik bersuap ria tanpa memedulikan perasaan gue sedikit pun. Hal itu membuat flavour dari chiki Lays menjadi hambar. Kini, gue menjadi tak berselera dan seketika kenyang karena tindakan mereka berenam. Gue gigit tipis chiki Lays, lalu mengunyah sangat pelan. Gue kunyah chiki tersebut sampai benar-benar halus, sehalus bubur sum-sum. Rasa rumput laut dari chiki tersebut kini berubah menjadi rasa rumput sintetis. Gue berhenti mengunyah, lalu menyenderkan badan ke kursi, kemudian menaruh chiki Lays secara perlahan. Perasaan gue, mulai berkecamuk.
Gue memandang ke depan dengan pandangan kosong, mulut mangap, dan mata sayu. Kondisi gue kala itu mirip orang yang baru saja dihipnotis di dalam bus metromini. Gue duduk rileks sembari meluruskan kaki, mencoba untuk melancarkan aliran darah supaya kondisi gue kembali tenang. Sedangkan ketiga pasangan masih menunjukkan keromantisannya kepada orang di sekitar (gue). Jujur, kalau ada jubah tembus pandang (cloaks of invisibility) Harry Potter, saat itu juga gue akan menangis sesenggukkan.
Karena perasaan semakin tidak menentu, tadinya gue mau membuat kegaduhan sekaligus membubarkan ketiga pasangan di restoran cepat saji tersebut dengan berteriak, “Saya penjahat! Saya musuhnya Batman! Kalian semua tiarap! Restoran ini saya ambil alih!” Gue mengultimatum sambil menodongkan botol minum. Antiklimaks. Bukannya pada tiarap, malah gue yang disuruh tiarap oleh mbak kasir judes.
Perasaan sudah agak stabil, maka gue memutuskan untuk melihat mereka kembali. Tak tahunya, ketiga pasangan beda zaman itu malah semakin mengumbar kemesraan. Sepasang remaja (labil) jatuh cinta masih suap-suapan disertai colekan genit ala remaja kebanyakan. Sementara mbak dan mas dari Timur saling mendekatkan wajah mereka, jika suasana tidak seramai dulu, mungkin mereka sudah cipokan, bahkan ML (Making Love). Sedangkan bapak gendut dan ibu menor saling mengobrol intim, ibu menor menyenderkan kepalanya ke pundak bapak gendut. Gue yang sudah tidak mau melihatnya memilih untuk memejamkan mata. Berharap teman lain, segera datang ….
Tak lama kemudian, MC acara ulang tahun memberitahu para tamu undangan bahwa peniupan lilin akan segera dimulai. Para tamu undangan yang berada di luar, bergegas masuk ke ruangan privat. Tidak terkecuali, orangtua si bocah matre (bapak gendut dan ibu menor) pun segera masuk untuk menyaksikan momen setahun sekali tersebut. Kini, ruangan privat dipenuhi oleh para hadirin. Orangtua dan anak-anak mereka bertepuk tangan mengiringi lagu Happy Birthday to You.
“Happy biiirthday, to youuu~ Happy biiirthday, to youuu~ Happy biiirthday~ Haaappyy biiirthdaaaaay~ Haaaaapppy biiiirthdaa~ ayy~ ayyy~ tooo~ yoooouuuu~ uu~ uu~ uuuu~ u~ u~ u~ uh~ uh~ uuuuuu~” Lagu Happy Birthday to You diaransemen menjadi musik jazz oleh MC. Lilin pun ditiup oleh bocah matre dengan ditandainya para hadirin bertepuk tangan. Setelah itu, para orangtua cipika-cipiki (cium pipi kanan-cium pipi kiri) kepada bapak gendut dan ibu menor. Tidak lupa, anak mereka (bocah matre) sun tangan ke para hadirin sembari menerima kado, kado yang diidamkannya sejak tahun lalu.
Namun anehnya, lagu Happy Birthday to You yang terdengar oleh telinga gue menjadi seperti ini, “Kasiaaan deh, eluuuu~ Kasiiiaan deh eluuuu~ Kasiiiaaan, deh~ Kaaaasiiiiaaannn, deeeeehhh~ Kaaaaaaasiii~ iii~ iii~ aan~ aan~ deee~ eee~ ehh~ ehh~ eeee~ eeee~ luuuuuu~ uuu~ u~ u~ uh~ uh~ uuuuuuuu~” Entahlah, mungkin karena efek melamun atau karena hanya gue yang berstatus jomblo terkutuk di restoran cepat saji itu, lagu sukacita seketika berubah menjadi lagu penuh dukacita.
Gue menghela napas panjang. Gue ambil chiki Lays yang sempat dianggurin. Lalu gue makan chiki tersebut secara wajar. Setelah ditelan, gue larutkan dengan air bening. Gue berhenti sejenak, berusaha mengecap rasa gurih dari chiki tersebut. Kemudian, gue melihat ke sekitar lantai dua MCD Jambore.
Gue pandangi mereka satu per satu. Sepasang remaja (labil) jatuh cinta masih duduk berendengan. Lucu sekali, adik kelas SMP dulu berpacaran dengan teman baik gue.  Tak berhenti di situ, kini gue memandangi mbak dan mas dari Timur. Lucu sekali, bagaimana kekuatan cinta membuat sup hangat cenderung panas, menjadi sup hangat penuh cinta. Gue tersenyum dibarengi satu gigitan kecil. Krauk.
Kemudian, gue menoleh ke ruangan khusus acara ulang tahun. Lucu sekali, anak berumur lima tahun sudah menggelar pesta ulang tahun semeriah itu oleh kedua orangtuanya. Sedangkan gue, seumur hidup belum pernah dirayakan ulang tahun semewah anak itu. Lucu sekali, lewat acara tahunan tersebut para tamu undangan saling bersilaturahim dan ikut bergembira.
Lucu sekali, dimana mereka sibuk dengan dunianya masing-masing. Sementara gue sibuk melihat dunia mereka. Lucu sekali, suasana lantai dua restoran cepat saji tersebut amat ramai. Namun, masih ada saja orang yang merasa sendiri. Lucu sekali, ada banyak cinta tumbuh di tempat tersebut. Tapi, ada juga butuh cinta, bahkan kekurangan cinta. Lucu sekali, bagaimana restoran cepat saji itu menjadi tempat “manis” buat mereka. Tapi, menjadi tempat “amis” buat gue.
Gue kembali menghela napas panjang. Gue cek handphone, ternyata ada sms masuk, berisikan, “Dis, udah nyampe?” Betul, pesan singkat tersebut dari nyokap. Tak ingin nyokap risau, gue balas, “Udah, Bu.” Gue taruh kembali handphone ke saku celana. Gue pejamkan mata, sambil bersyukur sekaligus berharap … semoga orang yang mencintai gue, akan selalu ada.
Selagi gue memejamkan mata, akhirnya teman lain datang. Imigran gelap (Dhika) bertanya, “Wih ada Ijat. Udah lama, lu Jat?” Gue diamkan dia sebentar, lalu gue jawab, ”DARI TADI, LER!” Dhika tertawa geli. Dengan demikian, kerja kelompok dimulai.
***
Saat ini, Faiz sedang mengambil studi di Universitas Terbuka.

17.  Fauzia Virne Sheila
Kompatriotnya Annisa Fitriani sejak kelas 1 SMK. Bermata sipit, fasih berbahasa Inggris, dan pandai dalam bertutur kata. Menurut gue, dari semua siswa-siswi di kelas M2M, Ine merupakan yang paling jago dalam berkomunikasi. Gaya bicaranya lugas, tegas, berbobot, dan tidak bertele-tele. Please clap for her. Pada setiap kesempatan pernah mengikuti lomba bahasa Inggris tingkat SMK. Pada awalnya, ia memiliki badan yang lumayan gendut. Tapi, seiring berkembangnya zaman, badannya terus menyusut. Mungkin Ine mengikuti program diet ekstrem, seperti halnya mengkonsumsi angin atau udara (makan angin).
Terkait dengan bobot badannya, gue masih ingat waktu itu ketika ulangan berlangsung, gue duduk tepat di sebelah mejanya, karena di buku absen sesudah nama gue, adalah Fauzi, eh Fauzia. Gue lihat mukanya agak Chinese, karena matanya sipit. Prinsip gue: sipit sama dengan China. Tapi, gue nggak langsung mengasumsikan bahwa Ine adalah blasteran China, karena sipitnya berbeda dengan sipit China pada umumnya. Sipitnya Ine lebih ke sipit gerilyawan Vietkong.
Ine dan Wisnu didapuk sebagai murid Termodus. Sumber: foto angket kelas M2M
Gue perhatikan bentuk badannya dari atas, lalu turun ke bawah, dan sampailah ke daerah betis. Terlihat betisnya tersingkap sedikit dibalut dengan kaos kaki putih dan sepatu pasaran macam NB. Tepat di daerah itu, betis Ine lumayan besar, sampai-sampai betisnya seperti mau keluar dari kaos kaki. Mungkin, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hal itu bisa disebut “menggelambir”.
Sambil tumpang kaki, Ine sms-an menggunakan handphone jadul yang layarnya berwarna kuning semu buram (dulu smartphone jarang banget), semakin terlihat betisnya sungguh over. Dulu, gue memprediksi bahwa Ine adalah salah satu siswi yang akan membengkak badannya. Namun, prediksi gue salah besar.
Kala itu, anak-anak M2M sering memplesetkan serta memanggil namanya menjadi Fauzi. Terdengar seperti anak laki-laki dari Taliban yang mempunyai jenggot lebat bak sarang tawon. Kalau gue, sering menyebutnya “burhan” (burung hantu) dikarenakan matanya sipit (padahal burung hantu sendiri adalah burung yang memiliki mata belo). Memang, sangat tidak nyaman jika cewek dipanggil Fauzi. Sama halnya jika gue dipanggil dengan sebutan Sarah. Jauh. Ironis. Harga diri mau dikemanakan.
Dengan alasan freak itulah Ine enggan dipanggil Fauzi. Kalaupun dipanggil Fauzia, bakal kepanjangan. Sepertinya akan lebih merenah jika dipanggil Fauzi, daripada dipanggil Fauzia, karena ada penekanan di “A-nya”. Lebih tepatnya, dua panggilan tersebut sama-sama tidak nyaman, baik bagi Ine, maupun bagi si pemanggil. Ujung-ujungnya serba salah.
Oleh karena itu, dia lebih suka dipanggil “Ine”. Meskipun, bagi gue panggilan tersebut lebih cocok buat pramuwisma (baca: pembantu rumah tangga), apalagi jika ditambah dengan huruf M. Namun setidaknya, sebutan Ine lebih bermartabat daripada sebutan Fauzia, terutama Fauzi. Itu pula sebabnya, Ine selalu menghilangkan nama depannya di beberapa akun miliknya menjadi: fvirneshe.
Sepertinya, Ine berusaha meyakinkan ke khalayak umum bahwa dia real perempuan, dengan menekankan kata “she” yang dalam bahasa Inggris merupakan kata ganti perempuan. Terlebih, She ialah nama kepanjangannya, yakni Sheila. Kemudian, Virne adalah nama tengahnya, yang menurut gue nama terbagus dari seluruh nama panjangnya. Sedangkan huruf F ialah aib dan pembawa bencana, sehingga dianaktirikan. Bahkan disembunyikan, kalau perlu dihapus. Haha.
***
Saat kelas 1 SMK; Gue, Ine, Bagus, dan Clazara pernah sekelompok dalam mata pelajaran Multimedia. Meskipun gue dan Bagus diharapkan menjadi sosok pemimpin di dalam kelompok tersebut, tapi tetap saja yang paling banyak bekerja ialah Clazara dan Ine. Prinsip baru: laki-laki semakin ke sini semakin gembel.
Diketahui, Ine doyan masakan Padang. Soalnya, saat itu ketika kami sedang kerja kelompok di rumah Clazara, dia pernah bilang, “Gue tuh, suka banget sama makanan Padang!” Katanya sambil mengunyah bungkusan nasi padang. Eh, maksud gue sambil mengunyah nasi padang. Di lain pihak, gue dan Bagus ngangguk-ngangguk sambil melahap mie ayam, itu pun mienya sedikit, lebih banyak saos sama sawinya. Begitulah sifat laki-laki modern: cari yang murah, kalau perlu cari yang gratis.
Sekitar tahun 2010-an, gue belum terlalu mengetahui aplikasi media sosial Twitter, yang gue tahu Friendster dan Facebook. Kala itu, Twitter tidak seperti saat ini (bejibun). Dulu, hanya segelintir orang yang memiliki akun tersebut. Asal-muasal gue mengetahui aplikasi Twitter adalah dari kedua cewek ini: Ine dan Clazara.
Awalnya, gue cuma nguping perihal percakapan mereka yang kira-kira seperti ini.
“Eh Zar, gue tuh di-follow sama si anu lho,” kata Ine.
“Serius, Ne? waw …,” balas Clazara, agak lebay.
“Eh, Nick Jonas bla bla bla bla, lho,” kata Ine.
“Gue sih kemarin lihat Justin Bieber nge-follow bla bla bla,” timpal Clazara.
“Eh Zar, si anu followers-nya banyak yah,” ucap Ine.
“Gila ya Ne, si anu followers-nya jutaan!” seru Clazara.
Gue terus menyimak percakapan mereka berdua sambil baca majalah yang berbahasa Inggris (itu pun cuma lihat gambarnya). Setidaknya, gue sudah mengantongi kata kunci, yakni “follow” dan “followers”.
***
Selanjutnya, Ine berpacaran dengan Natigor Ihamsyah (lihat nomor 28). Kabarnya, mereka masih taken sampai saat ini. Semoga, mereka tetap langgeng sampai ke jenjang pelaminan, sampai tua nanti, dan kalau perlu selamanya. It could be a relationship goals.
Kemudian, hal yang akan selalu diingat adalah ketika Ine dimarahi habis-habisan oleh guru mata pelajaran Bahasa Arab, sekaligus merangkap sebagai teller di Bank Mini. Sebut saja guru tersebut Pak Najwa (nama disamarkan). Gue lupa, perihal apa yang menyebabkan Ine dihardik secara tidak senonoh. Intinya, dia begitu “kasihan”. Selain Ine, semua murid M2M juga “kecipratan” umpatan Pak Najwa, dan kira-kira kronologinya seperti ini.
Pak Najwa datang ke kelas kami dengan raut muka biasa. Lalu ia bertanya kepada Ine, dan Ine menjawabnya. Boleh jadi, dikarenakan Pak Najwa tidak puas dengan jawaban Ine, serta-merta nadanya meninggi. Kami terdiam, dan Ine menjadi gagu. Firasat gue, sepertinya ada kekeliruan di antara mereka berdua.
“Ng … iya iya, tadi Bapak bla bla bla …,” jawab Ine, panjang lebar.
“Iya, tapi kamu tadi bla bla bla bla …,” balas Pak Najwa, mempertahankan argumennya.
Dengan raut muka ambigu Ine menjawab, “Ng … iya tahu, Pak, tahu … bla bla bla ….”
Tidak lama setelah itu, Pak Najwa berteriak keras sampai urat di lehernya menyembul keluar sambil menunjuk-nunjuk kepada Ine.
“KAMU BODOH!” teriak Pak Najwa, agak marah.
Ine diam.
“KAMU BOODOOH!” teriak Pak Najwa, marah.
Ine diam sambil merem melek.
“KAMU BOODOOHHH!” teriak Pak Najwa, marah besar.
Ine diam sambil berkedip menahan emosi.
Di barisan bangku sebelah, Natigor selaku pacarnya hanya diam membisu. Lagian, mau bagaimana lagi, kalau dilawan pasti bakal dihukum. Cara terbaik ialah diam sambil mengumpat dalam hati, “BRENGKES LO! PACAR GUE TUH!”
Di bangku lain, seluruh murid juga hanya berdiam diri. Termasuk gue, diam sambil nganga, karena saking ibanya kepada Ine.
“KAMUUU, BOOODDDOHH!” teriaknya, lebih buas.
Setidaknya, dengan cara diam merupakan langkah tepat bagi seorang guru yang sedang marah besar. Tidak bisa dibayangkan apabila Ine melawan Pak Najwa.
“KAMU BOODDOHH!” caci Pak Najwa.
“NGGAK! BAPAK YANG BOODDOHH!” balas Ine, tidak mau kalah.
“HEH! KAMU NGELAWAN SAYA?!” ucap Pak Najwa, sewot.
“IYA! DASAR BOODDOHH!” balas Ine, lebih sewot.
Maka tiga detik kemudian, mereka dipastikan telah berjibaku di lapangan.
Seingat gue, umpatan Pak Najwa semakin meninggi dibarengi dengan mengayun-ngayunkan telunjuknya ke arah Ine. Saking klimaksnya, pada pengucapan “bodoh” menjadi dobel D, yakni “boddoh”. Terdengar oleh telinga gue malah seperti “baa–edd–ooh”.
Setelah Pak Najwa keluar kelas, sebagian siswi perempuan berusaha menenangkan hati Ine yang sedang dilanda keguncangan. Tidak ketinggalan, Natigor mencoba menghiburnya secara pelan-pelan. Sepertinya, Natigor membisikkan sesuatu ke telinga Ine, “Sabar ya Sayang, nanti pulang aku pretelin motornya,” atau “Sabar ya Sayang, bapak aku mah gitu orangnya.
***
Saat ini, Ine bekerja di PT. KAI (Kereta Api Indonesia) sambil melanjutkan kuliah di Universitas Mercubuana.

18.  Febrilianto Ardi
Saat kelas 2 SMK akhir, atau ketika mau naik ke kelas 3, gue bersama teman-teman mengikuti seminar di aula SMK PKP 1. Sayangnya, gue lupa seminar apa, topiknya apa, dan siapa narasumbernya. Jelasnya, kami duduk lesehan di lantai. Tinggal memakai baju oranye yang bertuliskan “TAHANAN”, maka kami tak ubahnya narapidana yang sedang diberi siraman rohani.
Saat itu, suasana di aula sungguh gaduh, gue sampai nggak paham apa yang dibicarakan oleh narasumber. Cuma ngangguk-ngangguk, nyengir, dan bertopang kepala sudah cukup untuk meyakinkan bahwa gue menyimak topik yang dibahas.
Wajah Febri tertangkap kamera pada acara Wisuda
Selagi gue duduk-duduk sambil bersila atau bahkan melonjorkan kaki, tertangkap sesosok orang asing di ujung kanan, lebih tepatnya di dekat pintu aula. Orang asing tersebut duduk sambil memeluk kaki ke dadanya. Ia memakai baju seragam putih abu-abu, padahal saat itu kami sedang memakai seragam putih-putih, karena hari Senin.
Layaknya siswa SMA pada umumnya; Ia berbadan relatif kecil, kulit sawo matang, dan rambut jatuh bebas ke dahi. Ia terlihat menyendiri, sangat kontras dari berbagai sudut. Gue langsung berpikir, sepertinya dia anak baru, karena baru pertama kali gue lihat wajahnya. Gue perhatikan gerak-geriknya, tatapan matanya, dan body language-nya. Ternyata benar, dia adalah murid pindahan dari SMK Sudirman.
Keesokan harinya, anak baru tersebut secara resmi terdaftar sebagai murid di SMK PKP 1, sekaligus pertama kali debut di kelas M2M. Welcome to M2M dude! Lumrahnya, jika anak baru pertama kali masuk kelas pasti ada rasa canggung, kagok, malu, mesem-mesem, dan mesum-mesum, eh maaf. Ternyata, dia nggak begitu.
Walaupun ada rasa malu-malu kucing sedikit, tapi selebihnya easy going dan friendlyable. Anak baru itu terlihat langsung membaur bersama kami, khususnya bersama Fadel cs. Usut punya usut, anak baru tersebut bernama Febrilianto Ardi atau dipanggil Febri alias Acil (Anak Kecil).
***
Febri memilih duduk di bangku belakang paling pojok bersama Rendy (lihat nomor 30). Kayaknya, ia memang pribadi yang enggan terekspos banyak orang, terutama tereskpos banyak guru. Sama halnya seperti gue, duduk di bangku paling belakang, karena nggak mau disuruh maju ke depan, khususnya saat pelajaran Matematika.
Febri termasuk tipikal orang selow/ woles. Hal itu tercermin dari gayanya pada saat ia berjalan dan dari isi tasnya. Gue berpendapat, bahwa Febri lebih cocok sekolah di STM (sekolah jalu) daripada sekolah di SMK. Untungnya, ia memilih jurusan Multimedia yang notabene masih ada murid laki-laki ketimbang jurusan Administrasi Perkantoran yang seluruh muridnya adalah bikang.
Febri menyukai musik ber-genre reggae (merah-kuning-hijau). Bob Marley, Ipang, dan Ras Muhammad adalah sederet musisi yang ia kagumi. Terkadang jika ada jam kosong, ia lebih memilih untuk mendengarkan lagu seorang diri melalui earphone yang dicolokkan ke handphone Blackberry berwarna ungu sambil mengangguk-nganggukkan kepala dan matanya merem melek penuh kesyahduan. Ia begitu meresapi musik serta lirik yang sedang didengar. Tidak salah Febri memilih Multimedia, karena dia berjiwa seni tinggi.
***
Kemudian, ada alasan lain mengapa Febri lebih berminat pindah ke SMK PKP 1 daripada ke sekolah lain adalah dia nggak mesti mengeluarkan ongkos, alias “setempongan”. Setempongan ialah ungkapan dimana rumah dekat sekali dengan sekolah. Saking dekatnya, jika kita melempar batu dari rumah pasti akan sampai ke ruangan kepala sekolah, bahkan ke jidat kepala sekolah.
Diketahui, Febri bertempat tinggal di belakang Yayasan Pondok Karya Pembangunan (PKP). Apabila ingin ke rumahnya, akses termudah adalah pergi ke MTs PKP, kemudian di sana terdapat sebuah gerbang/ pintu masuk. Di situlah akses terdekat, itu pun kalau gerbangnya tidak digembok. Jika gerbangnya digembok, tinggal panjat tembok pembatas Yayasan PKP, itu pun kalau berani, disebabkan tembok agak tinggi, dan pada bagian atas tembok dipasangi beling-beling tajam.
Akses kedua, kita harus keluar dahulu dari lingkungan Yayasan PKP dengan melalui pintu masuk utama. Setelah itu berjalan kaki ke arah kanan. Kemudian, tepat di sebelah kanan terdapat gang yang cukup lebar, ikuti saja gang tersebut maka akan sampai ke gerbang MTs PKP. Jadi, cara kedua lebih jauh, yaitu harus memutari tembok yayasan terlebih dahulu.
Kenapa gue tahu? Karena gue sering kali melewati jalur tersebut ketika hendak pulang sekolah. Lumayan melelahkan, tapi hitung-hitung olahraga serta irit ongkos. Karena, jika gue pulang menggunakan angkutan umum agak ribet, harus naik angkot tiga kali. Total, gue harus mengeluarkan duit secara cuma-cuma sekitar Rp. 6.000. Boros.
Lain halnya dengan berjalan kaki, gue hanya mengeluarkan duit Rp. 2.000, bahkan tidak mengeluarkan duit sama sekali. Karena gue adalah MARITMAHEMATIME (Manusia Irit, Manusia Hemat, dan Manusia Anti Merugi).
Ujung jalur itu (tembusan) ialah sebelum terowongan Cipayung. Terkadang, ada rasa malu ketika gue sudah sampai di pertigaan terowongan, karena diri gue amat terlihat oleh pengguna kendaraan bermotor. Bukan tidak mungkin, jika di dalam angkot yang lewat ada orang yang mengenal gue lalu berkata, “Lah, si Faris ngapain tuh jalan kaki? Kasian amat.” “Itu kan Faris temen kita dulu, makin gembel ya.” “Eh lihat, itu Faris! Gak ada yang berubah ya, dari dia?” Hidup memang getir.
***
Salah satu hal yang dikuasai Febri adalah bermain futsal. Dia amat jago dalam mengolah si kulit bundar di lapangan. Visi permainannya ofensif, yakni menyerang. Gaya bermainnya tidak jauh berbeda bak Lionel Messi masih bujangan. Cepat, tajam, akurat, luwes, lincah, dan licin. Kira-kira seperti itulah karakteristik Febri ketika sedang bermain futsal.
Saking lincahnya dia bermain futsal, murid tanpa bulu (Arfil) berpendapat bahwa Febri tidak memakai kolor (celana dalam). Gue langsung berpikir, jika Febri main futsal nggak pakai celana dalam, maka “otongnya” gondal-gandul selama pertandingan berjalan. Jika durasi pertandingan satu jam, maka otongnya “terombang-ambing” selama satu jam pula. Parahnya, kalau sampai tersenter bola pada bagian vital, maka bukan tidak mungkin otongnya akan terluka. Bahkan, Febri akan pingsan. Ngilu.
Jika ditelaah lebih lanjut, pakai kolor atau tanpa kolor tidak mempengaruhi kualitas (skill) di lapangan. Logikanya, pakai celana kolor tidak menyebabkan pemain menjadi susah untuk bergerak; menendang, mengoper, men-dribble, dan sebagainya. Begitupun sebaliknya, tidak pakai celana kolor tidak menyebabkan pemain menjadi leluasa untuk bergerak.
Karena asumsi (aneh) tersebut, gue membayangkan bahwa sumber utama Febri dalam bermain futsal adalah dari otongnya. Jadi, jika otongnya tidak tertutup/ terhalangi oleh sesuatu (kolor), maka pergerakan Febri dapat seratus kali lebih cepat dari biasanya. Sebaliknya, jika otongnya tertutup/ terhalangi sesuatu (kolor), maka Febri menjadi tidak bertenaga dalam bermain futsal (letoy).
Jikalau demikian, maka otongnya mirip mata Cyclops (karakter pada komik X-Men). Hanya saja, kedua mata Cyclops akan memancarkan laser apabila kacamatanya dibuka. Sedangkan Febri lain lagi, jika kolornya dibuka, maka otongnyalah yang memancarkan laser. Byuuung.
Akan sangat menyeramkan sekaligus memalukan bila Febri sampai melepaskan celana kolor di tengah pertandingan futsal. Sambil menggiring bola, otongnya memancarkan laser panas melukai para pemain lawan. Tak ayal, jersey tim lawan menjadi robek terkena pancaran brutal dari otongnya. Kerugian lainnya, yakni rumput lapangan terbakar, jaring gawang bolong, tiang gawang patah, dan para penonton berhamburan kesana-kemari. Itu semua hanya karena satu otong, apalagi banyak. Bisa dibayangkan? Lebih baik jangan.
***
Kadang-kadang, Febri suka minta air minum ke gue, apalagi jika kepedasan. Sedangkan gue selalu membawa air minum seteko. Sebagai teman yang baik, gue mempersilahkan Febri untuk meneguknya.
“Sshh … Jat, Jat, gue boleh minta minum gak, Jat? Sshh … ahhh …,” tanya Febri, kepedasan.
“Ah? Hmphh … iya Febh, boleh boleh … hmpphh …,” jawab gue kurang jelas karena mulut penuh dengan nasi sama capcay.
“Nih Jat, makasih ya …,” ucap Febri, sopan.
Gue jawab sembari mengacungkan jempol, “Siphh … Febhh … hmmpphh ….”
***
Saat ini, ia sedang menempuh studi di Universitas favorit lulusan M2M yakni Universitas Mercubuana bersama teman-teman lain. 

19.  Gantri Radimas Sri Santoso
Tertera tulisan “Tugu Ibu I” berwarna merah di kaos olahraga yang ia kenakan saat MOS dulu. Hampir mirip dengan kaos olahraga yang dikenakan oleh Arfil, hanya berbeda pada angka I dan II, selebihnya percis. Awalnya, gue mengira bahwa Gantri dan Arfil adalah adik-kakak, laksana Ian Kasela dan Moldy. Dilihat dari postur sama tinggi, kurus, dan putih. Bedanya, Gantri jerawatan. Ciri khas dari Gantri ialah bibirnya agak masuk ke dalam. Jika dalam bahasa Sunda istilah tersebut adalah: ngawet.
Gantri dan Diana terpilih sebagai murid Terlola alias kagak nyambung. Sumber: foto angket kelas M2M
Pada beberapa bulan pertama masuk SMK, Gantri sering naik angkot 16 saat pulang sekolah. Bagi gue, angkot 16 adalah angkot tersempit dan terpanas dari sekian angkot yang pernah gue naiki. Memang, bentuknya berbentuk kijang periode tahun 2000-an. Tapi, di bagian jok belakang terasa sempit, lembab, dan sumpek. Apalagi ketika siswa-siswi SMA, SMK, dan STM PKP bubar. Beuh … bejubel, berhimpit-himpit, sesak, dan panas bercampur bau keringat serta bau ketek, belum lagi bau mulut. Semua bebauan kumpul kebo di dalam angkot. Iyuh.
Namun, sangat berbeda di jok depan (supir) yang dirasa lebih lega, adem, manusiawi, nyaman, dan sirkulasi udara lancar. Pokoknya, sentosa buat penumpang yang di jok depan. Maka, saran gue buat kalian yang ingin menaiki angkot jenis kijang, lebih baik duduk di jok depan. Demi kesehatan kalian sendiri.
***
Kembali lagi ke Gantri. Mungkin, dikarenakan tidak tahan dengan kondisi di dalam angkot, dia beralih untuk nebeng (numpang) ke Muhammad Ikhlasul Fikriansyah (Fikri). Acapkali, Gantri meminta nebeng ke Fikri.
Gantri bertanya, “Fik, nanti gue ikut nebeng ya?”
“Iye,” jawab Fikri singkat.
Gue yang duduk di sebelah Fikri bergumam dalam hati, “Kamvret si Gantri enak banget ada tumpangan, lah gue?”
Seringkali, gue melihat Gantri dibonceng Fikri di depan gerbang sekolah. Ada rasa nyesek juga, kan lumayan hemat ongkos. Beberapa bulan kemudian, gue semakin akrab sama Fikri. Ketika rasa canggung perlahan mulai luntur, gue tanya Fikri.
“Fik, kalau Gantri nebeng ke elu nyampe mana?” tanya gue to the point.
Fikri jawab, “Nyampe Indomilk Ris, pertigaan.”
“Oh …,” balas gue. (Padahal gue belum tahu pertigaan Indomilk.)
Gue bertanya lagi, “Fik, kalau lu pas pertigaan belok kanan apa belok kiri?”
“Belok kanan Ris, kalau belok kiri ke Depok,” jawab Fikri.
“Oh …, kalau lu ngelewatin Naga (toko swalayan), gak?” tanya gue, penasaran.
“Ngelewatin Ris,” jawabnya singkat.
Mulai menemui titik terang.
“Oh gitu! (girang) kalau gitu mah gue juga bisa balik lewat situ,” kata gue brodus (brother modus).
“Bareng aja, Ris,” ajak Fikri, sungguh baik sekali.
“Bareng? (jaim) lah nanti Gantri gimana Fik?” tanya gue sok peduli kepada Gantri.
Fikri berkata bijak, “Ya nanti bilang aja.”
“Ya udah, Fik,” ucap gue sok kalem, padahal seneng banget akhirnya dapat boncengan. Eureka!
Hari itu juga ketika bel pulang berbunyi, Gantri seperti biasa menghampiri Fikri sekaligus merayunya agar bisa pulang bareng.
“Bareng lagi ya, Fik?” pinta Gantri.
“Gak bisa Gan,” tolak Fikri.
Gantri berkata sambil menyenggol lengan Fikri, “Woelah gitu banget lu, Fik.”
“Gue bareng Faris,” ucap Fikri, matanya menatap ke Gantri.
Sementara gue hanya diam.
“Ijat? Ah tai lu Jat, emang searah?” tanya Gantri, sedikit kesal.
Gue jawab secara yakin, “Searah Gan, nanti gue turun di Naga, nyambung angkot 14.”
“Ya udah dah,” kata Gantri sambil ngucel-ngucel mata, mungkin kelilipan.
Sejak hari itu dan hari seterusnya, gue selalu pulang bareng Fikri. Alhamdulillah, Gantri rida dan ikhlas merelakan Fikri direbut oleh gue. Kok, jadi kayak cinta segitiga begini jadinya. Hahaha. Lagian, Gantri masih banyak tumpangan lain macam; Fikra Arysanrio, Wisnu Wicaksono, Natigor, dan sebagainya. Meskipun, sesekali ia merayu Fikri untuk bisa menebeng, namun Fikri selalu menjawab, “Sama Faris gue, Gan.” Sungguh Fikri memang ”the real bestfriend”.
Setahun kemudian, Gantri sudah tidak menebeng lagi ke teman lain. Rupanya ia dibelikan motor Suzuki Satria FU. Wuidih. Malah, teman lain jadi suka menebeng ke Gantri, seperti Fikra. Syukur, Gantri akhirnya merasakan pulang-pergi sekolah naik motor. Ketimbang harus menebeng sama teman melulu, seperti yang gue rasakan (malu kalau terlalu sering menebeng).
***
Selanjutnya, gue dan Gantri adalah siswa yang memiliki jerawat “termahsyur” di kelas M2M. Jadi, gue nggak terlalu risau, karena ada Gantri. Menurut gue, Gantri adalah tipikal orang yang tenang. Buktinya, ia berani makan sambal kacang dimana waktu itu jerawatnya sedang mengkudeta area wajahnya.
Masih jernih di pikiran gue, kala itu pada saat jam istirahat pertama, kami seperti biasa jajan di kantin untuk membeli sepiring nasi uduk, nasi goreng, dan jajanan lain. Gue tidak lupa memesan sepiring nasi uduk ditambah satu gorengan yang telah “diguyur” sambal cair. Rasanya sungguh nikmat, meskipun menurut gue untuk satu piring nasi uduk kemahalan (si manusia hemat selalu berkomentar miring).
Sambil menyantap nasi uduk, kemudian Gantri datang sambil menyapa, “Wei.” Tidak lupa gue beserta teman lain yang sedang makan gorengan “tipis” menjawab, “Oy gan.” Setelah itu, Gantri memesan otak-otak (makanan khas Palembang) yang telah diplastik. Perkiraan gue, Gantri bakal memesan otak-otak tanpa bumbu kacang, karena saat itu jerawatnya sedang “bergerilya”.
Ketika gue menolehnya, Gantri sedang asyik mengunyah otak-otak secara lahap dengan bumbu kacang yang … LUBER. Hanjir. Gue sedikit tercengang melihatnya begitu woles mengunyah otak-otak berminyak banyak. Ditambah bumbu kacang yang menutupi otaknya, maaf maksud gue menutupi otak-otak.
Selain tercengang, gue pun berdecak kagum. Ada juga orang kayak begini di dunia fana ini, begitu santai, begitu tenang, dan begitu edan. Gue terus memerhatikan Gantri yang sedang mengunyah, “Nyam, nyam, nyam ….” Sesekali ia menggaruk area wajah, lalu memasukkan otak-otak ke mulutnya, garuk lagi, ngunyah lagi. Terbukti, jerawat memang gatal. Dalam hati gue bergumam, “Gila … jerawat lagi meradang elu malah makan yang berminyak dan kacang-kacangan, Gan.” Detik itu juga, gue makan perlahan melambat, karena terlalu banyak menelan ludah akibat melihat kelakuannya.
***
Selain itu, Gantri mengidolakan band asal Negeri Sakura (Jepang) bernama Scandal. Scandal adalah grup band aliran pop-punk yang beranggotakan 4 orang perempuan. Gue nggak tahu nama personelnya, yang pasti Gantri suka sekali band ini. Hal tersebut, terbukti ketika kelas 1 SMK dulu, ia selalu memamerkan binder (buku catatan) dengan sampul utama bertuliskan Scandal. Prasangka gue dulu, Scandal adalah band dengan aliran musik cadas (heavy metal) dari kalangan marjinal yang kalau nyanyi cuma teriak-teriak nggak jelas juga urakan, rambut gondrong, badan tatoan, celana bolong, baju ketek, dan bau badan.
Dikarenakan gue penasaran Scandal itu band macam apa, gue langsung bertanya ke empunya binder.
“Ini apaan, Gan?” tanya gue sambil melihat tulisan Scandal berwarna kuning.
“Apa Jat? Oh … ini Scandal, Jat,” jawab Gantri singkat.
Seketika, pikiran gue langsung tertuju kepada video blue (xxx) yang berjudul “Terungkapnya Skandal Anggota DPR”. Dimana kesimpulannya ialah Gantri seorang pengoleksi video 3 gp khusus skandal artis/ pejabat yang tertangkap sedang berbuat asusila di tempat kerja.
“Scandal itu apaan, Gan?” tanya gue, penasaran.
Gantri menjawab antusias, “Scandal Jat, band dari Jepang. Semua anggotanya cewek, cakep-cakep lagi.”
“Oh … kayak girlband gitu, Gan?” tanya gue sotoy, karena waktu itu sedang menjamurnya girlband lokal dan interlokal.
“Bukan Jat, bukan girlband. Ini band, semuanya main alat musik,” terang Gantri. “Nih, lihat Jat personelnya, cakep-cakep ye?” tanya Gantri sambil memamerkan semacam pembatas buku yang bergambar empat orang cewek Jepang.
Gue mengangguk tanggung, antara mengakui dan menolak pendapatnya.
Setelah jawaban yang sebenarnya terungkap, gue mulai mengerti bahwa Scandal adalah band. Jadi, Scandal bukan apa yang gue kira sebelumnya: dari musik cadas sampai video xxx. Buang jauh-jauh itu semua, dasar otak ngeres.
***
Selain musik, dia juga menyenangi olahraga. Ya betul, sepak takraw, maksudnya sepak bola. Sebelumnya, gue memang sudah tahu bahwa Gantri demen olahraga sepak bola. Buktinya, ia sering menjadi kiper saat futsal. Nggak salah pilih, dengan postur tubuh jangkung, maka posisi kiper sangatlah cocok untuknya.
Pada sisi lain, Gantri adalah seorang Madridista sejati. Madridista adalah sebutan untuk penggemar/ fans Real Madrid. Sebagai Madridista sejati, Gantri sering memakai jaket putih strip keemasan ketika berangkat sekolah. Dengan bangganya dia menonjolkan sisi keputihannya (kok kayak masalah kewanitaan ya?) kepada orang di sekitar. Misalnya, seperti berjalan di koridor sekolah. Gantri dengan pede mengenakan setelan putih-putih (jaket putih dan celana seragam sekolah putih). Gue bisa menerka di dalam hatinya ia pasti berucap: “Gue Madridista nih! Gue Madridista nih! Mana Cules (sebutan untuk fans Barcelona) kampret? Ayo keluar!”
Sejak saat itu, ia sering menyanyikan chant Real Madrid (nyanyian dari fans untuk tim kesayangan) di kelas: “Hala Madriiid! Hala Madriiid!” sambil memainkan laptop miliknya. Namun, ketika Gantri menyanyikan Hala Madrid yang terdengar oleh telinga gue malah seperti nada lagu Iwak Peyek: “Iwak Peyeeek! Iwak Peyeeek! Iwak Peyeeek! Nasi jaguung! Sampe Tueee! Sampe Tueee! Tetap disanjuung!” begitu.
Gara-gara Gantri sering menyanyikan chant Real Madrid, teman lain pun menjadi tertarik dengan Real Madrid. Padahal, si Gantri kalau nyanyi chant Real Madrid kencangnya cuma pas bagian “Hala Madrid” doang, selebihnya gue yakin dia nggak paham. Lagipula, Gantri suka Real Madrid paling juga karena ada Cristiano Ronaldo, pun Real Madrid adalah klub terkaya di dunia dan bagus dari segi desain jersey.
Beberapa teman yang mulai terkontaminasi oleh nyanyian “sihir” Gantri diantaranya adalah Almira dan Rendy. Kedua orang tersebut sudah sangat jelas tersihir dan masuk ke alam bawah sadar Madridista. Contohnya, Almira mulai sering teriak: “Hala Madriid! Hala Madriid!” dengan suara paraunya sesekali joget-joget, tidak lupa sambil mengenakan jaket putih kebesaran Real Madrid (jaketnya Gantri) walau agak kelonggaran di badan Almira. Kebetulan, saat itu Real Madrid sedang pentas di liga Champions, liga terakbar bagi klub-klub elit dunia. Jadi, Real Madrid sering dielu-elukan dan diperbincangkan oleh awak media. Menurut gue lagi, Almira pakai jaket Real Madrid bukan karena dia menjadi pendukung Real Madrid, tapi karena motif jaketnya bagus.
Kedua, Rendy juga ikut-ikutan memakai jaket El Real, dipadu dengan tas selempang dan mata ngantuknya ia terlihat seperti fans bayaran. Tidak jarang, Rendy sesekali meminjam jaket putih tersebut dari sang empu: Gantri. Sama seperti Gantri, Rendy terlihat memamerkan sisi keputihannya kepada orang banyak. Terkadang, mereka berdua begitu kompak ketika ditanya, “Siapa yang bakal, Barcelona atau Real Madrid?” “Ya Madrid, lah,” terang mereka berdua dengan sedikit nada kesombongan. Padahal, jika kita menilik kembali statistik pertandingan El Clasico, yang sering keluar sebagai pemenang adalah Barcelona.
***
Selanjutnya, Gantri adalah penyuka anime (komik khas Jepang) dan cosplay (berdandan layaknya tokoh anime/ kartun). Hal tersebut gue ketahui dari update statusnya di BBM (Blackberry Messenger) ketika ia sedang mengunjungi salah satu festival cosplay di Jakarta bersama Wisnu, Nabil (MM1), dan teman lainnya. Nggak aneh jika Gantri suka anime dan cosplay, toh sedari dulu ia memang tertarik dengan hal-hal yang berbau Negeri Sakura.
Disamping itu, Gantri ternyata mengidolakan JKT 48. JKT 48 adalah semacam girlband yang personelnya cewek-cewek berparas cantik dengan jumlah cukup banyak, yakni 48 orang. Bernyanyi penuh keriangan dengan rok mini sepaha, disertai tarian penuh enerjik layaknya ABG cute pada umumnya. Personel JKT 48 yang gue tahu hanya Melody (alumni). Empat puluh tujuhnya lagi di luar kekuasaan. Terbentuknya JKT 48 mungkin karena terilhami dari AKB 48 (Jepang). Ingat ya, bukan AK47, itu senjata api.
***
Gue kurang informasi di mana Gantri kini sedang menempuh studi, tapi gue tetap berhubungan dengannya sampai saat ini di jejaring sosial. Wish be luck bro!

