My Story: Kita Patut Bersyukur

“Lah, bukannya yang hari jumat kemarin kamu gak masuk kuliah karena ngantuk, akibat semalemnya begadang?!” tanya nyokap.
Gue nggak meresponsnya, sudah panas telinga dijejali dengan pertanyaan yang membuat gue semakin frustrasi.
Nyokap menambahi, “Makanya lain kali tuh, kalau mau kuliah malemnya tidur cepet. Bukan malah begadang!”
Gue diam, tarik napas dalam-dalam. Berharap nyokap diam.
“Lagian, kalau urusan nilai nanti juga bisa dibenerin, atuh!” katanya, lagi.
Gue mulai muak akan omelannya, maka dengan langkah seribu gue ambil tas selempang. Kemudian gue masukkan handphone, buku catatan, pulpen, dan dompet. Gue ingin pergi ke suatu tempat yang tenang dan bisa membuat gue tenang. Hari itu, gue belum cuci muka, gosok gigi, apalagi mandi. Gue cepat ambil kunci motor dan juga helm. Setelah mengeluarkan motor, gue langsung tancap gas tanpa pamit ke nyokap.
Baik. Hari itu entah mengapa gue begitu risau dan panik akan nasib gue di jenjang perkuliahan. Risau karena banyak mata kuliah yang bernilai “merah”. That’s right. Sejak semester 1 saja, gue sudah sering mangkir karena motor matic yang gue gunakan sekarang ini, masih digunakan oleh abang gue. Juga, waktu semester pertama gue masih pulang-pergi naik angkutan umum, dan hal itu tentu saja berdampak pada penurunan “ekonomi”. Iya, jadi duit nyokap semakin menipis karena dipakai oleh gue yang pulang-pergi kuliah. But doesn’t matter, it’s the struggle in the life.
Dengan celana training, baju capung khas Yogyakarta, dan jaket Monte Carlo gue ngabiur mencari suasana yang bisa membuat gue “lupa dunia”. Niat awal, gue mau melarikan diri (baca: kabur). Tapi setelah gue pikir lebih lanjut, kalaupun gue kabur nanti gue tidur di mana dan makan apa?
Mungkin jika hal itu dilakukan maka gue akan bertransformasi menjadi tunawisma. Niat kedua, gue mau shopping ke Jl. Sultan Agung, tapi sayangnya gue lagi nggak punya fulus. Dikarenakan kedua niatan tersebut tidak jadi dilakukan, maka gue memutuskan untuk pergi ke tempat “yang selalu ada buat gue”, dan tempat itu adalah … masjid.
Mungkin karena ego yang panas atau karena cuaca sedang panas, gue mengendarai motor bak orang kesurupan. Ya, di Jl. Sodong kecepatan motor sampai 60 km/ jam. Sungguh tidak biasanya gue memacu motor sampai kecepatan begitu. Paling banter hanya 20 km/ jam, apalagi jalan yang gue lalui adalah jalan kampung dan banyak anak-anak. Sepertinya, setan telah duduk di pundak gue.
Tujuan gue yakni ke Masjid Al-Irsyad Kotabaru Parahyangan, sebab itulah gue melewati Jl. Sodong supaya lebih cepat sampai. Sesampainya di sana, gue sengaja memarkirkan motor di tempat parkiran mobil. Ya, gue memang semakin berani (baca: nggak takut) jika sedang dilanda emosi. Jangankan parkir di parkiran mobil, di parkiran helikopter pun akan gue lakukan. Plus, jika di parkiran mobil maka motor gue nggak akan kepanasan. Lain halnya jika gue memarkirkan motor di parkiran motor, maka motor gue pasti tersengat matahari.
Bentuk Masjid Al-Irsyad Kotabaru Parahyangan. Sumber: www.infobdg.com
Brak brak brak. Gue membuka dan menutup jok motor begitu kasar dan kencang. Gue taruh helm dan jaket Monte Carlo pada bagian bawah jok. Setelah itu, gue bergegas ke masjid. Tak lama, gue duduk di selasar (tangga) masjid untuk mendinginkan “bara api” yang terdapat pada diri gue.
Gue menghela napas, masih nggak habis pikir akan bayang-bayang nilai yang “mengenaskan”. Gue garuk kepala dan kucek mata. Sungguh, kondisi serta penampilan gue di hari itu seperti pengangguran yang telah nganggur selama satu dasawarsa.
