Mengenang Kalian Teman-teman M2M Part 3

Artikel ini adalah lanjutan dari artikel sebelumnya, yaitu: Mengenang kalian teman-teman M2M Part 2. Masih membahas teman-teman semasa SMK dulu, dimana mereka semua pada seru, kocak, unik, dan nggak ada bandingannya. Jadi, tunggu apa lagi. Mari kita lihat sohib-sohib gue di bawah ini. Let’s go …

24.  Mohammad Fikra
Sekitar jam tiga sore, gue menyelonjorkan kaki di musala (sekarang dijadikan kelas) SMK PKP 1. Pada musala itulah seluruh calon siswa baru ditampung pada kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS). Gue merasa letih, karena sebelumnya mencoba olah raga panjat tebing bersama teman-teman kelompok lima. Ketika baru dua panjatan, gue sudah nggak sanggup. Saat itu juga, gender gue dipertanyakan. Di dalam musala, calon siswa lain pun sama kayak gue: pada tepar.
Gue ubek-ubek tas, terdapat misting makanan. Gue buka, ada tahu goreng tiga buah bersama lontong dua buah buatan nyokap. Lalu gue makan secara rakus, tidak lupa gue minum untuk melarutkannya. Tepat di sebelah kanan gue, Faidil (murid astral kelas MM1) sedang mendendangkan lagu ST12 berjudul Isabella. Faidil begitu asyik mendengarkan lagu tersebut sambil memejamkan mata.
Sesekali, dia meniru gerakan bermain gitar. Tapi yang terlihat oleh gue malah seperti meniru gerakan bermain kecapi. Tidak jarang dia mengatur posisi tidurnya, lalu garuk kepala dan selangkangan. Percis pengangguran yang butuh bantuan pemerintah.
Suasana di luar musala ramai dari calon murid yang berlalu-lalang melintas. Celotehan dan derap kaki mereka amat berisik seperti gerombolan banteng gurun. Bahkan, Faidil sampai menutup telinga. Pada bagian depan musala, calon murid juga banyak yang keluar masuk. Entah karena ada keperluan atau cuma mau caper (cari perhatian) ke beberapa calon siswi.
Selagi gue memandang ke depan, ada calon siswa berbaju olah raga yang bertuliskan “Taruna Bakti” dengan warna dasar hitam dan oranye. Calon siswa itu berbadan tinggi, rambut poni sampai ke alis (gaya rambut remaja labil), dan celana hitam ngatung. Calon siswa itu terlihat gemar berbicara. Tak jarang, ia nongkrong di depan pintu musala sambil ngobrol bersama temannya. Calon siswa itu mondar-mandir keluar masuk musala. Kerap kali ia berbicara lumayan kencang.
Calon siswa bercelana ngatung itu tidak sendiri, ada tiga calon siswa lain yang juga berbaju olah raga sama dengan dirinya. Ketiga calon siswa lain tersebut adalah Fahmi Ardiyan (MM1), Abdus Shoheh (MM1), dan Sidik Fajar (AK). Mereka berlima berasal dari SMP yang sama.
Ketika MOS, mereka terlihat selalu bersama karena sudah saling mengenal satu sama lain. Terbesit rasa iri ketika gue melihat calon murid lain, karena mereka setidaknya ada teman dari SMP yang sama. Sementara gue, cuma satu-satunya dari SMPN 237.
Calon murid bercelana ngatung itu sering kali membetulkan poninya supaya jatuh ke depan. Pikirnya dengan poni dikedepankan, ia dapat menjadi pusat perhatian bagi lawan jenis. Kemungkinan lain, calon murid bercelana ngatung itu tidak pernah berambut panjang semasa ia SMP. Sehingga, ia memamerkan poni panjangnya di jenjang SMK.
***
Seminggu kemudian, gue dan murid bercelana ngatung itu sekelas. Ia sebangku sama Natigor Ilhamsyah, salah satu teman dekatnya semenjak MOS. Telah gue utarakan berulang-ulang, bahwa ketika pertama kali masuk kelas, kami masih “jaga jarak” alias canggung terhadap teman baru.
Setelah beberapa hari kami sekelas, gue masih belum tahu nama murid bercelana ngatung itu. Tak jarang ketika jam istirahat tiba, ia mengunjungi kelas sebelah untuk bertemu teman SMP-nya, Fahmi Ardiyan dan Abdus Shoheh. Juga, ia sering mengunjungi kelas Akuntansi untuk bertemu dengan satu temannya, Sidik Fajar. Sekaligus ngecengin para siswi Akuntansi.
***
Suatu ketika, gue terserang bisul (penyakit rakyat jelata) di kepala. Bisul tersebut nggak sakit, tapi lumayan besar sehingga kepala gue menjadi pitak. Sekolah PKP mewajibkan seluruh murid untuk salat zuhur berjemaah, khususnya pada hari Senin dan Kamis.
Dengan demikian, kami segera pergi ke masjid PKP untuk salat berjemaah. Setelah melepas sepatu, gue lantas mengambil air wudu bersama teman lain. Gue lihat murid bercelana ngatung itu sedang berbincang dengan teman SMP-nya (lagi). Sesudah mengerjakan syarat sah salat yang pertama, kami memasuki masjid dengan rambut basah kayak sehabis sampoan.
Setelah memasuki masjid, gue dan teman lain duduk bersila sembari mengobrol menunggu iqamah. Tak lama, murid SMA dan STM PKP datang sehingga masjid terisi penuh. Sebelum salat zuhur didirikan, biasanya ada ceramah singkat dari siswa/ siswi perwakilan SMK, SMA, dan STM. Ketika penceramah naik mimbar, gue menyimak dengan saksama. Sesekali gue manggut-manggut, agar para siswi yang berada di saf belakang menyangka gue siswa intelek.
Beberapa menit kemudian, sebagian teman lain datang dan mengisi saf tepat di belakang gue. Kedatangan mereka membuat beberapa jemaah menoleh ke belakang. Gue nggak menengok ke belakang, karena gue sudah tahu bahwa mereka merupakan teman satu sekolah.
Lazimnya anak remaja, mereka nggak bisa diam. Bahkan, suara cekikikan mereka lumayan keras. Akibatnya, situasi dan kondisi di dalam masjid menjadi tidak kondusif. Penceramah dianggap angin lewat, angin lalu, dan angin malam.
Fikra dan Winda terpilih sebagai murid Terbawel. Sumber: foto angket kelas M2M
Mau topik ceramahnya penting, seru, hot, mendidik, memotivasi, menginspirasi, dan sebagainya, tetap saja para jemaah (murid) sibuk dengan aktifitasnya masing-masing, seperti: main handphone, ngobrol, mencungkil kotoran pada jempol kaki lalu mencium baunya, menguap, mengantuk, dan lain-lain.
Lantas, gue pun kembali menghadap ke depan untuk mendengarkan ceramah. Ketika gue sedang khidmat mendengarkan isi ceramah, tiba-tiba pitak yang ada di kepala gue disentuh oleh seseorang dari arah belakang. Tuk. Refleks, gue menoleh ke belakang. Ternyata, yang berani menyentuh pitak gue adalah … si murid bercelana ngatung.
“Nyahahaha, pitak! Yahahahah …,” ejek murid bercelana ngatung sambil tertawa geli.
Gue tidak menanggapinya, hanya menatapnya dengan tatapan Genji (Crows Zero): siapa kau, berengsek?
Di sampingnya ialah teman SMP-nya, yaitu Abdus. Abdus hanya tertawa tanggung, yang bermaksud: iseng banget, lo! nyentuh pitak orang segala!
Tak lama berselang, iqamah dikumandangkan yang menandakan bahwa salat zuhur akan segera dilaksanakan. Terdengar suara imam berkata, “Saf yang kosong harus diisi terlebih dahulu.” Gue pun mengajak siswa yang di belakang untuk maju ke depan. Saat itulah, gue tahu nama siswa bercelana ngatung tersebut dari nametag yang terdapat pada seragam sekolahnya, yakni Mohammad Fikra.
***
Hari berikutnya kita sudah saling mengenal satu sama lain. Meskipun, masih ada sedikit kecanggungan di antara para murid M2M. Hal itu wajar, karena dalam tahap perkenalan tidak ujug-ujug langsung “lepas”, pasti ada sisi kejaiman yang melekat.
