My Story: Orang-orang Aneh yang Gue Temui di Bandung

Hari Sabtu kemarin gue sengaja “bersemedi” di Masjid Agung Bandung karena gue belum menuntaskan tugas kuliah (baca: cabut). Atas alasan “nyebelin” itulah gue memutuskan untuk tilawah sekaligus berdiam diri di sana. Awalnya, gue mau ke Jl. Sultan Agung untuk beli celana jeans, tapi nggak jadi karena duitnya nggak cukup (baca: bokek).
Gue berangkat dari rumah sekitar jam sembilan pagi dan sampai sekitar jam setengah sebelas. Iya agak lama, soalnya gue cari jalan ke Masjid Agung lewat Gedung Sate. Tapi, tetap saja ujung-ujungnya lewat Mall Bandung Indah Plaza (BIP) dahulu dan lewat … kampus. Walaupun gue sudah tiga tahun tinggal di Bandung Barat, tapi gue masih belum paham betul tentang jalanan Kota Kembang ini. Lagian, jalan/ jalur di Kota Bandung begitu banyak dan berbelit. Oke nggak apa-apa, gue newbie di sini.
Sesampainya di sana, gue memarkirkan motor di dalam basement. Karena nggak mungkin jika parkir di atas kubah masjid. Pada bagian basement, terdapat petugas karcis yang mencatat pelat nomor motor. Petugas karcis itu masih sama dengan orang tiga bulan lalu. Ya, gue memang sering ke Masjid Agung Bandung ketika sedang menunggu jam kuliah. Jadi, gue sudah tahu betul petugas karcis tersebut dan dia pun sudah tahu betul gue. Sebab, di antara ratusan motor yang parkir kayaknya cuma gue yang berpelat nopol B (Jakarta).
Masjid Agung Bandung. Sumber: pegipegi.com
Sesudah itu, gue lantas menuju ke atas (masjid) untuk sembahyang duha. Semenjak “mengetahui arti kehidupan” gue jadi sering salat sunah tersebut. Entah, gue merasa enak, nyaman, dan tenang ketika selesai melaksanakannya. Karena didikan-Nya, gue menjadi “kecanduan” untuk mendirikan salat yang katanya pemancing rezeki tersebut. Betul, juga semenjak baca bukunya Ippho Right yang berjudul 7 Keajaiban Rezeki, gue jadi lebih bersemangat untuk menunaikannya. Masya Allah.
Sret. Gue cabut kunci motor, lalu mengecek apakah sudah dikunci setang atau belum. Baik, semuanya sudah beres dan berharap nggak ada orang jahil yang menjahili motor gue hanya karena motor itu berpelat B. Gue berjalan menyusuri basement yang dipehuni oleh pedagang kaki lima (PKL). Memang, sejak Pak Ridwan Kamil menjabat sebagai Wali Kota Bandung, para pedagang kaki lima dipindahkan ke dalam basement. Tujuannya tentu, agar Alun-alun Bandung lebih tertib, kondusif, bersih, dan bebas dari sareuksek (berantakan).
Ketika gue melintas, banyak dari mereka (para penjual) menawarkan dagangannya pada gue.
“Sosis, sosis, sosis bakar. Jang, sosis Jang?” tawar mereka.
Pada heran kan, kenapa mereka menyebut gue dengan sebutan “jang”?
Jelas, di tataran Sunda (Bandung) laki-laki memang biasa dipanggil “ujang”. Ujang ya guys, bukan kujang, apalagi kijang. Kalau kujang adalah senjata tradisional dari Jawa Barat, dan kijang adalah sejenis hewan semacam rusa atau nama mobil.
Ditawari oleh mereka, gue hanya senyum kecil.
Setelah di atas (Alun-alun Bandung), gue menatap ke sekeliling. Sungguh beda alun-alun sekarang dengan alun-alun dulu. Sekarang, alun-alun bisa dibilang rapi untuk kawasan kota sebesar Bandung. Sedangkan dulu, alun-alun terkesan caletre (kotor) dan banyak tumbuh rumput liar. Sekarang, rumput liar berganti menjadi rumput sintetis seperti karpet. Dengan demikian, banyak anak-anak dan orangtua mereka bermain di sana. Plus, hal itu menjadi kredit lebih untuk menarik wisatawan luar. Good work, Kang Emil.