20.  Ilham Mahmudi
Masih ingat di pikiran gue, ketika Ilham dicalonkan untuk menjadi ketua kelas bersama Arfil Maulana pada periode kelas 1 SMK, yaitu periode dimana seluruh murid masih jaim (jaga imej). Ketika itu, Ilham dan Arfil dipilih oleh Bu Selvi, wali kelas kami. Sepertinya, Bu Selvi memilih Arfil karena ia beranggapan bahwa orang berbadan tinggi layak dijadikan sebagai pemimpin, padahal belum tentu. Nyatanya, si Arfil semakin ke sini semakin kelihatan sebagai murid senga.
Ilham dan Yulia Mawarini menyabet gelar murid Terrajin. Sumber: foto angket kelas M2M
Alasan kenapa Bu Selvi mencalonkan Ilham sebagai ketua kelas karena menurutnya dia berwajah kedewasaan. Ya, gue pun setuju kala itu tampilan Ilham memang ke-bapak-an banget. Dimulai dari gaya rambut, gaya berpakaian, senyuman, dan postur tubuh. “Sepertinya dia ideal.” pikir gue kala itu. Hasilnya, murid lain pun setuju untuk menunjuk Ilham sebagai ketua kelas, dan alasan mereka sama: Ilham kelihatan lebih dewasa. Arfil? Arfil tersingkirkan saat itu juga karena dari tampangnya tidak begitu menjanjikan. Dengan begitu, maka Ilham resmi menyandang sebagai ketua kelas. Congrats, ma bro!
Beberapa minggu kemudian, kinerja Ilham sebagai ketua kelas mulai dipertanyakan. Ia dinilai tidak begitu baik untuk menjadi ketua kelas. Kegaduhan di dalam kelas, kelas tidak kondusif, dan adanya kesenjangan komunikasi antara para siswa adalah beberapa masalah yang agak sukar untuk diatasi. Imej dewasa, kebapakan, dan kalem dari Ilham yang sempat diperlihatkan dahulu perlahan mulai luntur. Imej-imej tersebut seakan mulai berubah menjadi imej Ilham “yang sesungguhnya”.
Dikarenakan khawatir jika kondisi kelas semakin tidak beraturan, maka wali kelas kami (Bu Selvi) memutuskan untuk kembali mengadakan pemilihan ketua kelas. Seingat gue, alasan Bu Selvi mencopot Ilham dari jabatannya ialah “Ilham kurang tegas”.
Dengan begitu, Ilham resmi lengser dari jabatan tertinggi di kelas. Kemudian, terpilihlah Abyanara sebagai ketua kelas. Sejak posisi ketua kelas diambil alih oleh Aby, situasi dan kondisi kelas perlahan membaik, tanpa meremehkan Ilham. It’s better for you.
***
Semakin kita kenal, semakin kita sering bertemu, semakin kita sering berinteraksi satu sama lain, dan semakin kita paham perilaku beserta watak teman-teman di kelas, maka gue beserta teman lainnya mulai tahu sosok Ilham sebenarnya. Ia agak kemayu. Maaf. Sisi tersebut bisa diketahui dari cara berjalan, berbicara, dan dari bahasa tubuhnya. Hal tersebut membuatnya sering digunjingkan “Kak Sally” (salah satu tokoh pada animasi Upin dan Ipin yang ngondek). Tanpa bermaksud merendahkan Ilham, gue hanya mengutarakan pendapat gue.
Pada sisi lain, walaupun Ilham agak “begitu” tapi ia memiliki badan yang cukup proporsional. Menurut gue, pada lengannya tercetak jelas urat-urat menonjol yang terlihat cukup macho. Dengan begitu, sifat kemayu Ilham sedikit bisa teratasi. Semoga.
***
Selanjutnya, gue pernah menargetkan Ilham untuk dijadikan sebagai “orang” yang bisa diajak nebeng (di samping Fikri dan Faiz). Karena gue adalah manusia nebengan (maneng). Mengapa? Salah sendiri Ilham pulang sekolah searah, makanya gue selalu membujuknya.
“Ham, gue bareng ya?” pinta gue.
“Emang searah?” dia balik bertanya.
“Iya searah, elu lewat terowongan kan?” tanya gue meyakinkan.
Dia nggak jawab. Tanda mengiyakan. Pulang gratis.
Besok dan besoknya lagi, gue selalu memintanya supaya mau mengangkut gue yang malang ini. Teringat di pikiran gue, Ilham selalu membawa motor Mio berwarna hitam dengan kaca spion kecil cembung. Kaca spion yang menurut gue nggak memasuki kriteria kaca spion yang baik.
Hal itu terus berlanjut, gue dengan setia menunggu Ilham memakai jaket, memakai tas, dan memasukkan baju seragam ke celana hanya untuk pulang bareng (pulang gratis). Pada akhirnya, mungkin karena Ilham mulai bosan atau nggak mau memboncengi, maka gue mulai tak diacuhkan.
“Bareng ya, Ham?” tanya gue berseri-seri.
Nggak dijawab.
“Lu sendiri, kan?” gue bertanya lagi, percis kayak tanya cewek single.
Masih nggak dijawab, dia malah asyik berbincang dengan teman perempuan.
Gue ikuti terus kemana Ilham melangkah, walau gue diantepin kayak menunggu pisang matang. Buat gue, “hal itu” nggak jadi masalah, demi pulang gratis. Sejak gue “dikacangin”, Ilham mulai ogah-ogahan membawa “murid tergokil di M2M”.
“Ham, lu pulang sendiri?” tanya gue basa-basi.
Sorry Ris, kayaknya gue mau ke rumah saudara gue dulu.” Jawabnya yang bila diartikan menjadi, “Sorry Ris, gue mau pulang sendiri aja, lu naik angkot gih sana.” Begitu.
Keesokan harinya.
“Ham, bareng ya?” tanya gue, namun kali ini lebih memelas.
“Gak bisa Ris, gue mau ke anu dulu,” dalihnya.
Gue jawab dengan raut muka kecewa, “Ya udah, deh.”
Esok dan seterusnya, gue nggak pernah mengajaknya untuk pulang bareng lagi, percuma. Gue mengerti bahwa gue tidak diinginkan olehnya, lebih baik mawas diri dan terima kenyataan yang ada. Menebeng melulu itu, malu. Percaya deh.
***
Berikutnya, semua murid M2M terasa semakin akrab. Contohnya; gue dipanggil Ijat, Aby menjadi Ebeh, Andika jadi Pae, Gifari jadi Aa Riri, Wisnu jadi Unuy, tidak terkecuali Ilham menjadi Iam. Gue kurang tahu siapa yang pertama kali memproklamirkan panggilan Iam untuk Ilham. Indikasi terkuat panggilan “kesayangan” tersebut berasal dari anak cewek.
Dalam bahasa Inggris, iam dibaca “aiem” yang artinya: aku adalah. Nyambung sih, nggak beda jauh cuma menghilangkan huruf “I” dan “H” saja. Sepertinya, teman-teman mulai merasa susah menyebut atau memanggil dengan nama Ilham. “Ham, Ham … sini Ham.” Kesannya, kayak orang lagi berdehem, “Ehem … ehem ….” Jika dipanggil “Il” kesannya kayak orang sakit (dalam bahasa Inggris ill= sakit). Dengan demikian, Iam adalah panggilan terbaik baginya. Meskipun, panggilan tersebut terkesan cute dan charming.
***
Pendapat gue, Ilham orangnya teliti, tekun, dan cermat (jadi kayak judul LKS buat anak SD). Makanya, ia pandai dalam hitung-menghitung (Matematika). Sering kali, gue mencontek kepadanya pada saat PM (Penambahan Materi). Namun anehnya, Ilham kurang begitu tertarik pada pelajaran Multimedia, yang merupakan pelajaran pokok sekaligus kejuruan. Mengambil jurusan Multimedia tapi kurang demen sama pelajaran tersebut. Manusia itu unik, kita itu unik.
Ilham sepertinya lebih pantas masuk jurusan Akuntansi. Atau, bisa juga dia keliru ketika proses pendaftaran malah mengambil jurusan MM (Multimedia) yang mungkin disangkanya MM adalah kepanjangan dari Multi Mathematics (Matematika bercabang). Angker.
Setiap gue tanya Ilham ketika di Lab. Multimedia, pasti dia sering menjawab ragu.
“Kenapa, Am?” tanya gue penasaran karena ekspresi wajahnya kebingungan.
“Gak tau Jat, gak ngerti,” jawabnya, malas.
“Lah, terus elu gimana ngerjainnya? Sama siapa?” tanya gue, ketika ada tugas Multimedia dan Ilham tidak mempunyai aplikasi tersebut di komputernya.
“Gak tau Jat, biarin aja lah,” katanya santai dengan nada meninggi.
Intinya, sekumpulan jawaban yang keluar dari mulutnya bermaksud: Seadanya aja lah.

***
Berdasarkan informasi yang gue himpun, kini Ilham sudah bekerja sebagai penata ruang seperti untuk acara pernikahan, sunatan, rapat, dan sebagainya. Congrats bro and long live for u!

21.  Indriana Gayantri
Cewek yang ingin menjadi Polwan (Polisi Wanita) ini badannya besar laksana beruang grizzly. Hampir selama 3 tahun, Indri duduk di bangku paling depan bersama Ovylia Sabrina. Alasannya mungkin supaya tidak disuruh maju ke depan kelas untuk mengerjakan suatu soal. Nyatanya, murid yang duduk di barisan paling depan selalu lolos dalam bidikan para guru. Sebabnya, sebagian guru beranggapan bahwa murid yang duduk di depan adalah murid pintar. Sedangkan murid yang duduk di barisan paling belakang macam gue dianggap murid hina, anarkis, dan brutal.
Indri dan Ovy didaulat sebagai Best Couple. Sumber: foto angket kelas M2M
Indri sesekali suka membawa bekal makanan ke sekolah, dia makan bersama komplotannya; Annisa, Ine, Winda, Ovy, dan Almira. Terkadang ketika makan, mereka membentuk formasi bulat dan kotak dalam satu meja. Jadinya, mereka terlihat seperti sedang gala dinner bak selebriti papan atas. Berbincang hangat sembari menyantap masakan rumah disertai guyonan khas cewek-cewek remaja pada umumnya. Gue? Gue makan sendirian di pojokan kelas bersama sapu, pengki, dan ember.
Tidak jarang, Indri menoleh ke gue yang mulai “gila” yang sedang bercengkrama sama ember.
“Bekel sama apaan tuh, Jat?” tanya Indri.
“Oh ini, sama capcai Dri,” jawab gue singkat.
“Oh, sayuran gitu ya, kayak vegetarian?” tanyanya.
Gue nggak jawab, karena gue bukan vegetarian dan bukan Biksu.
Dikarenakan seringnya membawa bekal capcai, brokoli, mentimun, tempe goreng, ikan goreng, dan nasi ke sekolah. Maka, Indri dan murid lain melontarkan pujian ke gue.
“Wih … Ijat bekelnya lengkap banget, ada sayuran, tempe, dan ikan goreng. 4 sehat 5 sempurna ya, Jat?” puji Indri sekaligus bertanya.
Tersipu malu, gue jawab, “E–ehh … iya.”
“Noh kayak Ijat Dri, 4 sehat 5 sempurna. Emangnya elu!” seloroh Faiz.
Gue antepin mereka. Padahal, gue sendiri bosan dan ingin muntah dengan menu yang itu-itu saja. Meskipun, menu itu terlihat komplet.
***
Indri memiliki suara ketawa yang khas, seperti: Ehihihi, Ihihihi, atau Ehihihi, hi, hi, hiiiiiii. Amat mirip seperti suara ketawa serial kartun Andi Bear (Andi si Beruang). Tapi, kalau ini Indri Bear (Indri si Beruang). Sorry. Di berbagai Sekolah Menegah Atas, rok seragam ada dua jenis; satu agak lebar (mengembang) dan satu agak ketat (pas). Rok yang agak lebar biasa dikenakan oleh siswi baik-baik dan bertubuh “standar”. Sedangkan rok yang agak ketat biasa dikenakan oleh siswi nakal dan bertubuh aduhai.
Meskipun berbadan cukup “mengerikan” untuk cewek seusianya, namun Indri tak sungkan untuk mengenakan rok berjenis ketat! Entah apa motifnya dia gemar mengenakan rok tersebut, mungkin supaya terlihat lebih langsing, lebih seksi, atau lebih “kencang”. Dibandingkan jika dia mengenakan rok jenis lebar, mungkin akan terlihat lebih lebar, lebih besar, dan lebih buas.
***
Indri cakap dalam mata pelajaran Olahraga, terutama permainan bola voli. Hal tersebut didukung dengan badan tinggi-besar dan kepalan tangan yang besar juga. Sangat cocok apabila dia menempati posisi servis dalam permainan bola voli. Ketika bola voli dipukul, “Dash!” maka seketika bola berubah menjadi bola api berwarna biru karena saking kencangnya pukulan Indri. Dramatisir. Kadang-kadang, gue ngeri jika melihat Indri bermain voli, takut kalau bolanya terbelah menjadi 6 bagian ketika dia mem-block serangan lawan.
Gue suka membayangkan, jika Indri mengeksekusi laki-laki usil, kemudian menampar laki-laki usil dengan tangan tebalnya. Bagi sebagian perempuan lain, apabila menampar laki-laki akan terdengar suara: PLAK! Namun, berbeda dengannya, maka yang terdengar akan: BLAG! Dikarenakan dahsyatnya tamparan Indri sehingga rahang laki-laki usil tergeser. Tapi itu hanyalah imajinasi, nggak nyata kok.
***
Pada tahun ketiga menempuh studi di SMK PKP 1, kami (M2M) semakin ramai. Tidak terkecuali, Indri memanggil Faiz begitu lebay dan alay: “Faiiiizzz”. Percis istri ketika memanggil suaminya untuk tidur bersama di ranjang: “Pappaaahhhh”. Kadang-kadang, huruf “F” sengaja dihilangkan untuk menambah kesan erotis menjadi: “Aiiiizzz”.
Indri menggoda Faiz di selasar kelas
Panggilan menjijikkan tersebut sepertinya bisa terdengar sampai ruangan kepala sekolah, bahkan sampai kantin. Reaksi Faiz ketika mendengar panggilan “manja” itu cuma nganga disertai mukanya yang memerah semu keunguan. Sedangkan reaksi gue buru-buru menutup kepala dengan tas.
***
Ketika kami sekolah dulu, setiap hari Sabtu selalu diadakan senam rutin mingguan di lapangan sekolah. Senam mingguan tersebut wajib diikuti oleh seluruh siswa-siswi SMK PKP 1 dan juga para guru. Seluruh siswa diharuskan berbaris di barisan depan. Sementara seluruh siswi berbaris di belakang siswa. Sedangkan para guru ada yang berbaris di depan siswa dan ada yang di belakang siswi.
Selain senam, kami jua melaksanakan lari pagi (joging) mengelilingi Yayasan PKP. Biasanya, kami lari secara berurutan berdasarkan kelas mana yang start terlebih dahulu. Acap kali, posisi paling depan barisan dipimpin oleh salah satu guru. Begitupun, dengan posisi paling belakang dijaga oleh salah satu guru juga. So, kami bagaikan sekumpulan bebek yang digiring oleh majikannya ke kandang.
Waktu itu, kami masih mengenakan seragam olahraga berwarna hijau. Seragam olahraga tersebut (katanya) didesain oleh sebagian murid jurusan Multimedia (kakak kelas). Pada bagian depan seragam olahraga itu terdapat sablonan yang bertuliskan J.I.S (Jakarta Islamic School). Menurut gue, sablonan itu masih kasar dan kurang rapi. Jadinya, seragam olahraga tersebut kayak hasil lukisan anak TK. But, no problem, segitu juga (saat itu) sudah sangat bagus untuk tahap pembelajaran dan setingkat SMK.
Terkadang, sesudah melaksanakan senam pagi, khusus murid kelas 1 dianjurkan untuk berlatih seni beladiri asli Indonesia, yakni pencak silat. Saking niatnya, pihak sekolah sengaja mendatangkan pelatih dari luar alam semesta, maksud gue dari luar sekolah. Gue lupa nama pelatih tersebut, yang pasti pelatih kami dulu bertubuh bongsor, berambut pendek, dan pada bagian bawah matanya agak kehitaman. Kriteria tersebut amat tidak mencerminkan sebagai pelatih beladiri, melainkan seperti seorang akuntan.
Tak jarang, apabila akuntan (pelatih) tersebut berhalangan hadir, maka yang menjadi pelatih adalah Pak Sartidi (guru Olahraga). Sebagai guru mata pelajaran Olahraga, Pak Sartidi memiliki sikap semangat yang berapi-api. Saat melatih murid pun, dia tak sungkan berbicara lantang, keras, dan berupaya menyebarluaskan high spirit-nya. Sayangnya, para murid sangat bertolok belakang dengan sikap Pak Sartidi. Para murid terkesan malas-malasan saat mengikuti latihan seni bela diri pencak silat. Ada kemungkinan, mereka capek akibat senam pagi, atau memang mereka tidak ada niatan untuk belajar bela diri asli nenek moyang tersebut.
Saat melakukan kuda-kuda dasar, para murid terlihat tidak semangat. Bahkan, kuda-kuda dasar para siswi kayak orang mau ngeden. Juga, gerakan menonjok mereka seperti tidak bertenaga, tidak cepat, dan tidak berkualitas. “Hiat, hiat, hiat.” Teriakan mereka lebih kencang daripada pukulan mereka. Apalagi ketika melakukan push-up, para murid terlihat begitu memaksa. Dengan push-up, para siswa ingin terlihat macho, kuat, dan jantan di hadapan para siswi. Sementara para siswi ada yang menaikkan pantatnya saja, tengkurap, dan bahkan telentang kayak bangkai ikan pari di pesisir pantai.
Enggannya para murid mengikuti latihan pencak silat, menyebabkan sebagian dari mereka nekat untuk pulang duluan (baca: pulang tanpa izin). Biasanya, perbuatan tercela tersebut dilakukan sebelum Pak Sartidi kembali datang dari joging-nya. Namun, jika murid yang membawa motor ke sekolah biasanya nggak berani berbuat demikian. Sebabnya, nanti akan ketahuan oleh para guru karena suara motor yang dinyalakan.
Sedangkan, bagi murid yang nggak bawa motor kayak gue, kemungkinan besar bisa pulang duluan. Karena, dengan berjalan kaki tidak menimbulkan suara bising seperti motor. Meskipun demikian, gue pernah ketahuan oleh Pak Sartidi ketika hendak cabut. Tepatnya, kejadian nahas tersebut terjadi di depan pos satpam.
Gue melangkah santai sambil membawa tas di lantai bawah. Berharap, tak satu pun guru yang melihat perbuatan curang gue. Namun, saat kaki turun dari ubin ke teras satpam, tepat di depan gue ada tiga guru yang memergoki aksi licik tersebut. Ketiga guru itu adalah Pak Sartidi, Pak Jali, dan Pak Dangze. Mereka membentuk formasi segitiga; Pak Sartidi di depan, sementara Pak Jali dan Pak Dangze di belakangnya.
Sontak, gue kaget tak terkendali. Bagaimana nggak kaget, gue yang sedang cabut terpergok oleh tiga guru sekaligus!
“Hei! Mau ke mana kamu?! Belum waktunya pulang! Ayo, balik lagi!” suruh Pak Sartidi, sesaat menangkap basah perbuatan buruk gue.
Gue langsung balik badan. Kicep.
Pada akhirnya, gue gagal pulang duluan, dan mengikuti latihan pencak silat dengan keadaan terpaksa. Hiat, hiat, dan hiat.
Semakin banyaknya dan semakin seringnya para murid yang pulang duluan, berimbas pada kuota siswa yang mengikuti latihan pencak silat menjadi sedikit. Awalnya, siswa yang mengikuti latihan beladiri tersebut berkisar 80 orang, namun setelah banyak yang melakukan aksi tercela itu menjadi 40-45 orang. Jelas saja, Pak Sartidi selaku sosok penting di balik latihan pencak silat bertanya pada murid-murid, “Ini yang lain pada ke mana?!” Para murid bingung, mau jawab jujur kasihan teman-temannya (solidaritas), sedangkan kalau pertanyaan Pak Sartidi nggak dijawab mereka pasti akan dibanting.
Maka, mau tidak mau para murid menjawab, “Pada pulang, Pak.” Pak Sartidi tersentak saat mendengar jawaban dari para murid, lalu berkata, “Pada pulang? Oh …, ya sudah kalau begitu, kita lanjutkan latihan minggu lalu, oke?! Semuanya siap?! Yo!” Pak Sartidi “menularkan virusnya” pada para murid sambil mengepalkan tangan ke atas yang berarti: semangat! Itulah, salah satu sikap kesatria yang gue kagumi dari Pak Sartidi. Kendatipun sebagian muridnya mabur, semangatnya tidak pernah luntur dan dia tetap bersemangat menyemangati anak didiknya dengan semangat tinggi. Spirit fire buat beliau.
***
Semakin merajalelanya para murid yang enggan mengikuti latihan pencak silat, diikuti kabar gembira yakni Keputusan Peraturan Pemerintah DKI Jakarta menyatakan bahwa hari Sabtu adalah hari libur. Jeng jeng jeng. Berarti, dalam seminggu terdapat dua hari libur, yakni hari Sabtu dan Minggu. Tak diragukan lagi, pemerintah DKI Jakarta memang sungguh pengertian terhadap anak sekolah. Dengan begitu, maka seluruh anak sekolah di ruang lingkup DKI Jakarta memiliki waktu luang lebih untuk berkumpul bersama keluarga, mengerjakan PR atau tugas, dan tidur lebih pulas.
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah tersebut, maka senam pagi dipindahkan ke hari besar umat Islam, yaitu hari Jumat. Dengan adanya senam pagi, maka jadwal mata pelajaran menjadi lebih sedikit. Khusus hari Jumat, hanya dua atau tiga mata pelajaran saja. Biasanya, para murid telah siap mengenakan seragam olahraga dari rumah. Namun, ada juga murid yang mengenakan seragam koko. Jikalau demikian, maka ia harus mengganti kelaminnya, eh pakaiannya. Apabila tidak membawa seragam olahraga, maka ia mesti senam di barisan terdepan. Kecuali, jika murid yang bersangkutan sakit.
Senam pagi dilaksanakan sebelum aktivitas pembelajaran dimulai. Musik pengiring senam membahana ke seantero sekolah. Pak Sartidi selaku guru olahraga yang juga merangkap sebagai instruktur senam, sudah berdiri gagah di lapangan sekolah. Tak tertinggal, tempat berdiri untuk instruktur senam sudah disediakan di lapangan sekolah. Tempat berdiri tersebut terbuat dari kayu berbentuk kubus dengan dua pijakan. Tujuannya ialah supaya gerakan senam dapat terlihat oleh seluruh peserta.
Tak jarang, para murid lelet turun ke lapangan. Hal itu menyebabkan Pak Sartidi meradang, lalu memberi instruksi lewat microphone, “Ayo cepat! Cepat! Yang di atas! Sebentar lagi senam akan dimulai!” Anehnya, sudah diberi perintah secara jelas tapi sebagian murid malah ada yang menatap Pak Sartidi tanpa bergerak selangkah pun. Tak ayal, Pak Sartidi semakin emosi, “HEH, ITU! NGAPAIN KOK MALAH BENGONG?! CEPET TURUN!” Anehnya lagi, sudah dihardik secara keras, mereka malah berjalan santai.
Tak sungkan, Pak Sartidi mengultimatum murid lamban, “KALO KALIAN NGGAK TURUN, BAPAK YANG AKAN KE ATAS!” Jika Pak Sartidi sudah mengeluarkan kalimat “bapak yang akan ke atas”, barulah para murid lamban menuruni tangga. Bila Pak Sartidi tidak mengeluarkan kalimat bernada ancaman layaknya demikian, maka kemungkinan mereka (murid lamban) akan tetap berada di lantai atas sambil nyimeng.
***
Saat naik ke kelas 2 SMK, barulah seragam olahraga hijau berganti warna menjadi merah-putih. Seragam olahraga baru ini tampilannya lebih berestetika, berseni, dan bercirikan. Pada bagian punggung, tertera tulisan “SMK PKP 1 JAKARTA ISLAMIC SCHOOL”. Tulisan tersebut memakai huruf berbentuk balok, mirip permainan Tetris. Pada bagian depan, tepatnya di dada kiri, tertera lambang Yayasan PKP dan juga tulisan yang sama.
Sedangkan kerahnya berbentuk V, tapi bukan seperti kaos yang suka dikenakan oleh Almarhum Olga Syahputra. Kerah berbentuk V itu nggak sampai bagian dada, karena kalau sampai bagian dada maka para siswa akan dikira lekong. Kerah seragam olahraga itu dibalut dua warna, yakni hitam dan putih. Warna hitam sebagai warna utama, dan warna putih sebagai warna kedua. Jadi, warna hitam diberi setrip garis warna putih.
Pada bagian lengan/ tangan didominasi oleh warna putih. Tepat di bagian otot lengan, terdapat setrip warna hitam yang diberi sentuhan setrip tipis berwarna merah. Buat gue, bagian tangan tersebut desainnya keren. Karena, kesannya kami (khususnya gue) kayak memakai ban kapten layaknya pesepak bola profesional. Juga, dengan penambahan setrip hitam dan merah itu, bagian lengan tidak terlalu polos.
Kemudian, pada bagian badan dipenuhi oleh warna merah. Percis di bagian bawah kanan seragam, terdapat warna hitam yang diberi setrip tipis warna putih. Pada bagian belakang seragam pun sama seperti bagian depan. Setrip tipis putih dan warna hitam tersebut mungkin tujuannya sama, yakni agar seragam olahraga tidak terkesan terlalu polos.
Selanjutnya, celana olahraga hampir sama dengan celana olahraga pada umumnya, yakni gombrang. Celana olahraga dikuasai oleh warna hitam. Pada bagian sisi celana tersebut terdapat dua setrip berwarna putih. Percis di bagian bawah dekat betis, terdapat setrip tebal dengan warna utama merah dan warna selingan putih. Setrip tersebut jauh lebih besar daripada dua setrip putih. Tujuannya, sudah tentu untuk menghias celana olahraga supaya tidak terlihat kolot dan kuno. Terakhir, celana olahraga tersebut mempunyai satu kantong di bagian belakang. Namun, kantong itu tidak dalam dan terlalu kecil. Sehingga, apabila menaruh uang asal-asalan maka kemungkinan akan jatuh.
***
Bagaimanapun jua, kegiatan senam pastilah selalu diiringi oleh suara musik. Musik pengiring senam biasanya bertempo cepat, semangat, dan lincah. Karena, amat tidak mungkin jika musik pengiring senam seperti musik You Raise Me Up – Josh Groban. Kami pun sama, senam diharuskan untuk menyetel musik yang menggugah semangat para murid. Musik penggugah semangat para murid yang dimaksud adalah musik … dangdut remix.
Biasanya, sebelum para murid turun ke lapangan musik dangdut itu sudah diputar. Volume musik awalnya kecil, namun ketika seluruh murid telah berada di lapangan, barulah volume dinaikkan. Tak lupa, Pak Sartidi sudah berdiri di atas singgasananya (tempat senam) dengan memakai pakaian bak pemain golf.
Terkadang, instruktur senam sengaja didatangkan dari luar sekolah. Instruktur senam dari luar itu adalah ibu-ibu. Seingat gue, ibu instruktur senam tampilannya mirip instruktur senam yang suka ditayangkan di stasiun televisi ANTV, yakni: rambut diikat kuda, celana ketat selutut, dan pakai jaket. Kemungkinan, ibu instruktur senam biasa menginstruksi senam di kalangan ibu rumah tangga di daerahnya. Sebab itu, ia dipanggil oleh pihak sekolah. Atau, ia bukan instruktur senam, melainkan ibu rumah tangga yang sedang menunggu suaminya mengisi bensin, namun seketika ia disekap untuk dijadikan instruktur senam. Bersama ibu itu, kami (terutama gue) seperti sedang mengikuti senam ala ibu-ibu PKK.
Kembali ke musik pengiring senam. Kaset berupa CD (Compact Disc) diputar di ruang TU. Hal itu diketahui dari seringnya Pak Jali masuk ke ruang tersebut, lalu seketika volume musik akan membesar jika senam mau dimulai, dan mengecil jika senam mau usai. Sepertinya, kaset musik senam itu dibeli dari tukang kaset di pinggir jalan yang harganya goceng dapat tiga kaset. Soalnya, suara musik pengiring itu sangatlah percis dengan alunan musik yang suka disetel oleh kalangan supir angkot dan supir truk tronton. Kira-kira, lantunan musiknya seperti ini: Tetterotet totet totet tererotet tet tet. Atau, seperti ini: Wan tu tri fou! Peng dorodong neng dong dong weu aweu, aweu weu, yo aweu.
***
Sekolah kami dulu, yakni SMK PKP 1 mempunyai gaya senam tersendiri. Senam khas yang dimaksud bernama senam SMK PKP 1. Tata gerakannya hampir sama dengan gerakan senam kebanyakan; Pertama, kedua lengan direntangkan ke depan kanan sambil berteriak: ES! Kedua, kedua lengan berganti posisi ke depan kiri sambil berteriak: EM! Ketiga, kedua lengan kembali direntangkan ke depan kanan sambil berteriak: KA! dan Keempat, kedua lengan direntangkan ke depan lurus lalu ditarik ke belakang sambil berteriak: PEKAPE SATU! Jadilah, kesatupaduan gerakan dan teriakan senam: ES–EM–KA PE–KA–PE SA–TU.
Seharusnya, sehabis pengucapan “pekape satu”, dilanjutkan dengan: dua, tiga, empat, dan seterusnya. Namun, ada juga siswa yang terus-terusan berteriak: satu, satu, satu, satu, satu, satu. Mungkin, jika Pak Sartidi tidak melanjutkan gerakan senam selanjutnya, para siswa dipastikan akan berteriak seperti itu sampai bel pulang berbunyi.
***
Pernah suatu ketika, Pak Sartidi menawarkan siswa-siswi untuk mau maju ke depan sebagai instruktur senam.
“Ayo, kalian ada yang mau maju ke depan? Gantiin bapak?” tanya Pak Sartidi sekaligus menyuruh.
Para murid hanya tongak-tengok dan saling tunjuk satu sama lain.
“Ini aja, Pak”
“Itu aja, Pak.”
“Pak, si Anu Pak.”
“Pak, dia aja Pak.”
Tunjuk-menunjuk di lapangan semakin gaduh. Hal itu membuat Pak Sartidi berang.
“Masa, ada nggak yang berani?!” tanya Pak Sartidi. “Jangan saling tunjuk dong. Yang mau, sini ke depan.”
Akan tetapi, para murid masih melakukan hal yang sama: tunjuk-menunjuk.
Pak Sartidi menunjuk salah satu siswa, “Ya! Kamu! Sini maju ke depan, gantiin bapak.”
Siswa yang ditunjuk, bereaksi sambil geleng kepala, “Ha? Jangan saya, Pak. Jangan.”
Disinyalir, siswa itu takut jikalau ia dilempar kulit kelengkeng ketika maju ke depan.
Karena nggak ada yang mau menjadi instruktur senam, maka Pak Sartidi berupaya membujuk para siswi.
“Biasanya, anak perempuan nih yang suka senam,” kata Pak Sartidi.
Para siswi pun melakukan hal yang sama, yakni saling menunjuk.
Salah satu siswi, ada yang berseloroh, “Jangan saya, Pak. Saya nggak seksi.”
Pak Sartidi menanggapi selorohan tersebut lewat microphone, “Ya, nggak mesti seksi kali ….”
Sedangkan para siswi lain mencemooh si siswi “nggak seksi”, “Huuuuu ….”
“Hayo hayo, inisiatif aja. Siapa yang mau?!” kata Pak Sartidi. “Jangan kayak anak kecil, kalian udah gede. Ayo cepet!”
Hebatnya, para siswi keukeuh tidak ada yang mau maju ke depan. Ketika perbedabatan semakin merajalela, tiba-tiba nama Indri disebut oleh para siswi. Tentunya, siswi kelas M2M.
“Indri, Pak. Indri,” usung salah satu siswi.
“Iya, Indri Pak,” timpal siswi lain.
“Indri Pak, biasa senam katanya,” balas siswi lain.
Indri hanya malu campur mesem.
“Ha? Indri? Kamu? Ayo, sini!” suruh Pak Sartidi pada Indri.
Awalnya, Indri sempat menolak, “Nggak Pak, boong Pak.”
Pak Sartidi memaksa, “Udah, nggak apa-apa. Ayo Dri, sini Dri.”
Rupanya, Indri malu jika hanya ia sendiri ke depan. Sebab itu, Indri mengajak Ovy (teman sebangkunya) untuk menemaninya.
Lantas, mereka berdua pun maju. Indri berdiri di kubus kayu (tempat senam), sementara Ovy berdiri tepat di sampingnya. Gue sempat ragu, jikalau tempat senam akan roboh karena tidak sanggup menahan beban … Indri. Syukurnya, kubus berbahan kayu itu tidak jebol. Indri melakukan gerakan senam seperti apa yang Pak Sartidi lakukan. Sedangkan Ovy mengikutinya sembari nyengir. Pada gerakan senam, terdapat gerakan pantat menungging ke belakang secara seronok. Tepat di gerakan  tersebut, Indri ragu-ragu untuk melakukannya. Sampai pada akhirnya, Indri emoh untuk melakukan gerakan “amoral” tersebut, dan ia hanya berdiri untuk menunggu gerakan selanjutnya.
***
Sama seperti murid di atas, Ilham Mahmudi. Indri terlihat biasa-biasa saja dalam mata pelajaran Multimedia. Bisa dibilang, dia tidak begitu tertarik dengan pelajaran tersebut. Tidak heran, dia amat pantas untuk masuk Akademi Kepolisian karena; badan besar, sorot mata tajam, rambut pendek kayak Yuni Shara, dan tangannya keras. Kriteria tersebut sangat cocok untuk menjadi Polwan berkualitas.
Apabila ada pengendara bandel, ngotot, dan nyolot maka serahkan saja pada Polwan Indri. Seperti di bawah ini.
“Selamat siang, bisa lihat SIM dan STNK?” tanya Polwan Indri.
“Bisa bu, ini,” jawab pengendara malang.
“Wah … bapak ini SIM dan STNK-nya sudah kedaluwarsa, Pak,” tegur Polwan Indri.
Pengendara malang tidak percaya, lalu berkata, “Masa sih, Bu? Masih aktif kok.”
“Lah ini, lihat saja sama bapak,” balas Polwan Indri sambil memperlihatkan SIM dan STNK yang sudah usang selama hampir 8 tahun.
Pengendara malang tertegun, kemudian berkilah, “Lah, iya. Aduh maaf Bu, nanti saya perpanjang deh.”
“Iya, nanti diperpanjang ya, Pak. Sekarang bapak saya tilang dulu,” ujar Polwan Indri sambil mengambil secarik kertas tilang.
“Aduh, Bu … jangan ditilang deh. Nanti saya perpanjang kok, bener,” ucap pengendara malang, tidak mau ditilang.
Polwan Indri menjawab secara bijaksana, “Nggak bisa begitu, Pak. Ini peraturan dan prosedur yang harus ditaati.”
“Pokoknya saya nggak mau ditilang!” balas pengendara malang sedikit membentak.
“Kalau bapak nggak mau ditilang berarti bapak melawan dan melanggar hukum, nanti denda buat bapak lebih berat lagi.” Polwan Indri memberi keterangan secara halus.
“Nggak! Nggak mau! Ya udah, ibu maunya berapa?” balas pengendara malang, ingin “berdamai”.
Polwan Indri merasa heran, lalu berkata jujur, “Maksudnya apa, Pak? Oh maaf, saya tidak bisa menerima ‘ini’ dari bapak, bapak mesti taat pada hukum.”
“Nggak deh! Saya nggak mau kalau harus sidang,” balas pengendara malang mulai ngotot.
Polwan Indri tidak ingin beradu argumen dengan pengendara malang, maka ia segera menulis identitas pengendara malang di kertas tilang.
“Lho, ibu apa-apaan ini?! Saya nggak mau! Ya udah pergi aja!” Pengendara malang panik dan berusaha untuk kabur.
“BRAK!” Polwan Indri menyelengkat motor si pengendara malang yang berusaha untuk melarikan diri. Seketika, pengendara malang jatuh tengkurap tak beraturan.
“Sudah saya bilang, bapak mesti taat hukum!” ucap Polwan Indri sambil membangunkan pengendara malang dari tengkurapnya.
Akan tetapi, pengendara malang malah nyolot dan melototi Polwan Indri, “LEPASIN! SAYA NGGAK MAU DITILANG DAN DISIDANG!”
“DRAG!” Polwan Indri menempeleng keras pengendara malang yang mulai keukeuh. Sekeras seperti saat dia menyervis bola voli. Seketika, pengendara malang terhuyung-huyung lalu ambruk. Helm retak, tulang pipi somplak, dan kerongkongan tersedak. The End.
***
Saat ini, gue kurang tahu mengenai Indri melanjutkan kuliah atau kerja. Ajaibnya, Indri sekarang mulai kurusan dan cantikan dibandingkan ketika sekolah dulu. Semoga, Indri bisa meraih cita-citanya yakni menjadi Polwan yang jujur, berkualitas, berintegritas, dan berguna bagi masyarakat luas.