Pelajaran yang membuat kami lebih akrab adalah pelajaran Olahraga. Saat itu, jenis olah raga yang dipraktikkan adalah olahraga basket. Kami mengantre untuk menceploskan bola ke ring basket. Waktu itu, posisi kami berdempet sehingga bersentuhan dengan teman di depan dan di belakang. Maka, dari situlah kami sudah mulai tertawa lepas karena geli.
Bila olah raga utama telah usai dan masih ada sisa waktu lebih, maka kami bebas melakukan olah raga apapun, asal jangan gulat di tengah lapangan. Biasanya, kami memilih mengisi waktu sisa untuk bermain futsal ketimbang bermain lompat tali.
Tim futsal dibagi menjadi tiga kelompok atau empat kelompok. Hal itu tergantung dari kesepakatan para siswa. Fikra selaku murid bersuara keras mengundi sekaligus mengatur siapa saja yang ingin bermain. Setelah masing-masing tim terdapat lima orang, maka peluit dibunyikan. Priiit!
Bila peluit telah berbunyi, maka kondisi di lapangan menjadi ramai karena suara dari tendangan dan teriakan para siswa: woi oper woi, oper! Sementara para siswi ada yang langsung ke kelas untuk mendinginkan badan, dan ada juga yang ke kantin untuk melarutkan dahaga. Begitu pun dengan sebagian siswa yang sedang menunggu giliran main futsal, mereka ke kantin untuk menambah stamina dan energi. Rosa!
Kebetulan, waktu itu gue masuk tim ketiga (tim yang belum main). Daripada gue kehausan, lalu malah pingsan di pinggir lapangan, maka gue memutuskan untuk pergi ke kantin membeli susu teteh kantin (maksudnya susu buatan teteh kantin).
Selagi gue berjalan di koridor bawah, Fikra berteriak mengajak gue untuk bermain futsal, “Jaat! Ke mana, lu? Main sini, Jat!”
Teriakannya sungguh kencang, mungkin sampai terdengar oleh murid kelas lain.
“Siapa tuh yang teriak? Trus, siapa itu, Jat? Tukang koran langganan PKP?” pikir murid kelas lain.
“Ooy, Fik! Bentar, gue ke kantin dulu!” teriak gue, tepat di depan ruangan kepala sekolah.
Sepertinya, kepala sekolah yang berada di dalam ruangan kepala sekolah sampai tersedak biji rambutan karena mendengar teriakan gue yang begitu “merdu”.
Setelah menghabiskan susu cokelat teteh (buatan) kantin, gue kembali ke lapangan dengan energi terbarukan. Tim yang kalah diharuskan untuk menepi ke pinggir lapangan. Sementara tim yang menang di pertandingan sebelumnya tetap melanjutkan permainan.
Priit! Pertandingan kedua resmi dimulai.
Seperti biasa, gue bermain futsal hanya lari kesana-kemari tanpa menyentuh bola. Tak jarang, gue bermain kasar sampai teman lain mengaduh kesakitan. Teman lain yang gue tabrak temannya, memprotes, “Pelanggaran tuh, woi!” Gue hanya kasih isyarat telunjuk, yang berarti: nggak, lah.
Tempo permainan semakin panas dan semakin kocak semenjak Fikra menjadi wasit menggantikan guru olahraga. Sebab, kinerjanya sebagai wasit dipertanyakan. Kerap kali keputusannya dianggap tidak masuk akal dan tidak dimengerti. Contohnya adalah ketika gue berusaha memepet Faiz yang sedang menggiring bola.
Kira-kira, alur ceritanya seperti ini: Faiz berlari kencang menuju mulut gawang sambil men-dribble bola bak Gianluca Zambrotta (bek sayap legendaris AC Milan). Karena tidak ada yang menjaga Faiz, seketika gue berlari mundur ke belakang untuk menghalau serangan Faiz.
Kemudian, gue pepet Faiz ke sisi lapangan (gue bermaksud untuk melepaskan bola dari jangkauannya). Gue pepet terus sampai kecepatan larinya menurun. Disebabkan bola masih meluncur stabil dan Faiz tidak goyah juga, terpaksa gue sikut keteknya sampai nyusruk keluar lapangan. Bruk!
Sontak saja, teman lain yang satu tim dengan Faiz mengutuk aksi “kotor” tersebut.
“IJAT PELANGGARAN, IJAT! IJAT PELANGGARAN!” protes Wisnu.
Gue adem-ayem sambil menyeka keringat yang bercucuran.
Namun, wasit (Fikra) malah menganggap itu bukan pelanggaran. Tak ayal, mereka (lawan main) memprotes wasit.
“WASITNYA NGGAK BENER, NIH!” celetuk Fadel, kesal.
Fikra tetap dengan keputusannya, “Apaan, luh?! Gue udah adil nih, Del!”
Pertandingan terus dilanjutkan, namun teman-teman menganggap Fikra tidak becus sebagai wasit karena beberapa keputusan kontroversialnya.
“Sit, pelanggaran Sit!” kata Ilham, meminta tendangan bebas.
Wasit tetap dengan keputusannya, “Nggak Am, nggak.”
“Shit! Pelanggaran itu, Shit!” pinta Alfado sedikit jengkel.
Kata “sit” terdengar “shit” yang berarti: wasit tai, pelanggaran, wasit tai.
Seiring wasit (Fikra) bertindak ngawur, maka kedua tim sama-sama bermain curang, seperti diving (pura-pura cedera). Perbuatan diving tersebut ada yang berpura-pura tertekel, tersenter bola, dan terjambak lawan. Dengan banyaknya aksi diving yang kami lakukan, maka suasana di lapangan berubah menjadi riuh oleh aksi konyol kami sendiri.
Fikra dan Gue Beserta Teman Lain Sedang Mengikuti Pawai Antarkelas
Sepanjang pertandingan tarkam (antar kampung) itu, kami tertawa tanpa henti. Setelah waktu sisa dinyatakan habis dan pertandingan dinyatakan usai, kami masih tertawa kecil sambil berbincang menuju kelas. Kejadian di atas adalah cikal-bakal “kegilaan” kami di sekolah dulu.
***
Seperti yang telah diterangkan pada artikel sebelumnya (Mengenang Teman-teman M2M Part 1), bahwa di netbook-nya Dhika terdapat beberapa game Playstation 1. Beberapa game yang ada di netbook punya Dhika ialah game: CTR (Crash Team Racing), Harvest Moon, Captain Commando, dan Pepsi Man. Game-game tersebut adalah game bersejarah dari sekian banyak game Playstation 1 lainnya. Tak ayal, bila ada jam kosong (nggak ada guru) kami bermain game tersebut di depan kelas.
Teruntuk Pepsi Man, game tersebut merupakan salah satu game primadona bagi siswa M2M. Game Pepsi Man bercerita tentang manusia yang berkostum Pepsi ketat (semok) yang dikejar oleh kaleng Pepsi raksasa. Jadi, pemain mesti menghindar dan lari sejauh mungkin agar tidak terlindas oleh kaleng Pepsi.
Disamping itu, pada game tersebut terdapat beberapa rintangan yang harus dilewati pemain, semisal melompat pagar, menghindar jalan berlubang, menghindar pekerja bangunan, menghindar dari serangan bison, berseluncur, menambah kecepatan, dan lain-lain.
Tidak terkecuali Fikra, dia sering meminjam netbook punya Dhika hanya untuk melepas penat. Salah satu game yang digemarinya adalah game Pepsi Man. Secara tidak disengaja, Fikra merupakan siswa terseksi (semok) di kelas M2M. Layaknya Pepsi Man yang berbaju ketat, Fikra pun demikian.
Baju seragam sangat pas di badannya dan celana ketat (paintsil) sampai pantatnya terceplak jelas apabila ia berjalan. Hal tersebut tentunya menjadi bahan guyonan oleh teman lain: Fikra si Pepsi Man, tepatnya si Manusia Semok.