Selagi duduk, gue menemukan pin Universitas Katolik Parahyangan. Gue ambil pin tersebut, lalu gue ketuk-ketuk. Barangkali itu bukan pin, melainkan duit gopean, dan ternyata itu murni pin. Gue perhatikan pin yang sudah buluk tersebut, lalu gue memainkannya di tangan gue dengan cara diputar-putar. Gue yang saat itu belum mandi, gaya berpakaian amburadul, ditambah sedang memainkan pin buluk menambah kesan bahwa gue seperti remaja badung yang baru diusir dari suatu kampung.
Kemudian, dari arah belakang terdengar suara seseorang sedang menginstruksikan seseorang.
“Iya, ke sini Mas. Mbaknya juga sini …,” ucap seseorang.
Karena penasaran, gue pun menoleh ke belakang. Ternyata, di belakang gue ada sepasang kekasih sedang pre-wedding dan dipandu oleh juru kamera. Tak heran memang, Masjid Al-Irsyad Kotabaru Parahyangan sering dijadikan latar untuk album foto pernikahan.
Sepasang calon pengantin itu memakai busana berwarna biru muda ngaburinyai (terang). Sedangkan juru kamera ada tiga orang. Satu orang bertugas untuk memfoto, satu orang lagi bertugas menjadi juru gaya, dan satu orang terakhir ditugasi sebagai pembawa tripod. Untuk orang yang bertugas sebagai pengangkut tripod, diyakini umurnya cukup kolot (tua). Kenapa? Karena seluruh rambutnya telah memutih alias beruban.
Ilustrasi Sepasang Calon Pengantin. Sumber: www.wowkeren.com
Selanjutnya, sepasang calon pengantin itu disuruh ganti angle (sisi) oleh juru kamera. Mereka pindah dari lorong masjid ke jalan setapak yang terdapat beberapa pilar. Mungkin maksudnya, agar hasil foto terlihat seperti di film-film India. Bedanya, kalau di film India adalah pohon, sedangkan mereka diganti pilar beton.
“Mas, agak ke kanan, Mas,” perintah juru kamera pertama.
Juru gaya menimpali, “Iya oke. Mas dan Mbaknya jalan ya … tu wa ga.”
“Ulang lagi, ulang. Iya, dari sana … op!” instruksi juru gaya.
Kedua calon pengantin itu pun jalan berbarengan.
“Yang rileks Mas, biar hasilnya natural,” tambahnya, lagi.
Juru gaya kembali ngomong, “Pura-puranya lagi ngobrol. Ngobrol aja, bebas.”
“Itu Mas, senyumnya kurang lepas. Lepasin aja,” katanya, lagi.
Merasa sedikit terganggu, gue berumpat dalam hati, “LEPASIN JUGA MAS, BAJU DAN CELANANYA!”
Entah juru gayanya yang perfeksionis atau memang si calon pengantin pria nggak bisa akting, pada sesi pemotretan bagian itu lumayan lama. Gue kembali memandang ke depan, berusaha menenangkan diri. Sekitar 10 menit kemudian, datanglah gerombolan anak SMP/ MTs yang mau salat zuhur berjemaah di Masjid Al-Irsyad. Mereka datang bersama guru mereka.
Kemudian, mereka buka celana, eh sepatu dan segera mengambil air wudu. Mungkin, ketika mereka (anak SMP) melihat gue lagi duduk lemah di tangga masjid, mereka pasti berpikir bahwa gue adalah tukang kredit yang baru saja digebuki oleh emak-emak.
Gue memicingkan mata, flashback ke zaman SMP dulu. Dimana gue tak ubahnya mereka yang memakai seragam rapi, celana gombrang, rambut pendek tanggung, dan muka “nggak tahu apa-apa”. Gue menghembuskan napas, waktu begitu cepat berlalu dari gue yang “super polos” menjadi gue yang “agak polos” seperti sekarang ini. Gue kembali memandang ke depan, berusaha untuk menatap ke “depan”.
Kedatangan gerombolan anak SMP tersebut membuat suasana masjid yang asalnya sunyi menjadi ramai. Sementara gue masih berdiam diri di tangga masjid sembari memainkan pin buluk. Sedangkan sepasang calon pengantin telah usai dari pemotretannya. Pengantin wanita terlihat duduk di bangku panjang dan dia sedang me-review hasil jepretan barusan. Pengantin pria? Gue nggak tahu ke mana pengantin pria, pokoknya dia tiba-tiba menghilang. Ada indikasi, pengantin pria berada di toilet sedang berlatih senyuman yang natural.