Cukup, saatnya gue bermunajat pada-Nya. Gue buka sepatu pada bagian teras masjid, di sana banyak orang lagi duduk-duduk. Untuk hal “duduk-duduk”, dari titit gue sebesar kelingking sampai titit gue sebesar bonggol pisang, hal tersebut masih dilestarikan sampai sekarang. Gue juga kurang tahu kenapa mereka kayaknya gemar nongkrong di teras masjid. Posisinya pun berbeda-beda: ada yang selonjoran, bersila, tengkurap, dan telentang. Baik, bagaimanapun itu adalah hak mereka.
Saat gue sedang buka sepatu “kumal”, ada bapak-bapak yang menawarkan keresek pada gue.
“Dek, keresek?” tawarnya.
Gue menolak halus, “Nggak, Pak. Makasih ….”
Ia tersenyum, yang senyumannya berarti: ayolah, dibeli.
Lantas, bapak penjual keresek mencari orang lain untuk “menjemput” rezekinya.
Dilihat dari raut wajahnya, terdapat guratan yang menggambarkan perihnya kehidupan. Semoga, bapak penjual keresek bisa meraup rezeki yang berkah dan penuh rahmat. Amin.
Setelah memasukkan kaos kaki ke dalam sepatu belel, gue pun memasuki masjid. Waktu itu, suasana di dalam Masjid Agung Bandung tidak terlalu ramai. Hanya ada ibu-ibu pengajian yang sedang mengaji dan segelintir orang yang tidur di bagian belakang (pojok masjid). Nah, biasanya gue adalah salah satu orang yang kerap “selonjoran tidak berdaya” di bagian belakang tersebut.
Setelah itu, gue menuju ke bawah untuk mengambil air wudu. Betul, tempat wudu di Masjid Agung Bandung memang berada di bawah. Jadi, tempat wudu tersebut seperti bungker. Bagi kalian yang mau ke sana atau baru pertama kali ke Masjid Agung Bandung, gue kasih tahu bahwa tempat wudu wanita terletak di depan (dekat pintu masuk). Sedangkan tempat wudu pria adalah setelahnya. Awas, jangan keliru. Karena banyak orang luar (awam) yang salah masuk ketika mau mengambil abdas.
Beberapa anggota badan gue sudah lantis (bersih) teraliri air wudu, maka gue kembali ke atas. Gue jalan menuju tempat salat utama yang letaknya agak menjorok ke dalam. Saat pertama kali gue masuk ke masjid tersebut pun, gue bingung karena tempat imam nggak terlihat. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata di bagian dalam masjid itu ada tempat salat utama. Jadi, menurut gue Masjid Agung Bandung itu adalah masjid yang di dalamnya ada masjid juga.
Ketika baru beberapa langkah, gue terkejut karena pintu menuju tempat salat utama belum dibuka.
“Lah, gue masuk lewat mana, nih?” tanya gue pada diri sendiri.
Alhamdulillah, terdapat satu pintu terbuka, dan pintu terbuka itu adalah menuju ke tempat salat … wanita. Gue dilema, kalau masuk nanti gue disangka lekong atau cewek tomboy. Sedangkan kalau nggak masuk, maka gue nggak jadi salat duha. Tanpa pikir panjang, gue memberanikan diri untuk masuk ke pintu yang dikhususkan untuk Kaum Hawa itu.
Gue masuk secara pelan-pelan, karena takut ketahuan oleh beberapa perempuan yang kebetulan sedang melaksanakan salat duha. Dengan jurus berjalan jinjit ala suku tanah pada serial kartun Avatar The Legend of Aang, maka langkah kaki gue tidak terdengar. Ketika hampir berhasil melewati tempat salat Kaum Hawa, gue nyaris ketahuan oleh seorang ibu yang sedang pakai mukena. Ibu itu hampir menoleh ke belakang disertai tingkah “memasang telinga”.