Apalagi, kalau Fikra sedang bermain game tersebut, maka dengan sendirinya gue membayangkan: Si Pepsi Man lagi main Pepsi Man. Lucunya, setiap Fikra membuka pintu kelas pada pagi hari, maka teman-teman akan berkata, “Pep–si Meeeeenn.” Kalimat tersebut bernada seperti game Pepsi Man baru dimulai. Fikra tidak menanggapinya, mungkin nyawanya belum terkumpul (masih ngantuk).
***
Selain baju seragam dan celana ketat, dia juga mempunyai jaket ketat berwarna cokelat. Jaket tersebut sering dikenakannya saat sekolah dulu. Pada bagian pergelangan tangan, terdapat garis berwarna putih di jaket tersebut. Menurut gue, jaket itu amat cocok di badannya, karena menambah kesan maskulin.
Saking ketatnya, jika Fikra duduk atau jongkok maka jaket dan baju seragam tertarik/ terangkat oleh badannya. Hal itu berakibat punggungnya terlihat oleh seluruh siswa-siswi. Belum lagi celananya, jika dia duduk atau jongkok, maka ujung (maaf) belahan pantatnya yang berwarna kehitaman terlihat jelas oleh murid lain.
Atas alasan itulah, teman-teman kerap kali memanggil Fikra dengan sebutan Pepsi Man atau Si Semok. Fikra hampir sama dengan Indri (nomor 21). Mereka berdua adalah ikon murid M2M dalam berpakaian ketat. Entah mengapa Fikra sangat menyukai memakai pakaian ketat. Mungkin, dia ingin memperlihatkan badannya yang bisa dibilang cukup “baik” kepada para siswi.
***
Seiring kenaikan kelas dan tentu saja berdampak pada bertambahnya umur, Fikra mengubah gaya rambutnya dari poni ababil menjadi “jambul ombak.” Kenapa gue namakan jambul ombak? Karena hanya rambut bagian depannya saja yang meliuk ke atas, mirip gulungan ombak di Samudera Hindia.
Jambulnya Fikra berbeda dengan jambulnya Fadel. Jambulnya Fadel seperti gaya rambut mohawk/ spike. Gaya rambut Fadel lebih keras, kaku, berduri, dan tajam. Sedangkan jambulnya Fikra, seperti gaya rambut british hairstyle (gaya rambut orang Inggris).
Gaya rambut Fikra lebih soft dan smooth. Kerennya, tatanan rambutnya selalu rapi meskipun hari sudah siang. Disinyalir, dia memakai minyak jelantah supaya rambutnya tetap pada pendiriannya. Dari sisi style, Fikra paham betul dengan model atau gaya yang cocok diterapkan kepada dirinya.
Fikra Beserta Teman Lain Sesaat Mau Menari Tradisional
Jujur, gue terinspirasi dengan gaya berpakaiannya sejak MOS, yakni celana ngatung. Ketika gue melihat calon siswa lain bercelana ngatung, gue langsung berniat untuk mengatungkan celana bahan punya bokap. Tapi, gue malah diomelin. Celana ngatung, baru terlaksana setelah dua tahun semenjak kelulusan dari SMK PKP 1. Itu pun, gue masih diomeli. Padahal, menurut gue celana ngatung memiliki daya tarik tersendiri.
Saat sekolah dulu, gue berniat ingin meniru gaya rambutnya, yaitu jambul ombak. Sayangnya, tukang cukur di dekat tempat tinggal gue pada nggak becus. Mereka sering mencukur rambut gue terlalu pendek, terutama pada bagian poni. Jadinya, gaya rambut gue menjadi nggak karuan.
Jika poni gue diberdirikan kesannya akan tanggung, seperti pemuda stres yang ditinggalkan kekasihnya ke Tiongkok. Jika poni gue diturunkan kesannya akan tanggung juga, seperti anak marmut kehujanan. Serba salah. Gaya rambut jambul ombak baru kesampaian sekitar tiga minggu lalu, dan gue menulis artikel ini dengan tatanan jambul ombaknya Fikra.
***
Pada tahun 2010, Indonesia sedang demam sepak bola. Sebabnya, karena Indonesia berhasil menembus final di kejuaran Suzuki Cup Asean Football Federation (AFF). Namun, Indonesia terpaksa harus gigit jari karena pada pertandingan final dikalahkan oleh negara tetangga, Malaysia. Waktu, itu Irfan Bachdim sedang naik daun di persepakbolaan Tanah Air.
Lolosnya Indonesia ke babak final tentu saja membuat seluruh animo masyarakat tercurahkan di bidang olah raga tersebut. Hampir di setiap daerah, warga bersemangat menyelenggarakan pertandingan sepak bola dadakan. Secara tidak sadar, mereka telah termotivasi dan memotivasi perjuangan tim Garuda di kancah AFF.
Tak jauh berbeda dengan kami dulu, yang sama-sama termotivasi untuk bermain futsal. Melihat Tim Garuda bermain penuh semangat, dan tumben-tumbennya bisa masuk final, kami menjadi sering mengadakan futsal. Terkadang kalau cuaca sore hari cerah, kami tidak langsung pulang ke rumah, melainkan bermain futsal terlebih dahulu. Bahkan, walaupun cuaca di sore hari mendung, kami tetap bermain futsal. Bisa dibilang, saat itu kami sedang ngidam-ngidamnya main futsal.
Seringnya bermain futsal di lapangan sekolah membuat kami jenuh. Kami perlu sesuatu yang baru, yaitu menjajal lapangan berumput sintetis. Tentu saja keinginan tersebut haruslah menyewa lapangan futsal di luar lingkup sekolah.
Fikra selaku anak futsal yang telah paham dimana tempat futsal yang bagus, mengajak kami bermain di tempat yang telah ia booking. Jadwal futsal dilaksanakan hari Sabtu, kebetulan hari Sabtu dan Minggu libur.
***
Hari Sabtu tiba, gue dan Fikri segera berangkat menuju Jl. Raya PKP untuk bertemu Fikra. Akhirnya, kita berhasil menemukan motor Vario-nya sedang parkir di pinggir jalan. Ternyata, teman lain sudah banyak yang kumpul, yakni Wisnu, Gantri, Faiz, dan Tigor. Mereka baru saja sarapan pagi di warung soto (CMIIW).
Melihat mereka dalam kondisi kenyang, gue jadi ngiler untuk memesan satu porsi soto. Tapi, Fikri tidak berniat untuk memesan soto, gue pun jadi nggak enak. Masa, cuma gue yang makan soto sendirian. Tragisnya, setelah gue lihat kantong jaket, duit gue nggak cukup. Juga, Fikra ngomong begini sambil nyengir, “Ah, udah ah. Nanti gue takut sakit perut pas main futsal.” Mendengar perkataan Fikra, ada hikmahnya juga duit gue kurang.
Sebenarnya, ada kejadian lucu di warung tenda (soto) tersebut. Sesampainya di warung soto, gue langsung membuka tas untuk ambil air minum. Memang, jika bepergian kemana pun gue selalu membawa bekal air minum. Jangankan mau main futsal, pergi ke sekolah pun air minum selalu gue bawa. Karena, air minum merupakan aspek penting supaya tubuh kita tetap terjaga untuk menjalani berbagai macam aktivitas.
Tempat air minum yang gue bawa tidaklah seperti tempat air minum kebanyakan. Tempat air minum punya gue bentuknya lebih mirip teko. Tidak heran, terkadang teman lain suka meminta minum ke gue, karena gue bawa teko mini.
Tadinya, gue ingin bawa gentong mini, supaya bisa menampung lebih banyak air mineral. Namun, sangat tidak etis jika gue membawa gentong mini ke sekolah, karena niatnya mau melepas dahaga, bukan mau mandi sauna.
Setelah gue periksa tempat air minum, ternyata air minumnya tinggal sedikit. Padahal, nanti dipastikan menguras tenaga dan keringat banyak. Gue cemas, karena kalau nanti beli air mineral di tempat futsal, jatuhnya akan mahal.
Tadinya, gue mau menambahkan air dari keran (air mentah) ke teko mini. Namun, niatan tersebut gue batalkan karena takutnya nanti gue kolaps di tengah lapangan futsal.
“Yah … tinggal sedikit lagi,” celetuk gue.
Fikra yang dari tadi sedang merokok, mendengar celetukan gue.
“Apaan, Jat? Fuuuuhhh …,” tanya Fikra, sambil mengeluarkan asap rokok.