Gue menatap jauh pada parkiran motor yang mulai penuh dengan motor-motor jemaah yang ingin melaksanakan salat lohor. Seketika, datang jemaah yaitu seorang kakek yang membawa motor Mio GT. Motor itu kelihatannya masih baru karena: body-nya mentereng dan mengilap, bersih, dan warnanya yang kereng. Motor tersebut amat tidak cocok dikendarai oleh si kakek, dan cocoknya dikendarai sama … gue.
Motor itu pun berhenti dengan macho, lalu kakek itu malah langsung menurunkan standar satu dan tanpa memutar kunci motor terlebih dahulu. Menurut gue, hal yang dilakukannya itu sangatlah tidak apik. Seharusnya, sebelum standar diturunkan, ada baiknya mematikan mesin motor dahulu. Bukan ujug-ujug menurunkan standar, lalu kunci motor dicabut. Bagi gue, hal itu salah besar.
Sayang sekali, motor “gagah” tersebut diperlakukan secara kasar oleh si kakek “sableng”. Tragisnya, banyak pengendara yang memperlakukan motornya seperti itu. Pantas saja, banyak motor baru dan sebulan kemudian sudah bajret (rusak parah).
Ilustrasi Kakek Sableng. Sumber: tolololpedia.wikia.com
Sret. Kunci motor dicabut oleh kakek sableng. Kemudian, dia turun dari motor “kecenya” dan menghampiri tangga masjid. Ketika dia semakin mendekat, gue lihat tampangnya begitu datar dan dingin. Akan sangat cocok jika kakek sableng itu berperan sebagai psikopat. Kumis putihnya lebat hingga menutupi bagian atas bibir. Then, dia membuka sandal jepitnya di samping gue.
Ketika dia membuka sandal jepit, gue berkata dalam hati, “Kek, motornya buat saya aja, ya?”
Betul, sepertinya kakek sableng lupa akan rasa “syukur” dan seharusnya dia bersyukur telah diberi kendaraan sebagus itu.
Tak lama setelah itu, datang pengendara motor lain yang nggak kalah mentereng. Pengendara kali ini menggunakan motor Vario Techno 150 berwarna putih. Motor parikan Honda tersebut nggak kalah “macho” dengan motor Mio GT milik kakek sableng.
Sambil menstandarkan motor, pengendara Vario turun. Dia mengenakan celana bahan, kemeja warna pink, jaket, dan tas ransel. Gue bisa menduga, bahwa pengendara Vario itu adalah orang kantoran. Kemudian, dia membuka helmnya dan terpampanglah wajah putih bersih bermata sipit dengan rambut gaya undercut (gaya rambut masa kini). Bisa dibilang, penampilannya cukup necis.
Setelah helmnya dibuka, dia lalu merapikan rambut klimisnya yang agak acak-acakan akibat tertindih helm. Tidak lupa, dia mengepruk celana bahan yang dia pakai. Dari semua pakaian yang melekat di badannya, gue paling suka sama celana bahannya itu. Iya, celana bahannya nggak longgar maupun nggak ketat. Sesuai dengan bentuk kaki dan terkesan nggak kampungan. Sepertinya, gue menemukan satu inspirasi lagi, yakni dari pengendara Vario tersebut.
Ilustrasi Orang Kantoran Necis. Sumber: blog.debusana.com
Setelah menaruh helm dan mengunci motor, orang kantoran itu bergegas ke lorong Masjid Al-Irsyad Kotabaru Parahyangan yang dimana gue lagi duduk sendirian percis tunagizi. Dari gaya berjalannya, orang kantoran itu sepadan dengan motor yang dia kendarai: laki banget. Tak terasa, sang mentari telah sampai di atas ubun-ubun dan suara orang membaca surat pendek sudah terdengar lewat toa masjid.
Baik, gue bersiap untuk mengambil wudu. Ketika sedang melepas sandal, gue dikagetkan oleh orang yang bertanya pada sisi kanan muka gue. Orang itu berdandan layaknya anak pesantren, yakni: memakai kopiah dan koko gombrang bak penyanyi Rama Aiphama. Rahang kanannya sedikit menonjol keluar, seperti habis digampar sirip ikan hiu.