22.  Mayang Khoirunnisa
Cewek kelahiran Manado ini merupakan cewek tercantik dan termodis di kelas M2M. Dia adalah alumni SMPN 222 Ceger, Jakarta Timur. Gue mengenalnya sejak masa MOS. Kebetulan, kami di jajaran bangku yang sama. Gue duduk sama Jihan (MM1) dan Mayang duduk sama Ariq Habibi (MM1). “Set dah, cantik juga nih cewek.” Gue bergumam dalam hati saat pertama kali melihat Mayang. Lalu, gue menoleh ke Ariq Habibi, “Set dah, cantik juga nih cowok.” Maaf para pembaca yang budiman, gue masih normal.
Mayang terpilih sebagai murid Tercantik. Sumber: foto angket kelas M2M
Mayang cantik, Ariq juga cantik, eh maksudnya ganteng. Jadi, sama-sama enak untuk dipandang dan cocok jika duduk bersama. Awalnya, gue mengira bahwa mereka berdua adalah pasangan/ berpacaran sejak SMP dan memutuskan untuk satu sekolah supaya hubungan tetap langgeng. Tapi ternyata tidak. Soalnya, mereka begitu serasi; mata indah, kulit putih-mulus, dan badan bagus. Mereka berdua seperti boneka Barbie dan pasangannya, boneka Ken. Kalau Mayang duduk sama gue, maka seperti boneka Barbie dan boneka Chucky.
***
Di kelas, Mayang sebangku sama Clazara di barisan paling depan, pojok kanan dekat pintu kelas. Di sekolah, Mayang dipanggil “Mae”. Mae ya guys, bukan Ma’e. Kalau Ma’e artinya Emak dalam bahasa Jawa Karapitan. Dia dipanggil Pae, eh Mae, mungkin dari kata “May” yang terdengar “Mae” atau “Maey”.
Tidak seorang pun memanggilnya dengan sebutan “Yang”, terutama murid laki-laki. Sebab jika dipanggil “Yang”, maka orang lain akan merujuk pada kata “sayang”. Dikarenakan berparas elok, banyak siswa yang naksir kepadanya. Beberapa siswa yang gue tahu adalah; Andika Hermawan, Mohammad Fikra, dan Faidil Achmad Kosim (MM1). Belum siswa lainnya, yang belum terekspos dengan mata telanjang.
***
Mayang pernah menjalin hubungan dengan kakak kelas bernama Budi Utomo. Di tembok toilet laki-laki tertera tulisan “Boedoet” singkatan dari “Boedi Oetomo”. Padahal, Boedoet adalah sebutan untuk STM Budi Utomo, yakni STM yang terkenal akan kehebatan tawurannya.
Gue tahu, karena waktu itu ketika sedang menunggu angkot, gue melihat Mayang dibonceng Budut menggunakan motor Scoopy miliknya. Dia kelihatan begitu gembira, kemudian menoleh gue dan memberikan sebuah senyuman “keterpaksaan”. Gue menyenyuminya balik sambil bergumam, “Hebat juga si Budut, walaupun badannya kecil dan matanya agak beler, tapi bisa ngedapetin Mayang, ckckck.”
***
Setiap hari berangkat sekolah, Mayang selalu menaiki motor Honda Scoopy milik tetangganya, maksud gue miliknya. Motor tersebut berwarna putih, ban diganti dengan ban super tipis, dan velg diganti dengan velg jari-jari berwarna keemasan. Gue sama sekali tidak menyangka, bahwa selera Mayang terhadap motor hampir sama dengan (maaf) selera cabe-cabean. Atau bisa juga, Mayang dulunya sebelum masuk SMK adalah anak motor sejati.
Gue salut dengannya, karena bisa mengendarai motor dengan ban “cungkring” secara stabil. Gue sendiri kurang suka dengan ban tipis laksana ban sepeda, karena body motor tidak ditopang secara sempurna. Jadi, body motor terasa lebih berat karena tidak bertumpu dengan ketebalan ban standar.
***
Pernah suatu ketika, gue dibonceng Mayang menaiki sepeda motor miliknya. Jika tidak keliru, saat itu kami mau mengerjakan tugas kelompok, dan tugas tersebut dikerjakan di rumah Mayang. Lumrahnya, setiap bangsa di dunia ini cowok memboncengi cewek. Lucunya, gue malah dibonceng sama cewek, mentang-mentang gue Maneng (Manusia Nebengan), yakni manusia yang selalu ingin dibonceng.
Kala itu, gue bukannya nggak mau memboncengnya, tapi gue belum terlalu bisa mengendarai motor. Apalagi ini motor bannya tipis banget kayak hula hoop. Takut kalau gue yang nyetir nanti malah oleng, lalu nyusruk ke comberan. Sebab itu, gue urung dan duduk pasrah di belakang.
Sumpah, gue malu banget sebagai laki-laki tapi malah dibonceng. Parahnya, saat itu keadaan di sekolah sedang ramai, karena bertepatan dengan jam pulang sekolah dan kelas kami sedang melaksanakan latihan upacara. Tragisnya, Mayang malah ngobrol ngalor-ngidul dengan temannya sambil memanaskan motor yang mana gue sudah menclok di atas jok motor.
Gue cepat membuang muka ke arah kanan. Karena di arah kiri, terdapat lautan siswa-siswi sedang menuju parkiran. Gue mulai gelisah, frustrasi, dan kegerahan.
“May please May, jalan May …,” gue memelas dalam hati.
“Ayo May, cepetan May, gue udah mulai gerah …,” gue masih memelas, namun kali sambil menunduk penuh ketidakberdayaan.
Tak lama kemudian, motor bergerak menjauhi lingkungan sekolah. Gue berteriak dalam hati, “YES! MUKA GUE NGGAK DITARUH DI PANTAT LAGI!” Motor melaju lumayan cepat, gue sengaja menengadahkan kepala supaya angin dapat membelai keringat yang bercucuran deras.
Jika ada anak SMA, SMK, atau STM menyalip, maka gue dengan spontan akan membuang muka. Bagi kalian yang belum tahu arti dari kiasan buang muka adalah “tidak ingin melihat, enggan untuk melihat, dan malas untuk melihat”. Jadi, bukan berarti muka gue dibuang ke jalan, kemudian ganti muka, bukan! Memangnya gue Lego yang bisa dibongkar pasang.
Lanjut. Tergantung dari arah mana mereka menyalip. Jika mereka menyalip dari kanan, maka gue akan membuang muka ke kiri. Jika mereka menyalip dari kiri, maka gue akan melakukan sebaliknya. Sedangkan jika mereka menyalip dari kanan dan kiri secara bersamaan, maka gue akan segera mengenakan kerudung supaya dikira cewek muslimah.
Fortunately, waktu itu kondisi jalan raya sedang lengang dan tidak macet. So, gue dapat dengan bebas cengar-cengir tanpa ada orang yang melihat. Bisa dibayangkan jika jalanan macet, mungkin orang-orang di dalam angkot akan menceletuk, “Ih cowok apaan tuh, payah banget kok diboncengin cewek.”
Setelah melewati terowongan Kelapa Dua Wetan, motor berbelok ke gang SMAN 64. Gue mulai cemas, karena murid-murid SMAN 64 jam pulangnya sama dengan SMK PKP 1. Luckily, mereka (murid SMAN 64) belum keluar. Tetapi, tepat di depan gerbang sekolah SMAN 64 ada mobil bak sedang putar balik. Otomatis, Mayang menghentikan motor ‘tuk sesaat serta menunggu mobil itu ke jalur yang benar.
Karena lama, Mayang mulai tidak kerasan, lalu memundurkan motor dengan kaki jenjangnya. Gue merasa nggak enak, perlu turun apa nggak usah. Mau turun kagok, nggak turun kasihan Mayang keberatan. Akhirnya, gue nggak perlu turun, sementara Mayang susah memundurkan motornya karena ada gue, si Maneng.
Pasca momen kikuk tersebut, gue merasa seperti seekor luak yang ingin dikebiri oleh majikannya. Sepanjang perjalanan gue hanya menunduk, merasa seperti laki-laki tak berguna, dan nggak enakan sama Mayang. I’m sorry for this.
***
Selain pengalaman memalukan di atas, ada satu pengalaman yang nggak kalah parah. Kejadian tersebut terjadi saat malam hari ketika kami baru pulang mengerjakan tugas kelompok. Kala itu, awalnya gue dibonceng sama Aby dalam perjalanan pulang. Sementara Mayang mengendarai motor sendiri alias tidak memboncengi siapa pun.
Namun, ketika sampai di pertigaan terowongan Kelapa Dua Wetan, Aby meminta gue untuk pindah ke motor Mayang. Alasannya karena gue nggak searah dengannya, yakni belok kanan menuju Arundina. Sedangkan Mayang searah dengan gue, yaitu belok kiri menuju Cipayung.
“Ris, sampe sini aja, ya? Lu bisa bareng Mayang,” tanya Aby sekaligus mempersilakan gue lengser dari motornya.
“Oh, oke By,” gue menjawab agak malas, malas karena dibonceng cewek lagi.
“Nggak apa-apa kan, Ris?” tanya Aby meyakinkan.
“O–oh, nggak apa-apa. Makasih, By,” jawab gue, tidak lupa mengucapkan terima kasih sembari menepuk pundaknya.
Tak lama berselang, Mayang datang menepikan motornya.
“Kenapa? Kok berhenti sih?” tanyanya.
Aby meminta bantuan Mayang, agar bersedia membonceng gue yang hina ini, “May, Faris sama lu ya? Gue mau langsung pulang.”
Dipikir-pikir, gue tak ubahnya paket ganja dari Boko Haram yang berpindah-pindah dari pengantar ke pengantar lain.
Selanjutnya, Mayang mengiyakan permintaan Aby.
“Gitu ya, ya udah deh,” ajak Mayang, antara mau dan nggak.
Mendengar balasan ketersediaannya untuk mengantar pulang, gue bersyukur. Karena, nggak usah naik angkot. Akan tetapi, ketika gue hendak melangkah tiba-tiba Mayang bertanya.
“Ris, lu bisa naik motor, kan?” tanyanya, sebelum gue mengangkangi jok motor.
Gue kaget mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutnya, “Ngeh?!”
Jujur, saat itu gue memang sudah bisa mengendarai motor di lapangan kosong, tapi masih belum bisa kalau di jalan raya.
“Iyaaa, bisa kan, naik motor?” tanyanya lagi. Sepertinya Mayang letih karena telah menunggangi motor lumayan jauh.
“A–aaa … o–ooo … iya, bisa!” jawab gue ragu-ragu, lalu seketika menjadi lantang.
“Ya udah, lu yang ngendarain ya? Gue dibonceng,” katanya sambil menggeserkan posisi duduknya ke belakang.
Kemudian, gue memegang setang Honda Scoopy miliknya penuh keyakinan, berharap lancar sampai gang kontrakan, yakni gang Tongseng.
Di lokasi, masih ada Aby yang hanya sekadar memastikan bahwa gue dan Mayang dapat pulang dengan selamat.
“Lu bisa naik motor, Ris?” tanya Aby nyengir, seakan meragukan gue.
“Tenang aja,” jawab gue, sok bisa.
Setelah pantat menduduki jok motor, perasaan ragu kembali menghampiri gue. Gue naik motor agak jinjit sembari menarik gas perlahan sekaligus menyeimbangkan badan. Dikarenakan motor nggak maju-maju, dan Aby percaya pada gue sepenuhnya, maka dia pulang duluan meninggalkan gue dan Mayang.
“Oke deh. Ris, May, gue pulang duluan ya. Hati-hati di jalan!” kata Aby sambil menganggukkan kepalanya, lalu pergi menembus dinginnya malam.
“Yo, By!” jawab gue, masih susah menyeimbangkan motor hula hoop.
Aby yang mungkin sudah entah di mana, bahkan dia telah sampai di rumahnya. Sementara gue masih mencoba menyeimbangkan motor, sesekali mendorong motor menggunakan kaki.
“Ati-ati, Ris.” Mayang memperingati gue dari belakang supaya berhati-hati.
Gue nggak menanggapinya, hanya terus berupaya agar motor dapat bergerak membawa kami berdua ke tempat tujuan.
Gue memberanikan diri untuk menarik gas lebih dalam dibarengi menyeimbangkan motor.
“RIS, ATI-ATI!” Kali ini Mayang memperingati gue lebih keras.
“Iya, iya …,” jawab gue sambil terus berupaya memaksakan diri.
Di belakang, situasi jalan ramai lancar dan kendaraan lalu-lalang begitu cepat.
Tidak jarang, gue melihat ke kaca spion. Terdapat banyak mobil dan motor melintas. Hal itu membuat gue semakin ragu untuk mengendarai motor dan juga memboncengi Mayang. Ketika gue mencoba memasukkan motor ke jalan raya, tiba-tiba gue dikagetkan oleh klakson mobil yang melintas.
“TIIINN! TIIINN! NGEEENG … !” Mobil sarap meng-klakson kami dengan kecepatan ngebut.
Sontak, gue kaget kelimpungan disertai jantung berdebar-debar dan napas tersengal-sengal akibat mobil edan itu. Gue semakin parno, karena bawa motor dan bawa nyawa orang.
Sementara Mayang, menjerit histeris ketakutan.
“AWWHHH! FARIIIS! UDAH RIIIS! UDAAAH!” Mayang menjerit, tepat di telinga kanan gue.
Sementara gue masih shock, tangan sedikit bergetar, dan mata melotot kesana-kemari.
Gue kembali melakukan hal yang sama, namun kali ini malah motor yang meng-klakson kami.
“TINIIIITTT! WUUUSSS … !” Suara cempreng dari klakson motor Legenda membuat gue semakin goyang-goyang mengarahkan setang motor.
Mayang kembali menjerit, tapi kakinya telah turun ke aspal, “RIIISSS! UDAH RIIISS! BERHENTIII!”
“UDAH RIS, AH! GUE AJA SINI YANG NYETIR!” Cetusnya, menyuruh gue beralih dari jok depan ke jok semula: jok belakang.
Alhamdulillah, gue masih diajak pulang bareng dengannya. Daripada kayak begini: “UDAH RIS! TURUN! LU NAIK ANGKOT AJA SANA!” ketusnya, dibarengi melempar uang dua ribu rupiah ke muka gue. Lalu gue ditinggalkan seorang diri.
Dikhawatirkan keadaan semakin bertambah chaos, maka gue turun dari jok depan, kemudian pindah ke jok belakang dengan perasaan: malu. Sekilas, gue melihat muka Mayang agak “dilipat”. Itu artinya, dia jengkel campur trauma.
Melihat raut “mukanya” seperti itu, gue berinisiatif meminta maaf secara pelan, “May, sorry May ….”
Mayang membisu, mungkin dia masih paranoid atas insiden barusan.
Setelah perkara yang tidak mengenakkan itu, motor kembali melintasi jalan raya. Anehnya, motor hula hoop berjalan dengan baik dan benar ketika dikendarai oleh pemiliknya. Anehnya lagi, mobil dan motor tidak ada yang mengklakson seperti apa yang mereka lakukan kepada gue.
Sedangkan dikendarai oleh gue, motor itu seakan ogah-ogahan dan susah diatur. Sepertinya, dia (motor) nggak mau jika dikendarai oleh orang yang belum terlalu bisa naik motor.
Setiba di gang Tongseng, gue turun. Tidak lupa, gue mengucapkan “terima kasih” kepadanya. Kemudian, Mayang menuju rumahnya menyusuri jalanan yang mulai sepi.
***
Next, Mayang merupakan seorang pionir hijaber. Hal tersebut dibuktikan dengan seringnya dia meng-upload hasil kreasinya pada akun Youtube-nya. Tidak jarang, ia suka hunting ke beberapa tempat untuk difoto dan memfoto bak model internasional. Biasanya, jika sedang hunting dia bergaya ala Dian Nitami, eh Dian Pelangi. Gue berpikir, Mayang semestinya masuk sekolah model. Hal itu ditunjang oleh parasnya yang cantik dan badannya yang lumayan bagus.
Hal yang paling gue ingat adalah dia berhasil menyatupadukan hijab dengan gothic. Gampangnya, setelan busana hijab dipadukan dengan nuansa serba hitam. Gue amati hasil karyanya dalam-dalam, lalu menyimpulkan bahwa kreasinya amat baik untuk setingkat siswi SMK. Selain itu, Mayang terus mencoba beberapa tema lain untuk mengasah kreativitasnya.
Disamping difoto, Mayang juga bisa memfoto. Jangan dikira, hasil fotonya menurut gue amat baik. Terlebih, Mayang mempunyai kamera SLR (Single Lens Reflex). Maka tidak heran, dia pandai dalam mengoperasikan kamera. Pepatah kuno menyebutkan, “Barang siapa mau mengulik, maka akan terkuak.” Maksudnya, siapa yang mau belajar dengan teliti, maka akan mendapat ilmu/ rahasia yang terkandung di dalamnya.
***
Ada satu foto ciptaannya yang begitu cepat menyebar ke kalangan siswa-siswi SMK PKP 1 angkatan 2010. Yakni foto almamater sekolah hitam yang digantung di pintu lemari. Foto tersebut fokus pada lambang warna putih bertuliskan “SMK PKP 1 DKI JAKARTA” dengan pengambilan close up. Kemudian di samping lambang PKP, terdapat sepatah dua patah kata, tapi gue lupa kata-katanya. Maksud Mayang memfoto almamater kebesaran PKP adalah supaya para siswa-siswi SMK PKP 1 harus lulus berbarengan. Juga, terkandung pesan moril bahwa kami harus semangat dalam melaksanakan Ujian Nasional percobaan 20 paket.
Selain difoto dan memfoto, Mayang juga bisa merekam video. Khususnya pada tugas akhir sekolah dulu, dia ditugaskan sebagai pemain dan camerawoman pada project film pendek berjudul Investigation, Interruption, dan Interrogation (III). Film pendek tersebut beranggotakan Mohammad Abyanara Fatah, Mayang Khoirunnisa, Rose Wantini Cholifah, Fadel Muhammad, Adrian Sudrajat, dan gue. Bila ada yang ingin menonton film pendek buatan kami, kalian bisa menontonnya di Youtube.
Kru film III sedang berfoto bersama para fans. (dari kiri: Tante-tante [Rose], Mae [Mayang], Tukang Parkir [gue], Mantannya Rose [Adriansyah Sudrajat], Si Jambul [Fadel], dan yang motoin Ebeh [Aby])
Sebenarnya, masing-masing anggota ditugaskan dobel. Tata caranya silih berganti; Bila Mayang merekam, gue atau Fadel acting. Kalau Mayang acting, gue merekam. Dalam pengambilan adegan, tidak selalu gampang cara mengatur serta menghasilkan video yang sempurna. Selalu ada kendala, baik di dalam ruangan maupun luar ruangan. Untungnya, kami punya Mayang si tukang foto, eh maksudnya fotografer.
***
Setelah pengumuman nama-nama kelompok tugas akhir disebut, gue merasa bimbang. Bimbang karena tugas tersebut akan dikerjakan di rumah siapa? Jika dikerjakan di rumah Aby, yakni Arundina; Gue nggak punya motor, naik ojek mahal, naik angkot malas, dan jalan kaki bisa tepar. Jika dikerjakan di rumah Fadel, sama saja di situ-situ juga (Arundina). Jika dikerjakan di rumah Rose lebih parah lagi jauhnya, perlu bekal galon tiga liter. Jika dikerjakan di kontrakan gue: sempit, panas, dan berantakan.
Dengan demikian, satu-satunya tempat paling pas untuk dijajahi adalah rumah Mayang. Gue mengira, rumahnya di dekat Kampung Artis. Ternyata, rumah Mayang berdekatan dengan klinik bersalin Bidan Endang. Gue tahu, soalnya dulu nyokap melahirkan adik gue di Bidan Endang. Bisa dibilang rumahnya lumayan dekat, dibandingkan dengan Arundina atau rumah Rose. Gue girang bukan kepalang, karena nggak harus mengeluarkan duit. Tinggal jalan kaki lewat gang Tangki, lalu jalan lurus, terus belok kiri, sampai deh ke rumahnya. Hidup ini nggak ribet, guys.
Mayang dan Gue sedang bermain sepedaan di lingkungan rumahnya
Rumah Mayang berada di lingkungan kompleks. Waktu itu, gue sama Aby mencari rumahnya hingga mengelilingi kompleks. Karena agak sukar menemukan rumahnya, maka kami bertanya pada satpam kompleks, “Pak, kalo rumah Mayang di mana ya?” Satpam kompleks lantas menjawab, “Itu Dek, yang sebelah kiri.” Sampai di depan rumahnya, kami memanggil seperti anak kecil berumur tujuh tahun, ”Maey–yang”. Tadinya, gue mau panggil begini: “Maey–yang, main masak-masakan yuuuk.”
Setelah gerbang dibuka, kami dipersilakan pergi (masuk). Di teras rumahnya, terdapat motor Scoopy dengan ban hula hoop (milik Mayang) dan motor Vario (milik mamanya). Pintu rumah dibuka, “Jkrek.” Mayang hadir dari balik pintu diiringi sebuah senyuman.
“Ayo, masuk sini …,” kata Mayang.
Kami pun masuk dengan langkah agak membungkuk.
Kami masuk dengan langkah wong deso, eh bukan kami, tapi gue doang. “Gede juga ….” Gue takjub sambil mata ini jelalatan kesana-kemari memandang seisi rumahnya. Kemudian, Mama Mayang datang menyambit, eh menyambut kami berdua.
“Halo …,” sapa Mama Mayang kepada gue dan Aby.
Kami menjawab sambil sun tangan, “Halo … Tante.”
“Temennya Mayang, ya?” tanya mamanya.
“Iya, Tante. Heheh.”
“Ya udah deh, ayo duduk dulu,” ujar mamanya, mempersilakan kami duduk.
“Iya …  makasih Tante,” jawab kami, nyengir.
Setelah itu, gue dan Aby duduk di sofa yang agak berdebu. Karena gerah, gue segera membuka jaket dan melepas tas ransel. Aby pun demikian dibarengi merapikan poninya yang agak berantakan. Tak lama setelah itu, Mayang datang masih dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.
“Hai,” sapa Mayang.
“Hai,” sapa Aby.
Gue cuma senyum, suasana mulai agak canggung.
Kemudian, Mayang duduk lalu menyalakan kipas angin yang agak berdebu. Brrrr. Suara kipas angin sedikit menyingkirkan kecanggungan di antara kami. Setelah diam beberapa saat, Mayang menatap gue dan Aby dengan tatapan: cepet pulang, kek. Sementara, Aby sedang membereskan perlengkapannya. Sedangkan gue masih menyusuri sudut-sudut rumahnya layaknya wong katro.
Kami bertiga masih duduk-duduk tanpa sepatah kata pun. Siang itu, hawa sungguh panas. Tinggal dikasih suara radio yang menyatakan bahwa perang akan dimulai, maka suasana tak jauh berbeda seperti di perbatasan Suriah.
Pada akhirnya, empu rumah buka suara setelah hampir 7 menit kami membisu.
“Gerah, ya? Mau pada minum apa, nih?” tanya empu rumah sambil ancang-ancang mau berdiri.
“Air putih aja, May,” jawab kami, sungkan.
Tadinya gue mau minta: “Jus alpukat dingin pake susu coklat, yang banyak, kalau perlu nyampe luber.” Setelah itu, gue diusir menggunakan kemoceng.
Dekat ruang tamu adalah ruang keluarga. Di sana, ada televisi yang kebetulan menghadap ke ruang tamu. Jadi, kami bisa menonton beberapa acara televisi dari ruang tamu. Sambil menunggu empu rumah, gue dan Aby berbincang tentang project film yang akan kami buat.
Tak lama, Mayang datang membawa dua cangkir air putih dan sirup jeruk. Seperti biasa, gue selalu jaim ketika hidangan sudah dipersiapkan. Seandainya di rumah (kontrakan) sendiri, mungkin sudah gue tenggak sampai habis. Kemudian, Mayang meletakkan minuman tersebut di atas meja.
Aby berucap, “Makasih, May.”
“Makasih,” ucap gue, jaim.
Mayang menjawab, “Iya, sama-sama.”
“Nih Ris,” kata Aby, sambil menaruh gelas di hadapan gue.
Gue menanggapi, “Oh iya, By.”
“May, ini kita minum ya?” Aby meminta persetujuan empu rumah. Karena, dari tadi kehausan.
“Iya, ayo diminum,” pinta Mayang.
“Sruput … ah …,” kami meminum begitu jaim, terutama gue.
Brrrrrr. Kipas angin agak berdebu menolong gue yang sedari tadi kegerahan. Sejak sepuluh menit lalu, gue kadang meniup-niup lengan, kadang menyeka keringat menggunakan saputangan, dan kadang menarik-narik kerah baju supaya adem. Untungnya, gue nggak sampai buka baju.
Kami berdiskusi tentang bagaimana project tersebut akan digarap. Kami membahas konsep, tema, genre film, alur cerita, karakter, dan tempat. Kami membagi tugas siapa yang akan menjadi sutradara, penulis cerita, editor, cameraman, dan sebagainya. Saat itu, kami bertiga sedang menunggu dua teman, yakni Fadel dan Rose. Kami setia menunggu mereka sembari berguyon khas anak SMK pada umumnya.
Setelah mereka berdua hadir, kami berembuk secara seksama. Hari-hari berikutnya kami berlima selalu merencanakan, menyumbang ide, dan mengerjakan tugas akhir di rumah Mayang. Thank u very much for the place, May!
***
Sehabis pulang sekolah, biasanya kami langsung menuju rumah Mayang. Masih dibalut seragam putih-putih jika hari Senin, seragam batik jika hari Kamis, dan seragam putih-abu jika hari Selasa, Rabu, dan Jumat. Keringat bercucuran deras akibat rangsangan dari sengatan matahari. Hal itu, membuat seragam sekolah menjadi lepek. Dilapisi jaket tebal dan rompi PKP, peluh terus merembes tak terbendung.
Setiba di dalam rumahnya, seperti biasa kami: duduk, tarik napas, buka celana, maksud gue buka jaket, melepas tas ransel, merapikan rambut, tarik napas lagi, dan terakhir … menyalakan kipas angin yang agak berdebu.
Kemudian, kami berbincang “kaku” sembari mengecek handphone. Barangkali ada sms “mama minta pulsa” atau “mama minta cucu”. Tak lama setelah itu, yang paling ditunggu datang yaitu: minuman dan camilan. Dengan begitu, maka segala kesemrawutan seperti: ketek basah, rambut bau angit, bibir kering, lidah putih, dan mata beler akan segera lenyap dengan air dingin dan camilan renyah.
Kami menatap berbarengan ke nampan yang dipenuhi gelas, teko, dan beberapa makanan ringan.
“Gak usah repot-repot, May,” kata Fadel sambil melirik penuh hasrat ke nampan yang dibawa Mayang.
“Jadi ngerepotin nih, May,” kata Aby sungkan sambil menggeretakkan ruas-ruas jari tangannya.
“Gak usah repot-repot, Maeee …,” ujar Rose sedikit memelas, seperti nenek gayung sehabis keserempet angkot 16.
“Ngerepotin nih,” kata gue singkat, dengan intonasi yang berarti: bagus nih.
“Iya nggak apa-apa kok, cuma sedikit. Ayo diminum Del, By, Ris, Ros.” Mayang mempersilahkan.
Karena tujuannya untuk membahas tentang tugas akhir, maka kami langsung menghabiskan camilan, maksudnya kami langsung bermusyawarah untuk merampungkan tugas tersebut. Masing-masing dari kami menuangkan seluruh aspirasi yang ada di dalam tempurung otak, untuk digagaskan pada project tersebut. Kami terus berunding bagaimana supaya dapat membuat film pendek bermutu.
Hasil belum didapat, kami sudah meneguk minuman dan mengunyah beberapa camilan.
“Coba ya, May?” Aby meminta persetujuan si empu rumah.
“Iya, makan aja,” kata Mayang begitu lepas.
“Apaan tuh, By?” gue pura-pura bertanya padahal mau nyicip.
“Nih Ris, cobain,” ujar Aby, sambil memberi sebungkus keripik singkong.
Ketika keripik singkong mengenai gigi geraham, gue merespons, “Nyam … nyam … nyam … enak ya.”
“Enak lah, gratis …,” timpal si jambul, Fadel.
Kami tertawa berbarengan, “Ahahahaha.”
Selagi tertawa renyah, gue tersedak keripik singkong lancip yang mengenai kerongkongan, “Ahahahhkk… hahahkkhh … hkokkhh … khoohhkkh!”
Rose? Dia sok anggun kayak model demo alat peranti masakan yang kerap kali ditayangkan di TV Banten.
Hari sudah sore, maka kami pulang ke rumah masing-masing. Tidak terkecuali Mayang, dia memang sudah berada di rumahnya.
***
Hari selanjutnya, kami memutuskan untuk pulang ke rumah terlebih dahulu supaya agak segar dan bisa ganti pakaian, bahkan ganti muka. Rose nggak pulang dahulu, karena rumahnya jauh. Kalau Rose pulang, bisa-bisa dia kembali lagi sekitar jam 11 malam. Lagian, Rose sudah akrab sama keluarga Mayang. Jadi, Rose tak ubahnya adik pungut Mayang. Bahkan, kalaupun Rose ingin menginap di rumah Mayang, akan diperbolehkan.
Kemudian, setelah berkemas sedemikian rupa, kami bertiga (gue, Aby, dan Fadel) berkumpul kembali di basecamp (rumah Mayang). Fadel dengan jambulnya yang runcing, klimis, tegak, dan lurus. Aby dengan poninya yang melambai, rupawan, dan gigi bersih. Sementara gue dengan wajah wong katro, mata sembap, dan rambut kaku tak beraturan. Human is unique guys!
Setelah itu, kami pergi ke beberapa tempat untuk melakukan pengambilan gambar, yakni shooting (baca: syuting). Kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain demi rampungnya tugas akhir. Dengan cakap, Mayang membawa kamera SLR miliknya ke manapun dia pergi. Terkadang, Rose yang membawa kamera, sementara Mayang fokus mengendarai motor Scoopy “kilikan” kesayangannya.
Kadang, meski hari libur kami tetap berkumpul dan mengerjakan project tersebut di rumah Mayang. Kebetulan, setiap hari Sabtu free. Jadi, kami sekalian bercapek ria dan besoknya (Minggu) bisa beristirahat dengan damai. Lumrahnya, kami berkumpul di rumah Mayang sekitar jam 10 pagi atau sehabis lohor. Akan tetapi, pekerjaan baru dimulai kurang lebih sehabis asar. Iya, soalnya kami hampir seharian menunggu datangnya Princess Rose. Ngaret is culture of Indonesia.
Selama menunggu Rose, waktu luang yang terbuang dipakai untuk duduk-duduk sembari bercakap-cakap, mengetes kamera, dan ngemil. Rose tak kunjung tampak, membuat kami jenuh campur kesal.
“Kemana sih nih, si Rose?” tanya Aby mulai gusar.
Sambil mengunyah astor, gue menimpali, “Au tuh, lama banget.”
“May, emang rumahnya dia di mana sih?” tanya Fadel, mulai bosan.
“Rumahnya jauh Del, deket perbatasan Bogor,” jawab Mayang.
“Jauh juga ye,” Fadel sedikit kaget.
“JRIT! BOGOR?!” gue tersentak dalam hati.
Blup. tiba-tiba Blackberry milik Mayang berbunyi. Menandakan ada pesan masuk.
“Dia masih di jalan, bentar lagi katanya,” kata Mayang, sambil membaca pesan masuk dari Rose.
Aby tampak emosi, lalu ngomong, “Lama banget, suruh cepet gitu.”
Fadel menimpali, “Suruh cepet May, keburu sore.”
Gue mengangguk, tanda setuju.
Dua puluh menit kemudian, Rose datang dengan wajah agak menor. Tak ingin berlama-lama, kami langsung pergi ke beberapa lokasi yang sudah ditandai sebelumnya.
***
Mayang mempunyai adik perempuan bernama Dita. Dita merupakan atlet voli. Mayang pun mahir dalam permainan bola voli, begitu juga dengan mamanya. Tidak jarang, kalau gue berkunjung ke rumah Mayang, mama dan adiknya sudah siap-siap mau berangkat untuk bermain bola voli. Hebatnya, tinggi badan Dita hampir sama dengan tinggi badan Mayang. Meskipun, saat itu Dita masih duduk di bangku SMP. Ya bagaimana nggak tinggi, namanya juga atlet voli, kecuali atlet karambol.
Selain mama dan adiknya, sesekali gue berjumpa dengan bapaknya. Bapaknya adalah anggota TNI Angkatan Darat. Bertubuh besar, kekar, dan mekar. Tak ubahnya pensiunan gulat. Kalau di Indonesia, bapaknya kayak pemain sinetron bernama Bang Tigor dari Medan. Kalau di luar negeri, kayak bintang film Dwayne ‘The Rock’ Johnson. Sedangkan kalau di dunia gulat, seperti Brock Lesnar.
Setiap kali gue ke rumah Mayang, bapaknya selalu memakai kaos ketat khas Marinir dan celana pendek selutut. Bila dilihat dari jarak 15 meter, bapaknya mirip biarawan, eh binaragawan. Honestly, pertama kali melihat bentuk badan bapaknya, gue takut. Takut gue disangka mau maling jemuran, terus dibanting dari lantai dua.
Next, gue sama Aby dipersilakan masuk rumah. Lalu, kami duduk manis di sofa agak berdebu. Tak lama setelah itu, bapaknya muncul dari arah dapur. Bapaknya berjalan dengan gagah layaknya tangan kanan bos mafia. Kemudian, kami diperkenalkan dengan bapaknya oleh Mayang.
“Pah, kenalin temen Mayang. Ini Aby dan ini Faris,” kata Mayang kepada bapaknya.
“Halo, Om,” sapa Aby, tidak lupa sun tangan.
Gue juga menyapanya sembari sun tangan, “Eh–heh, Om ….”
Ketika sun tangan bapaknya, gue khawatir kalau tangan gue bakal diremukkan. Alhamdulillah, nggak terjadi.
Bapaknya memulai pertanyaan, “Temen-temennya Mayang, ya?”
“Heheh, iya Om. Temen sekolah,” jawab kami berdua, lancar.
“Mau pada ngapain, nih?” tanyanya lagi.
Aby menjawab, “Ini Om, mau ngerjain tugas kelompok. Heheh.”
“Iya, gitu Om,” gue mengiyakan.
Kemudian, bapaknya duduk di sofa agak berdebu, berhadapan dengan gue dan Aby. Lalu, kami mengobrol sedikit dengan bapaknya perihal tugas akhir sekolah. Sedangkan Mayang berdiri di sebelah kanan bapaknya sambil mendengarkan obrolan para pria sejati.
Di tengah obrolan, bapaknya bertanya pada kami (gue dan Aby).
“Kamu itu … siapa namanya?” tanya bapaknya sambil menunjuk Aby.
Anaknya (Mayang) menjawab, “Aby, Pah~”
“Aby, Om.” Aby menambahkan.
“Oh, iya kamu Aby. Kamu tinggal di mana?” tanyanya.
“Saya tinggal di Arundina, Om,” jawab Aby, mulus.
“Oh di Arundina …,” kata bapaknya.
Setelah bertanya kepada Aby, bapaknya bertanya kepada gue.
“Kalau kamu … siapa namanya?” tanya bapaknya, mulai lupa lagi.
Anaknya lagi yang menjawab, “Faris, Pah~”
“Oh iya, Faris. Kamu tinggal di mana?” tanya bapaknya.
Gue jawab jujur, “Saya deket Om, di Cipayung. Belakang SMP PGRI 9.”
“Oh, di situ …,” kata bapaknya, mengangguk.
“Kalian berdua ke sini naik apa?” tanya bapaknya lagi.
Gue mau menjawab, tapi sudah didahului oleh Aby, “Kita berdua naik motor, Om.”
“Oh … bagus …,” kata bapaknya dibarengi anggukan kecil.
Tadinya, gue mau jawab: “Saya ke sini naik naga, Om. Naga terbang.”
Bapaknya gencar memberi pertanyaan kepada gue dan Aby. Tidak terasa, topik obrolan sudah masuk ke topik utama.
“Mau bikin film, ya?” tanya bapaknya.
“Iya Om, film pendek gitu,” jawab Aby.
“Iya, gitu Om,” timpal gue.
“Rencananya, genre-nya apa nih?” tanya bapaknya, penasaran.
Aby menjawab antusias, “Rencananya sih … kita mau bikin film genre action, Om.”
“Oke ….”
Gue menimpali, “Iya, gitu Om.”
“Oh, jadi ada adegan berantemnya gitu, ya?” tanya bapaknya.
Aby menjelaskan, “Iya Om, ada fighting-nya gitu.”
Gue mengiyakan, “Iya, gitu Om.”
Kurang-lebih sepuluh menit kami mengobrol dengan bapaknya, gue hanya mengeluarkan kalimat itu-itu saja, yakni: “IYA, GITU OM.”
Karena tak kunjung diberi segelas air putih, bapaknya menyuruh anaknya untuk segera menjamu tamu yang kehausan ini.
“Ini lho, kasih air temen-temennya, kasihan …,” ujar bapaknya pada Mayang sambil menoleh ke kiri.
“Iya, Pah~” jawab Mayang, lalu melengos ke dapur.
“Jadi ngerepotin, Om,” ujar Aby, sungkan.
Terdapat kalimat janggal dari mulut bapaknya, yaitu: kasih air. Seakan, kami berdua seperti ikan koi yang yang sedang megap-megap karena air sungai telah terkontaminasi limbah pabrik.
Tak lama, Mayang datang membawa nampan berisikan gelas dan air dingin. Setelah nampan ditaruh di atas meja, bapaknya mempersilakan kami untuk minum.
“Ayo, diminum,” kata bapaknya, mempersilakan. Lalu ia beranjak dari sofa agak berdebu.
“Makasih, Om,” jawab gue dan Aby, hampir berbarengan.
Kemudian, Mayang duduk di sofa agak berdebu menggantikan bapaknya. Mayang kembali menatap kami berdua dengan tatapan misterius. Sesekali, dia memainkan rambutnya yang lurus. Tak lupa, Mayang kembali menyalakan kipas angin yang agak berdebu sambil mengeluh, “Duh, gerah banget ya ….” Setelah kipas angin agak berdebu nyala, dia menggeraikan rambutnya ke arah kipas angin. Tujuannya mungkin supaya rambutnya nggak lepek.
Selagi Mayang mengeringkan rambutnya, tiba-tiba Aby bertanya kepadanya.
“Itu …, bapak lu, May?” tanya Aby.
“Iya By, emang … kenapah?” tanya Mayang, sedikit penasaran.
“Nggak …,” balas Aby nyengir, seperti merahasiakan sesuatu.
Seketika, Aby menyenggol lengan gue, lalu bertanya, “Ris?”
“Hm? Ngapa, By?” tanya gue sedikit kaget karena sedang asyik menonton acara musik, Dahsyat.
“Bapaknya Mayang, gede ya badannya. Wih … sekali cekik, langsung!” Aby menerangkan apa yang dia lihat sambil memeragakan gerakan mencekik.
“Oh, haha. Iya By, angker.” Gue ketawa seadanya.
Dari ruangan sebelah, sesekali bapaknya menggoda anak sulungnya yang berada di ruang tamu. Mayang pasti selalu menjawab dengan intonasi: Apa sih Pah~, Ih Papah~, Bukan Pah~, Iya Pah~, dan semacamnya. Intinya, pada kata “Pah” intonasi akan sedikit lebih memanjang dan berayun. Tak ubahnya adegan/ latar kejadian di FTV (Film Televisi).
Dimana pada program tersebut lumrahnya menceritakan seorang remaja yang tinggal di rumah mewah serta hidupnya selalu ditunjang oleh kedua orangtua, dan di beberapa adegan pasti ada kalimat: Iya Mah~, Iya Yah~, atau Iya Bun~ disertai mimik muka ngambek ingin dihibur. Di sisi lain, gue ngikik menutup mulut mendengarkan ocehan antara bapak dan anak tersebut.
***
Di kemudian hari, bapaknya mengajak gue, Aby, dan Rose untuk jalan-jalan. Fadel nggak ikut, karena dia nggak hadir. Kebetulan, waktu itu ada adegan dimana gue dan Aby harus latihan menembak. Maksudnya latihan menembak pistol, bukan latihan menembak cewek.
Masih ingat, kami pergi jalan-jalan menaiki mobil Daihatsu Xenia yang velg-nya kayak velg angkot 02. Hari itu, ada saudari perempuan Mayang yang berasal dari Manado yang juga ikut bersama kami. Gue lupa siapa namanya, tapi perawakannya mirip Mayang: tinggi, putih, dan cantik.
Kami berangkat sekitar jam 10 pagi, dimana jam-jam segitu matahari sedang tersenyum “tulus” menyapa semua makhluk bumi. Jujur, gue merasa sungkan karena diajak jalan-jalan oleh keluarga Mayang. Bapaknya di depan memegang kemudi setir mobil, di sampingnya ada mamanya duduk anggun. Di kursi tengah terdapat Mayang, Dita adiknya, dan saudara perempuannya. Ketiga perempuan tersebut seperti Charlie Angel yang pandai bermain kartu remi, maksud gue bermain voli. Sedangkan di kursi belakang terdapat gue, Aby, dan Rose.
Jleb. Pintu mobil telah tertutup rapat, menandakan bahwa kami siap untuk bepergian. Mesin dinyalakan, oper gigi, lalu digas. Maka, mobil resmi berjalan melintasi aspal.
***
Mobil berjalan secara tenang menyururi jalanan, membuat badan ini bergoyang-goyang. Gue melihat ke luar jendela mobil; banyak orang sibuk melakukan aktivitasnya masing-masing, samar-samar pepohonan terlewati, dan juga sinar matahari begitu indah menyelinap di antara rimbun dedaunan. Kini, pandangan mata tertuju ke depan. Melihat jalanan sekaligus mengamati “orang” di dalam mobil.
Bapaknya sibuk menyetir mobil sembari berbicara kesana-kemari, tidak lupa disisipi banyolan yang lumayan lucu. Mamanya duduk begitu berwibawa, layaknya Ratu Elizabeth yang sedang menjalani sesi pemotretan keluarga kerajaan. Dita adiknya, terlihat sibuk mengotak-atik handphone. Mungkin dia merasa kagok, karena di jok belakang terdapat manusia yang tidak seharusnya diajak bepergian.
Mayang asyik bercanda dengan saudari perempuannya, tidak jarang dia juga bergurau dengan adiknya. Sesekali, Mayang menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa tidak ada yang kejang-kejang karena mabuk darat. Saudari perempuannya kelihatan begitu bergembira melepas rindu dengan Mayang dan adiknya. Mereka bertiga bermain gadget, saling curhat, dan berbincang hangat.
Sedangkan di kursi belakang, Rose amat serius membuka beberapa aplikasi media sosial yang terdapat pada handphone-nya. Sepertinya, dia sedang men-stalking sejumlah cowok yang mem-follow akun Twitter-nya. Matanya sesekali memandang ke luar jendela disertai tatapan kosong. Gue sempat parno, jikalau Rose nanti malah kesambet, lalu teriak-teriak sambil menendang jok mobil, mencekik dirinya sendiri, dan akhirnya menjambak mamanya Mayang.
Sementara Aby begitu menikmati perjalanan. Hal tersebut diketahui dari kepalanya yang disenderkan sambil menggeretakkan ruas-ruas jari dan hembusan napas panjang yang keluar dari lubang hidungnya. Sama seperti yang lain, matanya menatap dalam ke luar jendela. Seakan sedang mencari inspirasi, ide baru, dan tukang gorengan. Disebabkan dirinya ditatap lekat oleh gue, Aby pun bergumam, “Duh, ngantuk Ris,” sambil menaikkan satu alisnya, kemudian tersenyum tipis.
Sementara gue sibuk memerhatikan segala tingkah laku mereka dengan memasang muka gagu, polos, dan ceria. Hal itu didukung karena gue duduk di jok belakang dan tepat berada di tengah-tengah. Simpelnya, gue diapit oleh Rose dan Aby. Di depan, terdapat lima orang (keluarga Mayang) yang semuanya lihai dalam bermain bola voli. Gue merasa seperti joki three in one yang dipaksa menaiki mobil atlet voli profesional untuk dijadikan sebagai tukang pembersih bola voli.
Bapak dan mamanya saling ngobrol di jok depan layaknya pasangan suami-istri. Mayang, adiknya, dan saudari perempuannya juga saling bertukar candaan di kursi tengah.
Terkadang, mereka wefie (selfie bersama) yang membuat diri gue ikut tertangkap kamera.
“Hihi, Ris lihat deh, ada lu nih. Hahaha,” kata Mayang cekikikan disertai memperlihatkan hasil foto yang terdapat muka gue.
Ketika melihat foto tersebut, reaksi gue cuma senyum sembari bergumam dalam hati, “Hapus May, fotonya May! Nanti gue disangka penunggu mobil Xenia ber-velg angkot 02!”