Sambil memperlihatkan air minum yang tinggal sedikit kepadanya, gue jawab, “Ini, air minum gue habis.”
Fikra diam sebentar, mencari solusi. Tepat di atas meja makan, ada teko. Tak lama, dia ngomong, “Itu aja, Jat, lu tuang ke tempat air minum lu.”
Gue menoleh ke teko warna merah yang masih terisi penuh. Di samping teko, terdapat beberapa gelas untuk pembeli yang mau makan di tempat. Seandainya gue minta air minum dari teko itu, dipastikan nanti airnya akan habis.
“Ini …? Nggak apa-apa, nih?” tanya gue, nggak yakin.
“Nggak apa-apa, Jat. Orang ini aja gue minta, noh,” kata Fikra sambil memperlihatkan botol minumnya yang telah terisi penuh oleh air dari teko merah.
Gue menimang-nimang, masih kurang yakin.
“Bener nih, Fik? Si bapaknya nggak bakal kenapa-kenapa?” tanya gue, ragu.
“Kagak napa-napa, buset. Gue aja tadi dibolehin,” katanya, amat yakin.
Dengan begitu, maka gue memberanikan diri untuk menuang air dari teko tersebut ke teko mini milik gue. Cuuurrr. Bunyi suara perpindahan air. Gue nggak meminta izin dulu ke bapaknya, karena Fikra saja diperbolehkan, masa gue nggak.
Awalnya, gue mau minta air minum sampai setengahnya saja. Tapi dipikir lebih lanjut, pasti nanti teman-teman akan meminta minum ke gue. Dengan begitu, gue melanjutkan penuangan air sampai teko mini terisi penuh. Bapaknya? Si bapak sibuk meladeni para pelanggan sampai dia tidak ngeh bahwa di belakangnya ada yang mencuri air minum dari teko miliknya.
Setelah teko mini terisi penuh, gue taruh kembali teko merah yang telah kosong itu ke tempat asalnya. Si pemilik warung soto masih belum sadar juga, bahwa air yang di dalam teko merah telah ludes karena dituang paksa oleh gue.
Lantas, dengan cepat gue taruh kembali teko mini ke dalam tas. Karena, apabila si bapak ngeh saat itu juga lalu bertanya, “Ini, siapa yang ngehabisin air minum di teko saya?” Maka gue bisa mengeles, “Nggak tahu, Pak. Bukan saya, tadi saya lihat kucing yang ngehabisin air minum di dalam teko bapak.” Begitu. Jawaban yang rasional, bukan?
Beberapa teman lain belum datang juga, terpaksa kami menunggu di warung itu lebih lama. Kemudian, Fikra yang dari tadi nongkrong di pinggir jalan, masuk ke dalam tenda untuk mengambil air minum dari teko tersebut.
Sesaat teko diangkat, Fikra heran karena teko menjadi enteng.
“Dih … habis?” tanyanya, heran.
Gue yang masih menclok di kursi hanya berdiam diri.
Karena tidak ada orang lagi selain bapak pemilik warung soto dan gue di dalam tenda tersebut, Fikra bertanya, “Ini … elu yang ngehabisin, Jat?”
Gue hanya mengangkat kedua alis, yang berarti: betul.
“Wahahaha, parah lu, Jat.” Fikra tertawa.
Gue berkata, “Kan, elu yang nyuruh, Fik.”
“Lah emang, tapi nggak dihabisin juga, Jat. Yahahaha,” kata Fikra, kemudian terpingkal-pingkal.
Mendengar Fikra tertawa, Natigor datang, kemudian bertanya, “Ngapa, Fik?”
“Ini … air teko dihabisin sama dia nih,” jawab Fikra menunjuk ke arah gue.
Natigor menakut-nakuti gue, “Parah lu, Jat, luuh ….”
Tak lama kemudian, beberapa teman lain datang. Dikarenakan waktu semakin terbuang, maka kami meninggalkan warung soto itu. Gue yakin, si bapak pemilik warung soto pasti terheran-heran karena teko yang berada di atas meja telah kosong.
Gue memprediksi; Pertama, si bapak akan celingukan sesaat melihat tekonya telah kosong-melompong. Kedua, si bapak akan mengingat-ingat kejadian barusan, bahwa ada gerombolan remaja sedeng yang makan di warungnya. Ketiga, si bapak akan mengutuk remaja sedeng yang dari tadi duduk di meja makannya (gue), tapi nggak beli soto buatannya.
Honestly, gue merasa berdosa karena telah mengambil air minum orang lain tanpa sepengetahuannya. Setelah dipikir-pikir, perbuatan tersebut tak jauh berbeda dengan perbuatan mencuri.
Sampai di tempat futsal, kami segera ganti pakaian dan ganti sepatu. Kami amat bersemangat melakukan kegiatan positif tersebut. Jika tidak salah, kami bermain selama hampir dua jam. Pertandingan berjalan sangat seru, seperti biasa kami mengawali permainan secara serius. Namun, semakin lama semakin sering ngakak dan melawak.
Terasa mulai letih, kami istirahat sebentar sambil jajan di warung dekat tempat futsal. Lantas, gue membuka tas lalu mengeluarkan teko mini. Tak ayal, teman lain meminta setetes air minum kepada gue.
“Jat, bagi Jat,” kata Febrilianto Ardi, mukanya matang.
“Jat, gue juga, Jat,” kata Ilham, mukanya lirih.
“Jat … minum, hahh …,” pinta Faiz, mukanya semakin merah.
Untungnya, gue mengisi (mencolong) air minum sampai penuh. Sehingga, teman lain kebagian walaupun sedikit. Tapi, ada satu teman yang nggak minta air minum ke gue, teman tersebut adalah Andika Hermawan (Pae) alias dedengkot M2M.
“Pae!” teriak gue. “Mau minum gak, lu?”
Dia menggeleng, mulutnya kembu seperti sedang minum air. Ketika gue lihat lebih lanjut, dia sedang minum kopi susu dan mengunyah sukro.
“Wedeh … babeh mah minumnya kopi susu, Jat,” kata murid penyuka toket, Bagus.
Reaksi gue, hanya tertawa.
Sebelum pertandingan selanjutnya dimulai, sebagian teman masih ada yang meminta minum ke gue. Sayangnya, minuman di teko mini sudah habis.
“Masih ada minum lagi nggak, Jat?” tanya Wisnu.
Gue jawab, “Habis, Nu.”
Mereka nggak tahu, bahwa air minum yang mereka minum adalah air minum hasil curian saat di warung soto tadi. Kalaupun tanpa air tambahan dari teko merah itu, mereka nggak bisa minta air minum ke gue. Bahkan, gue pun nggak bisa minum dan pasti lidah gue bakal menjulur keluar karena saking hausnya. Kejadian tersebut, membuat gue merasa bersalah, karena gue telah membagikan air minum “haram” kepada teman-teman. Pardon, Me.
***
Ketika di sekolah, Fikra terkenal akan tendangannya yang kencang. Selain Fikra, ada murid sakau (Rendy) yang juga memiliki predikat tersebut. Jika kedua teman gue itu menendang bola, maka dipastikan teman lain segera menghindar karena takut tersenter.
Kalian pasti tahu, yang namanya tersenter bola pasti rasanya: sakit, tot. Jika tersenter bola, maka seketika pandangan menjadi kabur, pipi perih, dan pada telinga akan muncul suara: ngeeeng, ngeeng, ngeeeeeng.
Jika tersenter bola plastik yang harganya goceng, akibatnya nggak terlalu parah, hanya terdengar suara: ngiiing, ngiiing, ngiiiing. Bila tersenter bola bleter, akibatnya parah dan akan terdengar suara: kiiiing, kiiiing, kiiiiing. Lain halnya tersenter bola basket, akibatnya amat parah dan akan terdengar suara: breeeeng, breeeeng, breeeeng. Tapi, yang terparah adalah bila tersenter bola boling, akibatnya bisa amnesia.
Ciri khas dari Fikra adalah apabila ia menendang bola, maka ia akan ancang-ancang terlebih dahulu. Fikra akan mengangkat sebelah kakinya ke belakang, mulutnya sedikit dimanyunkan, dan … duash! Bola meluncur deras dengan kecepatan tinggi.