“Mas, auixio auixio auixio?” tanya orang itu, kalimat selanjutnya nggak begitu jelas.
Gue nggak paham apa yang dia tanyakan, “Apa?!”
Orang itu kembali bertanya, namun kali ini mulutnya lebih dekat ke telinga gue, “Asjala asjala asyhlala, satpamnya ke mana, ya?”
Dikarenakan suara dia bertabrakan dengan suara orang mengaji lewat toa, maka pertanyaan yang kedua itu pun kembali tidak terdengar, dan hanya kalimat terakhir saja yang gue paham: satpam.
Karena semakin nggak jelas apa yang dia tanyakan, gue pun menaikkan volume suara, “NGOMONG APA, SIH?! NGGAK KEDENGARAN?!”
Orang itu mengangguk kecil, lalu kembali bertanya, “SATPAMNYA KE MANA, YA? LIHAT, NGGAK?”
“Oh … ini orang nanyain satpam …,” ujar gue, dalam hati.
“Nggak tahu, Mas,” jawab gue.
 “Oh nggak tahu ya, tadi ada di sana?” tanya dia (lagi) sambil menunjuk ke arah pos satpam.
“Kayaknya, tadi ke sana deh,” respons gue sambil menunjuk ke arah tempat wudu perempuan.
Dalam hati, gue menambahi, “Lah, mana gue tahu. Emang gue bapaknya?!”
“Oh … ke sana?” dia kembali bertanya. Kalau dihitung, orang itu sudah bertanya enam kali pada gue.
Gue jawab dengan ketus, “Iya.”
Orang itu pun melengos ke belakang.
Dengan langkah gontai ditambah tampang yang lunglai, gue beranjak dari situ. Ketika gue lagi melangkah ke tempat wudu, orang-orang melihat gue dengan tatapan: kusut amat mukanya tuh orang, kayak cucian basah. Setelah berwudu, diri ini lumayan tenang dan adem. Benar apabila ada ungkapan menyatakan: “air wudu menenangkanku”.
Kemudian, gue memasuki Masjid Al-Irsyad Kotabaru Parahyangan dan salat sunah tahiyatul masjid. Orang kantoran yang necis, salat juga tepat di depan gue. Sedangkan orang yang menanyakan satpam, salat di saf terdepan. Gue duga, orang itu adalah pengurus masjid/ anggota DKM (Dewan Kemakmuran Masjid).
Saf terdepan, hampir dipenuhi oleh anak-anak SMP. Seragam mereka hijau, cocok dengan simbol Islam, yakni hijau. Waktu itu, banyak para muslimin hadir. Gue senang melihatnya, pun yang lain bahwa masjid ternyata nggak sesepi apa yang orang lain kira. Begitu juga pada saf perempuan, terlihat cukup banyak muslimat dari sela-sela pembatas.
Sesudah semua jemaah selesai salat tahiyatul masjid, maka imam berdiri dan ikamah dikumandangkan. “Saf terdepan yang kosong diusahakan untuk diisi terlebih dahulu,” perintah imam kepada makmum. Lantas gue maju ke depan dan berdiri di samping orang kantoran necis. Tercium wangi semerbak yang berasal dari orang kantoran necis. Jauh berbeda dengan gue yang bau belerang. Juga, dari segi penampilan di antara kami (gue dan orang kantoran necis) amat bertolak belakang, seperti surga dan neraka.
Nabi pernah bersabda, “Barangsiapa yang bergaul dengan penjual minyak wangi, bisa jadi kamu akan mendapat bau harum darinya. Barangsiapa yang bergaul dengan pandai besi, bisa jadi ia akan membuat pakaianmu terbakar atau kamu akan mendapat bau yang tidak sedap darinya”. Dengan begitu, maka gue berharap suatu hari nanti bisa menjelma layaknya orang kantoran necis itu.
Jemaah sudah berdiri rapi, rapat, dan tidak ada saf yang kosong. Gue segera melepas tas selempang dan ingin menaruhnya di depan. Namun, dengan ramah orang kantoran necis itu mempersilakan gue untuk menaruh tas di samping tas ranselnya di bagian samping masjid, yakni di bebatuan granit putih. Oke, gue menuruti sarannya yang bagus itu.