Sedangkan gue, Aby, dan Rose saling diam di jok belakang. Boleh jadi, kami kompak membisu karena kesempitan atau bahkan kelaparan. Kadang, kami berbicara mengenai sesuatu walau sepatah dua patah. Setelah itu, hening kembali seperti suasana di kompleks perumahan elit.
Sementara di kursi depan dan tengah mobil, ramai akan obrolan dari keluarga penyuka olahraga voli. Gue merasa bahwa kami bertiga tak ubahnya anak yang baru saja diadopsi dari panti asuhan dan belum saling mengenal satu sama lain alias masih malu-malu kucing hutan.
Kini, Rose mengarahkan pandangannya ke jendela kiri mobil sambil memfoto objek di luar sana menggunakan kamera SLR milik Mayang. Pun, Aby mengarahkan matanya ke jendela kanan sambil memainkan handphone Nokia miliknya. Sedangkan gue larut (maaf) menggaruk selangkangan sambil kepala ditengadahkan, karena pendingin udara/ Air Conditioner (AC) tidak sampai ke bagian belakang mobil.
***
Destinasi pertama kami adalah Cibubur Junction Mall yang terletak di Jl. Jambore Raya No. 1, Cibubur, Ciracas, Jakarta Timur. Persisnya berada di samping tol Jagorawi. Bapaknya sengaja mengarahkan mobil ke sana karena hari mulai siang. Itu tandanya, waktu makan siang (lunch) telah tiba. Kebetulan, semua orang di dalam mobil sudah lapar. Terutama gue, yang sarapan hanya dengan dua lontong tanpa isi.
“Makan dulu ya, kita …,” ujar bapaknya sembari menarik rem tangan. Semua orang di dalam mobil siap untuk keluar. “Makan siang dulu kita,” kata Mayang sambil menoleh ke belakang diiringi senyuman tulusnya.
Kami mengiyakan ajakannya dibarengi anggukan: jadi ngerepotin nih. Kami pun turun dari mobil. Setelah turun, kami meregangkan badan dan merapikan pakaian, sekaligus merapikan muka.
Aby berkaca pada jendela mobil sembari merapikan poninya, terlihat seperti aktor laga Andy Lau. Rose juga berkaca pada jendela mobil sembari mengecek make-up tebalnya, terlihat seperti tante-tante. Sementara gue jua berkaca pada jendela mobil, mengecek jika ada bulu hidung yang panjang.
Setelah semuanya turun dari mobil, kami bergegas untuk masuk ke mall besar tersebut. Ketika kaki menginjak lantai mall, udara adem dan menyejukkan menyambut kami. Beda sekali dengan udara di luar: panas, gersang, dan penuh polusi dari kendaraan orang-orang berdosa.
Kami bertiga (khususnya gue) mengikuti kemana bapak dan mamanya melangkah. Soalnya gue takut, jikalau nanti tersasar dan terjebak di dalam mall besar itu. Jika mereka (bapak dan mamanya Mayang) melangkah ke toko pakaian, gue ikut. Jika mereka melangkah ke basement, gue ikut. Bahkan, jika mereka melangkah ke toilet … gue ikut.
Di dalam mall, Rose bergabung ke kelompok Mayang, adiknya, dan saudari perempuannya. Memang tidak salah, karena Rose juga perempuan normal seperti kebanyakan. Karena akan mustahil, kalau gue yang bergabung sambil menyapa, “Hai cyiiin, eike boleh gabung gag sama kalian?” Bisa-bisa gue ditekel sama bapak Mayang.
Mereka berempat terlihat begitu akrab, ceria, dan gembira. Jika dilihat dari jarak dua puluh meter, mereka percis girlband dari Korea Selatan, 2NE1. Sementara gue dan Aby bergandengan, maksudnya jalan berbarengan melihat sekeliling mall. Seperti biasa, gue mengamati langit-langit mall dengan tampang serius. Mungkin, yang tertangkap oleh mata pengunjung lain bahwa gue menatap dengan celingak-celinguk bak orang dusun.
Tak lama setelah itu, mamanya menyempatkan untuk membeli J.CO Donuts. J.CO Donuts adalah donat yang jika digigit maka isinya akan luber/ meleleh (tumpah). Kami disuruh menunggu untuk beberapa saat. Tadinya, gue mau sekalian pesan juga ke mamanya, “Mamanya Mayang! Beliin saya juga dong! Buat oleh-oleh emak di rumah.” Mungkin gue akan dibelikan, tapi nanti disuruh pulang duluan naik ojek.
Sembari menunggu mamanya membeli J.CO, gue baca buku karya Kahlil Gibran. Itupun gue nggak baca, cuma lihat-lihat sekilas supaya dikira anak rajin dan pintar. Sementara Mayang ikut mengantri bersama mamanya di barisan antrian. Pengunjung mall mungkin akan menganggap gue sebagai pembantu privat yang setia menunggu majikannya berbelanja.
Setelah pesanan diterima, kami kembali melanjutkan mencari tempat makan siang. Kami terus berjalan mengelilingi pelataran mall. Sebenarnya, ada banyak tempat makan, namun semuanya tidak ada yang cocok untuk selera keluarga Mayang.
Dikarenakan perut sudah pada keroncongan, keluarga Mayang akhirnya memilih kedai makanan di luar ruangan. Kami segera duduk rapi berhadap-hadapan. Kemudian, kami disuruh memilih makanan yang mau dibuang, maksud gue dimakan. Honestly, gue merasa kikuk karena “nggak enak” sudah dijamu makan siang oleh keluarga Mayang. Meskipun, hati ini senang karena nggak perlu mengeluarkan duit.
“Nih, Ris.” Mayang memberi daftar menu ke gue. Gue terima daftar menu tersebut, lalu lihat-lihat makanan yang kelihatan enak. Semua makanan yang tertera di daftar menu mengundang selera gue. Tapi, nama makanan tersebut aneh-aneh, kayak bahasa Sunda kuno.
Tak ingin larut dalam kebingungan, akhirnya gue memilih makanan semacam nasi kebuli. Bedanya, makanan tersebut disajikan seperti makanan orang Jepang. Gampangnya, seperti penyajian di restoran Hoka-Hoka Bento.
Setelah semuanya selesai memesan makanan, kami diharuskan untuk sabar menunggu. Kami isi waktu menunggu makanan dengan mengobrol seru layaknya remaja gaul masa kini.
Hanya Dita, yang begitu perfeksionis dalam memilih makanan. Dia bolak-balik daftar menu, tapi tidak ada yang menggugah seleranya.
“Ini enak lho, Dek …,” bujuk saudari perempuan Mayang, agar Dita cepat memilih makanan.
Namun, Dita menolak, “Aku nggak mau ….”
Tak lupa, Mayang memberi opsi pada Dita sambil menunjuk satu makanan yang terdapat di daftar menu, “Dek, ini aja Dek. Kayaknya enak nih.”
“Atau ini aja, Dek. Kayak makanan India gitu,” cetus saudari perempuan Mayang kepada Dita.
Dita diam beberapa saat, mempertimbangkan masukan dari saudari perempuan jauhnya itu. Selama Dita berpikir sejenak, saudari perempuannya tidak henti-hentinya menjelaskan beberapa keunggulan “makanan India” tersebut. Dirasa cukup menggiurkan, akhirnya Dita bersedia untuk memesan makanan itu.
Gue sempat terkejut, bahwa di kedai itu ada makanan yang nggak beda jauh dengan masakan India. Tadinya, gue mau membatalkan makanan yang sudah dipesan, seperti ini: “Mbak, saya ganti pesanan dong. Di sini ada makanan khas Uganda, nggak? Kayak rayap goreng gitu. Kalau ada, saya pesan satu yak?”
Kurang lebih sepuluh menit kami menunggu, akhirnya makanan datang secara angkuh. “Makasih, heheh.” Ujar gue kepada pelayan diiringi senyuman lebar. Makanan telah telah tersaji rapi di atas meja dan siap untuk disantap. Dirasa semua pesanan sudah lengkap, lantas kami memuntahkan makanan, maksudnya menyantap makanan secara teratur, pelan-pelan, dan bijaksana.
Tidak mau kalah dengan yang lain, gue pun makan menggunakan sendok dan garpu meskipun belum terbiasa. Hal itu beralasan, karena gue makan bersama keluarga besar Mayang. Jika gue makan hanya menggunakan kaki, eh tangan, maka gue disangka manusia tidak beradab. Sesekali, kami berbicara ringan sambil mengunyah santapan layaknya keluarga di film Fast and Furious.
Selagi makan enak, nikmat, dan lahap, tiba-tiba Aby memberitahu bahwa di samping kiri gue ada artis.
“Ris, Ris. Lihat samping kiri lu, ada artis,” bisik Aby.
“Hm?” gue heran dibarengi menoleh ke samping kiri.
Gue terkejut bahwa ada artis yang kebetulan sedang makan sendirian di kedai tersebut, “Ih iya … tapi dia main di mana, ya? Gue lupa.”
Aby nggak jawab, dia juga lupa. Setelah gue perhatikan baik-baik, ternyata benar bahwa orang itu adalah artis di sinetron Tukang Bubur Naik Haji (TBNH) yang memerankan sebagai Tuan Togu.
“Emang itu artis, Ris?” tanya Rose sedikit tidak percaya.
Gue menjawab keraguan Rose, “Artis Ros, gue pernah lihat di TV. Tapi lupa di mana gitu.”
“Tapi dia dulu kayaknya nggak gitu, ya?” tanya Mayang, yang juga memerhatikan artis itu.
“Oh iya, bener! Dulu dia nggak BOTAK!” Gue ngomong lumayan keras, terutama pada kata “botak” sampai Tuan Togu sedikit menoleh ke arah kami.
Gue langsung diam, tidak berkutik, dan garuk-garuk kepala. Takut jikalau nanti si Tuan Togu tersinggung, lalu membanting meja makan kami sekaligus menyundul Rose.
“Ris, lu ngomong kenceng banget,” tegur Aby. “Tuh Ris, tadi dia sempet ngeliat ke sini.”
“Ris lu parah Ris, hihi.” Mayang menegur gue juga, lalu tertawa kecil.
Gue pura-pura tenang, cool, dan biasa-biasa saja. Padahal, dengkul bergetar nggak karuan.
Sesudah kejadian janggal itu, keadaan mulai normal kembali dan semua hidangan habis tak tersisa. Nikmat tak terkira juga energi telah terisi, maka kami memutuskan untuk pergi ke destinasi berikutnya, yaitu lapangan tembak.
***
Jleb. Pintu mobil tertutup rapat, menandakan kami siap mencari lokasi yang ingin dituju. Mobil melenggang gemulai keluar dari parkiran Mall Junction Cibubur. Di luar, langit sudah mulai gelap, tidak lama lagi hujan akan turun membasahi bumi yang indah ini.
Berselang lima belas menit, hujan turun dengan deras sehingga mengganggu jarak pandang kendaraan. Dengan turunnya hujan, suhu di dalam mobil lebih adem dan kondusif. Juga, menyebabkan mata mengantuk disertai nguap-nguap cantik.
Hujan turun semakin deras, jok depan dan tengah mobil menjadi sunyi. Jauh berbeda bila dibandingkan ketika kami berangkat tadi pagi. Lain halnya dengan jok belakang, yang sedari tadi memang sudah sunyi. Salah  satu faktornya adalah ketika hujan turun, kebanyakan orang akan mengingat masa lalu/ flashback yang membuatnya menjadi galau tak terkira.
Mobil melintasi polisi tidur. Gujleg. Ban mobil melewatinya secara perlahan. Badan kami ikut bergoyang berbarengan sesuai jalan yang dilalui. Perjalanan menuju lapangan tembak cukup jauh, jalannya pun berkelok-kelok seperti labirin. Gue akan keder jikalau harus pulang sendiri dengan berjalan kaki.
Setengah jam kemudian, mobil berhenti di dekat hutan bambu. Di luar, hujan masih deras. Tak jarang, petir menggelegar keras. Pohon bambu bergoyang kesana-kemari karena saking kencangnya hujan angin saat itu.
Gue menoleh ke belakang; suasananya sepi, gelap, dan mencekam. Hanya terdapat rimbunan pohon bambu yang menjulang tinggi, seakan-akan pohon bambu itu Tarantula raksasa yang ingin memangsa kami.
Bapaknya memberitahu, bahwa kami sudah sampai di lokasi, “Udah nyampe nih, tuh lapangannya ada di bawah.”
“Hujan, Pah~” kata anaknya (Mayang).
“Hujannya deres banget …,” kata Rose sambil menatap ke luar jendela.
Bapaknya Mayang berujar, “Ya udah, tunggu reda dulu.”
Lapangan yang dimaksud letaknya memang menurun ke bawah. Mobil nggak bisa masuk karena jalannya kecil, kecuali mobil-mobilan. Satu-satunya cara menuju lapangan tersebut ialah dengan berjalan kaki.
Bapaknya mengobrol santai dengan mamanya sembari menunggu hujan reda. Begitu juga dengan Mayang, adiknya, dan saudari perempuannya. Sedangkan gue, Aby, dan Rose berdiskusi tentang bagaimana sudut yang pas untuk pengambilan scene di lapangan itu.
Hujan tak kunjung reda, membuat kami penasaran akan keadaan lapangan tembak itu.
“Ayo turun, pake payung tuh.” Bapaknya mulai nggak kerasan.
Anak-anak sunyi tak merespons ucapan Bapak Mayang disebabkan takut air hujan.
“Eh, turun tuh lihat lapangannya,” suruh Mayang kepada orang di kursi belakang.
Orang yang di kursi belakang sunyi, mempertimbangkan segala kebimbangan yang ada.
“Ris ayo turun, Ris,” bisik Aby ke telinga gue.
Gue nggak menjawab ajakannya disertai tatapan kosong.
Dikarenakan tidak ada yang bersedia untuk memantau ke lapangan, maka Mayang memberanikan diri pergi keluar bersama adiknya, Dita.
“Sini, Mayang aja deh yang keluar,” ujarnya memecah kebimbangan.
“Nih payungnya, nih,” kata mamanya sembari kasih payung lebar berwarna-warni pada anaknya.
“Masa, Mayang sendiriii?” Mayang takut jikalau pergi sendiri.
Lantas mamanya menyuruh Dita, “Temenin kakaknya sebentar, Dit.”
Dita mengelak, “Nggak mau, hujan.”
“Sebentar aja … Dek,” bujuk Mayang.
Karena terus dipaksa, finally Dita mau menemani Mayang turun ke lapangan tembak. Dengan payung lebar, kakak-beradik itu menerjang hujan. Samar-samar, mereka berdua menjauh menuruni anak tangga dan semakin tidak terlihat.
Kami menunggu dengan raut muka: jadi nggak enak, masa harus Mayang yang ke bawah. Kami mulai cemas, karena mereka tak jua datang. Khawatir jika mereka kenapa-kenapa seperti; terpeleset, tersandung, tercebur, atau malah main hujan-hujanan.
Tak lama berselang, ada bayangan mendekat di balik derasnya hujan. Semakin dekat bayangan itu, maka terlihatlah sosok mereka. Mereka berdua meniti langkah secara perlahan. Payung yang mereka pegang lumayan besar, bahkan cukup untuk menaungi lima orang dewasa.
Pintu mobil dibuka, lalu Mayang dan Dita segera masuk ke dalam mobil karena di luar hujan masih deras.
“Gimana, May?” tanya Aby.
Mayang menerangkan, “Lapangannya luas By, kayak lapangan golf.”
Aby bertanya lagi, “Ada tempat buat nembaknya, gak?”
“Nggak ada sih, cuma ada kardus-kardus gitu, By,” jawab Mayang.
Dikarenakan di lapangan itu nggak ada tempat untuk menembak, maka Aby meminta pendapat gue, “Nggak ada Ris, gimana nih?”
“Nggak ada ya … hmm ….” Gue bingung mau ke mana lagi.
Mau take di sana, tapi hujan deras. Mau pergi mencari tempat lain, gue nggak tahu lokasinya.
Dengan demikian, kami mempertimbangkan matang-matang tempat yang akan dijadikan sebagai latar shooting. Disebabkan lapangan itu tidak memenuhi ekspektasi, maka kami pergi untuk mencari tempat lain.
***
Destinasi selanjutnya adalah Bumi Perkemahan Graha Wisata Cibubur (BUPERTA) atau biasa disebut Jambore. Jambore memang terkenal akan tempat untuk kamping, berkemah, dan kegiatan lainnya. Di sana, banyak tanah lapang yang bisa dijadikan sebagai tempat shooting.
Hujan mulai mereda, sinar mentari sore perlahan menyinari rumput hijau. Bau rumput basah akibat terkena air hujan begitu sedap untuk dihirup. Begitu rileks, damai, tentram, dan sejahtera dari padang rumput tersebut.
Mobil bergerak kesana-kemari mencari lapangan yang ada tempat latihan menembak. Tak lama kemudian, alhamdulillah terdapat satu lapangan yang kebetulan terdapat papan bekas latihan tembak-menembak. Entah bekas latihan menembak anggota TNI, atau bekas latihan menembak airsoft gun. Itu nggak penting, terpenting kami berhasil menemukan tempat yang benar-benar kami harapkan. Gue senang tak terkira, karena jika gagal menemukan tempat yang cocok, maka nanti akan diundur ke lain hari.
Kami segera turun dari mobil. Bahkan semuanya ikut turun hanya untuk sekadar melihat-lihat, memastikan tempat tersebut, dan beristirahat. Aby sibuk mempersiapkan segala sesuatu. Tidak terkecuali Mayang, ia sibuk menyiapkan kamera dan lensa. Setelah semua siap, maka shooting dimulai.
Shooting hanya sebentar dan tidak memerlukan waktu lama, juga mentari perlahan mulai tenggelam. Dirasa telah cukup, maka kami kembali ke mobil. Rasa capai mulai menggerogoti kami, pun gue yang hampir seharian bepergian. Gue lantas membandingkan; naik mobil saja sudah lunglai, apalagi kayak orang (maaf) nggak mampu yang mendorong gerobak sama anaknya?
Cahaya lampu jalanan Ibu Kota menyoroti muka gue yang mulai lusuh. Senja itu, gue tidak henti-hentinya mengucapkan hamdalah, bersyukur pada-Nya.
***
Saat di tengah jalan, secara mengejutkan Dita memutuskan untuk kabur, maksud gue memutuskan untuk keluar dari mobil karena mau latihan/ main voli. Indikasi terkuat, dia mau sparing untuk mengikuti turnamen. Dita berkemas cepat di dalam mobil. Ia memakai deker layaknya pemain voli profesional, lalu rambutnya diikat kuda.
Kemudian, Dita berpamitan kepada orangtuanya dan bergegas ke tempat latihan. Padahal, ketika itu kondisi jalanan sedang macet. Namun, dengan pedenya Dita melintasi mobil-mobil yang berhimpitan itu. Gue agak ragu, kalau Dita nanti tersenggol angkot 16 yang lampunya kadang nggak dinyalakan. Sesudah Dita turun, maka mobil kembali ngageleyeung menuju rumah Mayang.
***
Setibanya di rumah Mayang, kami langsung merebahkan badan ke sofa agak berdebu. Kurang lebih selama dua puluh menit, kami mendinginkan badan sembari me-review hasil shoting tadi sore. Tidak lupa, Mayang membawa nampan berisi sesajen, maksudnya berisi air minum dan camilan. Suhu badan mulai adem, maka kami pun bergegas mengambil air wudu untuk melaksanakan sembahyang Isya.
Selanjutnya, kami berbincang sebentar sebelum pulang ke rumah masing-masing. Malam semakin larut, kami telah di-sms oleh orangtua supaya cepat pulang. Tuan rumah mulai mengantuk, dan kami juga mulai menguap lebar bak kuda nil kelaparan. Dengan demikian, kami berpamitan untuk pulang.
“May, makasih lho. Kita pulang dulu, ya?” pamit Aby kepada Mayang.
“Hoooamsss …. Iya By, ati-ati,” kata tuan rumah sambil menguap.
Tak lupa, gue pun berpamitan padanya, “Makasih, May. Gue juga pulang dulu, ya?”
“Iya Ris, ati-ati,” jawab Mayang, namun kali ini matanya sudah 5 watt.
Sebagai tuan rumah yang baik, Mayang mengantar tamunya (gue dan Aby) sampai gerbang. Biasanya, dia berdiri sambil senderan di gerbang rumahnya dengan mata sayu, kantuk, dan berair. Rose? Terkadang, dia masih berada di rumah Mayang. Tak jarang, Rose sudah pulang duluan sebelum gue dan Aby pulang.
Aby mengeluarkan motor sekaligus men-starter-nya. Seperti biasa, gue diboncengnya (selalu dibonceng). Motor telah dinyalakan, oper gigi, kemudian di-gas. Demikian, kami kembali ke rumah masing-masing.
***
Saat Mayang merayakan hari ulang tahunnya yang ke-17, atau biasa orang bilang sweet seventeen, gue sengaja datang. Gue datang karena ingin makan malam gratis, maksudnya ingin mengucapkan: semoga panjang umur. Kebetulan, saat itu gue sedang mengerjakan tugas kelompok bersama Zakir dan Bagus di Depok.
Gue mendapat kabar tersebut adalah dari Bagus, dan Bagus dari bapaknya, nggak lah. Bagus mendapat kabar tersebut dari salah satu teman yang juga sedang berada di rumah Mayang.
“Jat, sekarang Mae ulang tahun, Jat,” kata Bagus.
“Ulang tahun? Yang keberapa?” tanya gue sembari melipat celana, karena di Depok sedang banjir sedengkul.
Sweet seventeen Jat. Bocah-bocah juga pada ngumpul di sana,” ujar Bagus sambil membuka Blackberry Messenger.
“Ya udah, ke sono yok, Gus?” ajak gue.
Bagus mengiyakan, “Ayo, Jat.”
Gue pergi bareng Bagus menuju rumah Mayang dengan membawa tas selempang warna kuning dan celana levis dilipat sampai dengkul. Malam itu lumayan dingin karena habis turun hujan dan habis main air (banjir).
Sesampainya di sana, gue nyelonong masuk ke rumahnya. Gue sapa teman lain disertai muka “tak berdosa”.
“Habis dari sawah, Ris?” tanya Aby sekaligus menyindir.
Sambil duduk di sampingnya, gue jawab, “Hahaha, nggak By. Habis ngerjain tugas, di Depok banjir.”
Teman lain, yakni Fikra juga mempertanyakan penampilan gue yang absurd itu, “Haha anjir lu, Jat. Celana dilipet gitu. Habis dari mana, lu?”
“Hehe, tadi gue habis dari rumah Zakir. Di sana banjir, Fik,” terang gue, nyengir.
Tak lama kemudian, tuan rumah menampakkan batang hidungnya. Kemudian, ia menghampiri tamu dadakan (gue).
“Eh, lu dateng juga Ris. Sama siapa ke sini?” tanya Mayang takjub melihat gue, karena paling beda dari tamu lain. Paling beda amburadul maksudnya.
“Iya, gue sama Bagus ke sininya, heheh. Oh iya, selamat ulang tahun, May,” kata gue, dibarengi ucapan dan sebuah jabatan tangan.
“Makasih Ris~, ayo duduk lagi,” katanya, sekaligus mempersilakan tamu paling nyeleneh.
Di dalam rumahnya, keadaan sungguh ramai. Banyak teman-teman sejawatnya yang hadir malam itu. Sebagian gue kenal karena teman satu sekolah, sebagian lainnya nggak kenal. Suara musik karaoke membahana sampai terdengar keluar rumah. Bapaknya asyik mendendangkan lagu-lagu lawas yang diputar di DVD. Selain itu, teman lain juga terhipnotis dan ikut berkaraoke bersama.
Peniupan lilin tiba; mamanya, bapaknya, dan adiknya ikut berdiri diiringi doa bersama untuk si sulung, Mayang. Lilin pun ditiup, mamanya Mayang berderai penuh haru bahwa anaknya telah beranjak dewasa. Suasana penuh sukacita menyelimuti Mayang beserta keluarga. God bless them!
***
Hari perpisahan sekolah sebentar lagi akan tiba. Setiap kelas 3 sibuk mempersiapkan tema untuk album kenangan mereka. Tidak terkecuali kelas yang paling disegani, yaitu M2M juga sibuk menyiapkan kegiatan “sekali seumur hidup” itu. Terdapat banyak usulan tema dari setiap murid M2M. Menurut gue, semua usulan dan saran itu pada bagus. Pada akhirnya, kami sepakat untuk memilih konsep vintage.
Gue pribadi kurang paham apa itu gaya vintage, kalian bisa cari di Google. Untuk lokasi, kami memilih bangunan STIKES yang saat itu masih belum selesai. Bangunan STIKES tersebut masih berupa beton terbengkalai yang tidak diacuhkan oleh investor, kontraktor, dan traktor. Disebabkan jarang ada pekerja bangunan di sana, maka tempat itu cocok untuk dijadikan latar belakang pada album kenangan kami.
Semua murid M2M kompak menyetujui, bahwa pemotretan akan dilakukan di gedung “malang” itu. Setelah hal itu diumumkan kepada seluruh murid M2M, gue mulai bingung. Bingung karena harus memilih pakaian yang sesuai dengan tema dan latar bangunan. Secara selera, gue hanya mau mengenakan setelan yang terlihat elegan tapi nggak kampungan, nggak norak, dan nggak terlalu ramai.
Gue berpikir keras, karena dua minggu lagi pemotretan akan tiba. Sementara gue masih belum juga menentukan pakaian yang akan dipakai. Bingung semakin menjadi, gue memutuskan untuk browsing internet. Mesin pencari telah dibuka, gue mengetik kata kunci: G-Dragon Style. Muncullah gambar-gambar leader Bigbang tersebut dengan gaya berpakaian unik nan nyentrik. Gue perhatikan satu per satu, gaya mana yang paling cocok untuk album kenangan nanti.
Gue scroll ke bawah sampai mentok, namun tak satupun style yang pas di hati. Gue telentang sambil memutar lagu Bigbang yang berjudul “Love Song”. Gue menikmati lagu tersebut secara mendalam, terutama pada bagian reff. Tiba-tiba, terlintas di benak gue gaya berpakaian G-Dragon di video klip Love Song. “Kayaknya keren kalau gue pake baju kayak gitu,” kata gue sesaat berhasil menemukan ide cemerlang tersebut.
Gaya berpakaian G-Dragon di video klip tersebut ialah semi-casual, yakni; kaos oblong putih dibalut jas hitam yang semua kancingnya terbuka, celana bahan hitam gombrang, serta beberapa aksesoris semisal; kalung, gelang, dan cincin. Simpulannya, gue bakal menduplikat gaya berpakaian G-Dragon yang di video klip Love Song.
Gue bergegas mengubek lemari untuk mencari jas dan celana bahan. Beruntung, jas dan celana bahan langsung matching ketika gue pakai. Jas pas di badan, serta semua celana bahan kebetulan pada gombrang karena celana tersebut punya … bokap. Kaos oblong warna putih ada banyak, walau nggak polos-polos amat, ada gambarnya sedikit. Ketiga aspek utama telah terpenuhi tanpa harus mengeluarkan modal. Namun, masih ada satu kekurangan, yakni aksesoris.
Sebagai cowok tulen, gue sama sekali nggak hobi mengoleksi aksesoris, kecuali mengoleksi gincu. Just kidding everyone. Terasa ada yang kurang jika gue hanya mengenakan jas, kaos oblong, dan celana gombrang tanpa penambahan aksesoris. Kesannya pasti akan polos, nggak niat, dan apa adanya. Sebab itulah, gue mencari orang yang bersedia meminjamkan sebagian aksesorisnya, dan orang itu adalah … Mayang.
***
Secara tidak sengaja, proses shooting masih berjalan dan belum selesai. Seperti beberapa hari sebelumnya, gue diharuskan ke rumah Mayang terlebih dahulu. Pada kenyataannya, kami sering shooting di dalam atau di sekitar rumah Mayang. Tak dianya, pada skenario ada adegan dimana Aby mesti mengidentifikasi Mayang yang telah di-dor oleh Fadel. Disebabkan sebelumnya taking di dalam kamar Mayang, maka adegan selanjutnya juga dilakukan di dalam kamarnya.
Kamarnya tak jauh berbeda dengan kamar anak cewek kebanyakan. Terdapat boneka, pernak-pernik, alat tulis, komputer, cermin, meja rias, dan alat make-up. Menurut gue, desain kamarnya bagus dan minimalis. Serta didukung dengan corak dan pewarnaan pada bagian dinding kamar sehingga menambah kesan cute.
Gue perhatikan sudut kamarnya, nggak ada yang aneh, misalnya: pelihara jenglot. Kecuali, terdapat beberapa fotonya yang dipajang semasa SMP dulu. Pada foto tersebut, Mayang belum mengenakan hijab. Rambut lurus berponi menutupi sebagian keningnya disertai pose ala remaja alay. Gue yakin, Mayang sempat merasakan masa-masa alay. Tak jauh berbeda dengan semua orang di bumi ini, pasti sempat merasakan masa-masa “kritis” tersebut.
Shooting selesai, kami mengobrol di dalam kamarnya. Sesekali kami bercanda dan sedikit kepo mengenai kehidupan pribadinya. Selagi kepo, gue mendekati meja rias dan menemukan banyak aksesoris miliknya. Gue ambil satu per satu, lalu menjajalnya di beberapa anggota badan.
“Wah lumayan nih, kali aja gue bisa minjem,” batin gue sembari menjajal cincin berwarna keemasan. Gue taruh lagi di meja rias, lalu mencoba memakai aksesoris lain sambil berkaca di cermin.
Karena melihat tingkah gue yang terus berada di depan meja riasnya bak banci kaleng, Mayang lantas bertanya, “Ris, lu ngapain …?”
“Ah nggak, lihat-lihat doang,” tanggap gue yang memiliki maksud terselubung.
Setengah jam kemudian, gue berkata jujur bahwa ingin meminjam beberapa aksesoris miliknya.
“May, gue boleh pinjem yang ada di sini, nggak?” tanya gue sambil menunjuk meja rias.
“Apaan? Oh itu … ambil aja.” Mayang membolehkan.
“Bener nih, boleh? Gue pinjem sebentar ya, nanti gue balikin lagi.” Tanya gue sekaligus meyakinkan.
“Iyaa, ambil aja, Ris~” ujarnya.
Dengan demikian, satu kekurangan berhasil diatasi. Thanks, Mae!
Beberapa aksesoris Mayang yang gue pakai
Pada akhirnya, gue berhasil menggondol sebagian aksesoris punya Mayang yang terdiri dari; cincin berduri, gelang merah berduri, jam tangan merah bundar, kacamata pink tanpa kaca, dan kalung berhuruf H. Khusus kalung berhuruf H itu, gue sengaja mengambilnya karena beralasan; H merepresentasikan diri gue yaitu horny (sange) dan horrible (kacau). Huruf H, jika dimiringkan akan terlihat seperti huruf I. Secara tidak sengaja, huruf I bisa bermaksud Ijat (panggilan gue sewaktu SMK). Selain huruf I, kalung tersebut terlihat seperti nomor 1-1 alias 2. Kebetulan, gue lahir tepat tanggal 2. Maka dengan memakai kalung itu, gue semakin percaya diri untuk difoto. Alhasil, keinginan untuk bergaya ala G-Dragon kesampaian juga. Thanks a lot, Mae!
***
Benar ungkapan Jawa yang berbunyi: “Witing tresno jalaran soku kulino” yang berarti “Cinta tumbuh karena terbiasa”. Jika dipahami lebih lanjut, bahwa cinta itu akan bisa tumbuh karena terbiasa. Meskipun, pada awalnya rasa cinta itu belum tumbuh, tetapi karena sering bertemu dan sering bersama akhirnya “rasa” itupun mulai tumbuh.
Pada penghujung akhir tahun menuju kelulusan, Mayang dan Aby menjalin hubungan spesial. Gue nggak terlalu kaget, karena mereka berdua sering bertatap muka baik di sekolah maupun setelah pulang sekolah.
Hal itu lazim terjadi di kalangan para murid di seluruh planet alam semesta yang indah ini. Orang bijak pernah berkata: “Di dalam pertemanan/ persahabatan antara cowok dan cewek tidak ada yang murni, pasti selalu ada ‘perasaan’ di antara keduanya”. Pernyataan itu benar, pasti selalu ada “rasa” di dalam lingkup pertemanan. Gue ikut senang mereka menjalin chemistry, karena keduanya adalah teman baik gue. Berawal dari project film pendek, Tuhan berkehendak menyatukan dua hati, dua insan, dan dua cinta. So sweet …
***
Sesudah Ujian Nasional dilaksanakan, seluruh murid SMK PKP 1 melancong ke Kota Pelajar, Yogyakarta. Selama dua hari di Yogyakarta, gue hanya membawa uang 50 ribu rupiah! Pernyataan mengenaskan ini pernah gue ungkap di artikel sebelumnya: Si Anak Lemah.
Saat teman lain berbelanja di toko Bakpia Pathok 25 dengan perasaan bahagia, senang, dan ceria, gue hanya bisa gigit jari sambil telentang di kolong bus. Murid dari kelas lain begitu hebring dalam berbelanja buah tangan bak artis sensasional, Syahrini. Mereka sengaja berjalan lambat, menenteng oleh-oleh secara congkak, memakai kacamata lebar, dan tidak ketinggalan memakai topi lebar selebar bunga teratai.
Sedangkan gue hanya melihat oleh-oleh, lalu dipegang, kemudian diendus, dan ditaruh lagi ke tempat semula. Gue melakukan hal sama seperti itu; dari ranjang ke ranjang, dari rak ke rak, dan dari toko ke toko.
Gue terkejut, karena di salah satu toko ada yang menjual serangga goreng. Parahnya, serangga goreng itu berbentuk seperti kecoak: kecoak goreng. Gue bergidik ngeri ketika menatap lekat serangga yang ada di dalam toples. Gue goyang-goyang toples tersebut, terdengar garing dan renyah. “Sepertinya enak,” pikir gue saat itu. Ketika melihat harganya, gue lebih kaget lagi, yakni 50 ribu rupiah. Jedar!
Gue langsung mengusap muka saat itu juga. “Geblek, mana bisa gue beli oleh-oleh ini,” batin gue, kecewa. Kalau gue beli oleh-oleh itu, maka gue akan puasa selama kurang lebih 1 setengah hari. Daripada gue nggak makan-minum dan juga nanti bakal lebih sengsara, mendingan gue urungkan niat membeli buah tangan itu. Sungguh ironis. Gue keluar terhuyung-huyung dari toko, karena saking puyengnya melihat daftar harga dan juga karena melihat isi dompet.
***
Hari itu, matahari bersinar terik. Hal itu membuat kepala gue semakin panas dan pandangan menjadi buram. Sepertinya gue kehausan, dehidrasi, dan kekurangan uang. Gue melangkah secara pelan namun pasti menuju bus. Sebagian murid lain masih ada yang berbelanja di dalam toko, dan sebagian lain sudah berada di dalam bus.
Untuk murid yang (masih) di dalam toko, mereka kelebihan uang atau hanya sekadar mau ngutil. Untuk murid yang berada di dalam bus, mereka telah puas berbelanja atau malah main kartu gaple bersama kondektur bus dikarenakan nggak punya uang. Percis kayak … gue.
Meski berat, gue terus melangkahkan kaki. Selagi berjalan lemah, gue mendapati tukang minuman sedang berdiri tanpa arti menunggu pembeli. Mumpung sepi, gue menghampiri si tukang minuman itu.
“Bang, satu dong, di gelas plastik aja,” pesan gue, layaknya bos mafia memesan semangkuk bubur kacang ijo.
Abangnya bertanya, “Rasa apa, Dek?”
“Hmm … rasa cokelat aja, Bang,” jawab gue sambil membuka dompet tepos.
Ketika gue sedang menunggu minuman, Mayang cs (Clazara, Diana, Ranti, dan Rose) datang dan juga membeli minuman di tempat yang sama.
Sambil tersenyum, Mayang bertanya, “Beli juga, Ris?”
“Hehe, iya May,” jawab gue, sembari menyipitkan mata karena matahari semakin terik.
Minuman yang dipesan sudah selesai, maka gue diharuskan untuk kabur, eh bayar. Ketika gue mau kasih duit ke abang penjual minuman, Mayang sigap mencegah.
“Sama gue aja Ris, sekalian,” katanya.
“Hah? Nggak May, biarin gue bayar sendiri aja,” gue pura-pura menolak.
Mayang memaksa, “Udah, nggak usah.”
“Ha? O–oh … ya udah deh, kalau gitu. Makasih ya, May!” ucap gue senang.
Mayang sungguh baik, dia tahu teman yang sedang terkena “bala” kehidupan.
Di dalam bus, dengan pamer gue menyedot minuman gratisan itu sampai terdengar bunyi: troot troot. Bunyi tersebut berasal dari bibir gue dan ujung sedotan yang dihisap dalam-dalam secara tidak berperikesedotan. Dengan demikian, gue tidak harus mengorbankan duit lima puluh ribu gue yang hanya satu-satunya. Selalu ada orang baik untuk orang baik. Thanks, God!
***
Di Yogyakarta, seluruh murid SMK PKP 1 menginap di emper jalan, maksud gue menginap di hotel bintang setengah. Hotel bintang setengah itu tidak terlihat seperti hotel kebanyakan. Dilihat dari arsitektur bangunannya, hotel itu seperti vila, motel, bahkan seperti rumah warga. Perbedaannya, hanya lebih besar dan lebih tinggi. Padahal, ketika pengumuman bahwa SMK PKP 1 akan liburan ke Yogyakarta, kepala sekolah pernah berkata di hadapan para murid, “Kita akan menginap di hotel berbintang!” Sontak, para siswa bersorak penuh kegembiraan di lapangan sekolah. Tapi, ketika sampai di hotel yang dimaksud, itu semua … bullshit.
Jauh dari bayangan, perkiraan, dan harapan. Pada hotel bintang setengah tersebut terdapat kolam renang yang tidak terlalu besar. Saat kami datang, di kolam renang terdapat sekawanan kodok sedang mandi (berenang). Tak ayal, hal itu membuat kami kaget. Kok, bisa-bisanya kodok masuk ke kolam renang? Gue berasumsi, mungkin hotel bintang setengah tersebut milik Mr. Kodok dan Ms. Kecebong.
Para guru menempati lantai dasar, yaitu lantai paling bawah. Disinyalir, mereka memilih untuk menempati lantai dasar adalah supaya bisa ngibrit keluar hotel jika terjadi kebakaran atau diserang lima ribu kodok lompat. Sedangkan seluruh murid menempati lantai atas, yakni lantai dua dan lantai tiga.
Jujur, ketika gue membuka pintu kamar hotel, tercium bau lawas menyengat tajam. Gue bependapat bahwa hotel bintang setengah itu jarang menerima tamu/ pengunjung. Bahkan, bisa dibilang pihak hotel sudah tidak mau menerima tamu. Namun, karena dipaksa oleh pihak sekolah, akhirnya mereka bersedia.
Gue sekadar menebak, hotel bintang setengah itu menerima tamu terakhir kali kira-kira pada tahun 1940. Setelah itu, hotel sepi pengunjung akibat meletusnya Perang Dunia Kedua. Lalu, hiatus selama berpuluh tahun lamanya. Kemudian, baru ada pengunjung lagi pada tahun 2013, yaitu kami dari sekolah SMK PKP 1.
***
Malam datang menyelimuti Kota Pelajar. Gue masih ingat, saat itu hujan turun rintik-rintik. Jalan di sekitar hotel kami menginap basah. Suasana jalan raya begitu lengang, hanya terdapat satu atau dua becak saja. Para tukang becak menawarkan gue tumpangan untuk menuju ke Jl. Malioboro. Tapi, gue tolak secara halus. Takutnya gue nanti malah dicekoki, terus tiba-tiba gue sudah berada di penampungan perdagangan remaja dunia.
Di pinggir jalan, terdapat banyak kafe yang sedang mendendangkan lagu jazz. Intensitas cahaya di beberapa kafe tidak terang, tapi semu-semu redup. Hal itu sengaja dilakukan agar wisatawan betah. Di dalam kafe, banyak bulai sedang mengobrol sambil duduk-duduk.
Malam semakin gelap, hal itu menambah kesan angker di hotel setengah bintang. Teman lain ada yang masuk ke kamar, ada yang pacaran, dan bahkan ada yang pacaran sama guru.
Sedangkan gue, sengaja masuk ke kamar hotel lebih cepat karena nggak punya pasangan alias jomblo terkutuk. Lagian kalau gue keluar percuma, melihat teman lain pada pacaran sementara gue cuma jongkok di pinggir kolam renang. Juga, gue langsung tidur untuk menghemat energi karena jam tiga dini hari ada pertandingan final Liga Champions. Meskipun, pada akhirnya gue nggak nonton pertandingan tersebut.
Keesokan harinya, gue mendapat kabar cukup mengejutkan dari teman-teman, yakni: Mayang kesambet tadi malam. Kesambet beda ya guys, dengan kesambit. Kesambet adalah kerasukan, kemasukan, dan didatangi. Kata tersebut biasanya untuk setan yang mengganggu manusia. Sedangkan kesambit adalah terkena benda tajam; seperti terkena celurit, linggis, atau ujung sepatu.
Setelah mendengar kabar tersebut, mulut gue nganga selama 5 detik. Gue menyimak baik-baik keterangan dari Sidik (kelas Akuntansi) mengenai peristiwa yang menimpa Mayang tadi malam.
Sidik memberikan keterangan, “Gue, Imas, Arif, dan anak-anak AK pada ngumpul di bawah.
“Hm, terus?” tanya gue, bak seorang detektif tulen.
“Iya, tadinya kita mau nonton bola bareng sambil ngobrol-ngobrol,” lanjut Sidik. “Eh, lagian lu semalem kemana sih, Jat? Gue nggak lihat elu?”
“Oh … gue? Gue ada di kamar nonton juga,” jawab gue, berbohong.
Dengan napas menggebu, Sidik melanjutkan cerita, “Yaelah. Iya, terus tiba-tiba Imas bengong gitu, gue kaget, matanya kosong.”
“Terus, terus?” gue semakin penasaran.
“Nah, habis Imas udah ditenangin, baru deh Mayang mulai kelihatan aneh. Tapi, untungnya Aby nenangin Mayang.” katanya.
Sidik panjang lebar bercerita, tapi gue lupa lagi omongannya, karena kejadian tersebut sudah hampir 3 tahun lalu.
Sepertinya, malam itu Mayang sedang melamun dan pikirannya kosong. Ada kemungkinan, Mayang kerasukan setan kodok penunggu hotel setengah bintang tersebut. Kebetulan, malam itu adalah malam minggu. Jadi, setan kodok nggak suka jika ada manusia yang mengganggu malam minggunya bersama setan berudu. Setan kodok merasa risih karena kehadiran manusia di daerah kekuasaannya. Apalagi, setan berudu sangat alergi dengan bau manusia. Sebab itulah, dia menyuruh kekasihnya (setan kodok) untuk melakukan sesuatu. Fortunately, keesokan harinya Mayang kembali normal seperti semula.
***
Sekitar tiga tahun lalu, Mayang bersama Mawar, Diana, Azizah (MM1), Bagus, dan beberapa teman sepermainannya berkunjung ke rumah gue di Padalarang. Gue senang, dia datang ke sini hanya untuk sekadar menengok teman lama.
Mayang, Diana, Mawar, dan Azizah wefie bersama. *Abaikan yang di belakang*
Mayang dan kawan-kawan datang ke rumah gue pada malam hari. Alasannya, mereka sekalian ingin bermalam/ menginap. Saat itu, ceritanya kami mau berwisata ke beberapa tempat di kawasan kota Bandung. Tapi faktanya, kami cuma mengitari Gedung Sate. Itu pun ketika di sana hanya membeli cilok (aci dicolok).
Setelah itu, kami kembali ke Padalarang dengan tangan hampa. Sungguh, perjalanan yang sangat “mengesankan”. Setiba di rumah, mereka makan siang bersama lauk-pauk seadanya. Kemudian, Mayang cs kembali ke Jakarta dengan perut kenyang.
Gue, Mayang, dan Bagus berfoto bersama di PPI
***
Saat ini, Mayang sedang menempuh studi di Universitas Mercubuana bersama teman lainnya.