Jika diperhatikan, ancang-ancangnya mirip dengan ancang-ancang Kojiro Hyuga (tokoh kartun Kapten Tsubasa). Pada serial kartun tersebut pun, Hyuga akan menaikkan kakinya tinggi-tinggi ke belakang, lalu menendang bola dengan kerasnya sambil berteriak, “tendangan … macaaan!” Lalu, efek macan akan muncul menyertai bola yang ditendang Hyuga. Kemudian, macan tersebut menyundul penjawa gawang lawan, dan akhirnya berbuah gol.
Gue suka membayangkan, jika Fikra menendang layaknya tendangan Hyuga. Dia angkat kakinya tinggi-tinggi sampai terlihat seperti penari balet, lalu menendang bola dengan berteriak, “Majuuu!” Kemudian, efek badak jawa akan mengiringi bola yang ditendangnya. Lalu, badak jawa itu menanduk Alif Kurniasyah (kiper) sampai terhempas ke lantai dua. Pada akhirnya, badak jawa itu tidak berbuah gol, tapi malah menyeruduk Pak Dande (guru Multimedia). Kalian bisa bayangkan? Sangat bisa.
***
Seperti yang telah diterangkan pada cerita sebelumnya, bahwa setelah pelajaran Olahraga kami bebas untuk mengisi waktu sisa. Kala itu, kami isi waktu luang dengan bermain olah raga pria, yaitu futsal.
Sebelum kick off dimulai, kami melakukan hompimpa alaium gambreng terlebih dahulu dengan maksud untuk menentukan siapa saja yang akan bermain. Setelah melakukan ritual kuno tersebut, gue menjadi lawan Fikra alias kami tidak setim. Prit! Pertandingan dimulai.
Pada pertandingan itu, gue berinisiatif menjadi penghalau serangan tim lawan. Jadi, jika ada pemain lawan berlari sambil menggiring bola menuju kemelut gawang, maka dengan sigap gue akan mem-block-nya. Kalau perlu menekelnya agar tim gue tidak kebobolan.
Soalnya, waktu itu gue lagi demen-demennya menonton cuplikan permainan Daniel Agger (mantan bek Liverpool). Dikarenakan terobsesi, maka gue meniru permainan pemain bola Tim Nasional Denmark tersebut. Sedangkan Fikra diplot sebagai penyerang. Itu berarti, gue akan berjibaku dengannya secara jantan.
Namun setelah dipikir lebih lanjut, ada baiknya gue menghindar dari tendangan kerasnya. Pengurungan gue bukan tanpa sebab, alasannya adalah sebagai berikut: 1) Gue nggak mau tersenter bola, 2) gue nggak mau jika kuping berdengung, 3) gue nggak mau jika tulang pipi retak, 4) gue nggak mau jika muka bengap, dan 5) masa depan gue masih panjang.
Kacaunya, pada pertandingan itu Fikra terus melancarkan tendangan “mautnya” ke gawang tim gue. Berkali-kali, dia mencoba menendang bola sekuat tenaga. Teman lain yang setim sama gue pun lebih baik menghindar, daripada nanti dilarikan ke UKS.
Puncaknya adalah ketika Fikra ingin melakukan tendangan lambung. Ketika Fikra ancang-ancang, firasat gue sudah buruk. Fikra mencungkil bola dengan satu sentuhan, membuat bola sedikit terangkat. Kemudian, dia menendang bola itu sekuat tenaga. Duash!
Sebenarnya, gue mau meloncat untuk menepis tendangannya. Namun, setelah melihat ancang-ancangnya saja “sudah kayak gitu”, maka gue tidak jadi meloncat dan lebih baik menutup muka. Lalu, bola melesat kencang ke atas dan … prang! Jendela aula pecah.
Kami saling tatap-tatapan sambil mangap, nggak tahu harus berbuat apa. Kami stuck sejadi-jadinya. Sementara gue sudah bersiap untuk melarikan diri ke kantin SMA, karena takut dicecar guru.
“MAMPUS LU, FIK!” seru Fadel.
“HAYO LU, FIK!” seru teman lain.
Suara jendela pecah tersebut menarik perhatian seorang guru, yakni Bu Oyoy. Kebetulan, Bu Oyoy memang sering berdiam diri sebagai kasir di toko mini. Bu Oyoy selaku guru paling agamais mencerca kami semua.
Sesaat melihat jendela aula telah bolong, Bu Oyoy beristigfar, “Astagfirullah ….”
Tak lama, Bu Oyoy marah besar, “Siapa yang melakukan ini?!”
Kali ini, sikap berdiri Bu Oyoy seperti penyanyi rocker di era tahun 90-an.
“Siapa?! Heh! Malah nggak jawab, Siapaaa?!” tanyanya meninggi. Kepalanya ditegakkan seakan-akan menantang kami semua. Namun kali ini, sikap berdiri Bu Oyoy malah seperti tukang palak.
Kami nggak jawab, karena masih ngos-ngosan dan juga kehausan.
Tak ingin Bu Oyoy semakin murka, maka kami menjawab jujur, “Fikra, Bu.”
“Fikreu! Tanggung jawab kamu! Hayo bersihkan!” suruh Bu Oyoy pada Fikra.
Lucunya, Bu Oyoy sering mengeja ucapan “Fikra” menjadi “Fikreu”. Tak heran, orang Sunda memang suka menyelipkan ejaan “eu”.
Berdiam diri tidak menuntaskan masalah, maka Fikra bergegas untuk meraup pecahan jendela yang pecah tersebut dengan dibantu oleh Fadel dan Rendy. Sesaat Fikra pergi, giliran kami yang terkena umpatan Bu Oyoy.
“Makanya, kalo udah selesai tuh langsung aja ke kelas! Gak usah main futsal dulu!” hardik Bu Oyoy.
Kami diam.
“Pixilit pixilit pixilit pixilit … kalian. Pixilit pixilit pixilit pixilit … Fikreu,” omel Bu Oyoy kepada kami.
Karena saking cepatnya Bu Oyoy ngedumel, yang terdengar oleh telinga gue malah kayak suara The Chipmunks: pixilit, pixilit, dan pixilit.
“Udah bubar, bubar, sana! Naik ke kelas!” perintah Bu Oyoy sambil membentangkan tangannya.
Kami pun bubar.
Kocaknya, kami bukan naik ke kelas, tapi malah pergi ke kantin.
Setelah menyeruput susu (buatan) teteh kantin, gue kembali ke kelas untuk ganti muka, eh ganti pakaian. Selagi berjalan di lantai satu, gue lihat Fikra, Fadel, dan Rendy sedang mengangkut jendela yang pecah.
Sambil membungkuk, mereka terlihat repot membawa jendela yang telah bolong. Bagusnya mereka (terutama Fikra) tenang-tenang saja. Masih ada senyum mengembang di bibirnya meskipun telah melakukan tindakan brutal secara tidak disengaja.
Sekarang, jendela tersebut tidak bolong lagi/ sudah diganti. Namun, setiap kali gue melewati aula, maka akan selalu terbayang bentuk jendela tanpa kaca. Ya, insiden Fikra waktu kelas satu … dulu.
***
Lazimnya sekolah di seluruh Tanah Air, hari Senin identik dengan kegiatan upacara bendera. Biasanya, seluruh kelas mendapat jatah untuk menjadi petugas upacara. Sistemnya pun, bergiliran (dari kelas 1 sampai kelas 3).
Tak terkecuali kelas M2M, tentu kebagian menjadi petugas upacara. Lumrahnya, siswa dan siswi paling enggan untuk menjadi pemimpin upacara, karena tugas tersebut bukan hal gampang dan memiliki peranan tanggung jawab yang besar. Menjadi pemimpin upacara diperlukan sifat keberanian, kekuatan mental, dan kesanggupan. Jika tidak memiliki sifat-sifat tersebut, mendingan ke UKS, pura-pura sakit.
So, penentuan nama-nama siapa yang akan menjadi petugas upacara ditentukan dari minggu sebelumnya. Saat pertama kali kami menjadi petugas upacara, suasana di dalam kelas gimbreung (rusuh). Kami ribut memilih murid yang siap diberikan amanah untuk menjadi petugas upacara. Lucunya, hampir semua murid menolak untuk mengemban tugas tersebut.