Maksudnya, ibu itu ingin memperjelas apa yang dia dengar, karena di belakangnya seperti ada suara derap kaki seseorang (gue). Sesaat ibu itu mau menoleh ke belakang, gue dengan cepat diam di tempat. Berharap ibu itu kembali lanjut dalam mengenakan mukenanya. Ketika gue berhenti, barulah ibu itu menghadap ke depan. Sementara gue kembali berjinjit dengan hati-hati.
Kemudian, gue segera mendatangi saf/ sajadah berwarna merah yang super empuk. Exactly, sajadah yang berada di dalam masjid utama memang empuk, bersih, tebal, hangat, lembut, dan nyaman. Pokoknya, sajadah itu membuat gue PW (posisi wuenak) dan ingin berleha lebih lama. Ketika hendak salat, di sana ada sekitar tiga orang yang lebih dulu dari gue.
Pertama, di saf paling depan ada kakek yang sedang membaca atau menghafal ayat Al-Quran. Kakek itu terlihat serius dan fokus sampai punggungnya terlihat bengkok (mungkin faktor usia). Kedua, di bagian kanan saf terdepan, ada bapak-bapak lagi duduk lemah tidak berdaya. Disinyalir, bapak itu diusir oleh istrinya karena bokek. Ketiga, di bagian belakang saf, ada mas-mas lagi menghitung. Gue nggak tahu dia hitung apa, sepertinya dia lagi hitung sisa hutang bulan lalu. Jam hampir menunjukkan pukul 10:30, maka gue salat secara khidmat.
Selesai salam, bapak dan mas sudah lenyap, dan berganti orang baru yakni kakek-kakek yang sedang mendirikan salat duha juga. Kakek itu lumayan lama dalam salat duhanya. Sepertinya, kakek itu salat duha 12 rakaat. Asal kalian tahu: jika kita salat duha 12 rakaat, maka Allah menjanjikan akan membangun istana buat kita di akhirat kelak. Subhanallah.
Kakek yang sedang melaksanakan salat duha 12 rakaat
Oke, dengan hadirnya kakek itu berarti laki-laki yang berada di dalam masjid utama menjadi tiga orang: gue, kakek pembaca Al-Quran, dan kakek pendiri salat duha. Gue menjadi berpikir, sungguh benar kutipan yang menyatakan bahwa: “masjid selalu dipenuhi oleh orang tua”. Ironis ya, banyak pemuda malu untuk memasuki masjid. Mereka lebih senang ke tempat-tempat hiburan seperti mall, diskotek, tempat billiard, nongkrong, dan sebagainya.
Mungkin, sebagian masyarakat Indonesia beranggapan bahwa masa muda adalah masa “seenaknya” yang mana bebas melakukan apapun yang disukai. Barulah ketika yang muda menjadi tua, mereka memohon ampun dan bertobat. Padahal, seandainya kita dicabut nyawa (baca: mati) ketika muda, apakah sudah sempat bertobat? Sudah sempat memperbaiki diri? Sudah sempat berubah menjadi lebih baik? Sebab itulah guys, jangan menunggu tua untuk bertobat. Selagi muda pun, akan lebih baik jika kita sudah mau memperbaiki diri sendiri walau sedikit demi sedikit. Karena, sesungguhnya Allah SWT amat mengharapkan tobat dari hambanya.
Sudah ah ceramahnya, gue bukan ustaz, apalagi ustazah. Gue pun berzikir lalu berdoa di waktu duha. Sungguh adem-ayem yang gue rasakan sesaat berdoa di waktu pagi menjelang siang. Kemudian, gue duduk sila sembari menatap atap Masjid Agung Bandung. Ketika gue sedang melihat penjuru masjid, datanglah laki-laki sambil menenteng dua gitar macam Antonio Banderas di film Desperado. Laki-laki itu berambut gondrong sebahu dengan topi dikebelakangkan. Sekilas, penampilannya seperti personel band cadas (band yang suka teriak dengan suara reak-reak basah).