23.  Mohammad Abyanara Fatah
Ini dia siswa “terkomplet” di kelas M2M; tampan, rupawan, tinggi, pintar, ahli bela diri, cakap, cerdik, cekatan, tangkas, penuh karisma, disegani, disukai, dan dihormati oleh para murid maupun para guru. Namun ada satu kekurangan: jidatnya jenong. Ya, jika di boyband Super Junior ada Siwon; Bigbang ada T.O.P; band Slank ada Bimbim; Guns N Roses ada Slash; dan di kelas M2M ada Abyanara.
Betul, bisa dibilang dia adalah main character atau karakter utama yang memegang andil pada suatu kelompok. Kasarnya, Aby merupakan main set (produk unggulan) dari kelas M2M.
Aby dan Dhika memenangi kategori murid Terganteng. Sumber: foto angket kelas M2M
Kalau bocah ingusan main kelereng, Aby diibaratkan sebagai gacoan dari seluruh kelereng yang ada. Kalau penjudi main kartu remi, Aby adalah kartu AS dari seluruh kartu yang telah dikocok. Kalau seorang pengangguran main karambol, Aby adalah keping raja dari kepingan lain. Sementara, kalau bocah sarap main adu ikan cupang, gue diibaratkan sebagai ikan cupang yang selalu dicupang oleh ikan cupang lain sampai grepes. Perbedaan yang cukup signifikan.
Sebelumnya, gue akan menilik ke belakang perihal murid “the most excellent in the class M2M” ini.
***
Matahari mulai meninggi, itu menandakan bahwa peralihan dari pagi ke siang hari. Exactly, mentari tepat di atas ubun-ubun seluruh siswa-siswi baru SMK PKP 1 (baca: siswa-siswi baru yang lagi dikerjain). Seluruh murid berbaris sesuai kelompoknya masing-masing. Seingat gue, kala itu terdapat sepuluh kelompok berjajar di lapangan. Setiap kelompok memakai dandanan, aksesoris, dan pernak-pernik yang berbeda.
Juga terlalu mengada-ada seperti; permen dikalungkan ke leher, topi caping yang terbuat dari kertas karton, kaleng bekas susu kental yang telah dimasukkan kerikil sehingga jika berjalan akan terdengar suara: klenang-kluteng-kretang-grontang.
Warna tali sepatu harus berbeda, mesti ada tanda kecupan pada pipi dari orangtua (ini paling ngeselin), tas daur ulang dari sisa chiki, biskuit, detergen, sabun colek, dan sebagainya. Sungguh, gue baru menyadari bahwa dulu kami (para calon murid baru) tak jauh berbeda seperti korban pencucian otak oleh kelompok separatis.
Hari semakin siang, keringat pun berjatuhan, dan rambut mulai bau gosong. Maka, seluruh calon murid akan bubar dan pulang menuju rumah masing-masing. Sebelum beranjak pulang, kami diberitahukan oleh kakak kelas supaya membawa “sesuatu” (nggak jauh dari camilan) untuk hari esok.
Kami duduk bersila menyimak perkataan yang disampaikan kakak kelas. Percis sekumpulan budak yang ingin diberi jatah makan siang oleh para penjajah. Kebetulan, gue duduk bersila di urutan kedua, sementara urutan terdepan adalah Filo Hastaruci (mentor kelompok 5) yang merupakan kakak kelas.
Gue memandang ke sekeliling barisan, mereka (calon murid baru) tak jauh berbeda dengan gue, yakni melotot ke depan dengan tatapan: yaelah, apa lagi sih nih. Karena permintaan mereka (kakak kelas) seabrek, maka gue mencatat segala keperluan yang harus dibawa besok di jidat teman, eh di buku tulis.
Permintaan mereka macam-macam, membingungkan, dan memakai inisial. Seperti telur berdarah yang maksudnya adalah telur balado. Coba saja pikir menggunakan akal sehat, mana ada telur berdarah. Mana mungkin ketika telur di dalam cangkang, si embrio dibunuh oleh saudara pertelurannya menggunakan sebilah belati atau parang? Irrational.
Seantero dunia tidak ada yang namanya telur berdarah. Kecuali, telur (maaf) testis laki-laki yang tertembak senapan angin, lalu berdarah. Itu baru ada, dan masih bisa diterima oleh akal sehat.
“Besok! Bawa telur berdarah.” Perintah salah satu kakak kelas perempuan, dengan mimik muka agak disendu-sendukan supaya biar ada yang naksir. Sontak, para calon murid baru kebingungan dan saling menatap satu sama lain.
“Telur … berdarah?” tanya mereka, bingung.
“Eh, telur berdarah apa, sih?” tanya satu calon siswi ke teman sebelahnya.
Siswi di sebelahnya berbisik, “Ituh … telur balado … sstt ….”
“Oh, iyah ….” ucap calon siswi setengah berbisik.
Padahal, berbisik ataupun tanpa berbisik suaranya terdengar sampai ke barisan paling belakang. Bagusnya, karena ocehan mereka berdua, gue jadi paham bahwa besok harus membawa telur balado. Thanks, ladies!
***
Satu per satu, gue mencatat semua perkataan yang keluar dari congor mereka. Sesekali, gue bertanya pada calon murid lain karena gagal paham dengan sebagian inisial yang disebut, tapi jawaban mereka hanya: nggak tahu, dengerin aja. Sungguh, bukan jawaban yang diharapkan. Mungkin, mereka juga pusing dengan banyaknya inisial yang harus dipecahkan dalam tempo satu hari.
Selagi menyimak khidmat, salah satu kakak kelas memberitahu kami bahwa besok harus membawa bekal … bakwan jerawat batu. Cetar! Bumi berubah bentuk menjadi kotak. Megalodon dipatil encu. Gue shock sekaligus merasa tersinggung, “Hah? Hapah? Ba–Ba–Bakwan jerawat batu?!” Gue melongo dibarengi tatapan imbisil, tidak lupa celingukan ke calon murid lain takutnya salah dengar.
Ternyata benar, mereka menulis “bakwan jerawat batu” di paha kakak kelas perempuan, eh di buku catatan. Gue mengedipkan mata, apakah itu mimpi atau halusinasi belaka. Namun, itu real, nyata, dan benar terjadi. Gue nggak habis pikir, bisa-bisanya bakwan jerawatan. Sepertinya, bakwan jerawat batu adalah bakwan yang telah disuntikkan hormon pubertas ke dalam adonan sesaat sebelum digoreng. Atau, bakwan jerawat batu adalah bakwan yang doyan makan minyak goreng saat dia (bakwan) digoreng. Padahal, sekalian saja bakwan panuan, bakwan kudisan, bakwan korengan, dan bakwan kemaluan agar semua murid muntah-muntah dan kejang-kejang ketika mendengarnya.
Jujur, saat itu gue merasa terhina dan terzalimi karena gue pun berjerawat. Ingin gue menceburkan “dalang” dibalik perintah bakwan jerawat batu ke kolam ikan atau ke danau PKP. Tapi, itu hanyalah sebuah umpatan dari kekesalan gue. Karena nggak mungkin, jikalau gue harus menyekap ketua OSIS lalu mengultimatum, “Tolong, batalkan perintah bakwan jerawat batu. Masih banyak makanan yang layak, kayak tahu sumedang. Jika tidak, maka ketua kalian akan saya kirim ke daerah Gabon. Hahaha (ketawa jahat).”
Reaksi calon murid lain juga sama: kebingungan. Mereka melohok ke samping kanan, kiri, depan, dan belakang. Tidak jarang, mereka berbisik kepada mentor mereka.
“Kak, bakwanh jerawath batuh, apah sih? Tahu nggakh?” bisik salah satu calon murid kepada mentornya.
Jawaban si mentor cuma, “Gueh nggakh tahu, udah tulish aja duluh. Nantih kita rundinginh bareng-barengh.”
Untungnya, jawaban si mentor nggak begini:
“Gue nggak tahu, coba lu tanya sama murid yang jerawatan juga tuh (gue). Kali aja dia tahu,” suruhnya.
Dengan sangat terpaksa, gue tulis “bakwan jerawat batu” ke daftar catatan. Gue menggelengkan kepala, masih belum percaya atas permintaan kakak kelas yang di luar nalar dan teramat sableng. Selagi gue mencoba memecahkan inisial “bangke” tersebut, sebagian calon murid lain gaduh merundingkan makna dibalik bakwan jerawat batu.
Tak lama, salah satu calon murid lain yang otaknya “masih waras” berkata, “Oh … gue tahu! Itu lho, bakwan yang dijagungin!” Aha! Tepat sekali. Tak ayal, murid lain yang mendengar perkataan murid tersebut, ribut memberitahukan ke teman lain: “Bakwan dijagungin.” “Bakwan yang dikasih jagung.” “Iya, bakwan ditabur jagung.” Mereka gaduh seperti Pedagang Kaki Lima yang digusur paksa oleh Satpol PP.
Ternyata, bakwan jerawat batu adalah bakwan yang diberi jagung ke dalam adonan sebelum dicelupkan ke minyak panas. Gue mulai mengerti. Memang, jika bakwan telah matang maka jagung akan menyembul keluar dari lapisan bakwan. Sehingga, tekstur bakwan menjadi tidak rata dan terkesan bergerinjel. Jika diperinci lebih jauh, mereka ada benarnya juga. Dengan ditaburi jagung pada adonan, maka bakwan seperti sedang kasmaran (berjerawat), karena menerima salam cinta dari risol atau pisang goreng.
Karena alasan “itulah”, kakak kelas memberikan inisial “bakwan jerawat batu” untuk bakwan dijagungin. Nalar mereka beranggapan bahwa: jagung adalah jerawat, bakwan adalah wajah, dan minyak goreng adalah minyak berlebih pada wajah.
Ingin gue protes, agar sebutan untuk bakwan dijagungin jangan “bakwan jerawat batu”. Masih banyak sebutan yang lebih merenah seperti: bakwan biduran, bakwan kasmaran, dan bakwan kasihan. Bisa dibayangkan, waktu itu gue tak ubahnya bakwan dijagungin yang sedang duduk bersila sambil mencatat bakwan dijagungin di lapangan. Konyol.
***
Setelah selesai mencatat segala keperluan yang harus dibawa, maka seluruh calon murid bersiap untuk pulang. Kami berdiri sembari mengepruk pantat yang kotor akibat terlalu lama duduk di lapangan. Sebagian calon murid lain ada yang meregangkan badan, percis kucing garong di siang hari. Beberapa calon murid lain ada yang menguap lebar, percis kuda nil yang sedang berjemur di tepi sungai amazon. Sementara gue menoleh buas ke kanan dan kiri untuk memandang murid perempuan yang masih “bercahaya”. Tujuannya tentu, supaya gue nggak ngantuk.
Ketika gue sedang asyik “mengeker” murid perempuan dari barisan terdepan dan terbelakang, tertangkaplah oleh mata gue satu calon murid laki-laki berwajah seperti perempuan di barisan kelompok satu. Calon murid laki-laki itu berdiri di barisan paling belakang dan terlihat pendiam. Tidak jarang, ia tersenyum tipis ketika ada orang yang mengajaknya ngobrol. Kulit putih, wajah bersih, dan model rambut kayak Sarah Sechan (presenter ternama Indonesia).
Pada kelompok tersebut, sepertinya dia hanya laki-laki seorang, sementara di depannya ialah murid perempuan. Sungguh iba gue melihatnya, karena di kelompok itu tidak ada laki-laki selain dia. Dulu, gue beranggapan bahwa murid berambut Sarah Sechan itu memiliki sifat (maaf) ngondek.
Mengapa ngondek? Karena, mukanya sungguh licin seperti sehabis luluran, rambutnya lurus ke bawah menutupi kening laksana Polwan, dan bibirnya merah muda kayak pakai lipgloss. “Kok kayak bencong, mana laki-laki sendiri lagi di kelompok itu.” Spontan, gue beranggapan yang tidak-tidak terhadap calon murid laki-laki tersebut. “Itu orang, laki apa bukan ya?” tanya gue penasaran dalam hati.
Karena hari itu telah selesai, maka pihak OSIS membubarkan kami semua. Gue juga disuruh kumpul sama mentor untuk merundingkan rencana buat besok. Maka, calon murid yang gue anggap “bencong” itu, raib tanpa suara.
***
Dua minggu kemudian, murid laki-laki berwajah perempuan itu sekelas dengan gue. Secara tidak sengaja, dia duduk tepat di belakang bangku gue. Pada minggu-minggu pertama, kami semua masih kikuk dan cenderung masih malu-malu kucing. Barulah, setelah Bu Selvi memerintahkan kepada anak didiknya untuk saling memperkenalkan diri, gue tahu nama siswa berwajah perempuan itu. Tepat sekali, murid berambut poni itu dipanggil Aby. Gampang disebut, diucap, dan dipanggil. Tidak berbeda jauh dengan sebutan bapak dalam bahasa Arab: Abi.
Telah disebut pada nomor sebelumnya, bahwa Aby pernah menjadi ketua kelas M2M menggantikan ketua kelas sebelumnya, Ilham Mahmudi. Dari kasta “tertinggi” itu, gue benar-benar tahu bahwa Aby adalah seorang penyandang sabuk hitam pada cabang bela diri Taekwondo. Uwooo.
Gue terkejut setelah mengetahui bahwa murid berwajah perempuan itu ahli bela diri. Lagi-lagi, gue tertipu sama casing seseorang. Awalnya, gue nggak begitu percaya dengan pernyataan tersebut. Namun, hal itu benar adanya. Aby membuktikan bahwa dia adalah seorang atlet Taekwondo andal.
Hal tersebut terbukti dari akun Youtube-nya yang sedang mengikuti kompetisi Taekwondo. Kemudian, ketika ada pentas seni (pensi) di sekolah, dia berani unjuk gigi dengan cara membelah genting menggunakan kedua telapak tangannya. Jujur, sejak itu gue berdecak kagum kepadanya. Murid yang sempat gue anggap sebagai bencong, ngondek, dan berwajah perempuan itu ternyata sangat bertolok belakang dengan kenyataan yang ada. Demikian, pelajaran yang bisa dipetik adalah: jangan pernah menilai orang dari luarnya.
***
Selanjutnya, Aby begitu populer di kalangan siswa-siswi dan para guru SMK PKP 1 periode 2010-2013. Rata-rata, warga SMK PKP 1 pasti mengenal dirinya. Bila menyangkut M2M, pasti selalu dikaitkan dengannya. Bila menyangkut Aby, pasti selalu dikaitkan dengan M2M.
Dikarenakan begitu terkenal di kalangan para murid, maka banyak kaum hawa yang naksir kepadanya. Gue masih ingat, ketika Anugerah (siswi Administrasi Perkantoran) menggodanya saat kelas 1 SMK dari lantai tiga.
“A–a–abiiii,” godanya centil dari lantai 3 bersama ajudannya, Novita.
Sementara Aby yang berada di lantai dua cuma mesem-mesem.
“A–biiiiiiii,” goda Anugerah lebih centil dari sebelumnya.
“Tuh By, tuh …,” kata murid lain, menandakan bahwa Aby harus membalas panggilan centil Anugerah.
Lagi, Aby hanya tersenyum tanggung. Sepertinya, Aby merasa malu karena namanya terdengar ke seluruh penjuru sekolah karena panggilan centil itu. Tidak kunjung dibalas oleh Aby, maka Anugerah bersedia untuk berhenti memanggilnya. Semenjak insiden itu, Aby semakin dikenal luas oleh seluruh murid SMK PKP 1.
***
Jauh sebelum itu, Aby memang sudah ditaksir oleh beberapa kakak kelas perempuan. Salah satunya adalah kakak kelas bernama Lailatul. Saat itu tersiar kabar bahwa Kak Lailatul suka sama Aby. Menurut gue, Kak Lailatul berwajah seperti aktris Indonesia, Olivia Jensen. Bedanya, Kak Lailatul lebih tirus, alias kayak Olivia Jensen sehabis terserang penyakit diare.
Maka tidak heran, reputasi Aby di sekolah terus meningkat tajam dari tahun ke tahun. Khususnya, pada segi memikat lawan jenis. Bandingkan dengan gue, reputasi gue di sekolah dari tahun pertama saja sudah anjlok. Maka tidak aneh, lawan jenis berusaha mengikat diri gue menggunakan tali tambang, lalu dibuang ke Sungai Cikapundung.
***
Awal gue mengenal situs Kaskus adalah dari dirinya. Betul, Aby adalah seorang kaskuser. Kaskus terkenal akan jargonnya yang berbunyi: cendol dong, Gan. Kaskus merupakan suatu grup atau komunitas terbesar di Indonesia. Di dalam Kaskus, terdapat banyak forum yang bisa dikunjungi oleh semua pengguna internet. Di antaranya ialah; the lounge (tempat berbagi bermacam pengetahuan), disturbing picture (tempat foto menyeramkan dan menjijikkan ada di sini), gossip (tempat berita miring/ hoax/ isu), dan forum jual-beli online (FJB). Aby sendiri lebih sering membuka forum jual beli dibanding forum lain. Tujuannya tentu, menjual barang secara online agar mendapat laba.
Bagi gue, Aby adalah tipikal siswa kreatif. Buktinya, ada saja barang yang dia jual melalui Kaskus. Mulai dari air softgun, kaset komputer, sampai rumah. Iya serius, Aby pernah menjual rumah atau kontrakan di daerah Bina Marga. Namun, sudah pasti rumah tersebut bukan miliknya. Entah, mungkin punya anggota keluarganya yang menumpang untuk dijual secara online.
Gue terkejut, karena saat jam pelajaran T.I.K di Lab. Komputer, Aby membuka situs Kaskus. Kemudian, ia mengecek thread-nya, yakni rumah tersebut.
Sambil memeloti layar komputer, gue bertanya, “Heu? Itu rumah, By? Lu, jual rumah?”
“Hehe, iya Ris,” katanya, kalem.
Gue bermumam dalam hati, “Buset … jangan-jangan rumah tetangganya dia jual.”
“Wih. Kalau rumahnya laku, lu bisa dapet untung banyak dong, By?” tanya gue sembari memprediksi keuntungan yang akan didapat olehnya.
“Haha. Nggak, Ris. Ini bukan rumah gua, punya Anu. Numpang jualan di Kaskus,” ucapnya sambil mengetik.
“Oh … kirain,” balas gue.
***
Waktu kelas 3 SMK, di kelas M2M terdapat lemari (dari tunjangan sekolah) yang telah teronggok rusak. Pintunya sudah copot, isinya kertas-kertas berserakan, dan bau apak. Lemari tersebut akan sangat cocok apabila dijadikan sebagai peti. Karena seringnya Aby menjual barang secara online, Alfado pernah menyarankan bahwa lemari tidak terpakai itu lebih baik dijual di Kaskus
“Noh, By. Lu jual aja tuh lemari. Haha,” Alfado menyarankan. “Lumayan, daripada nggak kepake,”
Gue yang sedang makan lontong, terkekeh.
“Haha. Nanti gue jual, Do,” balas Aby.
Akan sangat songong jika lemari rusak tersebut benar-benar dijual oleh Aby. Pihak sekolah akan keheranan karena tiba-tiba tunjangan itu lenyap alias hilang. Bisa dibayangkan, karena keasyikan menjual fasilitas sekolah; bangku, meja, papan tulis, dan pintu kelas pun dijual. Laba dari penjualan terselubung tersebut dipastikan melimpah dan masing-masing murid akan mendapat upah yang sesuai. Tapi, ketika jam belajar tiba maka para murid mesti lesehan.
***
Kembali ke Kaskus. Ketika membuat user pada Kaskus, terdapat beberapa tingkatan, mulai dari yang rendah sampai tinggi. Tingkatan yang paling rendah yakni: newbie, kaskuser, aktivis kaskus, kaskus holic, kaskus addict, kaskus maniac, kaskus geek, dan kaskus freak, sampai tingkatan tertinggi yaitu made in kaskus! Untuk bisa kasih cendol dan kasih bata ke user lain, kita harus mencapai tingkatan kaskus maniac.
Akan gue jelaskan terlebih dahulu apa yang gue tahu mengenai Kaskus; Cendol atau hijau adalah untuk memberikan reputasi baik kepada user yang pantas mendapatkannya. Lazimnya, para kaskuser sangat ngarep untuk diberi cendol. Karena bila dilempar cendol, maka pada user Kaskus akan ada tanda berupa hijau kotak di bagian user/ profil. Jika ditimpuk banyak cendol oleh user lain, maka hijau kotak tersebut akan banyak pula sampai berbalok-balok, layaknya es balok. Jika dilempar cendol secara brutal, itu artinya kaskuser tersebut adalah tukang es dawet.
Sedangkan bata atau merah ialah untuk memberikan reputasi buruk kepada kaskuser kurang ajar. Lumrahnya, para kaskuser sangat menghindari penimpukan bata merah ini. Karena jika dilempar bata, itu menandakan bahwa kaskuser tersebut ialah orang: nggak benar, penipu, bajingan, rasis, songong, sombong, sotoy, dan penjahat kelamin. Jika dilempar bata secara bertubi-tubi dan anarkis, itu berarti kaskuser tersebut adalah seorang maling jemuran.
Sama halnya dengan dilempar cendol, jika dilempar bata oleh kaskuser lain, maka tanda merah pun akan berbalok-balok. Lain halnya dengan cendol atau hijau, merah menandakan bahwa kaskuser memiliki citra buruk. Sehingga, para kaskuser lain diminta untuk waspada. Namun, jangan salah sangka dahulu, karena ada juga sebagian kaskuser pengoleksi bata merah. Alasannya tentu, si kaskuser lebih suka warna merah daripada warna hijau.
Sedangkan abu-abu adalah pemberian reputasi dari kaskuser pemula alias dari kaskuser yang belum ISO 2000. Ya, ISO 2000 yaitu batasan komentar kaskuser untuk dapat melempar cendol atau bata ke kaskuser lain. Jika komentar atau thread belum sampai angka 2000, maka belum bisa melempar cendol ataupun bata. Jika sudah melewati angka tersebut, maka dipastikan sudah bisa menimpuk cendol dan bata.
Mengapa dinamakan ISO 2000? Gue sendiri nggak begitu paham, itu adalah bahasa para leluhur Kaskus. Simpelnya, jika sudah 2000 ke atas maka “bisa” atau dalam bahasa Jawa: iso. Jika masih di bawah angka 2000, maka “tidak bisa” atau dalam bahasa Jawa: ora iso. Kaskuser tidak bisa mengirim lebih dari satu cendol atau bata dalam tempo kurang dari satu hari. Kaskuser hanya bisa mengirim satu cendol atau bata dalam tempo 24 jam/ 1 hari. Must be waiting.
Dengan demikian, maka kaskuser yang belum sampai ke tahapan tersebut diyakini belum bisa memberi hijau ataupun merah. Ia hanya bisa sedekah abu gosok alias abu-abu. Ketika membuat akun Kaskus, gue mengira bahwa bisa langsung memberi cendol atau bata. Jua, gue dulu belum tahu dengan ketentuan ISO 2000.
Atas dasar itulah, gue kerap kali bertanya kepada Aby mengenai Kaskus. Terutama, perihal pelemparan cendol dan bata.
Di depan kelas, gue bertanya kepadanya, “By, kok gue kagak bisa ngasih cendol?”
Aby menjawab, “Oh itu. Lu harus nyampe 2000, Ris.”
“Dua ribu? Maksudnya, apaan?” tanya gue, heran.
“Iya, jadi lu harus nge-post nyampe 2000,” kata Aby sambil memandang penjuru lapangan sekolah. “Nggak mesti bikin thread, komentar juga boleh, Ris.”
“Oh … jadi gue harus terus komentar ke thread lain ya, By?” tanya gue.
Aby menjelaskan lebih lanjut, “Iya, Ris. Tapi, lu komentarnya harus bermutu. Kalau nggak, nanti disangka nge-junk (nyampah).”
Gue manggut.
Dua minggu kemudian, gue sudah ISO 2000. Sungguh, waktu yang relatif cepat untuk seorang kaskuser pemulai dari newbie ke kaskus addict. Karena, gue terus mengirim komentar ke thread punya orang lain demi mengejar status ISO 2000. Gue nge-post sepertinya bermutu, namun sesekali nge-junk, seperti: nice trit gan, nyimak gan, yang boneng gan, pertamax, keduax, dan ketigax.
Kemudian, sekitar satu bulan kemudian gue telah melewati pangkat Aby. Jelas, Aby kaget karena hanya dalam tempo satu bulan gue sudah berpangkat kaskus maniac.
“Ris, cepet banget lu udah pangkat kaskus maniac aja,” ucapnya, di teras kelas.
“Hehe, yoi.”
“Niat banget lu, Ris,” katanya. “Gue aja dulu agak lama buat bisa ngirim cendol. Apa jangan-jangan lu … nge-junk, ya?”
“Hehehehe …,” gue nyengir, lalu mengeloyor masuk ke kelas.
***
Aby sangat ahli pada mata pelajaran Multimedia. Tidak salah pilih dia masuk jurusan tersebut. Ia kerap kali mengikuti perlombaan desain grafis yang diadakan di sekolah SMK PKP 1 maupun di sekolah lain. Beberapa karyanya kerap dipajang di Laboratorium Multimedia. Itu berarti, karyanya cukup baik dan bisa dijadikan sebagai contoh bagi murid lain.
Aby duduk paling depan di Lab. Multimedia bersama penasihatnya, Faiz. Aby dan Faiz tak ubahnya Batman dan Robin, selalu berdua baik di kelas maupun di Lab. Di dalam Lab., tempat duduk (komputer) Aby akan terlihat oleh murid lain. So, jika mereka (murid lain) mulai mual dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan, maka mereka bisa menyonteknya. Juga, jika Pak Dande (guru pelajaran Multimedia) menyuruh menghidupkan proyektor, pasti Aby yang disuruh. Karena ia yang paling paham, paling tahu, dan paling depan.
Disamping gue suka bertanya pada Arfil, gue juga sering bertanya pada Aby mengenai pelajaran Multimedia. Bedanya, Aby lebih lihai dalam pengeditan, sedangkan Arfil pandai dalam pemrograman. Sungguh, Maha Baik Allah sudah mengirimkan dua orang yang bisa ditanya, dicontoh, dan disontek.
Tak jarang, gue menghampiri Aby di bangku depan, lalu duduk di sampingnya.
Sambil menghempaskan pantat, gue bertanya, “Lagi ngapain, By?”
“Oh elu, Ris. Ini …,” katanya, begitu konsentrasi pada layar komputer.
Gue amati dia sedang mengotak-ngatik aplikasi 3D-Max.
Gue perhatikan secara saksama supaya gue bisa mengikutinya (baca: menyontek).
“Ada apa, Ris?” tanyanya menoleh gue, yang dari tadi sedang mengernyitkan dahi karena gue nggak mudeng.
“Ini, By. Bla bla bla bla?” gue bertanya padanya.
Aby menerangkan, “Oh …, ini sih begini. Bla bla bla bla bla. Habis itu, nanti lu bla bla bla bla.”
“Oh, gitu. Oke, By.”
Gue lumayan paham, lalu melengos ke tempat duduk gue di belakang.
Belum sepuluh detik, gue sudah mendatanginya lagi.
“By, jadi gimana? Habis ini ke sini, ya?” tanya gue.
“Iya, Ris. Gitu.” Aby mengiyakan.
Tak lama, gue sudah menclok di sampingnya untuk sekadar melihat bagaimana langkah, cara, dan tahapannya.
“Iya … habis itu … ke … sana … he’eh … iya … oke!”
Lalu gue beranjak secepat kilat.
Lima detik kemudian, gue sudah duduk manis dengan tatapan keblinger. Karena, dari tadi gue nggak bisa-bisa.
“By, kok di komputer gue nggak bisa, ya?” tanya gue, heran.
“Masa sih, Ris?” tanyanya, sambil menopang dagu.
“Iya, By,” kata gue memelas.
Tak lama berselang, Aby mendatangi tempat duduk gue, lalu memberikan pengarahan dan penjelasan secara runtut. Ujung-ujungnya, gue masih tetap belum ngerti, dan yang mengerjakan sekaligus menyelesaikannya adalah … Aby. Silahkan, timpuk gue pakai bata.
***
Selain di bidang Multimedia, Aby juga jago di bidang Matematika. Dulu, Pak Dande pernah berkata kepada kami di Lab. Multimedia, “Salah besar jika kalian masuk jurusan Multimedia tapi nggak suka sama pelajaran Matematika. Justru, Multimedia dan Matematika saling terkait. Makanya, jika kalian mau jago di pelajaran Multimedia, kalian harus pintar dahulu di bidang Matematika.” Kira-kira, seperti itu omongan yang keluar dari mulut Pak Dande. Sontak, sesaat mendengar ucapan Pak Dande, mata gue menatap nanar ke arah keyboard.
Padahal, tujuan gue memilih jurusan Multimedia adalah untuk menghindari pelajaran “yang selalu ada dimanapun gue berada”, yakni Matematika. Lain halnya dengan Aby, pantas dia cakap pada mata pelajaran Multimedia karena pada pelajaran Matematika pun pintar. Sebab itulah, ia begitu menyenangi kedua mata pelajaran tersebut di sekolah dulu.
***
Tanpa berlebihan memujinya, Aby adalah sosok siswa “one of a kind”. Faktanya, cuma dia seorang di kelas M2M yang masih menulis dengan huruf sambung. Terlebih, tulisannya bak tulisan dokter kandungan, sukar dibaca oleh orang awam. Plus, dia adalah orang yang menghargai perjuangan para pahlawan Indonesia. Maka tidak aneh, mungkin dia mencoba meniru style tulisan orang zaman baheula.
Gue sangat salut padanya ketika pelajaran Matematika berlangsung. Aby menulis rumus begitu cepat, sampai terdengar bunyi: set set sret sret. Bunyi kertas beradu dengan pulpen menimbulkan irama “seret”. Gue memandangnya, dia begitu serius mengerjakan soal yang tertera pada papan tulis. Bu Eno (guru Matematika yang disebut mirip Chef Farah Quinn) datang menghampirinya. Bu Eno memantaunya mengerjakan soal. Sesekali, Bu Eno bertanya pada Aby karena nggak jelas dengan tulisannya.
“Ini apa, By?” tanya Bu Eno sambil menunjuk ke kertas coretan.
“Ini stigma, Bu,” kata Aby.
“Oh iya, iya ....” Bu Eno mulai paham.
Sementara gue “masih” pura-pura menulis soal. Tujuannya adalah jika Bu Eno bertanya, “Faris, udah belum, Nak?” Maka gue akan menjawab santai, “Belum, Bu. Masih nulis soal.” Begitu. Cerdik terkadang harus licik.
Kemudian, gue mengintip kertas coretan punya Aby. Ketika gue lihat tulisannya: sungguh amburadul, berantakan, dan acak-acakan. Gue sama sekali nggak paham dengan coretannya dan pemikirannya. Gue garuk-garuk kepala, tadinya mau menyontek coretan tersebut, tapi malah keburu puyeng duluan. Bu Eno masih memantau di samping meja Aby. Dia memeriksa dengan teliti hasil pekerjaan Aby, yang menurut gue kayak lukisan abstrak zaman Renaissance.
Gue menunggu jawaban yang keluar dari mulut Bu Eno mengenai coretan itu, apakah jawaban Aby benar atau salah. Tak lama kemudian, Bu Eno bilang, “Ya! Bagus! Bener, By.” Uwooo. Tulisan yang gue anggap laksana gerbong kereta itu hasilnya … benar. “Tulisan nggak  penting, yang penting hasilnya.” Mungkin itulah motto Aby dulu.
Ciri khas yang paling gue adalah ketika sedang mengerjakan soal Matematika, Aby selalu menggarisbawahi hasil jawabannya. Sret sret. Bunyi dari ujung pulpen, setiap kali Aby selesai mengerjakan soal, yang bermaksud: ini hasilnya. Karena, bila dilihat dari atas (rumus) terlebih dahulu, maka mata orang yang melihatnya keburu perih.
***
Pernah suatu ketika, gue sebangku dengannya. Gue nggak tahu percis kenapa Aby bisa sebangku sama gue. Ada indikasi, bahwa Aby telah diusir oleh penasihatnya, Faiz. Kebetulan, saat itu sedang pembelajaran Matematika. Pembelajaran tersebut dibimbing langsung oleh Chef Farah Quinn (Bu Eno). Seperti biasa, gue selalu tegang jika Bu Eno melangkahkan kakinya masuk ke kelas sembari menyeringai lebar.
Tanpa banyak babibu, Bu Eno langsung mengajar dengan percaya diri. Bu Eno menulis beberapa soal Matematika di papan tulis. Gue yang menyaksikannya di bangku paling belakang, memble penuh dukacita.
Setelah itu, dia berkata bahwa akan melempar tutup spidol tanpa melihat ke arah murid-murid. Maksudnya, dia akan memunggungi para murid lalu melempar tutup spidol. Parahnya, siapa yang terkena tutup spidol harus maju ke depan mengerjakan soal yang ada di papan tulis. Oh no!
Gue baru ngeh, Bu Eno melakukan cara seperti itu adalah karena dia kebanyakan nonton Telenovela. Kan, di Telenovela suka ada adegan dimana pengantin perempuan melempar seikat bunga ke kerumunan tamu undangan. Sedangkan Bu Eno ingin melakukan cara seperti itu tidak kesampaian di pernikahan terdahulu. Atas dasar itulah, sepertinya dia mencoba mengkhayal dengan cara melempar tutup spidol ke tamu undangan (murid).
Pelemparan bom, eh pelemparan tutup spidol dimulai dari barisan paling kiri. Set. Spidol dilempar dan mengenai meja Natigor. Natigor berkilah bahwa tutup spidol tidak jatuh di mejanya. Karena banyak saksi yang melihat, dengan sangat terpaksa Natigor maju ke depan. Barisan selanjutnya pun sama, kali ini mengenai murid terkece di M2M: Andika Hermawan.
Tibalah di barisan gue duduk. Gue tegang, napas terasa sesak, dan bibir membiru. Lebay. Gue berharap tutup spidol itu jangan mengenai meja gue. Gue terus memanjatkan doa hanya karena hal konyol tersebut. Bu Eno membalikkan badannya, lalu berancang-ancang dan … tutup spidol mengenai paha gue! HANYIR. Gue panik.
Gifari menakut-nakuti gue dari bangku depan, “Hayo lu, Jat ….”
Tidak ketinggalan, Diana juga mencoba mengintimidasi gue, “Waaahhh, Ijaat …. Maju, Jat.”
Dari barisan kanan, duo singit ikut-ikutan mencerca gue.
“Wahahaha, mampus lu, Ris,” cerca Arfil, tertawa lebar.
“Gyahahaha, mampus lu, Jat,” ejek Alfado, tertawa girang.
“TAI LU, FIL!” Seru gue, kesal. “LU JUGA DO, TAI!”
Gue bingung, harus bagaimana. Waktu itu, sebenarnya ada 4 cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan diri gue, yakni; Cara pertama, gue akan kabur melalui pintu kelas lalu lari tunggang-langgang secara zig-zag. Cara kedua, gue akan berpura-pura amnesia sambil menjulurkan lidah seperti anjing pudel. Cara ketiga, gue akan berpura-pura kesakitan di lantai sambil meraung-raung karena telah terkena tutup spidol yang dilempar oleh Bu Eno. Cara keempat, gue akan meminjam kaos kaki Dhika yang super bau, lalu membius Bu Eno menggunakan kaos kaki tersebut.