Kalimat penolakan yang sering keluar dari mulut para murid adalah: 1) Duh, jangan gue deh. 2) Gue, nggak bisa. 3) Yang lain aja. 4) Please, jangan gue. 5) Duh, suara gue jelek. 6) Duh, jalan gue pengkor. 7) Gue nggak biasa. 8) Si anu aja tuh. 9) Kok gue? 10) Elu aja mendingan.
Rerata, kami lebih suka menjadi paduan suara (padus). Karena enak, nggak harus dilihat oleh murid lain dan juga para guru. Menjadi petugas paduan suara pun, nyanyian kami fals, nggak merdu, dan nggak terdengar oleh seluruh peserta upacara. Juga, kalaupun paduan suara disalahkan karena nyanyinya jelek, maka yang terkena omelan beramai-ramai.
Berbeda dengan petugas lain; pembaca Undang-Undang Dasar, pembaca doa, dirigen, dan lain-lain. Jika mereka melakukan kekeliruan, pasti yang diomeli hanya seorang (individual). Dengan begitu, paduan suara merupakan tempatnya murid malas dan murid cemen untuk bersembunyi.
Suasana kelas masih ribut, kayak di pasar tumpah. Para murid sibuk berdebat siapa yang pantas menjadi petugas upacara. Tak jarang, kami saling menunjuk satu sama lain: dia aja tuh dia, jangan gue, dia aja tuh. Para siswi aktif seperti Annisa Fitriani, Fauzia Virne Sheila, Dwi Riyanti Ihzan, dan Winda Maharini kesana-kemari mencari murid “pilihan Tuhan”.
Mereka gencar bertanya kepada semua murid M2M sambil membawa kertas. Kertas tersebut tentu saja untuk menulis nama-nama murid yang bersedia menjadi petugas upacara. Sementara gue, berpura-pura mendengarkan lagu di barisan paling belakang.
Dikarenakan gue diam terus di belakang kelas dan terkesan acuh tak acuh, Ranti menghampiri gue bersama penasihatnya, Diana.
“Jat?” tanya Ranti.
Gue manggut-manggut, masih berpura-pura mendengarkan lagu melalui earphone. Padahal, gue dengar Ranti memanggil gue.
“Ijat!” kata Ranti keras.
Gue pura-pura seperti orang kaget, “Hah?! Apaan?!”
Lalu, gue melepas earphone yang sedari tadi earpohone tersebut cuma buat pajangan/ pengalihan doang.
Ranti melihat kertas sebentar, lalu bertanya ke gue, “Jat, lu mau nggak jadi pembaca Undang-Undang Dasar?”
Gue diam, mengawang ke zaman SMP. Saat kelas 1 SMP, gue pernah menjadi petugas pembukaan Undang-Undang Dasar. Tapi, suara gue kecil. Jadinya, kayak anak kancil terkena ranjau.
Gue berkilah, “Duh … jangan gue Wi, suara gue nggak kenceng.”
Diana menimpali, “Kan, nanti latihan, Jat.”
“Nggak deh, jangan gue, jangan,” tolak gue, seperti aki-aki kehabisan cairan garam.
“Ya udah.” Ranti melengos pergi, mencari “mangsa” lain.
Gue bersyukur, “Selamet … gue nggak kepilih.”
Masih dari barisan paling belakang. Gue lihat Ine membujuk Fikra yang mempunyai suara keras untuk mau menjadi pemimpin upacara.
Ine merayu, “Fik, lu aja yah, yang jadi pemimpin upacara?”
Fikra menolak, “Nggak, jangan gue, siapa kek.”
“Ayo dong Fiiik, kali iniiii aja,” rayu Ine, lagi.
“Ah elah, jangan gue Neeee ….” Fikra keukeuh.
“Yang lain pada nggak mauuu, Fikraaa. Masa, nanti kelas kita nggak ada pemimpin upacaranyaaa,” kata Ine, dengan raut muka ingin dikasihani.
Fikra tetap bersikeras, “Ya … bodo, pokoknya jangan gue.”
Kali ini Ine mulai kesal, raut mukanya berubah seperti burung hantu islandia.
“Ya, udah! Kalau kelas kita gagal jadi petugas upacara, lo yang bakal disalahin!” ujar Ine, buas.
Percakapan Ine dan Fikra masih ada kelanjutannya dan masih sangat panjang. Mereka berdua terus beradu saraf dan tidak ada yang mau mengalah. Intinya, baik Fikra maupun Ine sama-sama ngotot. Namun, yang gue ingat cuma segitu.
Sementara di samping gue, Fikri, menunduk pusing. Matanya sayu kemerahan akibat kupingnya dijejali ocehan para siswa-siswi. Sementara gue kembali memasang earphone yang nggak ada lagunya. Berharap, pemilihan petugas upacara cepat selesai.
***
Seminggu kemudian, para murid dan para guru sudah rapi berbaris di lapangan. Kami (M2M) begitu excited menantikan kegiatan sakral tersebut. Karena baru pertama kali menjadi petugas upacara di sekolah SMK PKP 1. Kami gugup, panik, dan tegang.
Para murid yang menjadi petugas tunggal terlihat kakinya berjinjit, seperti sedang merasakan beser (mau pipis). Sementara murid yang bertugas menjadi paduan suara, amat santai sambil berjongkok di depan kelas. Kontras sekali perbedaannya, mana murid yang mau sungguh-sungguh berpartisipasi dan mana murid yang mau didiskualifikasi.
Lapangan semakin ramai, kami segera turun berbondong-bondong. Masing-masing murid menempati posisinya sesuai dengan tugas yang mereka tanggung. Gue menempati posisi “murid malas”, yakni barisan paling belakang pada kelompok paduan suara. Saking belakangnya, sepatu gue sampai terkena tanaman belukar.
Kini semua murid telah siap di posisinya. Namun, ada satu posisi kosong, yakni posisi pemimpin upacara. Seluruh peserta upacara bertanya-tanya dengan raut muka bingung: mana pemimpin upacara, nih?
Gue melihat ke barisan guru; Pak Ono (guru PKN) celingukan sambil melihat jam tangan. Kumis tebalnya nggak santai, seakan kumisnya mengejek seluruh murid. Di sampingnya, ada Pak Dangze (guru Agama) dengan rambut cepak ngeheknya sedang menatap genting sambil kedua tangannya dikebelakangkan. Sikap berdiri kayak Pak Dangze, sama seperti sikap berdiri menggendong tuyul. Di sampingnya lagi ada Bu Oyoy (guru Agama juga) mulutnya tidak berhenti berkomat-kamit mengucapkan istigfar. Tak jarang, Bu Oyoy tersenyum lebar ke arah murid yang sedang berdiri di depannya.
Pemimpin upacara tak kunjung datang, membuat para guru mulai mempertanyakan keseriusan kelas M2M. Murid lain juga mulai boring, mereka terlihat menggoyangkan badannya ke kiri dan kanan, menggesekkan sepatunya ke lapangan, dan mengecek handphone.
Kondisi di lapangan mulai gaduh seiring “tenggelamnya” pemimpin upacara. Gue mulai jongkok sambil main rumput karena pegal berdiri melulu. Ingin rasanya saat itu gue lompat ke kantin, lalu memesan sepiring nasi uduk. Sayangnya, di belakang ada satpam sedang memantau parkiran. Di samping gue, Alif Kurniasyah mulai menggaruk kepalanya. Entah, karena dia bosan atau memang nggak keramas. Pemimpin upacara, where are you?
Selagi gue mencongkel rumput di tanaman belukar, terdengar suara orang sedang berlari. Drap drap drap. Suara itu berasal dari lorong bank mini. Kontan, para guru menoleh ke belakang. Seluruh murid pun terdiam karena suara lari tersebut.
Ternyata, orang yang baru datang itu adalah … Pepsi Man (Fikra). Dia datang sambil cengar-cengir dan napasnya tersengal karena datang tergesa-gesa. Dia langsung menempati posisi di samping pengibar bendera, yakni pemimpin upacara.