Sejujurnya, gue mengagumi orang kantoran necis itu. Meskipun dia terlihat arogan, tapi “dalamnya” menunjukkan bahwa dia sopan. Plus, walaupun tampilannya seperti (maaf) non muslim, tapi ternyata dia masih memegang teguh prinsip keislaman. Contohnya adalah ketika dia merapatkan kakinya ke kaki jemaah lain (termasuk gue). Padahal, banyak orang yang berpenampilan santri, tapi ketika salat berjemaah kaki mereka tidak dirapatkan ke jemaah lain, sehingga jarak menjadi renggang. Padahal, salah satu tujuan salat berjemaah adalah untuk mempererat tali silaturahim, persaudaraan, dan kekeluargaan. Memang, zaman sekarang orang tidak bisa dinilai dari “luarnya”. Exactly, you must be nice to everyone.
Saat imam mau takbiratul ihram, tiba-tiba dari arah depan terdengar suara gaduh. Mereka melihat ke bawah dibarengi gerakan menghindar.
“Ada apa, sih?” tanya gue dalam hati.
Jemaah saf kedua dan seterusnya pun sama: melihat ke bawah sambil menghindar. Setelah diantepi lebih lanjut, ternyata mereka menghindari … tikus. Kontan, jemaah berhamburan hanya karena satu tikus. Gue membayangkan, tikus itu adalah singa, dan dapat dipastikan mereka akan bubar.
Entah karena tikus yang lihai atau karena orang-orang di situ kurang cepat, tikus lepas itu sulit ditangkap. Songongnya, tikus itu ngibrit bolak-balik dari saf terdepan ke saf terbelakang. Banyak orang yang berusaha menangkap tikus itu, namun ada juga orang yang terlihat cuek. Gue sengaja untuk tidak menangkap tikus tersebut, karena gue pikir paling nanti tikus itu akan keluar masjid. Namun setelah dibiarkan, tikus itu tetap mondar-mandir. Tikus itu lari ke arah gue, dan … dengan tenang gue meregangkan kaki kanan supaya tikus itu dapat terus berlari.
  Para anggota TNI yang di belakang gue pun nggak sanggup menangkap tikus “caper”. Mereka (tentara) hanya tertawa sambil berpura-pura membungkuk agar terkesan “sedang berusaha menangkap” tikus. Lucunya, orang kantoran necis yang di samping gue ternyata takut … tikus.
“AWRH!” refleks orang kantoran necis.
Saking geli dia sama tikus, jeritan “ah” sampai terdengar “awrh”.
Orang kantoran necis itu loncat-loncat ketika tikus melewatinya. Sikap berdirinya yang gagah telah berubah menjadi sikap penuh ketakutan. Bahkan, gerakan melompatnya amat mirip dengan gerakan melompat Mr. 2 pada kartun One Piece.
“IRRH!” jerit orang kantoran necis.
Saking pobia dia sama tikus, jeritan “ih” sampai terdengar lirih: “irh”.
Karena saking nggak maunya orang kantoran necis itu tersentuh tikus, dia pun menghindar secara atraktif hingga badannya menubruk pundak gue. Tentu, sambil berteriak histeris, “ARH! ARH! GELI BANGET!”
Lucunya lagi, orang kantoran necis dengan sigap mengambil tas ranselnya yang sudah dia taruh. Kampretnya, orang kantoran necis sampai berdiri di atas batu granit putih sembari loncat-loncat. Padahal, di batu granit putih itu ada tas selempang gue yang berisikan dompet sama handphone! Gue panik, jikalau dia malah menginjak tas dan kemudian handphone gue terbelah menjadi 12 bagian. Untungnya, orang kantoran necis masih waras dan tidak menginjak tas gue. Alhamdulillah …
Dari arah saf depan, orang (bawel) yang menanyakan satpam pada gue tertawa secara biadab. Dia tertawa begitu nikmat hingga mengelus-elus perutnya. Disinyalir, tikus lepas itu adalah hewan peliharaannya.
“Ahoahaha … ahoahaha …,” tawa orang itu, kegirangan.
Gue pun tertawa kecil akibat melihatnya tertawa lebar.
Dari arah saf perempuan, mereka juga tertawa sambil mengintip untuk melihat apa yang terjadi sehingga para lelaki bisa menjadi rempong seperti itu. Hahaha.