Sambil menunggu murid lain mengerjakan soal di papan tulis, gue diam mematung tanpa arti disertai tatapan kosong. Gue stuck dengan keadaan saat itu. Tanpa disangka, gue lihat Aby menyobek secarik kertas. Kemudian dia menulis semacam jawaban Matematika. Gue alihkan pandangan kembali ke depan, yakni papan tulis. Gue pasrah kalau di depan benar-benar nggak bisa. “Palingan nanti dibantu sama Bu Eno,” batin gue, saat itu.
Detik-detik mengerjakan soal di depan kelas sebentar lagi akan tiba dan … tiba-tiba Aby menyodorkan kertas yang telah ditulisnya.
“Nih, Ris. Jawabannya.”
Mendengar penyataan darinya, gue sungguh terharu.
“Heu? I–ini … ? Buat gue, By? Ya udah, deh ….” Gue terkejut campur senang. “Eh, By. Kalau nanti gue ditanya-tanya, gimana?”
Dengan tenang, dia berkata, “Udah, kerjain aja dulu, Ris.”
Dengan percaya diri, gue maju ke depan. Beberapa teman ada yang memberi dukungan kepada gue: “I–jaat! I–jaat! I–jaat!” Percis seperti sedang menyaksikan pertandingan final Olahraga Sumo antarkecamatan. Padahal, cuma maju ke depan, dan mengerjakan “satu soal” Matematika. Ironis.
Jawaban telah digenggam dan telah “disuntikkan” semangat oleh teman-teman, maka gue mulai mengerjakan “tantangan” itu. Setelah selesai, Bu Eno memeriksa jawaban gue dan berkata, “Ya, betul!” “YEEEEE!” Gue girang tak terkira. Akhirnya, gue selamat dari “marabahaya”.
Gue kembali ke tempat duduk sambil bersenandung ria. Kemudian, Aby bertanya, “Gimana? Lancar, Ris?”
Gue menjawab sambil nyengir, “Hehehe, alhamdulillah. Makasih, By.”
“Udah lega ya, Ris, ya?” tanya Aby.
“Haha, iya By. Udah plong gue, fyuuhh …,” kata gue, sambil menghembuskan napas panjang.
Dengan demikian, gue lolos dari “ancaman” Bu Eno. Kalau nggak diberi jawaban dari Aby, mungkin gue masih berdiri di depan kelas sambil garuk kepala dan ngucek mata karena saking mentoknya otak gue menerima soal tersebut. Thanks a lot, By!
***
Selanjutnya, Aby kerap kali memakai headband jika sedang mengikuti pelajaran Olahraga atau senam pagi. Tujuannya tentu, menutupi jidatnya yang lebar. Sepengetahuan gue, ada dua warna headband yang sering dipakainya, yakni hitam dan putih. Tapi, Aby lebih cocok apabila memakai headband warna putih, karena lebih mudah terlihat dan lebih mencolok.
Tak ayal, Aby semakin tampan, menawan, dan rupawan. Apalagi ditambah poninya yang jatuh turun secara natural dan tersibak oleh angin hingga melambai. Jika diibaratkan sebagai tokoh kartun, Aby itu seperti Detective Conan. Cool.
Jelas, para siswi berteriak histeris saat Aby lewat atau menuju ke lapangan. “A–biiiii,” teriak siswi seangkatannya. “Kak A–biiiiii,” teriak adik kelas. Teriakan mereka begitu cempreng, layaknya menyambut idola mereka di Stasiun Senen. Aby? Mendapat teriakan seperti itu Aby hanya bersikap dingin. Tapi bukan berarti sombong, dia hanya tidak mau terlihat beken di antara teman-temannya. Sedangkan gue juga mendapat perlakuan yang tidak jauh berbeda dengannya, yakni: “A–a–a–waaaasss looo! Minggiiiir!” Begitu, cuma beda tipis. Benar, kan?
Selain memakai headband, Aby juga sering kali memakai peci atau kopiah. Masih jelas di kepala gue, peci yang dia pakai berwarna merah-biru bermotif batik agak lusuh. Di dalam kelas pun, Aby tidak jarang memakai pecinya. Sungguh, gue merasa seperti belajar di Madrasah Aliyah. Lebih tepatnya Madrasah Aliyah yang terletak di Kabupaten Bantul, Jawa Timur.
Tidak jarang pula, ia mendapat kesempatan untuk memimpin tadarus di lapangan sekolah. Dengan peci lusuhnya, ia memimpin kami membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Gaya bacanya tegas, pokoknya laki banget. Setelah selesai membaca Al-Qur’an, Aby kembali ke barisan M2M dengan mimik muka datar. As a student, he’s almost complete.
***
Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa gue dan Aby pernah satu kelompok dalam pembuatan tugas akhir untuk mengerjakan film pendek. Gue masih ingat, saat itu Pak Dande mengumumkan nama-nama kelompok untuk proyek tersebut di depan kelas.
“Berikutnya, Aby …,” kata Pak Dande.
Semua siswa harap-harap cemas, siapakah yang akan menemani dan siapakah yang begitu beruntung sekelompok dengan Aby?
“Ma … yang.”
Mayang langsung menengok ke belakang (Aby) dengan raut muka: syukron.
“Fa … del.”
Sambil menepuk telapak tangan, Fadel terlihat begitu senang. Kemudian, nama berikutnya adalah …
“FA … RIS,” kata Pak Dande dibarengi lirikan: enak banget lu, Tong.
“YEEASSS!” Teriak gue. “Gue sekelompok sama Aby! Whooaaa!”
Aby lalu menoleh ke arah gue disertai senyuman: ah sial, kenapa gua harus sekelompok sama lu, Ris.
Selanjutnya, nama terakhir yang masuk ke dalam kelompok Aby adalah …
“Ro … se.”
“Iiiih, Roseee!” seru Mayang dari barisan depan.
“Lah. Nggak ada yang lain, Pak?” protes gue, meragukan kualitas Rose.
***
Selesai pengumuman, kami langsung berkumpul dan tidak ada yang boleh pulang dahulu. Kami berunding, jenis film apa yang akan diusung nantinya. Kalau Aby, gue tahu betul seleranya yakni film action. Film action adalah film yang ada adegan berantem atau tembak-menembak. Kalau Fadel, gue yakin pasti dia akan mendukung genre film apapun.
Sementara Mayang, sepertinya dia suka drama, terutama T-Drama (Drama Thailand) atau K-Drama (Drama Kamboja). Sedangkan Rose, sepertinya dia suka film horor. Seperti Hantu Pasar Ciracas, Setan Mandul, dan Beranak dalam Angkot.
Gue? Gue suka film erotis, yakni film yang menampilkan adegan cumbuan dan desahan. Sayangnya, kalaupun kelompok kami mengusung genre tersebut, maka gue dipastikan yang menjadi pemeran utama sedang “menggesek” batang pohon singkong. Kemudian, film tersebut diberi judul: Pemuda Gila yang Dicampakkan Kekasihnya karena Menjadi TKW di Negeri Jiran. Judulnya saja sudah bikin enek, apalagi kontennya.
Kami sengaja berunding di saat kondisi kelas telah sepi. Supaya murid lain tidak ada yang tahu mengenai film yang akan kami buat. Otomatis, kami menunggu semua murid “pergi”. Namun, ada saja murid iseng yang berusaha mengetahui rencana kami, yakni si Daniel Radcliffe KW 7: Alfado.
“Mau ngebahas itu, yaaa? Hihihi,” goda Alfado sambil memakai masker ke mulutnya.
“Apa sih, Doooo?” tanya Mayang, risih.
“Wei! Mau ngapain, luh?!” seru Aby, bercanda.
Gue tertawa atas tingkah kami dulu, begitu kocak. Entah apa yang membuat kami begitu “rahasia” mengenai proyek tugas akhir. Terutama, kami amat berhati-hati dengan kelompok yang digawangi Alfado. Kelompok kami dan kelompok Alfado selalu main umpet-umpetan, rahasia-rahasiaan, dan kepo-kepoan.
Jika kelompok kami sedang berunding, lalu tiba-tiba ada Alfado. Maka, kami langsung diam dengan tatapan: mau ngapain lu, Do. Begitu juga dengan kelompok Alfado, jika ada gue dan Aby menghampiri mereka. Maka, mereka langsung menghentikan pembicaraan lalu melirik tajam ke arah kami: ada Aby dan Faris, tunda dulu. Lucunya, mau proyek film tersebut ditutup-tutupi sampai Papua Nugini menjajah Amerika pun, pasti akan disebarkan, ditonton, dan disaksikan banyak orang. “Selalu ada persaingan di antara pertemanan”. Kira-kira seperti itu kutipan yang tepat.
Setelah kondisi kelas mulai sepi, dan tentunya Alfado sudah “hilang” maka perundingan pun dimulai.
“Mau film tentang apa, nih?” tanya Aby memulai pembicaraan. Kemudian menatap anggotanya satu per satu.
“Kalau gue, apa aja sih, By,” kata Fadel yakin.
“Apa, ya?” Mayang bingung.
Gue berkata bijak, “Gue sih, gimana kalian. Asal sama-sama sepakat aja.”
Action aja, By,” saran Rose.
“Oh … gitu, gitu. Ya ….” Aby mengawang sambil memegang jenggot tipisnya.
Kami bermusyawarah panjang-lebar, sampai sepakat pada usulan Rose: film action.
***
Setelah sama-sama mufakat dengan genre film yang akan dibuat. Maka, kami mulai “berani” memprediksi, akan seperti apa film kami nanti. Saat itu, Rose pernah bilang bahwa film kami akan mengambil latar di pelabuhan atau dermaga. Jadi, alur ceritanya polisi (gue dan Aby) akan beradu tembak dengan sekawanan penjahat elit (Fadel cs) di pelabuhan yang dimaksud. Lalu, adegan tembak-menembak pindah ke kapal laut. Then, alur cerita Rose akan berakhir di kapal laut, dan pastinya polisi akan menang (di setiap film, polisi selalu menang).
Tidak kalah berani, Rose pernah berkata bahwa dia akan meminjam helikopter (bukan mainan) ke teman bapaknya. Bapaknya diketahui adalah seorang tentara Angkatan Udara, jadi bisa meminjam properti “wah” tersebut. Rose menerangkan semua rencananya kepada gue, Aby, Mayang, dan Fadel. Kami menyimak saksama setiap perkataan yang keluar dari mulutnya.
Dulu, gue membayangkan pasti akan bagus sekali hasil film kami. Oke, setelah mendengar rencana Rose dan bakal ada helikopter, gue bersedia menjadi penulis cerita (script writer) proyek film tersebut. Toh, gue suka mengarang bebas.
Selanjutnya, Fadel menjanjikan akan mengikutsertakan beberapa temannya ke dalam proyek “mega” ini. Nantinya, teman-teman Fadel akan menjadi sekomplotan penjahat elit yang berakhir dengan kekalahan (di setiap film, penjahat selalu kalah). Salah satu teman yang akan diajaknya ialah, Arif. Siswa Akuntansi berkepala plontos, gembul, dan suka merokok. Arif amat mirip pelawak Indonesia, Bedu. Tepatnya, Bedu sepulang dari Tanah Suci. Kurang lebih, ada empat temannya yang akan diajak bergabung ke dalam proyek kami.
Gue membayangkan lagi, dipastikan film kami nanti seperti film layar lebar: durasi lama, properti keren, dan pemeran banyak. Saat itu, gue sudah senyum-senyum sendiri menerawang ke depan.
Kemudian, Mayang ditugaskan untuk menjadi juru kamera sekaligus sebagai aktris. Kualitasnya dalam bidang tersebut, sudah tidak diragukan lagi. Memotret jago, difoto sering, dan merekam video bukan hal yang tabu. Kami memercayakan posisi “penting” ini kepadanya.
Rose diarahkan sebagai aktris/ pemeran juga. Menurut gue, dalam hal acting dia cukup baik. Apalagi jika Rose berperan sebagai dukun beranak, sangat cocok.
Sementara tokoh utama, mau tidak mau dan suka tidak suka jatuh ke Fadel. Si dagu lancip berambut tajam ini sangat padu dengan karakter yang ia perankan: penjahat kelas kakap.
Aby bertugas sebagai sutradara (director) untuk mengarah seluruh pemainnya agar berakting dengan benar, totalitas, dan natural. Polisi? Karena tidak ada lagi orang/ pemain, maka polisi diperankan oleh gue dan Aby. Secara perawakan, Aby sudah pantas menjadi seorang polisi: tinggi, tampan, dan kuat. Sedangkan gue, lebih pantas menjadi distributor opium: mata sayu, letoy, dan tidak bergairah.
Fix, kami semua sudah mendapat tugasnya masing-masing. Sesudah semua telah sepakat, mufakat, dan Insya Allah bermanfaat, kami pun pulang. Tiba di rumah, gue segera melanjutkan alur cerita dan juga sinopsis. Dalam proses penulisan, mula-mula gue menulis di buku catatan yang kayak di serial kartun Blues Clues.
Sesudah alur cerita nyambung, urut, dan enak dibaca, maka gue menyalinnya kembali di laptop dengan cara diketik. Gue kerjakan malam itu juga secara mencicil (sedikit demi sedikit). Karena, alur cerita perlu dikirim ke sutradara (Aby) untuk ditelaah lebih lanjut. Juga, agar Aby beserta teman lain sudah ada “bayangan” mengenai jalan cerita yang akan mereka jalani. Intinya, mereka bisa latihan sekaligus memahami cerita yang gue buat dari jauh hari sebelum shooting dilaksanakan.
***
Seperti yang telah diterangkan di bab sebelumnya, bahwa kami pasti berkumpul terlebih dahulu di rumah Mayang sebelum berangkat ke lokasi yang akan dituju. Pertama, kami mencari nama yang tepat untuk judul proyek film itu.
Masih ingat di benak gue, kala itu gue dan Aby seperti biasa “berkunjung” ke rumah Mayang. Sementara Fadel dan Rose belum datang juga (itu sering terjadi). Selagi menunggu mereka berdua, gue beserta kedua teman gue berencana untuk menentukan judul film. Ada banyak pilihan untuk judul film, di antaranya: shoot, crime, dan dor. Judul yang paling tidak memenuhi standar untuk sebuah judul film adalah dor. Kesannya, kayak film yang menceritakan tukang reparasi pintu.
Selaku sutradara, Aby mengernyitkan dahi mendengar beberapa usulan dari gue.
“Kayaknya, kurang deh, Ris.” Aby meminta nama lain.
Gue pribadi menginginkan judul film yang gampang diingat, gampang dibaca, dan simpel. Gue terus berpikir untuk penamaan judul film yang tepat sesuai dengan genre film action.
Selagi gue berpikir, Aby mencoba membuat konsep tipografi di buku catatan Blues Clues milik gue. Ia mencoret-coret sambil menopang dagu, dan muncullah banyak konsep. Mayang? Seperti biasa dia lagi mengeringkan rambutnya ke kipas angin agak berdebu.
Dikarenakan situasi dan kondisi mulai tidak karuan, juga kepala mulai panas, maka kami bertiga duduk santai disertai tatapan mengawang ke depan. Kami diam beberapa saat, sementara Fadel dan Rose tidak datang jua. Untuk memecah keheningan, gue beranjak dari sofa agak berdebu untuk melihat seisi rumah Mayang.
Gue melangkah, melihat kesana-kemari supaya otak kembali segar. Gue berhenti di depan sebuah meja, dan gue melihat kalender yang terdapat foto anggota Marinir. Selagi gue memelototi kalender itu, Mayang berkata tepat di belakang gue, “Ris, di situ (foto kalender) ada bapak gue, lho.”
Gue kaget karena saking seriusnya, lalu bertanya, “Bapak, lu? Mana, May?”
“Nih, nih. Tuh mukanya lucu, ya? Ahhihi.” Mayang memberitahu gue bahwa di kalender itu ada bapaknya diiringi cekikikan karena beranggapan muka bapaknya lucu.
Menurut gue pribadi, bapaknya paling “angker” di foto itu.
Kemudian, Aby datang dan sorot matanya langsung tertuju pada kalender sambil bertanya, “Mana Ris, bapaknya Mayang?”
“Nih, By,” kata gue sembari menunjuk.
“Nih By, nih ….” Mayang juga menunjuk.
“Wes …,” desis Aby, sambil menirukan pose di foto tersebut.
Gue tertawa melihat tingkahnya.
Kemudian, gue mengalihkan pandangan ke penjuru lain. Sementara Aby masih asyik memerhatikan foto di kalender tersebut. Sepertinya dia ingin mencari sebuah kejanggalan, seperti: penampakan. Atau, bisa juga kalender itu mau dijual olehnya lewat Kaskus.
Gue pandang rumah Mayang sembari menyentuh perabotan: sofa, kipas angin, remote televisi, ubin, bantal, tempat minum, topeng, cangkir, dan pajangan. Tadinya gue pengen ngutil, tapi gue urungkan niat tersebut. Gue menarik napas, lalu menghembuskan secara perlahan. Fiuh. Gue bete, kesal, dan ngantuk. Gue kembali ke sofa agak berdebu, lalu duduk selonjoran.
Ketika gue lagi duduk selonjoran, mata gue terpancing pada sebuah lemari kaca yang terdapat di samping kanan ruang tamu. Gue pun berdiri, lalu melihat isi dari lemari kaca itu. Gue lihat di dalamnya ada beberapa mainan seperti mobil-mobilan, pesawat-pesawatan, dan motor-motoran. Gue heran, “Mayang kan, nggak punya saudara cowok, cewek semua.” Atau mungkin, bapaknya masih suka main mobil-mobilan di sela-sela waktu luangnya.
Karena jenuh, maka gue membuka lemari kaca, lalu merogoh ke dalamya dan mengambil satu unit mobil-mobilan. Sesudah mobil-mobilan diambil, seketika Mayang datang dan menangkap basah aksi gue. Gue diam dua detik, kemudian meminta izin.
“Hehe. May, ini … gue lihat-lihat, ya?”
Mayang memperbolehkan, “Iya, ambil aja …”
Selanjutnya, gue taruh mobil-mobilan tersebut di lantai, dan menjalankannya. Brem brem brem. Gue larut ke dalam dunia anak kecil. Melihat gue bak menderita penyakit “masa kecil kurang bahagia”, Aby dan Mayang pun mengambil mobil-mobilan yang terdapat di lemari kaca.
Tak lama setelah itu, kami malah main mobil-mobilan di ubin dingin percis anak balita (bawah lima tahun). Parahnya, kami begitu menikmati dan menyenangi perbuatan kekanak-kanakan tersebut.
Sebagai pemilik dealer mobil-mobilan, Mayang menantang gue dan Aby untuk adu balap. Mobil-mobilan itu adalah mobil-mobilan yang jika ditarik ke belakang, maka ban mobil akan terhenti. Barulah setelah dilepas, ban akan berputar dengan cepat.
Oke! Gue menerima tantangannya. Tanpa pikir panjang, kami bermain mobil-mobilan di keramik putih. Posisi mobil-mobilan sejajar seperti di game Need For Speed Most Wanted. Maka saat hitungan ketiga, mobil-mobilan pun melaju kenjang. Wuuss!
“Yeee! Gue menang!” seru Mayang.
“Lagi, lagi,” ajak Aby merasa tertantang.
Mobil-mobilan pun ditarik … wuzzz!
“Eh, curang lu May!” protes Aby, karena melihat kecurangan yang dilakukan oleh pemilik dealer mobil-mobilan.
Karena belum pernah menang, gue mengajak, “Lagi lagi.”
Gue tarik ke belakang mobil-mobilan itu … wzaahh!
“YHOOO! GUE MENANG! WHOOO!” Gue heboh sendiri. Padahal cuma balapan mobil-mobilan, apalagi benaran.
Kurang-lebih setengah jam kami bermain “permainan menantang” tersebut. Lama-lama, permainan yang mengacu adrenalin itu bosan juga.
“Hoams … udah, udah. Yuk, kita mikirin film lagi,” ajak Aby, menguap.
Sementara gue dan Mayang sesekali masih menarik mobil, lalu kembali balapan.
Gue juga mulai jenuh, maka posisi gue kali ini tengkurap sambil memaju mundurkan mobil-mobilan di lantai. Rasanya adem, kalau nggak ada tugas, mungkin waktu itu gue sudah tertidur. Sementara Aby masih memikirkan judul film. Sedangkan Mayang menjajal untuk menjadi juru parkir, karena dari tadi dia asyik sendiri menjejerkan mobil-mobilan.
***
Cukup sudah gue menjelma jadi balita, saatnya memikirkan judul film. Gue ambil buku catatan Blues Clues, lalu gue buka lembaran-lembaran kertas. Gue corat-coret beberapa nama di buku tersebut. Gue kasih tahu Aby mengenai judul film yang ada di kepala, namun Aby menjawab: cari lagi deh, Ris. Gue ubek-ubek kosakata yang ada di otak, sesekali gue telentang supaya lebih rileks dan lebih nyaman.
Tidak jarang pula gue melihat ke televisi yang sedari tadi menyala. Pada layar televisi, tepatnya di pojok kanan atas, terdapat pemberitahuan film layar lebar yang akan ditayangkan untuk nanti malam. Gue perhatikan baik-baik, sepertinya film itu adalah film trilogi (film bersambung) dari film sebelumnya yang belum selesai/ tamat. Pada judul film, tertera angka tiga Romawi: III. Aha! Sepertinya, gue menemukan judul yang tepat.
Gue segera menulis angka tiga Romawi di buku catatan Blues Clues. Kemudian gue tambahkan beberapa kalimat di bawahnya sedemikian rupa. Gue tidak terburu-buru untuk memberitahukan judul ini ke Aby, karena dia sendiri sedang memejamkan mata: berpikir.
Gue sengaja mencari kosakata dalam bahasa Inggris untuk III. Karena, apabila mencari kosakata dalam bahasa Indonesia, di pikiran gue saat itu cuma ada: Ih, ih, dan ih. Akan sangat tidak nyambung dengan konsep, alur cerita, dan genre film. Masa iya film action berjudul: Ih, Ihh, dan Ihhh. Judul tersebut lebih pantas diterapkan pada film dangdut pantura versi remix volume 1.5 feat Dj Boim.
Dikarenakan gue begitu fokus menulis sesuatu sambil tengkurap di lantai, sang director (Aby) menghampiri gue.
“Lagi ngapain, Ris?” tanyanya.
“Oh … nggak. Lagi bikin konsep aja …,” jawab gue, lalu duduk.
“Coba gue lihat, Ris,” pintanya.
Gue kasih buku catatan Blues Clues ke tangannya.
Aby melihat saksama konsep yang telah gue buat. Dia ngangguk-ngangguk, tanda setuju.
“Kayaknya bagus, Ris.” Aby menyukai konsep itu. “Tapi, kata-kata di bawahnya kurang tepat. Coba lu cari lagi, deh. Yang lebih pantes gitu, Ris.”
“Oke, By.”
Gue kembali mencari kosakata yang tepat untuk kalimat di bawah huruf III. Kali ini, tatapan gue terbang ke langit-langit rumah Mayang. Berusaha ‘tuk mendapatkan tiga kosakata bahasa Inggris.
Logika gue berjalan bahwa film action atau film kriminal lazimnya mesti ada penelusuran (investigation) terhadap target (musuh) yang diintai. Kemudian, film laga lumrahnya terdapat banyak rintangan dan tantangan (interruption) yang diberikan oleh musuh kepada jagoan. Selanjutnya, jika penjahat sudah tertangkap maka akan digiring ke posyandu, eh ke kantor polisi. Sebagai polisi yang baik, maka penjahat akan ditanya (interrogation) sebelum tes masuk kerja, eh masuk sel tahanan.
Dengan demikian, ketiga kata itulah yang diangkat untuk menjadi kepanjangan dari film III: Investigation, Interruption, and Interrogation. Izinkanlah gue untuk promosi. Bagi kalian yang ingin menonton film (trailer) ciptaan kami, bisa buka Youtube di channel nara114. Selamat menonton!
***
Shooting dimulai sejak scene Fadel (ketua penjahat kelas kakap) sedang diinterogasi oleh gue dan Aby (polisi biasa) di ruangan gelap, sempit, dan tertutup. Shooting dilaksanakan pada malam hari di rumah Fadel. Gue membawa segala perlengkapan seperti kemeja warna putih, celana bahan, dan dasi. Percis anak PKL (Praktik Kerja Lapangan) di pom bensin. Aby juga, bedanya dia hanya memakai kemeja warna hijau. Percis orang kantoran terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
Mayang membawa perlengkapan kamera, dia sibuk mengeluarkan body dan lensa kamera. Percis fotografer amatir. Rose hanya membawa nyawanya sendiri, pada scene itu dia memang tidak berperan sebagai apapun. Namun, tenaganya amat dibutuhkan untuk: mengangkut barang, membawa minuman, dan membersihkan lensa kamera.
Paling santai adalah tuan rumah, yakni Fadel. Dia tidak perlu repot-repot menyiapkan atau membawa sesuatu. Fadel hanya perlu membawakan minuman dan camilan untuk para tamu.
Garasi terpilih untuk diubah menjadi ruangan interogasi. Ketika pintu garasi dibuka, di dalamnya ada banyak barang-barang tidak terpakai (namanya juga garasi). Atas dasar itulah, kami mengeluarkan dahulu barang-barang bekas itu supaya garasi terlihat kosong dan bisa dijadikan tempat interogasi.
Setelah garasi cukup lapang, maka meja dan kursi dimasukkan ke dalam garasi. Tidak ketinggalan lampu meja untuk belajar juga dipersiapkan. Setelah kondisi garasi cukup bagus, maka lampu dimatikan. Jklek. Kemudian, lampu meja dinyalakan. Prat. Sayangnya, lampu menyala cukup terang. Karena, di beberapa film laga biasanya jika penjahat sedang menjalani proses interogasi, lampu bersinar remang-remang (terang nggak, redup nggak). Seperti lampu di teras kontrakan yang tarif per bulannya dua ratus ribu rupiah.
Kondisi di dalam garasi *sinar lampu terlalu terang*
Untungnya, Aby mempunyai solusi brilian, yakni dengan menutupi lampu menggunakan lap, seperti lap kasa. Dengan begitu, cahaya lampu akan semu redup. Baik, semuanya sudah siap. Maka, shooting resmi dimulai.
Fadel duduk menunduk di kursi yang telah disediakan. Dia berpura-pura sebagai penjahat yang telah tertangkap dan ditanya mengenai kehidupan asmaranya, eh kejahatannya. Sementara gue dan Aby berdiri di depan Fadel sambil tangan dimasukkan ke kantong celana. Kami berpura-pura sebagai polisi yang sedang mendengarkan bimbingan dan arahan dari penjahat kelas lohan (bosan kakap melulu).
Cut! Aby memerintahkan untuk berhenti sementara. Ia ingin melihat hasil dari pengambilan shooting tersebut. Menurutnya, pergerakan kamera tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Maka, adegan itu pun diulang. Dalam pembuatan film, tahapan tidak melulu berhasil sesuai rencana. Pasti ada kekurangan yang membuat suatu adegan mesti diulang agar hasil terlihat sempurna.
Mayang sungguh kasihan, beberapa kali dia harus merekam ulang sampai garuk-garuk kepala. Sering kali, kami tertawa bersama akibat salah pengejaan, ucapan, dan perkataan karena tidak sesuai dengan yang tertera pada naskah.
***
Pada proses interogasi tersebut, ada adegan dimana gue menampol dan membentak Fadel. Sesuai dengan prinsip gue, bahwa akting atau apapun itu harus total. Namun, karena waktu itu sudah hampir tengah malam dan juga ada Mama Fadel, maka gue akting seperti setengah-setengah.
Duag! Gue tampol Fadel (pura-pura) sampai jambulnya bergoyang, kemudian berteriak keras, “JAWAB YANG BENER!” Lalu gue berpura-pura ngos-ngosan sembari melotot tajam bak Reog Ponorogo.
Cut! Teriak Aby, kamera pun dihentikan. Kami semua melihat hasil rekaman barusan, dan ketika adegan dimana gue berteriak jawab yang bener, malah terdengar seperti: JABYANGNEL! Seperti (maaf) anak inklusi yang murka karena mainannya diambil oleh abang-abang tukang cangcimen.
Karena tidak sesuai ekspektasi, adegan tersebut diulang. Anehnya, pengulangan kedua dan seterusnya pun sama, bahkan lebih parah, yakni terdengar: JELENEL! Seperti lansia (lanjut usia) yang marah karena tongkatnya telah dipatahkan lalu dibuang ke selokan oleh bocah sedeng.
Gue menyalahkan diri gue sendiri malam itu, “Ngehek, intonasi gue jelek banget.” Sudah diulang berapa kali pun suara gue tetap sama, maka ya sudahlah. Hanya nanti di pengeditan tinggal memilih, mana suara yang paling jernih untuk didengar. Tapi sepertinya, semuanya noise.
Indikasi terkuat gue berakting tidak total adalah karena: takut berisik dan ada mamanya Fadel. Jelas, jarum jam menunjukkan pukul 10 malam, sementara gue malah teriak kencang bak orang kesurupan. Alhamdulillah, tak satu pun satpam kompleks yang mendatangi rumah Fadel sembari bertanya, “Siapa yang melahirkan?” Atau dari tetangga rumah Fadel yang menghampiri kami lalu bertanya, “Siapa yang kesetrum?”
Juga, gue takut jika Mama Fadel marah, karena anaknya dibentak sama polisi gadungan (gue dan Aby). Bisa saja, Mama Fadel stres karena mendengar anaknya dihardik, lalu menelepon polisi sungguhan. Bahkan, bisa saja ketika gue sedang berpura-pura menampol Fadel, Mama Fadel melihatnya. Tak lama, gue bakal digelandang ke Polsek Ciracas.
***
Setelah shooting selesai, maka tahap selanjutnya adalah pemotretan untuk poster film. Konsep pemotretannya yakni Fadel duduk menunduk pasrah menghadap kamera. Sedangkan gue dan Aby menghadap Fadel, membelakangi kamera. Gue memakai kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku. Sementara Aby memakai kemeja hijau yang lengannya tidak digulung.
Memang, tema poster film kami mengusung dua intel yang sedang menginterogasi penjahat berbahaya. Tapi jika dipandang terus-menerus, maka akan seperti ketua RT dan ketua RW yang sedang menginterogasi maling sandal. Atau, seperti dua dosen yang sedang mengawasi mahasiswa nakal.
Pemotretan pun sama, yakni dilakukan berulang kali agar dapat membandingkan mana yang paling baik untuk dijadikan poster. Scene pertama resmi selesai. Dengan demikian, gue, Aby, Rose, dan Mayang pamit pulang.
***
Seperti biasa, hari berikutnya kami berkumpul di rumah Mayang. Saat itu kami berencana untuk membuat scene dimana Aby menjadi korban penembakan Fadel. Iya, terpaksa Aby yang memerankan karena sudah tidak ada lagi pemain.
Tak ingin mengulur waktu, kami pergi ke suatu tempat di sekitar rumah Mayang. Tempat tersebut berupa tanah kosong dengan sedikit ilalang yang tumbuh di sekitarnya. Tempat itu amat dekat dengan pos satpam, mungkin hanya berjarak 10 meter. Di tanah kosong itu, terdapat tiang listrik menjulang tinggi. Aby memerintahkan kami untuk shooting di tiang listrik itu. Kemudian, kepala Aby ditutup menggunakan kain berwarna hitam.
Merujuk pada naskah, nanti Aby akan ditembak oleh Fadel. Jangan salah paham, “ditembak” di sini bukan menyatakan cinta, tapi “dibunuh”. Pada scene tersebut, gue ditugaskan sebagai kameraman. Tentu saja, gue yang akan merekam penembakan sadis tersebut. Setelah kepalanya tertutup, maka penembakan pun dimulai.
Dor! Aby pura-pura tergeletak. Kemudian, dia melihat hasil rekaman “pembunuhan” itu.
“Sekali lagi, ya.” Aby menyuruh untuk melakukannya sekali lagi.
Gue bersiap-siap memegang kamera dengan benar, karena dari tadi tangan gue berkeringat sehingga body kamera menjadi licin.
Tak ingin berlama-lama, gue memulai shooting. Action! Kemudian Aby sedikit memundurkan posisi badannya agar dapat bersender pada tiang listrik. Selagi memundurkan badannya, seketika Aby … jatuh terjerembap ke tumpukan jerami. Grusak! Kami pun tertawa tidak terelakkan lagi.
“Yahahaha ….” Mayang tertawa secara biadab.
“Jyahahaha ….” Fadel tertawa sampai sakit perut. “Aduduh, sakit … aduh duh ….”
“Ngahahaha … lu ngapa, By~?” Rose tertawa begitu songong.
“GWAHAHAHAHA … !” Gue tertawa paling keras.
Saking kerasnya gue tertawa, kamera sampai goyang tak beraturan. Cut! Gue men-stop kamera, karena percuma jika dilanjutkan: Aby jatuh dan semuanya pada tertawa kencang. Aby? Dia sendiri kaget kenapa bisa jatuh ke belakang secara seronok.
Aby bangun dari tumpukan jerami, lalu nyengir dan tertawa kecil. Sementara yang lain mulai mereda dari tertawa mereka yang menggelegar. Sedangkan gue masih ngakak tanpa henti, “AHAHAHAH … AH–AH–AH–AHAHAHAH ….”
Rahang gue pegal, perut ngilu, dan mata berair tidak bisa menahan tawa.
Memang sangat lucu ketika ada orang bersifat cool, handsome, dan respectful tertimpa kesialan seperti di atas. Karena, momen tersebut dipastikan sangat jarang. You’re funny, Bro!
***
Jauh sebelum itu, terkadang Aby memang suka bertingkah konyol. Jika gue tidak keliru, kala itu suasana di kelas sedang ramai dan sedang jam istirahat. Para siswa-siswi sibuk dengan apa yang mereka lakukan, seperti: makan gorengan, minum teh, main game, ngobrol, ngegalau, ngegosip, bercanda, bengong, bengong jorok, dan sebagainya. Gue sendiri sedang berbicara bersama teman lain di meja guru. Sementara Aby tidak jauh dari situ. Dia sedang meniru bermacam gerakan beladiri.
Tidak disangka, bu guru datang. Jika tidak salah, guru yang datang ke kelas M2M adalah Bu Oyoy (guru agama Islam). Sontak, seluruh siswa kaget, lalu berlarian kesana-kemari kembali ke tempat duduk masing-masing.
Gue beranjak dari meja guru dengan santai, karena tepat di depan gue ada “meja reyot” yang melintang, menghalangi pergerakan para murid. Mungkin, dikarenakan Aby tidak mau repot memindahkan meja tersebut atau karena kebanyakan nonton film Kung Fu, dia melompati meja itu laksana atlet parkour profesional. Hap! Ketika satu tangan menahan badannya pada meja reyot, satu kaki meja patah. GUBRAK! Meja ambruk … Aby ambruk.
Kemungkinan besar, meja reyot itu tidak kuat menahan bebannya. Makanya, satu kaki meja reyot itu patah. Ironisnya, semua murid M2M dan satu guru menyaksikan kejadian “getir” itu.