Laki-laki itu meletakkan kedua gitarnya di sampingnya. Kemudian, dia berdiri sejenak sambil menatap lurus ke depan. Tidak ada yang aneh dengan dirinya, tapi tunggu dulu. Tak lama, dia mengambil Al-Quran kecil dari sakunya, lalu membacanya sambil berdiri. Kemudian, dia berdoa seperti orang kebanyakan, namun posisinya sambil berdiri. Dia terus memanjatkan doa, lalu berhenti sejenak sembari merapikan rambut gondrongnya yang melebar ke samping. Tak jarang, selagi merapikan rambut dia menggarukinya juga. Ada indikasi, rambutnya belum dicukur selama 15 tahun.
Lihat laki-laki berbaju putih (orang aneh pertama) tepat di bagian saf depan adalah kakek pembaca Al-Quran dan bapak berjenggot lebat
Dia kembali memanjatkan doa, lalu menggelengkan kepalanya sambil mengusap muka (maaf) semrawutnya. Setelah gue amati lebih rinci, laki-laki itu amat mirip dengan komedian Mastur (adiknya Mandra). Tepatnya, Mastur sehabis terserang penyakit disentri. Dikarenakan laki-laki itu terus berdoa dan nggak salat juga, gue dan kakek pembaca Al-Quran kompak memandang aneh kepadanya.
“Ada yang aneh, nih,” kata gue dalam hati sembari terus menatap laki-laki itu.
Tak lama kemudian, dia mendekati tempat imam, lalu membuka Al-Quran yang ada di sana. Tak pelak, kakek pembaca Al-Quran merasa terganggu akan tingkahnya dan memandang nanar ke arahnya. Mastur KW (laki-laki itu)? Dia terlihat tenang-tenang saja seperti hidup di dunia ini seorang diri.
Gue terus memerhatikan tingkah lakunya itu. Tak jarang, ketika sedang mengangkat tangannya dia terbatuk. Mastur KW terus melakukan gerakan yang sama: berdoa, menatap ke atas masjid, dan batuk. Uhuk. Dia terus seperti itu tanpa salat terlebih dahulu. Karena suara batuknya agak kencang, kakek pembaca Al-Quran refleks menoleh ke belakang disertai tatapan: lu sebenarnya mau ngapain sih, Tong?
Orang di atas, adalah orang aneh yang pertama.
Tak ingin korupsi waktu, maka gue buka aplikasi Al-Quran yang terdapat pada handphone punya gue. Lantas, gue baca dengan suara dipelankan karena untuk menghormati jemaah di sekitar yang sedang menghadap-Nya. Dipikir lebih lanjut, sungguh baik Dia sudah memberikan gue kenikmatan berupa kesehatan, akal sehat, makanan, minuman, pakaian, kendaraan, handphone, aplikasi Al-Quran, dan sebagainya sehingga gue bisa mendirikan salat duha sekaligus tadarus. Subhanallah.
Sekitar sepuluh menit kemudian, datanglah bapak berjenggot yang mana jenggotnya itu kayak produk penumbuh bulu: Firdaus Oil. Dia pakai peci, baju koko, dan celana bahan yang sebelah dilipat dan sebelahnya lagi nggak dilipat. Gayanya percis dengan gaya berpakaian orang country di game GTA Sanandreas. Kemudian, dia hendak salat dan berdiri tepat di samping kakek pembaca Al-Quran. Ada orang berdiri di sisinya, kakek pembaca Al-Quran lantas menengok dengan gerakan: siapa lagi, nih?
Sehabis itu, kakek pembaca Al-Quran melihat ke sekitar masjid. Pertama, dia menatap nanar ke kakek pendiri salat duha. Dia turunkan kacamatanya ke bawah agar jelas siapa yang dia lihat. Agak lama kakek pembaca Al-Quran menatap kakek pendiri salat duha. Mungkin, dia mengira bahwa kakek pendiri salat duha adalah cerminan dirinya.
Kedua, kakek pembaca Al-Quran menatap nanar ke gue. Masih sama dengan menurunkan kacamatanya ke bawah. Namun, dia menatap gue hanya sebentar saja. Karena, dari sisi penampilan dan tingkah laku, gue hanyalah manusia normal dan tidak menimbulkan gerak-gerik mencurigakan. Terakhir, kakek pembaca Al-Quran menatap nanar ke Mastur KW yang sedari tadi hanya berdiri sambil batuk. Dia memandang Mastur KW lekat, sementara Mastur KW sibuk menatap langit-langit masjid.