Pada akhirnya, nasib tikus “caper” di masjid itu tidak berlangsung lama. Tikus itu berhasil ditangkap dan dibuang oleh bapak-bapak. Gue kurang tahu apakah tikus itu dibuang, dilepaskan, dibunuh, atau malah dimasukkan ke dalam bagasi motor untuk dipelihara. Jelasnya, kehadiran tikus lepas itu tidak disukai oleh para jemaah.
Setelah tikus itu dihempaskan, orang yang menanyakan satpam pada gue masih tertawa. Entah mengapa dia begitu senang, girang, dan puas setelah melihat jemaah kocar-kacir.
“Ahkhakhakha … Gustiii Nu Agung,” katanya. Sepertinya dia nggak habis pikir, bagaimana bisa tikus masuk ke dalam masjid.
Sedangkan orang kantoran necis masih memeluk erat tas ranselnya, sembari memastikan bahwa tikus itu telah lenyap. Jemaah lain juga sama, yakni masih melohok ke belakang untuk meyakinkan bahwa tikus itu tidak akan kembali lagi. Gue yang hari itu sedang badmood, seketika kembali ceria sebab insiden tersebut. Thanks, mouse!
Orang Sedang Melaksanakan Salat di Dalam Masjid Al-Irsyad Kobaru Parahyangan. Sumber: foto.tempo.co
Sesudah situasi kembali tenang dan kondusif, maka salat zuhur didirikan. Suara imam terdengar begitu harmoni bersama suara angin yang berembus lewat depan masjid. Iya, Masjid Al-Irsyad Kotabaru Parahyangan memang unik. Pada bagian depan tempat salat khusus imam, sengaja tidak diberi dinding atau tembok, melainkan dibiarkan ngeublang (terbuka lebar). Juga, adanya ornamen berbentuk bulat yang berlafazkan Allah dan di bawahnya adalah air berbentuk kolam, yang di kolam tersebut ada beberapa ikan. Jadi, jika kalian salat di Masjid Al-Irsyad Kotabaru Parahyangan, maka kalian akan merasa adem-ayem dan adem-tenteram. Atas alasan itulah, gue sering berlama-lama di dalam masjid tersebut, baik salat wajib maupun salat duha sehabis berolahraga.
Surat pendek demi surat pendek, akhirnya salat sampai pada tahiyatul akhir. Jemaah begitu padu dalam gerakan, bacaan, dan fokus pada salat zuhur. Namun, orang yang menanyakan satpam pada gue tadi sekonyong-konyong berdiri sambil meracau dan kelimpungan.
“Duuuh … a–a–st–st–aa–aa–euh …,” ceracaunya sambil berdiri.
Gue kaget, karena tiba-tiba orang itu berdiri sambil ngomong nggak karuan. Sementara jemaah lain tetap khusyuk pada salat mereka. Begitu juga dengan orang yang berada di sampingnya, yakni tetap melanjutkan salatnya.
Orang itu semakin kelimpungan dan pada akhirnya dia menindih orang yang berada di samping kirinya. Kocaknya, dia menindih pundak orang yang di sampingnya itu. Kontan saja, orang yang di sampingnya sedikit kaget dan posisi tahiyat akhirnya jadi bergeser. Refleks, orang yang ditindihinya itu mendorongnya ke posisi semula.
Sementara orang itu masih meracau dalam keadaan membungkuk, “Yaa … Allaaah … As–th–th–fi–r–r–u–ll–oo–hh–hh ….”
Dalam posisinya yang menyerupai sujud, gue merasa getir campur iba.
Tak lama kemudian, salat zuhur usai ditandai dengan salam. Setelah salam, jemaah lain menatap heran ke orang yang menanyakan satpam pada gue itu. Sedangkan orang itu masih menceracau ke orang yang berada di samping kanan dan kirinya. Orang yang di samping kanannya terlihat nggak peduli dan mengabaikannya. Padahal, orang yang di samping kanannya itu berpakaian layaknya ustaz dan tentu saja gue pikir dia paham betul mengenai agama. Namun sayangnya, orang yang di samping kanannya itu “miskin moral”.
Sedangkan orang yang di samping kiri juga mengantepinya. Tapi mending, karena orang yang di samping kirinya itu berpakaian seperti buruh, tepatnya buruh pabrik elektronik dan bukan ustaz. Jadi, wajar saja dia bersikap demikian. Ditambah, dia agak kesal karena barusan sudah ditibannya. Saat orang itu masih menceracau ke orang yang berada di samping kirinya, orang yang di samping kirinya hanya merentangkan kelima jari, yang artinya: maaf saya sibuk.