Gue baru sadar, pemimpin upacara di hari Senin itu ternyata akan dipimpin oleh Pepsi Man. Untungnya, Fikra mengenakan seragam sekolah, dan bukan mengenakan spandex berwarna silver-biru layaknya Pepsi Man. Kami pun lega, karena pemimpin upacara telah hadir dan siap berkontribusi untuk kelas M2M. Maka, upacara hari Senin resmi dimulai.
Bila kelas M2M mendapatkan kesempatan untuk menjadi petugas upacara lagi, maka yang menjadi pemimpin upacara adalah Fikra si manusia semok. Bukan tanpa alasan, ia sangat pantas ‘tuk menjadi pemimpin upacara karena suaranya keras, badannya bagus bak kodim, dan memiliki keberanian.
Maka tidak heran, Fikra terus dipercaya untuk memegang posisi penting itu di samping murid lain seperti Wisnu Wicaksono dan Bagus Eka Putra.
***
Rahasia Fikra memiliki tubuh bagus bak superhero adalah karena dia sering mules, eh fitness. Gue dapati dia di foto profil Blackberry Messenger-nya sedang memfoto dirinya sendiri dengan latar belakang seperti di tempat fitness. Pantas saja badannya besar, ternyata dia sering nge-gym. Nggak beda jauh dengan gue yang sering nge-game. Cuma beda tipis.
Entah apa maksud dan tujuan Fikra sering nge-gym. Mungkin, dia ingin menjadi binaragawan seperti Ade Rai. Kemungkinan lain, dia ingin menjadi stuntman (pengganti aktor atau aktris dalam melakukan adegan berbahaya) yang andal. Mungkin jua, ia ingin terjun ke dunia dangdut seperti Agung Hercules.
Bisa juga, dia sering nge-gym karena ingin mengikuti audisi L-Men. Tak ada salahnya jikalau Fikra mencoba mengikuti audisi tersebut. Jika lolos, maka tubuhnya akan dipamerkan di hadapan banyak orang hanya dengan memakai celana dalam.
Jika meraih juara satu, dapat uang banyak, plus diraba sama model majalah dewasa. Jika menyabet juara dua, dapat uang sedikit, plus diraba sama model majalah Bobo. Jika mencapai juara tiga, dapat uang receh, plus diraba sama tante-tante. Jika tidak lolos, dapat sebungkus susu L-Men, plus diraba sama cabe-cabean di bawah umur.
***
Seperti yang telah diterangkan pada bab sebelumnya, bahwa saat mendekati kelulusan tiba kami membuat proyek film pendek berjudul Nekat. Film tersebut dibuat untuk perlombaan, hiburan, dan kenang-kenangan. Gue masih ingat bahwa penentuan judul film pendek itu dirundingkan di situs jejaring sosial, Facebook.
Seluruh kru (kami), diharuskan untuk mencetuskan idenya masing-masing di kolom komentar. Dulu, gue menyumbang nama “ambush” yang artinya: muncul secara tiba-tiba. Gue mengambil nama itu dari game Dynasty Warriors 5. Pada game tersebut jika kita memainkan salah satu karakter, pasti ada kata-kata ambush, dan seketika tentara musuh muncul di beberapa titik.
Setelah gue menyumbang nama tersebut, beberapa teman ada yang menyetujuinya, seperti Muhammad Ikhlasul Fikriansyah, Wisnu Wicaksono, Dhika Kamesywara, dan sebagainya. Namun, sang sutradara (Aby) merasa kata itu kurang sreg.
Maka, penentuan judul film dilanjutkan kembali. Karena proses berlangsung lama, gue logout dari Facebook. Setengah jam kemudian gue login kembali. Gue scrool kolom komentar dari atas sampai bawah, dan telah diputuskan bahwa “Nekat” menjadi judul film pendek karya anak-anak M2M. Horas, Bah!
***
Nama judul film sudah didapat dan disetujui oleh seluruh kru film. Maka tahapan selanjutnya ialah berlatih gerakan fighting (berantem). Pepsi Man (Fikra) memerankan sebagai pemeran utama pada film pendek tersebut. Tak salah pilih, Fikra amat pantas memerankan tokoh utama karena badannya bagus kayak superhero-nya Marvel: Captain America. Lebih pantas lagi, kalau dia mengenakan kostum spandex warna biru-silver kayak superhero-nya Pepsi: Pep–si Meeeennn.
Pulang sekolah tiba, kami berlatih adegan pemukulan. Kami berlatih di depan bank mini, di dalam kelas, dan pernah juga berlatih di samping gedung Taman Kanak-Kanak (TK) PKP.
Alur cerita film pendek Nekat kira-kira begini; manusia semok (Fikra) sedang berjalan seorang diri sambil membawa tas ransel, mirip seperti karyawan yang terkena PHK. Selagi berjalan, tasnya dijambret oleh pemuda nggak tahu diri (gue). Pemuda nggak tahu diri lari, melarikan tas ransel milik manusia semok. Manusia semok lantas mengejar pemuda nggak tahu diri itu.
Kemudian, ketemulah tas ranselnya berada di tengah “bangunan nggak kelar-kelar” (GOR). Sesaat mengecek tasnya, muncullah gerombolan penjahat ababil (teman lain). Gerombolan penjahat tersebut tidak lain tidak bukan adalah teman si pemuda nggak tahu diri (gue) yang melarikan tasnya.
Merasa terkepung, manusia semok berdiri lantang. Dengan begitu, gerombolan penjahat ababil menghajarnya satu per satu. Dirasa kurang puas, penjahat ababil mengeroyokinya secara biadab. Tapi tetap saja sesuai kaidah berkata bahwa: jagoan selalu menang.
Selagi dikeroyoki secara brutal, manusia semok habis kesabarannya dengan mengeluarkan tenaga dalamnya (cakra). Duar! Penjahat ababil pun terpelanting, tak ubahnya kapas yang beterbangan. Nah, barulah penjahat ababil mengeluarkan skill (kemampuan) individual. Semuanya bergantian menghajar manusia semok secara beringas. Tapi sebagai jagoan andal, manusia semok berhasil mengatasinya dengan teknik pukulan ciamiknya.
Semua penjahat ababil sudah pada telentang dan tengkurap. Namun, manusia semok jangan senang dahulu, karena masih ada satu lagi penjahat ababil, yakni Abyanara (Aby). Sebagai penjahat terkuat sekaligus sebagai pelatih adegan fighting, dengan songongnya Aby menantang manusia semok yang baru saja terkena musibah (di-PHK).
Mereka berdua berhadapan dengan gagahnya, percis Genji melawan Serizawa pada film Crows Zero 1. Tanpa membuang waktu lama, perkelahian pun dimulai. Mereka berkelahi one by one (satu lawan satu). Sedangkan penjahat ababil lain yang sedang tengkurap dan telentang; ada yang posisinya telah berubah menjadi selonjoran kayak di pantai, ada yang main kerikil, dan ada yang garuk-garuk selangkangan sembari memejamkan mata karena saking nikmatnya.
Perkelahian berlangsung seru, menarik, dan alot. Baik Fikra maupun Aby sama kuat (di film itu). Mereka pukul sana, pukul sini, tendang sana, tendang sini, menghindar, melompat, dan sebagainya. Disebabkan keduanya sama-sama ngotot (berdasarkan cerita), perkelahian pun berhenti sementara.
Mereka berdua menghela napas, akibat capek dari tadi berantem melulu tapi belum ada yang keluar sebagai pemenang. Kini, mereka berdua telah berjaga jarak dan saling berhadapan. Layaknya pertarungan Uzumaki Naruto vs Uchiha Sasuke, Uchiha Madara vs Senju Hashirama, dan Sabakuno Gaara vs Akasunano Sasori.
Kemudian, perkelahian dilanjutkan kembali. Mereka bernafsu ingin menuntaskan perkelahian tak berujung itu. Tap tap tap. Mereka berlari, lalu loncat berbarengan sambil mengepalkan tinju, maka pemenangnya adalah … tukang bajigur.
Ya, soalnya tukang bajigur berhasil memadukan minuman butek tapi rasanya enak. Bercanda. Kalau mau tahu siapa pemenangnya, kalian bisa tonton di Youtube. Ketik saja kata kunci “Nekat”, maka kalian akan tahu pemenang sebenarnya.