Kembali ke bapak berjenggot lembat. Celana yang setengah digulung belum dia turunkan juga. Baik, gue pikir mungkin dia akan menurunkannya ketika mau salat. Tak ingin tenggelam dalam suasana absurd, gue kembali membaca Al-Quran elektronik. Gue baca meski nggak sejelas Al-Quran buku/ cetak. Tapi nggak jadi masalah, yang penting barokah. Kemudian gue berhenti sejenak, dan kembali melihat ke sekeliling masjid.
Bapak berjenggot lebat salat, dengan celananya yang "nyentrik"
Tak dianya, bapak berjenggot bak sarang lebah itu salat dengan celana yang sebelahnya digulung!
Gue heran, lalu bergumam, “Dih? Apa-apaan itu?”
Gue nggak terlalu pasti ya, apakah boleh salat dengan celana nyeleneh seperti itu. Setahu gue, celana boleh (sebaiknya) digulung atau dilipat, asal sampai atas mata kaki, dan itu pun haruslah dua-duanya, nggak sebelah. Sedangkan apa yang gue lihat, dia melipat celananya sebelah, dan lipatannya itu hampir selutut! Wallahualam bisawab.
Orang di atas, adalah orang aneh yang kedua.
Baiklah, semoga di lain hari bapak berjenggot lebat itu bawa sarung untuk menutupi keanehannya. Gue kembali melanjutkan membaca ayat-ayat ciptaan-Nya di handphone “canggih” punya gue. Tak lama berselang, datanglah dua orang laki-laki sembari berbincang. Satu dari kedua laki-laki itu berkepala plontos kayak karakter di Dragon Ball: Frieza. Sedangkan satunya lagi terlihat seperti orang (maaf) kurang normal.
Laki-laki berkepala plontos itu memiliki suara seperti perempuan, lebih tepatnya seperti suara perempuan tertindih “sesuatu”. Ketika mereka datang, mereka sepertinya sedang membicarakan sesuatu.
“Ai isuk, kumaha (kalau besok, gimana)?” tanya laki-laki berkepala plontos kepada temannya.
Temannya menjawab, “Enya da … mun isuk mah sok rame, euy (iya kan … kalau besok mah suka ramai).”
Tak lama kemudian, laki-laki berkepala plontos mengganti bajunya di situ juga.
“Set dah … mentang-mentang laki-laki,” ujar gue, dalam hati.
Karena jikalau perempuan yang ganti pakaian, mungkin akan tidak mungkin.
Selanjutnya, mereka berdua duduk di barisan saf yang gue duduki. Sedikit merasa terganggu akan celotehan mereka, gue pun melirik ke arah mereka. Ketika gue meliriknya, laki-laki (maaf) kurang normal itu menyenyumi gue dengan senyuman: hai, ganteng. Merasa agak jijik disenyuminya, gue lantas membuang muka ke depan. Berharap dia bukan maho, LGBT, dan semacamnya. Setelah gue amati lebih rinci, ternyata laki-laki kurang normal itu adalah orang yang sama ketika gue sedang menunggu jam masuk kuliah sekitar empat bulan lalu.
Ya, gue masih ingat ketika gue sedang duduk selonjoran di Masjid Agung Bandung, laki-laki itu menghampiri dan duduk di samping gue. Merasa dilihat secara terus-menerus olehnya, gue pun menolehnya. Ketika gue toleh, laki-laki itu tersenyum ganjen pada gue. Merasa ada yang nggak beres, gue cuma senyum tanggung.
Laki-laki kurang normal memulai pertanyaan, “Sendirian aja, nih?”
Buset … dari pertanyaannya saja waktu itu sudah membuat gue merasa seperti seorang gadis.
Karena dia bertanya, maka gue jawab, “I–iya, lagi nunggu jam masuk kuliah.”
“Apha?” tanyanya, tidak terdengar oleh telinganya.