Gue baru ngeh, ternyata di samping buruh pabrik ialah kakek sableng alias pengendara Mio GT. Kakek sableng hanya menatap tajam ke orang yang menceracau itu. Dari tatapannya, kakek sableng sangat tidak suka dengan tingkah/ kejadian barusan (orang ceracau). Kejamnya, kakek sableng menatap lama ke orang ceracau dengan tatapan pembunuh berantai. Gue berpendapat, kakek dari kakek sableng adalah veteran Nazi dan menganut paham zionis.
Hal itu membuat gue penasaran, penyakit apa yang diidap oleh orang yang menanyakan satpam kepada gue itu? Mengapa bisa begitu refleks, dia langsung berdiri lalu kelimpungan sambil menceracau. Memang sih, sejak dia bertanya tadi, gue bisa menerka dari wajahnya bahwa orang itu agak (maaf) kurang normal. Iyalah, soalnya ketika gue lagi duduk, ujug-ujug ada orang jongkok di samping kanan gue sambil bertanya cepat dan terburu-buru. Bagaimana gue nggak kaget dan bingung coba? Ibaratnya nih, ketika kalian sedang makan di restoran, lalu tiba-tiba ada orang yang bertanya: mas, mas, botol cuka ke mana ya? tadi ada di meja saya?
Ilustrasi Orang yang Terserang Penyakit Ayan. Sumber: obatayan.com
Setelah gue pikir lebih lanjut, ada kemungkinan orang itu mengidap penyakit ayan atau epilepsi. For your information, epilepsi adalah penyakit pada pusat susunan saraf, yang timbul sewaktu-waktu berupa kekejangan dan disertai pingsan juga perubahan gerak-gerik jiwa sewaktu penyakit itu menyerang. Betul, penyakit yang diderita oleh orang itu ciri-cirinya memang seperti itu, yakni tiba-tiba atau kompulsif. Jadi, orang yang mengidap penyakit tersebut agak susah untuk mengatur atau menghentikan reaksi dari penyakitnya.
Namun menurut gue, “serangan” dari penyakit orang itu masih mending. Karena, kejadian barusan berhasil mengingatkan gue akan masa lampau. Betul, jadi ceritanya begini:
***
Gue bersama Norman Nurcahyo (almarhum) atau biasa dipanggil Oman, salat jumat berjemaah. Gue ingat, kami salat di bawah tangga Masjid Nur Hidayatullah, Cipayung. Ya, kala itu gue masih bolon alias masih polos. Seperti biasa, gue dan Oman mengobrol sambil menunggu khotib berkhotbah.
Sebenarnya, bukan gue dan Oman saja yang ngendok di bawah tangga, melainkan ada banyak teman-teman juga. Entah mengapa kami dulu (terutama gue) sangat suka salat jumat di bawah tangga. Mungkin, karena tempatnya tertutup dan terisolir oleh jemaah lain. Kalau sekarang gue disuruh salat di situ (bawah tangga), maka gue akan menolak karena untuk berdiri pun sempit dan karena gue sekarang sudah bujang.
Selagi kami bercanda sambil menunggu ikamah, tiba-tiba salah satu orang yang ada di depan kejang-kejang. Lidahnya menjulur keluar, matanya mendelik ke atas, dan jari-jari tangannya ngaringkeul (menurun) ke bawah. Sontak, gue yang melihatnya secara jelas, panik. Sesaat melihat kondisi orang itu, gue mau ngibrit ke luar masjid. Karena gue mengira bahwa orang itu sedang sakaratul maut. Begitu juga dengan jemaah lain, mereka terlihat panik dan bingung apa yang mesti dilakukan.
Tak lama, orang itu berhenti dan kembali duduk normal seperti biasa. Syukur, penyakit yang dideritanya itu nggak bereaksi lama. Niat gue mau balik ke rumah pun, nggak jadi dilakukan. Oke, orang itu mulai tenang dan jemaah lain juga tenang. Gue, Oman, dan teman lain duduk seperti semula dan kembali melihat angkot yang melintas.
Tak disangka, penyakit orang itu malah semakin brutal, yakni mencekik orang di sampingnya.
Orang yang di sampingnya terkejut, sambil berusaha melepas cengkeraman orang itu, “Eit, eit, eit ….”
Sementara orang yang mengidap penyakit ayan masih terus mencekik.