Sesaat insiden nahas itu mereka diam beberapa detik, lalu tertawa bersama secara tidak manusiawi. “WHOAHAHAHAHA!” Seluruh murid menertawakan Aby sampai puas. Tidak terkecuali gue, yang begitu dekat dengannya dan melihat peristiwa itu secara langsung. “LAHAHAHAHH!” Gue ketawa sambil gebuk-gebuk meja guru. Bu Oyoy geleng-geleng kepala melihat tingkah anak didiknya diiringi gumaman, “By … By … Masya Allah ….”
“Yahahaha … lu ngapa, By? Yahahaha,” tanya ajudannya, Faiz.
Aby hanya nyengir menahan sakit karena pinggangnya terbentur ubin. Peristiwa di atas, mungkin akan selalu diingat oleh Aby dan dikenang oleh kami.
***
Scene selanjutnya, adalah pengejaran sekaligus tembak-menembak antara dua polisi gadungan dengan penjahat kelas lohan. Aby memilih lokasi di daerah Cijantung. Tempatnya sepi, sunyi, dan hening. Sangat pas untuk dijadikan lokasi shooting karena tidak ada orang yang melihat.
Tempat itu sangat cocok untuk bermeditasi dan meminta wejangan kepada Jin Ifrit. Gue yakin, kalau malam tiba, di sana banyak cabe-cabean berkeliaran sekaligus banyak terjadi kasus pembegalan. Waktu itu Mayang dan Rose nggak ada, karena pada scene tersebut dikhususkan untuk para lelaki (gue, Aby, dan Fadel). Seperti biasa, karena kekurangan pemain, kami silih berganti menjadi juru kamera. Terkadang, jika ada orang lewat, kami berhenti dulu. Baru setelah mereka pergi, kami melanjutkan berakting.
Pada scene tersebut, gue sebagai polisi sedang memata-matai Fadel, penjahat sekaligus gembong narkoba. Anehnya, gerak-gerik gue mengintai penjahat, yang terlihat malah seperti sedang mengintai pacar orang.
Tertera pada naskah, Fadel mengetahui gelagat gue lalu bersembunyi di balik pohon. Kedua polisi gadungan menembak Fadel secara brutal. Gue mengacungkan pistol ke atas, dan seharusnya berteriak, “Wei! Jangan lari, berhenti!” Tapi gue malah teriak, “Berhenti! Jangan lari, Wei! Wei!” kemudian berlari ngangkang. Mirip seperti sedang mengejar maling mangga.
Jujur, gue yang buat naskah, tapi gue sendiri yang sering lupa. Gue menyadari bahwa kalimat itu salah dan tidak enak didengar. Kami pun tertawa, lalu mengulang sampai mendekati hasil sempurna.
Fadel tak mau kalah, dia balas menembak. Das! Das! Kemudian, seperti biasa Aby melihat hasilnya pada kamera, lalu berkata, “Del, ulang sekali lagi. Ini tangan lu salah.” Memang, gue pun cekikikan sesaat melihat gaya menembak Fadel. Pada adegan itu, Fadel menembak laksana sedang memancing ikan di laut. Jadi, pistolnya seakan-akan terangkat dengan mudah. Padahal jika pistol sungguhan, mungkin pistol itu sudah terpelanting, karena dari hasil hentakan/ dorongan dari pelatuk.
Saat itu ada banyak pengulangan, tembak-tembakan, dan lari-larian. Ada indikasi, Fadel menghilang di saat-saat terakhir tugas mau rampung ialah karena dia merasa kapok harus berlari-larian berulang kali. Kedua, mungkin dia merasa tersinggung karena telah akting total, tapi malah ditertawakan oleh gue karena gaya menembaknya kocak.
***
Lanjut. Fadel bersembunyi di balik batu, maksudnya di balik pohon. Sementara kedua polisi gadungan bersembunyi di kebon. Pada scene tersebut gue berpura-pura kewalahan dan hampir terkena peluru panas dari Fadel. Aby selaku kapten, diminta pendapatnya bagaimana supaya bisa menaklukkan penjahat kelas lohan itu.
“Kapten! Apa yang harus kita lakukan?!” tanya gue berpura-pura panik. “Komandan! Terus saja tembak!” balas Kapten.
Menurut gue, tahapan ini merupakan tahapan yang paling seru. Kenapa? Karena seperti sedang tembak-menembak sungguhan dengan latar pepohonan, daun kering berserakan, dan jalanan lengang. Namun, tahapan ini juga banyak pengulangan. Karena, banyak terjadi kesalahan, kekocakan, dan kejanggalan. Kami terus berakting sampai hasil cukup baik.
Tak berapa lama, tiba-tiba mobil sedan kekijang-kijangan periode 80-an datang. Jika di game GTA San Andreas, mobil tersebut adalah mobil Regina (yang suka main GTA, pasti tahu). Dengan kecepatan standar, mobil berwarna hijau gelap itu mendekati kami yang sedang menjalani tahap terakhir dari scene tersebut. Otomatis, kami segera menghentikan proses shooting sekaligus istirahat.
Gue mengira, bahwa mobil itu hanyalah ingin sekadar lewat, dan langsung pergi meninggalkan kami. Bodohnya, kami tidak menyembunyikan airsoft gun (pistol) yang sedari tadi dipegang. Malah, dengan santai gue mencoba meniru gaya menembak James Bond ketika mobil itu datang.
Sesaat kemudian, mobil itu berhenti tepat di hadapan kami. Kaca mobil perlahan dibuka, gue penasaran siapa pengemudi mobil tua tersebut. Bisa saja pengemudi mobil jadul itu adalah Joe Taslim yang dari tadi sedang memantau kami. Kemudian, kami diajak main film bareng dengannya. Ngarep.
Kini, kaca mobil setengah terbuka, lalu gue lihat sepasang bola mata lusuh. “Joe Taslim, kok matanya sembap?” tanya gue, saat itu. Kini, kaca mobil telah terbuka lebar, kemudian nongollah kepala manusia dan ternyata … AKI-AKI! Pantas, mobil hijau itu berjalan lambat laksana siput encok, toh pengendaranya pun sama-sama (maaf) tua.
Aki-aki tersebut memandang kami dengan tatapan jijik. Sesekali, dia menurunkan kepalanya untuk bisa melihat dengan jelas bahwa kami adalah manusia. Menurut gue, aki-aki itu mirip aktor kawakan Indonesia, almarhum Him Damsyik. Bedanya, aki-aki itu berwajah ngeselin. Mungkin, saat itu dia sehabis menghadiri sidang cerai dari istri pertamanya.
Aki-aki itu mematung, melihat tingkah kami dari dalam mobil. Kami? Kami diam sesekali melihat indahnya pepohonan sambil menunggu aki-aki itu pergi. Pikir kami, aki-aki itu hanya ingin sekadar melihat pohon kesemek yang telah berbuah. Namun, tiba-tiba dia bertanya sambil menunjuk ke arah airsoft gun, “Itu, apa itu?” Karena mata aki-aki itu sudah rabun alias siwer, mungkin kami dikira sedang memegang pistol sungguhan.
Kami tidak menjawab, gue mengira aki-aki tersebut sedang berbicara dengan penunggu pohon kesemek, yaitu Jin Ifrit. Karena tidak ditanggapi, aki-aki itu menjadi kesal.
“Hei! Jangan main-main!” katanya dengan raut muka murka sambil menepuk pintu luar mobil.
Kemudian, Aby menanggapi aki-aki ngeselin itu, “Ini … kita lagi syuting, Pak. Senjatanya cuma boong-boongan, kok.” Aki-aki itu tidak menjawab, dia hanya melongo ke arah Aby. Pikir aki-aki itu mungkin Aby adalah cicitnya yang hilang di puskesmas dulu. Karena tidak ditanggapi oleh aki-aki ngeselin itu, Aby merasa kikuk. Dia bingung mau ngomong apa lagi.
Dikarenakan lama dan hari mulai sore, gue mengajak Aby untuk melanjutkan shooting.
“By, ayo By. Dikit lagi,” ajak gue, sembari beranjak.
Gue tidak memedulikan aki-aki itu, karena gue pikir nggak ada gunanya jika harus berdebat dengan orang uzur (sepuh).
Gue berdiri, lalu berjalan santai sambil mengokang airsoft gun. Kini, aki-aki itu memelototi gue. Gue balas memandangnya nanar. Gue nggak sudi jika tahapan scene terakhir gagal hanya karena seorang aki-aki.
“Itu, mau ngapain itu?” tanya aki-aki tersebut sambil menunjuk ke arah gue.
Gue mulai nggak betah. Tadinya, gue mau naik ke atas kap mobil tua itu, lalu menginjak-nginjak sambil bilang: pergi gak lo! pergi gak lo! Namun, niatan tercela tersebut gue urungkan, karena gue nggak mau kalau nanti orangtua mengunjungi gue di kantor polisi.
Aki-aki peyot itu masih bertahan di dalam mobilnya sambil terus memelototi kami. Situasi mulai kacau dan tidak beres, lantas Aby bilang ke gue, “Ris sebentar, Ris.” Kemudian, Aby menghampiri aki-aki itu untuk memberi penjelasan secara detail. Gue dan Fadel menunggunya bernegosiasi dengan aki-aki tersebut.
Sambil menunggu, Fadel asyik BBM-an, sementara gue asyik main tanah. Gue melihat dari jauh, Aby masih berbicara alot dengan aki-aki yang antah-berantah itu. Sesekali, Aby mengangguk ketika aki-aki itu memberi wejangan kepadanya.
Tak lama kemudian, pembicaraan rahasia tersebut selesai, dan Aby segera menghampiri kami.
Gue menghampirinya, lalu bertanya, “Gimana, By? Apa katanya?”
“Hari ini selesai, Ris,” jawab Aby.
Dengan raut muka kecewa, gue bertanya lagi, “Selesai? Kan, masih ada satu lagi, By?”
“Kita disuruh pergi, Ris,” kata Aby dengan intonasi memelan.
“Udah aja, Ris. Lagian udah cukup, kok.” Aby menepuk bahu gue.
Gue kecewa, kesal, dan emosi sejadi-jadinya.
“AWAS LO, KI! GUE INGAT MUKA LO!” kesal gue dalam hati sembari menatap tajam ke aki-aki ngeselin itu.
Demikian, kami bertiga segera menghidupkan motor. Selagi Aby dan Fadel memanaskan motor, gue tidak henti-hentinya menatap arogan ke aki-aki itu.
Setelah gue duduk dibonceng, maka motor pun melintasi jalanan lengang tersebut. Entah mengapa kala itu gue merasa amat kesal, sampai motor telah menjauh dari mobil tua, gue masih menatap lekat ke aki-aki itu.
Anehnya, ketika kami telah meninggalkan lokasi, mobil tua tersebut tidak beranjak pergi. Gue curiga, sebenarnya maksud dan tujuan aki-aki itu mengusir kami adalah karena ia ingin bertemu cabe-cabean. Akibat satu aki-aki resek, tahapan terakhir dari scene tersebut … gagal. Nevermind.
***
Next. Tidak terasa pengerjaan tugas akhir sudah sampai pada tahapan hampir selesai. Film III dipastikan akan beres dalam waktu dekat. Kami hanya perlu konsisten dan konsentrasi dalam mengerjakan proyek tersebut.
Sama dengan hari sebelumnya, kami bertamu ke rumah Mayang. Jika menilik naskah, kedua polisi gadungan akan melakukan pengejaran sekaligus beradu tembakan dengan ketua penjahat (Fadel). Namun, dikarenakan Fadel ditelan bumi (menghilang), maka perannya digantikan oleh kamera. Juga, mau tidak mau Mayang harus membantu mengerjakan tahapan the least ini.
Aby memakai topi hitam dan juga ia mengenakan jaket hitam yang retsluitingnya sengaja dibiarkan terbuka. Pada bagian punggung jaket tertera tulisan: Polizei. Maksudnya, supaya penonton paham bahwa Aby adalah “polisi” ketika nanti film diputar. Sementara gue memakai topi warna hijau dan juga mengenakan jaket hijau rombeng yang retsluitingnya dibiarkan terbuka.
Konsepnya memang seperti itu, yakni mengenakan jaket dan topi. Perbedaannya adalah Aby serba hitam sedangkan gue serba hijau. Mengapa begitu, agar gue serasi dengan kapten (Aby). Aby terlihat gagah mengenakan setelan tersebut. Ketika berkaca pada lemari kaca, gue pun sama yakni terlihat gagah. Tapi ketika di kamera, gue berubah menjadi calo tiket.
Setelah semuanya siap, kami bertiga pergi mencari lokasi untuk latar pengejaran dan penembakan. Kami menyusuri jalanan kompleks, tak berapa lama kami menemukan tanah lapang. Sepertinya, tanah lapang itu bekas reruntuhan rumah warga. Di sana banyak tembok, kawat, dan batako. Tidak jarang, Aby mengetes kamera supaya bisa mendapatkan “bayangan”.
Siang itu matahari begitu terik, untungnya gue pakai topi. Lain halnya dengan Mayang, sesekali dia menutupi matanya menggunakan tangan karena saking silaunya pancaran sinar matahari. Angin panas berhembus kencang, sampai mata kelilipan terkena debu yang beterbangan. Dikarenakan lokasi itu tidak cukup bagus, maka kami melanjutkan pencarian lebih jauh.
Pada sisi kanan tanah lapang, ada kebun (hutan kecil). Sepertinya, kebun itu milik warga sekitar. Kebun itu berhasil membuat Aby penasaran. Maka, Aby masuk ke kebon itu. Sementara gue dan Mayang mengikutinya dari belakang. Gue sama sekali nggak menduga, di Jakarta masih ada kebun rimbun kayak di tempat itu.
Pada kebun tersebut terdapat ayam, kandang ayam, bulu ayam, dan tentunya … tahi ayam. Gue berjalan berhati-hati agar sepatu tidak menginjak tahi ayam yang berwarna hitam-putih. Aby masih mencari sekaligus menentukan tempat yang pas untuk adegan ini. Daun kering berguguran membuat langkah kami menjadi terdengar. Sering kali, Aby menyibakkan daun yang menghalangi pandangannya.
Tak lama berselang, ada sesosok kakek-kakek sedang berdiri seorang diri di dalam kebon itu. Jujur, gue kaget ketika melihatnya mematung tanpa bergerak sedikit pun. Gue mengira, kakek itu adalah penampakan atau (hantu) penunggu kebun. Kakek itu berbaju putih, celana pendek putih, rambut putih (uban) dan nyeker (tanpa alas kaki). Tampilannya agak kumal, mungkin sehabis mencari kayu bakar. Dia melihat kami dengan ekspresi: kalian mau apa datang kemari? Percis kayak di film-film hantu Indonesia.
Kami berjalan semakin dekat dengannya. Tepat di hadapannya, gue menyapa sopan sambil sedikit membungkuk, “Pak … ehehehe.” Namun, dia tidak bergeming ketika gue menyapanya secara lemah-lembut. Kakek itu malah menatap gue dengan tatapan tidak bersahabat. Ketika gue semakin dekat dengannya, ternyata dia sedang memegang … KAMPAK. Buset!
Gue mulai ngeri sesaat melihat kampak berkilau tajam. Sepertinya, kampak tersebut baru diasah olehnya dua menit yang lalu. Gue yang awalnya senyum, lemah-lembut, dan sopan mendadak menjadi tanpa ekspresi. Gue semakin parno, karena sebelum berangkat ke rumah Mayang, gue main game horor: Resident Evil. Suasana di dalam kebun itu pun amat mirip dengan suasana pada game Resident Evil, yakni berkabut, dingin, sunyi, lembap, ada kandang ayam, dan ada kakek-kakek lagi pegang kampak.
Siapa yang nggak takut coba, ketika berjalan di dalam kebun ditatap lekat oleh kakek-kakek pemegang kampak. Jika gue seorang diri di kebun itu, mungkin gue sudah kocar-kacir sambil teriak: somebody, help!
Kemudian, kami melanjutkan melangkah lebih dalam. Walaupun sudah agak jauh dari kakek itu, tapi sesekali gue menolehnya. Takutnya, dari arah belakang gue dibacok menggunakan kampak. Naudzubillah.
Ketika gue masih menengok kakek-kakek, seketika muncul ibu-ibu sedang menggendong beberapa kayu. Ibu itu berpakaian lecek dan memakai kain selempang sebagai celana. Sepertinya, ibu itu adalah istri dari kakek pemegang kampak.
Gaya berpakaian mereka seperti gaya berpakaian tahun 60-an. Tiba-tiba, gue ingat pada dongeng penyihir; Diceritakan bahwa ada pemuda yang menemukan makanan lezat di tengah hutan. Namun setelah pemuda itu sadar, bahwa yang dia makan adalah tumpukan daun kering.
Lantas, gue pandangi Aby dan Mayang yang sedang berjalan di depan. “Mereka beneran Aby sama Mayang, kan?” tanya gue dalam hati. Gue takut, bila itu semua adalah halusinasi, dan yang dari tadi gue ikuti (Aby dan Mayang) adalah sepasang berang-berang. Untuk memastikannya, gue sampai mengeluarkan handphone untuk mengecek jadwal dan tahun dimana gue hidup. Alhamdulillah, setelah dicek ternyata bukan tahun 1960.
***
“Sambil menyelam minum air”. Kira-kira itulah ungkapan ketika kami menyusuri kebun sambil shooting. Gue ingat, kedua polisi gadungan melangkah secara perlahan disertai suara berisik akibat sepatu kami menyentuh rumput, kerikil, dan dedaunan kering. Ceritanya masih sama, yakni mengendap dan mengejar penjahat kelas lohan. Memegang kamera? Tentu saja Mayang. Di kebun, tidak henti-hentinya Mayang ngedumel, “Iiiih, nyamuk!” Dia menggaruk kakinya yang bentol-bentol karena digigit nyamuk kebon.
Semakin ke jauh dalam, kebun itu berubah menjadi kebun pisang. Karena, semakin bertambah banyak pohon pisang “merajai” kebun tersebut. Pada tengah kebun pisang, terdapat tali jemuran yang telah diikatkan pada dua pohon.
Tepat di samping kiri, ada benteng/ tembok yang memisahkan antara kebun dan rumah warga. Aby berhenti melangkah, pun gue dan Mayang. Tidak jarang, Aby meminta bantuan gue agar bagaimana mencari angle yang tepat untuk adegan penangkapan. Gue berpikir sambil melihat sekeliling: benteng, rumah warga, dan kebun pisang. Lalu, gue memberi saran dan usulan kepadanya.
Aby menyimak perkataan gue secara saksama. Gue senang, ide gue terpakai dalam proyek tersebut. Honestly, dalam pengerjaan proyek film III, baik gue maupun Aby saling sharing gagasan, ide, pemikiran, konsep, kritik, dan saran. Jadi kayak customer service begini, hahaha.
Setelah berdiskusi panjang lebar, maka kami shooting tepat di antara pintu masuk menuju rumah warga dan kebun pisang. Shooting berjalan cukup seru, gue tertawa terbahak-bahak ketika melihat hasilnya. Saat shooting, pasti ada saja hal lucu seperti: mimik muka, gerakan, ekspresi, salah pengucapan, salah pengejaan, keliru, dan belibet (tertukar), kecuali kesambet.
Ketika kami sedang serius shooting, seketika datanglah Ibu berumur sekitar 30 tahunan. Ibu itu terlihat seperti ibu rumah tangga kebanyakan: rambut digerai, memakai celana pendek selutut, dan tidak pernah perawatan (facial).
Ketika ibu itu melihat kami, (terutama melihat gue dan Aby sedang memegang airsoft gun) dia kaget. Kami dan ibu itu saling menatap dan saling diam selama tiga detik. Ibu itu terlihat ketakutan campur kepasrahan. Takut karena melihat pistol (airsoft gun), dan pasrah jika ia akan ditembak di kebun pisang.
Kala itu, gue sudah berancang-ancang mau ngacir (kabur), jika ibu-ibu itu berteriak: “Aww! Tolooong! Aku mau dibunuuuhhh!” Jika itu benar terjadi, maka kami akan diinterogasi oleh warga sekitar.
Tak lama setelah saling tatap-tatapan, ibu malang itu malah angkat tangan. Sat! Kami (terutama gue) merasa bersalah sudah membuat ibu itu gemetaran akibat melihat airsoft gun yang gue pegang.
Sepertinya, dia mengira bahwa kami adalah sekelompok penjahat yang ingin membantai warga sekitar. Atau, dia mengira bahwa kami adalah sekelompok pemuda yang ingin menculik anak-anak di lingkungan tersebut. Tak ingin suasana bertambah tegang dan ingin mencairkan suasana, maka gue berinisiatif ingin menjelaskannya, “Maksu– say–“
Gue belum selesai ngomong, dia sudah ngomong duluan.
“Sa–sa–saya, ma–mau ke … situ–tu kok,” katanya ketakutan sembari menunjuk ke kebun pisang.
Sebelum ibu malang itu mengeloyor (pergi), Mayang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
“Ibu, maaf … kita di sini lagi shooting buat tugas sekolah. Itu bukan pistol benaran kok, boongan.” Mayang menjelaskan apa yang mau gue jelaskan barusan.
“Iya bu, nggak usah takut. Ini boongan,” tambah Aby sambil memperlihatkan airsoft gun. Ibu itu tidak bereaksi, lalu pergi terburu-buru.
Aby beserta Mayang kompak bilang, “Maaf ya, Bu ….”
Sementara gue melongo dengan perasaan bersalah.
***
Lokasi shooting berikutnya bukan di kebun, bukan di hutan, bukan di kompleks, dan bukan juga di rumah kepala sekolah. Lokasi shooting berikutnya adalah di … mall. Mall adalah tempat untuk berbelanja, kongko, dan ngadem. Mall yang dijadikan sebagai lokasi shooting adalah Mall Tamini Square. Masyarakat luas biasa menyebut Mall Tamini Square dengan sebutan: Mall TS.
Dari namanya, bisa ditebak bahwa Mall TS beralamat di Jl. Taman Mini Raya Garuda, Pinang Ranti, Makasar, Jakarta Timur. Namun, tujuan kami datang ke Mall TS bukan untuk berbelanja, nongkrong, apalagi ngadem. Kami berkunjung ke mall tersebut adalah untuk mengerjakan proyek “maha penting”.
Berdasarkan naskah, Fadel (penjahat kelas lohan) akan bertemu Mayang (teman dua polisi gadungan) di mall tersebut. Sekaligus, Fadel mau merekrutnya sebagai inforwoman.
Diceritakan, Mayang menerima sms dari Fadel untuk mengajaknya ketemuan di Mall TS. Ketika sudah di dalam mall, Mayang memesan segelas teh tubruk dingin agak hambar. Tak lama berselang, Mayang menerima sebuah teka-teki silang (TTS). Teka-teki silang itu berisikan kode yang mesti dipecahkan olehnya.
Setelah berhasil memecahkan kode tersebut, Mayang segera pergi ke lantai paling atas Mall TS untuk menemui bos jambul (Fadel). Mereka berbicara alot, dan akhirnya Mayang menerima tawaran job dari Fadel. Jua, Mayang resmi menjadi bagian dari kelompok “Taring Putih”.
***
Gue akan menilik BTS (behind the scene) shooting di mall itu. Gue, Aby, Mayang, dan Fadel telah bersiap untuk caw ke Mall TS. Rose nggak ikut, mungkin dia sedang menjalani trial untuk menjadi model dadakan di TV Sumedang.
Segala persiapan telah disiapkan, di antaranya: kamera SLR, naskah, dan lain-lain. Aby mengenakan pakaian biasa: kaos yang banyak dijual di Ramayana dan celana jeans. Mayang mengenakan pakaian ala gadis remaja masa kini: hoodie (jaket yang ada penutup kepala) dan celana jeans ketat.
Fadel mengenakan pakaian ala anak mall: kemeja jeans berkerah warna biru dongker, celana jeans, dan rambut gaya “badak cula satu”. Jika diamati, Fadel seperti pengusaha telur bebek go international ketimbang seperti penjahat. Terakhir, gue mengenakan pakaian ala juru parkir Mall TS: topi merah, hoodie foxone, tas ransel lecek, dan celana merah gombrang yang bahannya seperti terbuat dari parasut.
Setelah sampai di Mall TS, kami segera menuju basement (tempat parkir mobil dan motor). Suasana di dalam basement sungguh gelap, karena tidak mungkin jika di basement ada lampu diskotek. Kami berempat turun dari motor dengan angkuhnya. Kemudian, kami mencari pintu masuk menuju mall.
Ini di dalam toilet Mall Tamini Square
Gue jalan paling belakang, karena gue baru pertama kali masuk ke dalam basement. Apabila gue jalan paling depan, kemungkinan gue akan ditinggalkan begitu saja. Selagi mencari pintu masuk, gue baru menyadari bahwa gue paling pendek dibandingkan Aby dan Fadel. Bahkan, tinggi badan Mayang nggak jauh dari tinggi badan gue. Padahal di foto keluarga, gue adalah anggota keluarga yang paling tinggi dibandingkan nyokap dan bokap.
Pintu masuk agak sukar ditemukan, terpaksa kami berbalik arah. Daripada malu bertanya sesat di jalan, maka kami bertanya pada satpam basement sambil duduk-duduk. Selagi duduk-duduk, Fadel berkata, “Jat, lu kayak tukang parkir. Hahaha.” Gue ketawa geli sambil pura-pura menerima sms.
“Lu ke sini mau ngelamar jadi tukang parkir, Ris?” tanya Aby bercanda.
Gue jawab spontan, “Kagak lah, By.”
Mereka asyik menertawai gue. Informasi pintu masuk telah didapat, maka kami melanjutkan pencarian. Selagi berjalan, salah satu mobil ingin keluar dari parkiran. Pak supir sepertinya kesusahan mengeluarkan mobil tersebut.
“Ris, noh bantuin, Ris,” celetuk Mayang.
Fadel tak mau ketinggalan, “Iya Jat, bantuin Jat. Lumayan dapet duit.”
Aby memprediksi keuntungan yang didapat dari pekerjaan juru parkir dengan berkata, “Iya Ris, lumayan. Sehari lu nanti bisa dapet berapa.”
Di dalam basement, gue dicengin oleh mereka karena hal sepele: gaya berpakaian.
Setelah di dalam mall, kami mencari tempat yang pas untuk lokasi shooting. Saat itu, Mall TS ramai dan banyak pengunjung. Gue yakin, mereka (pengunjung) datang ke mall hanya untuk sekadar melihat, memegang, dan mencium baju yang digantung di semua outlet (tanpa ada niatan membeli).
Pencarian lokasi dimulai dari lantai paling bawah dan terus ke lantai atas. Untuk menuju ke atas, kami memakai lift. Tadinya, gue nggak akan ikut menaiki lift dan memilih eskalator.
Soalnya, gue takut jika lift mendadak berhenti, atau lift mengalami kerusakan dan meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi. Namun, karena gue orang awam, maka mau tidak mau (harus mau) gue naik lift. Di dalam lift, gue memegang sekuat tenaga pada terali besi. Sementara Aby, Mayang, dan Fadel terlihat tenang-tenang saja.
Bila gue naik lift, nyawa gue seakan seperti diombang-ambing akibat pergerakan dari lift. Jika lift turun ke bawah, maka nyawa gue keluar ke atas. Sebaliknya, jika lift naik ke atas, maka nyawa gue keluar ke bawah.
Sesampainya di atas, kami menemukan tempat yang bagus untuk dijadikan lokasi shooting, yaitu tempat makan. Di sana, ada banyak gerai makanan yang berjejer. Ketika kami datang, tempat itu sedang sepi pembeli.
Sontak, ketika kami muncul ke tempat itu, para pelayan berebut menawarkan jajanan mereka kepada kami. Di mata mereka, kami tak ubahnya sekawanan rusa yang akan diburu, dikuliti, dicincang, dan disantap. Kami bingung oleh perlakuan mereka. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk duduk di meja makan terdekat.
Kemudian, ibu pelayan datang sambil menaruh daftar menu makanan. Secepat kilat gue ambil daftar menu makanan itu, lalu gue amati harga yang tertera. Gue mengernyitkan alis, karena makanan dan minuman di gerai itu pada mahal. Seketika gue menjadi mual akibat harga makanan dan minuman yang begitu expensive.
Dikarenakan pada mahal, maka kami hanya memesan segelas teh tubruk, itupun buat properti shooting. Ironisnya, jumlah kami berempat, tapi hanya memesan “satu” gelas teh tubruk. Otomatis, teh tubruk itu tidak boleh semena-mena dihabiskan.
Ibu pelayan datang tergopoh-gopoh menghampiri meja kami, lalu kembali ke gerainya untuk membuat tek tubruk. Gue “pasang telinga” untuk mendengar apakah teh tersebut benar-benar “ditubruk”. Tapi, tidak terdengar suara apapun dari gerai itu. Jujur, gue masih belum paham dengan penamaan teh tubruk. Apakah tehnya benar-benar ditubruk atau hanya istilah saja agar terdengar menarik. Atau, saat membuat teh si ibu pelayan akan ditubruk oleh banteng afrika, agar cita rasa teh menjadi lebih enak.
Gue lagi mencoba menggunakan kamera poket punya Aby *lihat tuh di belakang ada orang manyun lagi nyari sinyal*
Sambil menunggu properti (teh) datang, sesekali gue mengotak-atik kamera poket merek Canon berwarna biru punya Aby. Begitu juga dengan Aby, ia mencoba menjajal handycam punya gue. Sedangkan Fadel, begitu serius memainkan kamera punya Mayang. Sementara Mayang, asyik bbm-an sambil luntang-lantung (mungkin dia mencari sinyal).
Lima belas menit kemudian, segelas teh tubruk dingin datang begitu memesona.
“Jangan dulu diminum,” titah sutradara, Aby.
Dikarenakan gue haus, teh tubruk itu menjadi begitu anggun. Sama halnya ketika puasa, melihat air comberan yang mengalir pun terasa segar.
“Duh, haus nih,” kata Fadel sambil melirik ke arah teh tubruk.
Sambil mengetik handphone-nya, Mayang berujar, “Pesen aja lagi, Del.”
Sutradara pun haus, kami semua HAUS saat itu.
“Iya Del, pesen satu lagi buat kita,” suruh Aby.
Fadel segera menghampiri gerai, lalu memesan satu gelas teh tubruk.
Sembari menunggu teh tubruk kedua datang, Aby menyuruh gue untuk mengeluarkan buku catatan Blues Clues.
“Ris?” kata Aby.
Gue yang sedang asyik mengotak-atik kamera poketnya, kaget, “Ngah?”
“Lu bawa buku catatan yang kecil, nggak?”
“Oh, bentar.” Gue lantas mengubek-ubek tas lecek.
“Nih.” Gue memberikan buku catatan Blues Clues kepadanya.
“Oh iya Ris, bawa pulpen, nggak?” tanya Aby.
Dia memang selalu tidak membawa pulpen, begitu pun di sekolah.
Dengan cekatan Aby membuka buku catatan tersebut, lalu merobek selembar kertas. Aby sibuk mencorat-coret sesuatu di sobekan kertas.
Gue membiarkannya, karena gue mengira Aby sedang mengerjakan soal matematika. Sampai teh tubruk kedua telah datang, Aby masih sibuk menulis sesuatu di sobekan kertas. Gue mulai curiga, jangan-jangan Aby sedang menggambar “jorok” (hal yang sering gue lakukan jika bosan di kelas).
Karena semakin penasaran, gue bertanya seraya mendekatinya.
“Lagi ngapain, By?” tanya gue, kepo.
“Ini Ris, lagi buat teka-teki,” katanya, mantap.
Gue lihat ke kertas, memang gambarnya seperti teka-teki silang yang suka dikerjakan oleh abang tukang mainan ketika sedang menunggu anak sekolah bubar. Tapi ini lebih rumit.
Karena gue nggak paham maksud dan tujuan Aby membuat teka-teki tersebut, gue pun bertanya padanya, “Emang nanti bakalan kayak gimana, By?”
Aby menjelaskan, “Nanti, Mayang bakal dapet kertas. Kertas itu kiriman dari Fadel berisikan kode yang harus dipecahkan sama Mayang.”
Gue manggut-manggut, padahal “masih” nggak ngerti.
Gue “mengacungkan jempol” kepadanya, karena pada scene tersebut menjadi lebih menarik karena ada kode yang mesti dipecahkan. Padahal, jika merujuk pada naskah buatan gue, tidak ada adegan bahwa Mayang harus memecahkan kode dari Fadel.
Gue tidak menanyakan dari mana atau terinspirasi dari siapa Aby mendapat ide cemerlang tersebut. Bisa juga, kode itu adalah murni hasil dari intelektualitasnya. Terlebih, teka-teki buatannya cukup ribet jika gue harus membuat teka-teki yang sama. Lumayan lama Aby mengerjakan teka-teki itu, sehingga gue bisa menyedot teh tubruk lebih lama lagi.
Sepuluh menit kemudian, kode tersebut selesai dan siap “main” film. Gue ditugaskan sebagai orang misterius yang memberi sobekan kertas kepada Mayang. Mayang yang sedang menyeruput teh tubruk heran karena mendapat bon (kode) tersebut.
Kemudian, Mayang mengikuti langkah-langkah yang tertera pada teka-teki itu. Selanjutnya, Mayang menuju lantai paling atas (atap Mall TS) menggunakan lift untuk bertemu dengan ketua penjahat kelompok Taring Putih.
***
FYI (For Your Information). Gue menamakan Taring Putih, karena terinspirasi oleh film Serigala Terakhir. Pada film laga itu, ada sekelompok penjahat elit seperti Yakuza dan Mafia bernama Naga Hitam. Gue mengambil kata “taring” dari harimau sumatera. Mencirikan sifat kejam, buas, dan ganas. Tapi di satu sisi, ada aura parlente (mewah), karena pada kenyataannya harimau sumatera merupakan hewan yang hampir punah (jarang ditemui).
Gue menambah kata “putih” dari naga hitam dan macan putih. Ya, jika di film Serigala Terakhir: hitam, maka di film kami: putih (pantonim). Lalu, macan putih menggambarkan sifat lincah, cerdik, dan cepat. Atas dasar itulah, gue menamakan Taring Putih.
Juga, nggak mungkin jika gue namakan Taring Kuning, karena nanti disangka harimau makan tahu. Atau, jika gue namakan Taring Jigong, karena nanti penonton bakalan muntaber (muntah berak) ketika mendengarnya.
***
Lanjut. Kami segera beranjak ke atap Mall TS. Pada atap mall, terdapat masjid berdiri kokoh. Di sana, kami langsung shooting untuk tahapan terakhir pada scene tersebut. Selagi teman-teman shooting, gue mendapati puluhan kipas pembuangan AC (Air Conditioner). Kipas pembuangan AC tersebut berjejer rapi di dekat pintu staf.
Karena gue menganggap pemandangan tersebut adalah hal yang langka, maka gue memfotonya untuk dijadikan kenang-kenangan sekaligus dijadikan profile header Facebook. Azan maghrib berkumandang, kami segera mengambil air wudu dan melaksanakan sembahyang di masjid Mall TS.