“Ehm, lagi nunggu jam kuliah, Pak,” jawab gue, lagi.
Parahnya, dia masih budeg dan kembali bertanya, “Apha, apha?”
“NUNGGU KULIAH, PAK!” respons gue sambil menyorongkan kepala.
Barulah dia mengerti, lalu berucap, “Oh … kuliah, iya, iya.”
Kami hening saat itu juga, gue kembali menatap ke depan berharap laki-laki “aneh” itu pergi. Sekitar dua menit kemudian, laki-laki itu pamit kepada gue dengan senyuman yang masih sama: senyum ganjen.
Empat bulan kemudian atau lebih tepatnya hari Sabtu kemarin, gue kembali bertemu dengan laki-laki kurang normal itu. Saat itu, (empat bulan lalu), laki-laki itu berpakaian seperti gembel sambil menenteng keresek hitam. Entah mengapa dia selalu membawa keresek hitam. Namun sekarang (Sabtu kemarin), laki-laki itu sudah bermetamorfosa dengan berpakaian layaknya Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ada indikasi, dia telah diangkat atau naik jabatan oleh pihak Masjid Agung Bandung sebagai salah satu staf tertentu.
Dari kiri ke kanan: kakek pembaca Al-Quran, laki-laki (maaf) kurang normal, dan di samping kanan yakni temannya yang mirip Frieza.
Temannya, yakni laki-laki berkepala plontos memberhentikan pembicaraan mereka berdua.
“Tos ah, urang rek salat heula (udah ah, gue mau salat dulu),” kata laki-laki berkepala plontos.
Ditinggal sementara oleh temannya, maka laki-laki kurang normal mendekati rak Al-Quran. Kemudian, dia ambil salah satu Al-Quran. Dia pun duduk bersila di saf paling depan, yakni saf dimana kakek pembaca Al-Quran duduk. Kemudian, laki-laki kurang normal membaca Al-Quran dengan suara cukup keras dan sedikit nggak jelas. Karena merasa terusik, kakek pembaca Al-Quran menatap ke arahnya dengan tatapan: pelan-pelan dong Tong, bacanya.
Belum lima ayat, laki-laki kurang normal itu menghentikan tadarusnya. Selanjutnya, dia menghampiri sekaligus duduk di samping bapak berjenggot lebat. Dia bertanya ke bapak berjenggot lebat, lalu menyenderkan badannya pada rak Al-Quran. Gue lihat tampang laki-laki kurang normal itu begitu enjoy, seperti tidak ada masalah sama sekali dalam hidupnya. Sesekali, dia juga berbicara dengan kakek pembaca Al-Quran dengan suara nggak jelasnya.
Orang di atas, adalah orang aneh yang ketiga.
Azan zuhur sebentar lagi akan berkumandang dan gue bersiap untuk mengambil air wudu lagi karena tadi gue kentut meski setetes. Terlalu larut dalam memahami ayat-ayat Kalimatullah, gue baru menyadari bahwa suasana di dalam masjid utama sudah ramai oleh para hamba-Nya. Anehnya, Mastur KW masih tetap berdiri sembari menatap atap masjid di tempat yang sama ketika ia datang. Sudah lebih dari satu jam, Mastur KW seperti itu. Okelah tak apa, karena bukan urusan gue.
Gue pergi ke belakang untuk berabdas. Pada masjid bagian luar, banyak orang datang untuk mendirikan kewajiban umat Muslim (salat). Ketika gue mau wudu, banyak para … ehm, mojang (gadis Bandung) menatap gue. Mungkin karena gue ganteng (pede mampus), atau karena gue jelek (bisa jadi), atau bahkan karena gue lupa nggak menutup retsleting celana (indikasi terkuat). Tak ingin tenggelam ke dalam kecantikan para mojang Bandung, gue turun ke bungker (tempat wudu).