Tak pelak, jemaah lain berusaha menenangkannya dan menghentikannya.
Gue? Gue ketakutan sampai mau meloncati pagar masjid.
Oman? Dia semakin memojokkan badannya ke tangga masjid.
***
Kembali ke masa depan. Satu per satu jemaah meninggalkan masjid. Kakek sableng beranjak dengan muka (masih) kaku. Baik sebelum salat maupun sesudah salat, kakek sableng seperti tidak mendapat “percikan positif” dari salat berjemaah. Selesai berdoa, orang kantoran necis pergi dan meninggalkan wangi maskulin. Terakhir, orang yang mengidap penyakit ayan pun bergerak keluar masjid. Juga jemaah lain, langkah kaki mereka begitu terdengar ke arah pintu keluar masjid. Pada akhirnya, hanya segelintir orang yang masih berdiam diri di masjid, dan salah satunya adalah gue.
Ilustrasi Merenung. Sumber: ferryrusli.blogspot.com
Gue merenung. Lantas, gue membandingkan diri gue dengan orang yang mengidap penyakit ayan tersebut. Benar, gue begitu beruntung sudah dianugerahi akal sehat oleh-Nya. Gue nggak bisa membayangkan, jikalau gue jadi dia (orang berpenyakit ayan). Akan sangat mengerikan sekaligus memalukan, bila gue lagi salat, lalu seketika gue menceracau sambil kelimpungan. Atau, ketika gue sedang menunggu bus Damri di halte, gue tiba-tiba mencekik atau menjambak nenek-nenek karena efek dari penyakit saraf tersebut.
Gue diam, tertegun, dan bersyukur kepada-Nya. Permasalahan dalam hidup gue nggak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan dia. Hanya karena banyak nilai merah, gue sudah uring-uringan dan terkesan putus asa. Hanya karena nasib gue di perkuliahan nggak jelas dan nggak menentu, gue jadi nge-down. Hanya karena masalah “cemen”, gue jadi patah semangat. Hanya karena gue merasa “sendiri”, gue jadi putus harapan.
Sembari merenung, gue menulis apa yang mau gue tulis. Secara sengaja, terciptalah suatu karya, yakni puisi yang berjudul: “mahasiswa yang tidur di pojokan musala”. Lumayan lama gue merenung di Masjid Al-Irsyad Kotabaru Parahyangan. Bahkan saking betahnya gue di masjid tersebut, suara azan kembali terdengar, yakni azan asar. Selesai salat asar, teringat bahwa gue harus menjemput adik gue pulang sekolah.
Ilustrasi Gue Bangkit. Sumber: progralicious.blogspot.com
Sambil merenggangkan badan, gue tarik napas dalam-dalam. Hari itu, gue belajar dari kakek sableng bahwa kita patut bersyukur dan “harus” merawat apa yang kita punya. Juga, gue belajar dari orang kantoran necis bahwa ketika kita sudah merasa “keren”, seyogyanya kita janganlah lupa dari mana kita berasal, dari mana kita tumbuh, dan dari mana kita dididik. Terakhir, gue belajar dari orang yang mengidap penyakit ayan bahwa walau rintangan, tantangan, dan kesulitan sebesar apa pun, kita haruslah tetap semangat. Betul, buktinya ialah meskipun dia mengidap penyakit yang bisa dibilang “mengganggu orang lain”, tapi tetap saja dia bersemangat ke masjid untuk melaksanakan salat berjemaah.
Dengan raut muka berseri-seri, gue melangkah keluar masjid. Walaupun gue belum gosok gigi, belum cuci muka, dan belum mandi, tapi aura gue seperti orang yang baru turun dari kahyangan. Sembari memakai sandal di tangga masjid, gue jadi teringat bahwa tiga jam lalu gue masih duduk dengan raut muka gembel di tempat yang sama. Gue tersenyum, betapa cepat berubah dan berganti mood gue di satu hari itu.
Sambil berjalan menuju parkiran mobil, gue berharap bahwa “jalan panjang” yang sedang dilalui juga cepat berubah seperti gue di hari itu. Sebelum menstarterkan motor, gue menatap sekilas ke Masjid Al-Irsyad Kotabaru Parahyangan. Gue haturkan terima kasih untuk semua orang di hari itu yang sudah membuat gue menjadi lebih berarti, lebih mengerti, dan lebih bersyukur.

Komentar