Selesai salat, gue mendapati Mayang sedang digoda oleh “Om Senang” keturunan Arab di pelataran masjid. Mayang sedang berdiri, sedangkan Om Senang duduk sambil memakai kaos kaki. Gue menguping, Mayang sedang ditanya oleh Om Senang. Gue kurang tahu, Om Senang menanyakan tentang apa kepadanya. Pastinya, gue melihat raut muka Om Senang begitu senang ketika mengobrol bersamanya.
Sembari memakai sepatu, Aby dan Fadel juga menyaksikan “peristiwa mengerikan” itu. “Suit suit ….” Fadel menggoda mereka. Akhirnya, tak berapa lama Om Senang pergi dan Mayang “selamat” dari tipu muslihatnya. Shooting di Mall TS berjalan baik, lancar, dan menyenangkan. Maka, kami pulang ke rumah dengan perasaan lega.
***
Setelah sampai di kontrakan, tak lupa gue mengganti profile header Facebook dengan foto kipas pembuangan AC Mall TS. Sesaat setelah di-upload, ada satu komentar. Setelah gue cek, ternyata komentar tersebut berasal dari sang sutradara, Aby. Dia berkomentar, “Jadi tukang reparasi AC nih, Mas?” Gue nggak balas komentarnya, hanya tersenyum mengingat kejadian beberapa jam lalu, yakni idenya membuat teka-teki di Mall Tamini Square.
Dengan begitu, adegan tersebut menjadi tidak hambar. Kemudian, gue matikan lampu, lalu tidur. Shooting di Mall Tamini Square, akan selalu gue ingat.
***
Saat kelas 1 SMK, Aby sering kali membawa sepeda ke sekolah. Dia menggowes sepeda dari rumahnya, di Arundina. Sering kali juga, gue melihatnya bersepeda ketika berangkat dan pulang sekolah. Mungkin, hasil dari sering naik sepeda badannya semakin tinggi. Sebelum menaiki sepeda, Aby pasti memakai pelindung sikut, pelindung lutut, kacamata, slayer, dan helm.
Ketika dia memarkirkan sepedanya di parkiran sekolah, maka akan sangat kontras sekali: satu sepeda dan bejibun motor. Aby memang sudah biasa menggowes kesana-kemari. Bersepeda merupakan hobinya. Gue pernah lihat fotonya di akun Facebook miliknya, dia sedang touring bersama teman-temannya sesama pengendara sepeda ke Gunung Panca, Bogor.
Kalau Aby berhalangan masuk sekolah, akan sangat gampang untuk mengetahuinya, yakni tidak ada sepeda di parkiran. Kalau dia masuk sekolah, ya sepedanya tentu ada di parkiran.
Awalnya, gue ingin mengikuti jejaknya. Jika Aby membawa sepeda, maka gue akan membawa bison. Namun, harga bison relatif mahal dan bison adalah hewan agresif. Juga, kalau gue bawa bison ke sekolah, takutnya malah menyeruduk satpam dan motor lain.
Seiring kenaikan kelas, Aby mulai jarang naik sepeda ke sekolah. Ia lebih memilih untuk naik motor, sama seperti murid lain. ada kemungkinan, dia beralih dari sepeda ke motor adalah ingin mempersingkat waktu. Kemungkinan lain, dia kapok karena pernah diserempet angkot 16 yang terkenal grasak-grusuk.
Namun, bukan berarti sama sekali dia tidak pernah naik sepeda ke sekolah lagi. Terkadang, gue melihatnya dari lantai dua sedang memarkirkan sepedanya di parkiran. Ngeh, karena ada sosok (gue) yang melihatnya dari lantai dua, maka Aby akan melambaikan tangannya sambil tersenyum.
Motor yang berhasil “menyingkirkan” sepedanya adalah motor jenis bebek, yakni Honda Revo FI. Motor tersebut berwarna hitam merah, pada shockbreaker bagian depan telah diganti dengan semacam kertas (internet) bermotif batik.
Entah karena motornya atau pengendaranya (Aby), operan gigi motor amat kasar (tidak halus) yang terdengar suara: grekjeng. Terkadang jika gue sedang diboncenginya, maka akan terdengar suara: dag, dag, greng. Suara tersebut akan terdengar ketika turun giri atau naik gigi.
Parahnya, jika motor melintasi tanjakan lalu mengoper gigi dengan cepat, maka akan terdengar suara: grereeeng, gretak, trak, trak, greeng. Gue hafal betul, karena gue sering diboncengi olehnya ketika ingin ke rumah Mayang mengerjakan tugas akhir.
***
Kembali ke tugas akhir. Gue, Aby, Mayang, dan Rose berencana shooting di Bumi Perkemahan Cibubur (Jambore) untuk mengerjakan video klip. Fadel nggak bisa hadir, karena dia ada kesibukan lain. Kami pergi ke Jambore menggunakan dua motor: motor hula hoop milik Mayang dan motor gretak milik Aby. Seperti biasa dari kelas 1 SMK sampai kelas 3 SMK, gue selalu diboncengi. Rose sengaja nggak membawa motornya, karena dia tak rela jika harus mengeluarkan uang demi bensin.
Kedua motor sudah siap, Rose mengendarai sementara Mayang diboncengi. Melihat Rose memboncengi Mayang, Aby mencoba menawarkan gue sebagai pengemudi.
“Nih Ris, lu yang ngendarain,” kata Aby sambil menggeser posisi duduknya ke belakang.
Gue kaget, karena sebelumnya gue nggak pernah mengendarai motor gigi.
“Hah? Ah nggak By, lu aja. Hehe.” Gue menolak.
Aby tertawa kecil, mungkin di dalam hatinya dia bergumam: Ah, kampret lu Ris. Nggak mau gantian.
Setelah gue menghempaskan pantat di motor gretak, maka kami pun caw menuju Jambore.
Kami melewati pintu masuk belakang ketimbang melewati pintu masuk depan Jambore. Alasannya, jika melewati pintu masuk belakang tidak bayar alias gratis. Nyatanya, ketika telah di pintu masuk belakang Jambore, kami tetap diharuskan untuk membayar. Biaya masuknya kalau tidak salah sebesar empat ribu rupiah (harga dulu). Jika di pintu masuk depan Jambore begitu lega, lowong, dan lebar (mobil bisa masuk).
Sedangkan di pintu masuk belakang begitu sempit, kecil, dan rapat (mobil bisa ringsek). Bahkan, gue sampai turun karena saking pasnya motor melewati pintu masuk. Jika tidak berhati-hati, maka motor akan baret dan lecet terkena palang besi atau tembok.
Jika berboncengan dua orang, maka sandal/ sepatu akan lepas terkena sisi tembok. Jika berboncengan tiga orang, maka pergelangan kaki akan patah ketubruk palang besi. Anehnya, meskipun sempit banyak remaja (labil) yang berlalu-lalang keluar masuk melalui pintu belakang itu.
Setelah kedua motor berhasil masuk, kami melanjutkan perjalanan. Di dalam kawasan Jambore, jalanannya sungguh ekstrem, yakni tanah merah. Untungnya, kala itu sedang musim kemarau. Bisa dibayangkan jika musim hujan, mungkin kami akan berjalan kaki karena motor tidak bisa jalan akibat terselip tanah merah basah.
Dari belakang, gue melihat Rose sangat lihai mengendarai motor hula hoop milik Mayang. Gue sempat ragu, jika Rose nanti malah hilang keseimbangan lalu nyusruk ke semak belukar.
Tak jauh berbeda dengan Rose, sesekali Aby menurunkan kakinya supaya motor lebih seimbang melintasi jalanan ekstrem itu. Rose sepertinya sudah jago dalam mengendarai motor, hal tersebut terlihat ketika dia malah menambah kecepatan di lintasan tanah merah. Akibatnya, kami (gue dan Aby) terkena debu hasil pergesekan antara ban dan tanah merah.
Rose mengendarai motor bak mengendarai mobil rally, di belokan pun tidak mengerem. Sedangkan Mayang adalah navigatornya, yakni orang yang memberitahu jalan mana yang harus ditempuh dan dilalui.
Lima menit kemudian, akhirnya kami sampai di Bumi Perkemahan Cibubur. Di sana, banyak pohon rimbun menjulang tinggi. Jika malam tiba, dedemit mengadakan arisan di antara pohon lebat itu. Jika siang hari, ada banyak orang mengadakan camping, Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS), atau kegiatan positif lainnya. Jika sore hari, ada banyak pasangan muda-mudi yang bukan mahromnya sedang pacaran hingga berbuat mesum. Jika malam Jumat, ada banyak jomblo kronis dan ABG tua sedang meminta wejangan dari penunggu pohon beringin.
Poster Film Plesetan
Kami masih terus mencari lokasi yang tepat. Siang itu di Jambore agak sepi. Terasa mulai capek, kami beristirahat ‘tuk sementara. Setelah segar kembali, maka kami melanjutkan penyusuran. Sedari tadi mutar-mutar terus, maka kami memutuskan untuk shooting di taman lalu lintas.
Gue dan Rose diutus sebagai model utama video klip. Gue masih ingat, lagu yang diusung adalah lagu Skrillex berjudul First of The Year. Aby seperti biasa menjadi pengarah (sutradara) sekaligus kameraman dan Mayang ditugaskan sebagai model figuran. Dirasa cukup bagus, maka kami segera meninggalkan tempat itu.
***
Sinar mentari perlahan tenggelam, semburat cahaya berwarna oranye menyinari kami yang sedang naik motor. Gue buka kaca helm karena ingin menikmati indahnya sore itu. Sekaligus, gue ingin merasakan kehangatan cahaya mentari sore.
Seperti yang sudah gue katakan, bahwa pada sore hari remaja (labil) mulai mengakuisisi tempat itu. Muda-mudi banyak yang berkumpul ria di atas motor kilikan mereka. Sepertinya, mereka ingin melihat indahnya sunset (matahari tenggelam) sekaligus mau modusin cabe-cabean.
Kini, Mayang yang mengendarai motor hula hoop miliknya, tepat di depan motor gretak. Ketika Mayang melintas, maka pengendara motor yang berlawanan arah akan melihatnya dengan tatapan: cantiknya. Begitu juga dengan pejalan kaki yang melihatnya akan bergumam: priwit.
Memang, luar biasa efek dari seorang cewek. Kalau efek dari cowok, nggak begitu amat. Apalagi efek dari gue, nggak ngefek, yang ada mereka bakal buang muka.
Dikarenakan banyaknya orang yang melihat Mayang dengan tatapan nakal, lantas Aby memberitahu gue.
“Ris?” katanya, sambil melihat ke jalanan.
“Apa, By?” tanya gue.
Aby diam sebentar, lalu berkata, “Liat deh, pengendara motor yang berlawanan, pasti ngeliatin Mayang.”
“Haha, iya By. Dari tadi itu ….”
“Iya Ris, ya. Nih, nih, lihat nih,” ujar Aby sambil memberitahu bahwa ada pengendara motor berlawanan, yang akan melirik Mayang.
Ternyata benar, pengendara motor berlawanan itu melirik Mayang selama satu setengah detik.
“Tuh kan, Ris. Ya, haha,” katanya lalu tertawa. “Kok bisa gitu, ya?”
“Iya, By. Emang kayak gitu, kalo cewek suka diliatin,” kata gue.
Dalam hati, gue melanjutkan perkataan barusan, “Karena, gue pun dari tadi ngeliatin cewek yang berlawanan.”
Karena hari semakin gelap, kecepatan motor ditambah supaya kami bisa sampai ke rumah tepat waktu.
***
Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, akhirnya Aby dan Mayang menjalin hubungan spesial. Jujur, untuk urusan percintaan gue nggak tahu banyak, karena Aby bersikap dingin dan acuh tak acuh. Gue hanya mengetahui bahwa banyak siswi yang demen kepadanya. Sepatutnya, Mayang perlu bersyukur karena telah berhasil “mengencerkan” hati siswa yang paling didambakan siswi lain.
***
Seiring berjalannya waktu, proyek tugas akhir telah sampai pada tahap pencetakan poster. Gue masih ingat, saat itu Aby sedang sakit/ meriang ketika ingin mencetak poster. Mulanya, kami mencetak poster ukuran kecil. Gue diminta mengantarnya ke warnet depan sekolah untuk nge-print poster film III.
Dia terus mengenakan jaket polizei-nya dengan retsluiting tertutup sampai leher (seperti Naruto) dikarenakan kondisinya waktu itu sedang tidak enak badan. Wajahnya agak pucat, sesekali batuk tidak terkendali. Tapi, demi poster film, dia tetap melanjutkannya.
Setelah poster berukuran kecil telah digenggam, kami kembali ke kelas. Rupanya, Pak Dande meminta kami semua untuk mencetak poster ukuran besar. Tujuannya ialah, poster ukuran besar tersebut akan dipasang di mading (majalah dinding) sekolah. Tentu saja, murid lain akan tahu bahwa kakak kelasnya segera merilis film pendek.
Jika gue tidak keliru, batas pengumpulan poster film tersebut ialah dua minggu. Itu berarti, dua minggu kemudian foto (punggung) gue akan dilihat oleh banyak siswa dan siswi lain. Terutama, film pendek buatan kami akan disaksikan oleh banyak mata.
***
Dua hari kemudian, yakni hari Minggu, tumben-tumbennya gue sudah mandi pagi. Biasanya, gue masih meringkuk sambil memeluk guling bergambar Winnie The Pooh. Sekitar jam sepuluh pagi, seketika ada suara motor berhenti di depan kontrakan, lalu memanggil gue, “Fa–riis, Fa–riis.” Gue intip dari jendela kontrakan, ternyata sutradara, Aby. Lantas, gue buka pintu kontrakan dengan wajah cerah merona.
“Wedeh … masuk By, masuk.” Gue mempersilahkannya masuk.
“Hehe, apa kabar, Ris? tanyanya.
Padahal baru dua hari yang lalu kita ketemu, Aby sudah menanyakan: apa kabar. Memang dia teman yang baik.
Alhamdulillah, By. Ehehehe,” jawab gue, cengengesan.
Aby pun masuk ke kontrakan, tidak lupa dia selalu mengucapkan salam: Assallamuallaikum. Kemudian, dia duduk lesehan sembari celingukan. Sementara gue pergi ke belakang mengecek rak makanan dan kulkas untuk mengambil camilan dan minuman. Tak lama, gue kembali ke ruang depan membawa beberapa camilan dan segelas air dingin.
“Ada apa nih, By? Heee …,” tanya gue sambil duduk.
“Ini, Ris. Lu mau gak, nganterin gue nyetak poster?” tanyanya.
Sebagai kru film III yang bertanggung jawab, jelas gue mau, “Oh, ayo By.”
“Bentar, By, gue ganti baju dulu,” kata gue. Padahal, gue nggak ganti baju, cuma pakai jaket.
Tak lama berselang, gue kembali ke ruang depan untuk mengambil helm gratisan dari Honda. Helm yang selalu ditertawakan oleh teman-teman ketika gue memakainya. Mengapa? karena bentuknya nyeleneh. Jika bagian mulut ingin tertutup helm, maka bagian punduk tidak tertutup. Sebaliknya, jika bagian punduk ingin tertutup helm, maka bagian mulut tidak tertutup. Kalau melewati polisi tidur, maka kaca helm gratisan tersebut akan menutup dengan sendirinya sampai terdengar suara: bletak.
Melihat gue telah memakai jaket dan mengambil helm, Aby bertanya, “Berangkat sekarang, Ris?”
Sembari memakai sandal, gue jawab, “Yok, By!”
Kalau nggak salah, tempat kami menyetak poster berada di daerah Cililitan. Percetakan tersebut bukan hanya untuk mencetak poster saja, tapi bisa juga mencetak berbagai macam jenis media, seperti: brosur, pamflet, cap, kartu identitas (id), papan reklame, dan lain-lain.
Setelah sampai di tempat tersebut, gue turun dari motor gretak. Lalu celingukan, karena baru pertama kali gue masuk ke tempat percetakan. Di dalam tempat itu, ada segelintir orang yang juga ingin mencetak.
Kemudian, di bagian depan ada sekitar empat perempuan berkerudung berpakaian serba hijau tosca. Mereka bertugas mendengarkan permintaan klien, lalu menyampaikannya ke bagian editor/ layouter. Pada bagian belakang, terdapat beberapa pria (tukang cetak) dengan komputernya masing-masing sedang sibuk bekerja.
Aby menghampiri salah satu perempuan berkerudung itu, kemudian berbicara mengenai keinginannya terhadap poster film buatannya. Perempuan berkerudung itu menganggukkan kepalanya setelah mendengar permintaan Aby. Selanjutnya, Aby kembali ke tempat duduk dimana gue duduk.
“Sekarang pulang, By?” tanya gue.
“Nggak, Ris. Bisa ditunggu,” katanya.
Gue baru tahu, ternyata mencetak poster bisa ditunggu dan tidak memakan waktu sampai 3 hari.
Dengan sabar, kami menunggu proses pencetakan poster film III. Aby sibuk berbicara dengan rekan bisnisnya lewat handphone Nokia miliknya. Sementara gue masih celingukan melihat kesana-kemari sambil menggaruk telapak kaki.
Kurang lebih 15 menit, poster selesai. Setelah poster digulung dan dikaret, kami pulang. Aby tidak langsung pulang menuju rumahnya, dia mengantarkan gue dahulu sekaligus mau istirahat sebentar. Siang itu cuaca amat ekstrem, gue sampai kelimpungan saat turun dari motor karena saking pusing.
Tidak terkecuali Aby, dia kegerahan dan kehausan ketika masuk ke dalam kontrakan. Jika dibiarkan, Aby akan dehidrasi, bahkan pingsan. Oleh karena itu, dengan tanggap gue membawakannya teko dan gelas.
“Nih By, minum dulu,” kata gue sambil menaruh teko dan gelas yang tadi.
“Iya, makasih, Ris,” katanya.
Mendengar gue sedang berbicara dengan orang lain, nyokap datang ke ruang depan, kemudian menyapa Aby.
“Eh, ada Aby … sini By, masuk.” Nyokap mempersilakannya masuk.
“Habis dari mana, nih …?” tanya Nyokap, kepo.
“Habis nyetak poster, Bu, sama Faris,” jawab Aby.
“Oh iya, iya … diminum dong airnya,” kata Nyokap.
Sementara gue di belakang sedang sibuk mencari makanan yang layak untuk dimakan.
Dikarenakan pusing, maka gue memilih menyeduh mie instan cita rasa pedas. Sedangkan hidangan untuk Aby adalah opor ayam yang tinggal satu-satunya “warisan” adik gue.
Tadinya, gue ingin membuatkan mie buat Aby. Namun, dikarenakan Aby sering disuguhkan mie apabila ke kontrakan, maka kali ini gue mau menyuguhkan makanan “berkualitas” kepadanya.
“Makan dulu, By,” ucap gue.
“Duh, jadi ngerepotin nih, Ris,” kata Aby melihat gue membawa sepiring nasi hangat.
“Ah, kagak By,” kilah gue.
Lalu, gue kembali ke dapur untuk mengambil opor ayam bersama … katelnya.
“Ayo, By, makan By,” ajak gue sambil membawa katel berisikan … satu opor ayam.
Aby merasa sungkan dan malu-malu ketika santapan sudah berada di depan mata.
Tak lama, nyokap datang menghampiri gue dan Aby.
“Ayo By, dimakan,” suruh nyokap. “Maaf nih By, cuma seadanya ahehehe ….”
“Ah, nggak Bu. Cukup kok, jadi repot-repot,” kata Aby tersenyum malu.
“Ah, nggak By, ngerepotin apaan?!” kilah Nyokap. “Kalau mau nambah nasi, ambil aja, By.”
Siang panas itu, kami sama-sama lahap menyantap makan siang. Ketika matahari mulai bergerak ke ufuk barat, Aby memutuskan untuk pulang. Tidak lupa, dia mengucapkan terima kasih, dan tidak lupa gue menjawab: sama-sama. Demikian, poster film III (Investigation, Interruption, and Interrogation) siap ditempel di sekolah.
***
Keesokan harinya, poster film III resmi dipasang di mading sekolah. Gue sangat bangga dengan pencapaian tersebut. Untuk pertama kalinya, diri gue dilihat banyak murid dan para guru. Kebetulan, poster tersebut ditempel di dekat pos guru piket.
Sekitar tiga tahun lalu gue mengunjungi SMK PKP 1 untuk mengambil ijazah, poster tersebut masih ada dan belum dicopot. Well, apabila melihat poster/ gambar film III, gue selalu terkenang dengan suasana di sekolah dulu.
Poster film Triple I Bersama Poster Film dari Kelompok Lain
Di samping menyutradai film pendek III (Investigation, Interruption, and Interrogation), Aby juga merangkap sebagai sutradara film Nekat, Road 2 UN, dan lain-lain bersama Alfado. Kombinasi mereka berdua dalam pembuatan film pendek memang terbukti yahud.
Jangan lupakan juga teman lain yang sudah membantu dan mendukung dalam proses pembuatan film pendek. Tanpa mereka (teman lain), tidak akan ada film pendek hasil karya anak-anak M2M. Terutama, jika kami sedang shooting bersama, maka akan seru sekali dengan kebanyolan dan tingkah aneh dari masing-masing murid M2M. Pengalaman yang sangat menyenangkan. Thanks, BroSis!
***
Ada cerita horor di balik pembuatan film pendek M2M, Foxone Movie. Sore itu sepulang sekolah, kami langsung shooting di bangunan “yang nggak jadi-jadi” di wilayah Pondok Karya Pembangunan (PKP). Bangunan belum beres itu tadinya mau dibikin Gelanggang Olah Raga (GOR). Namun faktanya, sampai kami lulus itu bangunan masih belum beres.
Bangunan itu menjadi terbengkalai, tidak terawat, dan kotor. Menambah kesan mistis, bau amis, dan angker. Apalagi, waktu itu sedang hujan rintik-rintik, menambah aura seram bangunan “yang terlupakan” itu. Anehnya, kami malah pada ketawa-ketiwi.
Gue ingat, di sore itu langit gelap dan petir menggelegar. Lucunya, kami tenang-tenang saja, bahkan asyik berguyon satu sama lain. Sepertinya, kami dulu amat tidak memedulikan diri kami sendiri. Bisa saja ketika sedang shooting di tengah-tengah bangunan tersebut, salah satu dari kami ada yang tersambar. Untungnya, petir masih berbaik hati kepada kami.
Hampir semua teman-teman turun ke bawah bangunan terbengkalai itu. Gue nggak ikut turun, karena jika gue turun, maka gue susah untuk naik kembali ke atas. Maka, gue lebih memilih untuk tetap di atas.
Dikarenakan gue nggak ada kerjaan, dan hanya gue yang berada di atas, Aby meminta gue untuk merekam proyek film tersebut. Aby menyuruh, bahwa gue harus memutari bangunan kotor itu sambil merekam video.
“Nah, jadi gitu, Ris. Lu muter, nanti balik lagi ke sini, bisa?” tanyanya sesaat memberikan arahan.
“Oke, By. Tenang aja.” Gue mengiyakan permintaannya.
Kamera mulai merekam, maka gue berjalan secara pelan-pelan mengitari bangunan “sepi” tersebut. Gue mengira, Aby berada di belakang gue untuk memantau gue yang sedang mengambil gambar. Pikir gue begitu, maka gue begitu apik dalam mengerjakan tugasnya. Apalagi, terdengar suara langkah kaki dan hembusan angin seperti orang sedang melangkah.
Gue yakin, saat itu pasti Aby berada tepat di belakang gue. Namun, gue nggak berbicara sepatah kata pun. Karena kalau gue ngomong, maka suara gue akan terekam, dan video menjadi gagal. Atas alasan itulah, gue lebih memilih fokus ke layar kamera.
“Duh, si Aby mantau gue dari belakang nih,” kata gue dalam hati.
Tadinya, gue mau menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Aby benar berada di belakang atau tidak. Namun, gue urungkan agar posisi kamera tetap stabil.
Sudah setengah perjalanan gue memutari bangunan terbengkalai itu. Suara derap kaki di belakang terdengar samar-samar. Gue tetap fokus melihat ke depan supaya hasil video bagus. Sedikit lagi, gue hampir sampai ke tempat semula, dan suara beserta hembusan orang sedang berjalan masih terasa di belakang gue.
Akhirnya, gue sampai di tempat semula. Namun, yang bikin gue kaget adalah … Aby ada di bawah bangunan. Secepat kilat gue menoleh ke belakang, dan di belakang … tak ada siapapun. Sedangkan suara langkah kaki tadi itu … apa? Seketika, tangan gue lemas, mulut sedikit terbuka, dan mata kosong.
“Siniin, Ris.” Aby meminta kamera yang ada di tangan gue.
Lalu gue kasihkan kamera tersebut kepadanya. Gue melamun, masih shock atas kejadian barusan.
Gue duduk perlahan menatap teman lain yang sedang bercanda. Rambut gue basah terkena gerimis mengundang. Gue pandang telapak tangan, kali aja gue sedang bermimpi. Gue menengadah ke langit, mata gue pedih terkena air hujan. Fix, gue nggak mengigau, mimpi, halusinasi, atau semacamnya.
Gue melihat ke arah beton bangunan tua “yang terlupakan” itu, tak ada yang aneh. Teman lain, tidak ada yang tahu bahwa gue mengalami kejadian “freak” barusan. Kilatan petir memancar di kiri dan kanan langit. Magrib sebentar lagi akan tiba. Lantunan orang mengaji sudah terdengar di beberapa masjid dan musala sekitar. Gue masih diam mematung tanpa arti. “Ayo, Jat. Kita pulang,” ajak salah satu teman gue, Wisnu. Maka, kami pun meninggalkan bangunan “sunyi” itu.
***
Lazimnya anak sekolah, pasti sudah tidak aneh jika ada geng atau kelompok yang eksis di setiap kelas. Lumrahnya, geng dibedakan ke dalam tiga jenis, yakni; Pertama, geng terkenal. Geng terkenal merupakan geng most dangerous di antara geng lain. Geng terkenal biasanya beranggotakan murid-murid pintar, tampan/ cantik, dan kaya. Geng tipe ini adalah geng yang paling dikagumi oleh para adik kelas. Saking terkenalnya, jika geng ini ke kantin, maka semua jajanan digratiskan. Sisi positif geng terkenal adalah: disegani, dihormati, ditakuti, dikagumi, dan dicintai. Sisi negatif geng terkenal adalah: sombong, sok, sotoy, dan sompret.
Kedua, geng agak terkenal. Geng agak terkenal adalah geng yang kadang dibicarakan, kadang juga dilupakan. Geng agak terkenal biasanya beranggotakan murid-murid lumayan pintar, nakal tapi pemalu, dan pendiam tapi menghanyutkan. Geng agak terkenal adalah geng yang berisikan murid hebat, tapi enggan untuk dipublikasi. Geng jenis ini dikagumi oleh sebagian adik kelas, tepatnya adik kelas yang gampang dibegoin. Saking nanggungnya, jika geng ini ke kantin, maka harga semua jajanan boleh dibayar setengahnya. Sisi positif geng agak terkenal ialah: membumi, merendah, menyadari, dan malu-malu kucing. Sisi negatif geng agak terkenal ialah: tidak tentu, tidak jelas, tidak konsisten, tidak rinci, dan tidak begitu terkenal.
Terakhir, geng nggak dianggap. Geng nggak dianggap adalah geng yang tidak pernah dibicarakan, bahkan tidak pernah diakui oleh seluruh murid lain. Geng nggak dianggap biasanya beranggotakan murid-murid katro, telmi (telat mikir), dan lemot (lemah otak). Geng nggak dianggap ialah geng yang beranggotakan murid hina dina. Geng jenis ini dikagumi oleh segelintir adik kelas, itupun adik kelas yang sering di-bully. Saking dianggap nggak pernah ada, jika geng ini ke kantin, maka akan ditimpuk dengan tulang ayam bagian sayap. Sisi positif geng nggak pernah dianggap ialah hanya satu: dikasihani. Sisi negatif geng nggak pernah dianggap ialah: dicibir, dicaci, dihardik, dan dikutuk.
***
Back. Begitu pun dengan kami dulu, dikarenakan masing-masing murid semakin akrab dan rasa solidaritas semakin tinggi. Maka, kami memutuskan untuk membuat suatu kelompok bernama Foxone. Sebenarnya, ide pembuatan kelompok tersebut berasal dari Arfil Maulana. Plus, dia juga yang mencetuskan nama “Foxone”.
Nama tersebut sepertinya berasal dari kata Fox (rubah) dan One (satu). Artinya, sekumpulan para rubah (siswa) di dalam satu kelompok (M2M). Satu hal yang patut diperhatikan, Foxone bukanlah geng atau semacamnya, Foxone hanyalah sebuah sub-sistem dari kelas M2M.
Dikarenakan Foxone belum ada identitas grup, maka Aby berinisiatif membuat jaket untuk setiap anggota Foxone. Tidak lupa, dia pun mendesain logo Foxone. Ada indikasi, logo Foxone diambil dari logo mesin pencarian terkenal, yakni Mozilla Firefox.
Kedua logo tersebut tidak berbeda jauh, perbedaannya hanya pada bagian globe saja. Jika logo Mozilla Firefox, globe berwarna biru dan tidak seperti bumi. Sedangkan logo Foxone, globe menampilan gambar kepulauan Indonesia (dari pulau Sumatera sampai Papua) yang terkena sapuan rubah hitam.
Setelah Aby menjelaskan perihal rencananya untuk membuat jaket tersebut, maka kami pun setuju. Gue percaya sepenuhnya sama Aby, karena dari wajahnya dia bukan seorang penipu atau pemberian harapan pulsa, eh palsu (PHP).
Beberapa minggu kemudian, akhirnya jaket Foxone berterima secara eksklusif, yakni langsung diantarkan ke kontrakan. Aby sengaja datang ke kontrakan gue supaya jika jaket tersebut kesempitan atau kelonggaran, maka akan ditukar dengan jaket ukuran lain.
Kerennya, ketika gue buka bungkus plastik terdapat bonus berupa bordiran atau emblem yang bertuliskan Foxone. Jika di toko distro, bonus itu adalah sticker. Ketika gue menjajal jaket Foxone, alhamdulillah pas di badan.
Sama seperti almet buatan Danang, kami langsung memakainya ke sekolah. Hanya, tidak semua murid memesan jaket Foxone. Cuma beberapa siswa yang memesan jaket tersebut.
Seiring kami menjadi senior di sekolah SMK PKP 1, nama Foxone kian terpandang di kalangan murid-murid. Terutama Aby, dirinya semakin terkenal dan namanya melambung tinggi. Sedangkan nama gue juga semakin dikenal dengan sebutan: Kak Ijat. Kakak kelas berwajah mesum yang suka menggambar jorok di majalah bulanan PKP. Konyol.
Jika sedang jam istirahat, gue, Aby, Arfil, Alfado, dan Fikri sering makan bersama di dalam kelas. Kami biasanya menyantap bekal buatan bunda tercinta di meja paling belakang, yakni mejanya Alfado.
Sering kali, sehabis makan kami berbincang santai. Layaknya seperti sekolah di Suzuran (sekolah preman), kami mengobrol sambil tumpang kaki, kaki dinaikkan ke meja, dan nasi berceceran kemana-mana disertai tatapan Yakuza. Saat sedang bercakap-cakap, Aby pernah berkata: The Best Five. Maksudnya, lima orang terbaik dari seluruh anggota Foxone.
Jika tidak keliru, Foxone beranggotakan 9 orang murid senga. Gue amat bangga dengan sebutan itu (The Best Five), karena gue tidak merasa hebat atau pintar dibandingkan keempat teman gue. Bukan gue bermaksud rendah diri; Aby pintar hampir di segala mata pelajaran, Alfado jeli dalam teknik angle kamera, Fikri pandai di bidang olah raga, Arfil “mengerikan” dalam segi pemrograman komputer. Sedangkan gue lihai merayu teman lain untuk minta dibonceng pulang.
***
Hari demi hari tugas akhir sampai pada tahap finishing. Dulu, kami membayangkan (terutama gue) bahwa proyek film kami akan menampilkan helikopter. Tapi realitanya, nihil. Dulu, kami mengharapkan (terutama gue) bahwa film pendek tersebut akan ada banyak pemain yang ikut ke dalamnya. Tapi faktanya, nihil. Dulu, kami memastikan (terutama gue) bahwa proyek film akan mengambil latar di pelabuhan atau dermaga. Tapi nyatanya, kami mengambil latar di lingkungan biasa. Semakin menuju hari “H”, semua ekspektasi dan janji yang telah kami ucap perlahan “memudar”.
Gue menerima kenyataan pahit tersebut dengan lapang dada. Gue sadar, membuat film bukanlah hal mudah. Dulu, kami dengan enteng bilang: mau ini, mau itu, mau ada ini, mau ada itu, ini bakal begini, ini bakal begitu, dan sebagainya. Padahal, ketika sudah di “lapangan”, tidak segampang apa yang kita bayangkan sebelumnya.
Apalagi bagi amateur layaknya kami dulu. Untuk membuat film pendek, video klip, dan iklan amat memerlukan kekompakan tim, kerja keras, totalitas, dan integritas. Tiga bulan setelah tugas akhir tersebut diumumkan: film pendek, iklan, dan video klip … selesai. Satu hal yang pasti, gue bangga sama mereka. Terutama sama sang sutradara, Aby.
***
Saat ini Aby sedang melanjutkan studi akademiknya di Universitas Bina Nusantara.

Komentar

  1. Balasan
    1. Mantap gus, elu yg pertama komentar di blog gue. Udah nambah dua orang. thanks a lot brooo...

      Hapus
  2. oke maa brooo,ditunggu update selanjutnya 😊

    BalasHapus
  3. kapan lanjutan nya nihh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe, sabar fik, ini lagi diproses dan diedit. thanks udah baca dan komen bro. jadi lebih semangat nulis.

      Hapus
  4. Hahaha bisa ya tulisannya, asik bacanya ris:D .. Mei gua rencana ke bandung ris, ditunggu yak

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha, makasih by. thanks udah baca, kalo bisa sekalian main by ke rumah gue.

      Hapus
  5. Balasan
    1. sabar om, beliin gue paket kuota gih, biar lancar updatenya. haha

      Hapus
  6. LAGI LAGI LAGI!!!!
    cant wait to see more! Hahha candu nih bacanya jadi kangen m2m

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lu emang baru baca, ne?
      baca juga dong yang part 3, hehe.
      oke ne, nanti bakal diupdate lagi.

      Hapus

Posting Komentar

Ditunggu komentarnya...