Baik, ketika sudah di dalam, gue mau berkemih (kencing). Lantas gue belok ke kiri yakni ke toilet/ tempat buang air kecil. Gue cari urinoir (tempat pembuangan air seni) dan ketika gue dapati, urinoir di Masjid Agung Bandung sudah diubah. Betul, di sana tombol siram sudah diganti dengan keran yang ada selangnya. Jadi, ketika habis kencing, kita hanya memutar keran tersebut lalu keluarlah air dari selang yang menggantung ke bawah. Sungguh benar ungkapan, “orang Bandung mah kreatif”. Ya, gue pikir terlalu “kreatif”.
Oke, sing penting ada airnya dan nggak tercium bau pesing, maka gue mau buang air kecil di situ. Gue turunkan retsleting celana secara perlahan, lalu menyembullah “adik kecil” punya gue. Amat indah “barang pribadi” gue yang berbentuk seperti jamur liar itu. Gue hejeunkan, maka menyemburlah air najis berwarna semu putih.
Ketika gue sedang asyik berdiri (kencing), datanglah bapak-bapak botak dengan celana komprang yang mau kencing juga. Of course, karena tempat itu adalah toilet umum, maka siapapun boleh buang air di sana. Gue kembali memeriksa “adik kecil” yang sebentar lagi akan selesai dari pengeluarannya (air seni). Sambil membuka keran, gue lihat lagi bapak botak yang kencing di samping kanan gue. Ternyata eh ternyata, posisi berdiri bapak botak itu tidak menempel pada urinoir, sehingga (maaf) tititnya jelas terlihat oleh gue.
“Anjir! Hoek … jijik banget!” umpat gue dalam hati.
Palkon yang tidak begitu besar, ukurannya yang kecil, dan ditambah bulu-bulu keriting membuat “barang” bapak botak itu seperti mentimun ditaburi meises. Meskipun gue laki-laki, tapi tetap saja bila melihat “barang” milik laki-laki lain pasti bawaannya mau muntah. Perempuan jua sama kali ya, ketika melihat “Miss V” punya perempuan lain bakal jijik juga.
Dengan santai, bapak botak (masih) mengarahkan “otongnya” ke urinoir. Entah karena dia mau memamerkan tititnya yang kecil kepada gue atau karena memang sedari kecil bapak botak itu sudah terbiasa buang air kecil dengan posisi “kampret” seperti itu. Tak ingin melihat tititnya yang hanya seukuran cumi-cumi, gue kembali melihat “punya” gue. Sungguh, “punya” gue jauh lebih gagah, eksotis, dan … sudah ah, ini bukan blog mesum. Hahaha.
Orang di atas, adalah orang aneh yang keempat.
Next. Gue kembali ke atas untuk melaksanakan salat lohor (zuhur). Ketika sudah masuk ke dalam, Mastur KW sudah tidak terlihat. Mungkin, dia berada di saf paling kiri. Kemudian, laki-laki kurang normal juga sudah lenyap. Sepertinya, dia berada di saf paling depan. Begitupun dengan kakek pembaca Al-Quran, kakek pendiri salat duha, dan bapak berjenggot lebat sudah tidak terlihat oleh mata telanjang. Tentu, karena banyaknya para jemaah yang hadir untuk salat berjemaah. Alhamdulillah.
Selesai salat, gue kembali ke basement untuk mengambil pesawat pribadi, eh motor. Gue cari motor matic warna hitam dan … ada banyak. Setelah ketemu, posisinya masih sama yakni sweater dan helm gue masih menggantung pada jok motor. Dengan demikian, gue menghidupkan motor dan kembali ke jalan raya.
Tulisan yang Dikutip dari Pidi Baiq. Sumber: www.flickr.com
Sekilas, gue melihat tulisan pada terowongan yang berbunyi:
“Bandung bagiku bukan masalah geografis, lebih dari itu melibatkan perasaan yang bersamaku ketika sunyi”.
Ya, namun gue berani mengutip bahwa:
“Bandung bagiku bukan banyaknya mojang cakep, lebih dari itu banyak orang aneh berkeliaran ketika aku sedang sendiri”.
Cukup sampai di sini, dan tunggu cerita absurd lain dari gue ya, readers. See ya!

Komentar

  1. Untuk orang-orang aneh ya coba kalo bertemu dengan .. ( Gila ) :D :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Ditunggu komentarnya...