***
Selanjutnya, gue akan menilik proses pembuatan proyek film pendek tersebut. Dimulai dari latihan pukul-pukulan (berantem), kami latihan tepat di depan bank mini (kantornya Pak Najwa). Di situ, kami menempati posisi sesuai dengan rencana sebelumnya. Kami membentuk formasi melingkar, dengan Fikra berada di tengah-tengah. Tidak lupa, hidden camera dipasang oleh Aby untuk me-review hasil latihan sekaligus untuk hiburan.
Seperti biasa, kami latihan cukup serius disertai candaan, keisengan, dan guyonan dari seluruh kru film pendek tersebut. Gue masih ingat, pada latihan berantem, gue adalah satu-satunya kru yang memakai topi.
Action! Alfado sebagai kameraman men-shoot Fikra sekaligus memutarinya. Tepat di belakang Alfado, ada kami yang  membuntutinya. Hal ini bertujuan karena nantinya pada film tersebut kami (para penjahat) seakan-akan muncul secara tiba-tiba seiring berputarnya kamera.
Jadi, pada putaran pertama kamera memutari Fikra yang sedang mengecek tas (putaran pertama para penjahat belum muncul). Kemudian, pada putaran kedua barulah muncul penjahat satu per satu seiring Fikra berdiri.
Banyak kejadian lucu saat kami membuntuti kameraman (Alfado), di antaranya adalah; ada yang tersandung, ada yang terserempet, dan ada yang “anunya” tersenggol tangan teman lain. Pada tahapan tersebut, tidak henti-hentinya kami tertawa.
Setelah kami (para penjahat) melingkari Fikra, maka kami lantas mengeroyokinya secara edan sambil berteriak, “EEAKKK!” Buk buk buk! Tentu saja bohongan. Kalaupun benaran, Fikra tak akan mau menjadi tokoh utama.
Kami menggebuki manusia semok, sementara manusia semok hanya menangkis seadanya. Banyak pengulangan di latihan tersebut, disebabkan kami banyak bercanda dan tertawa terbahak-bahak. Latihan diulangi sekali lagi, rasa capai tidak terasa karena “ditutupi” dengan canda tawa. Adegan pengeroyokan terus diulangi demi mendekati hasil sempurna.
“RRAAHHH!” Suara teriakan kami begitu membahana ketika mengeroyok Fikra. Dikarenakan gue mulai bosan berpura-pura (menonjok), maka gue menggantinya dengan gerakan: joget-joget. Buk buk buk! Teman lain masih berpura-pura menonjok, sementara gue menyorongkan pantat ke arah Fikra diiringi hentakan pinggul.
Fikra? Dia nggak sadar dan malah ketawa-ketiwi karena banyak yang mengerubunginya. Setelah me-review gerakan barusan, Alfado bertanya, “Hahaha, lu ngapain nih, Jat?” Pengulangan selanjutnya semakin seru, bahkan teman lain gerakannya mulai pada aneh.
Ketika melakukan latihan tersebut, tidak jarang kami ada yang tak sengaja terpeleset dan terjatuh. Bagi kami, hal itu tentu saja suatu hiburan tersendiri karena ada sisi kekocakan dan kekonyolannya. Namun, di balik serunya latihan fighting, terdapat kejadian yang “tidak mengenakan”.
Gue terjatuh ke lantai. Bruk. Teman lain yang memerankan sebagai penjahat pun jatuh juga akibat pukulan dan tendangan Pepsi Man (Fikra). Bruk bruk bruk. Kami lantas tertawa karena ada suatu insiden kocak, “HAHAHA.”
Selagi kami tertawa geli, tiba-tiba ada aroma tidak sedap menusuk hidung kami. Aroma itu baunya sungguh busuk sekali, seperti (maaf) tahi cicak diulek sama tahi kotok. Maka hasilnya akan bau seperti yang kami cium dulu.
Kontan, kami terdiam selama tiga detik sambil membaui aroma busuk itu. Setelah menyadari bahwa bau tidak sedap itu bukan dari comberan dan bukan dari topi gue, maka fix bau “semena-mena” itu adalah bau kentut dari salah satu orang di antara kami.
“ANJIR! SIAPA NIH YANG KENTUT?!” tanya Fikra, sambil menutup hidung.
“GOBLOK NIH, YANG KENTUT!” timpal Alfado, sambil menjinjing kamera.
“BAU BANGET, GILA!” tambah Wisnu, sembari menutup hidungnya dengan kerah seragam. Matanya meleleh akibat bau “beracun” itu.
Kami berlarian luntang-lantung kesana-kemari menyelamatkan diri kami sendiri. Kami berusaha menjauhi tempat itu sejauh mungkin sampai adanya udara segar menghampiri hidung kami yang mulai terkena racun sianida akibat bau “sialan”.
Bau busuk lumayan lama hinggap di tempat itu. Seakan-akan, bau “keterlaluan” itu berputar statis di depan bank mini. Hampir semua kru film (kami) kehabisan napas. Untungnya, Allah masih berbaik hati menyelamatkan paru-paru kami yang hampir kekeringan akibat bau “menyengat” itu.
Setelah bau tidak sedap itu menghilang, kami kembali ke tempat semula. Tidak lupa kami menutup hidung menggunakan kerah seragam, sambil tangan kami mengayun-ayun supaya bau busuk itu cepat lenyap dan tidak kembali lagi di hadapan hidung kami.
Dirasa situasi kembali normal, kami bertanya kepada kami sendiri, “Eh, siapa sih yang kentut? Bau banget!” Namun anehnya, di antara kami tidak ada yang mengaku. Jelas bukan gue. Kalaupun gue yang kentut, gue akan berterus terang di blog/ artikel ini.
Menurut gue pribadi, ada dua calon tersangka yang terindikasi mengeluarkan kentut beraroma “tidak manusiawi” tersebut, yakni Arfil Maulana dan Dhika Kamesywara. Mengapa demikian? Karena pasca “insiden mengerikan” itu, kedua teman gue ini berlagak biasa-biasa saja.
Arfil terlihat kalem, dan Dhika terlihat cengar-cengir. Namun, itu hanyalah sebatas opini belaka. Simpulannya, peristiwa “tidak mengenakan” tersebut, masih menjadi misteri sampai sekarang.
***
Selanjutnya, kami latihan di ruang kelas. Sebelum latihan dimulai, kami mengatur kursi dan meja agak ke belakang. Tujuannya ialah supaya adanya ruang bagi kami untuk melakukan adegan fighting. Intinya, agar kami lebih leluasa dalam pukul memukul.
Tidak lupa, kamera pocket Canon biru punya Aby dipasang di atas tempat Al-Quran dengan mode dua kali lebih cepat. Dengan mode tersebut, maka nanti hasil videonya akan lebih cepat daripada aslinya.
Kalau orang lain (peneliti/ ilmuwan) memakai mode tersebut adalah untuk meneliti mekarnya bunga atau meneliti perpindahan awan. Sedangkan kami bertujuan memasang kamera dengan mode itu adalah untuk behind the scene (BTS) dan iseng semata.
Setelah kursi dan meja tertata rapi, kami melihat hasil video kami sendiri. Kami pun tertawa berbarengan karena hasil videonya amat kocak. Kelas sudah agak lega, maka kami segera memulai latihan. Sebelum latihan dimulai, tidak ketinggalan kamera pocket Canon punya Aby dipasang di tempat sebelumnya, yakni di atas tempat Al-Quran. Lalu handycam punya gue pun dipasang di dekat lemari “rusak”.
Sesudah kamera dan handycam stand by, kami memulai latihan dengan penuh semangat. “CIIAAT!” kami berteriak sambil melompat, menendang, dan memukul. Pepsi Man (Fikra) melawan sembari menangkis serangan brutal dari penjahat ababil.
Penjahat ababil berpura-pura terjatuh, terpelanting, dan teraniaya dengan ekspresi muka kesakitan. Kameraman (Alfado)? Dia asyik sendiri merekam kami yang bergelimpangan akibat aksi heroik Pepsi Man. Latihan berantem terus diulangi, sampai kami benar-benar terlihat natural (alami).
Ada saja kejadian lucu yang membuat kami mesti mengulangi adegan tersebut, seperti telat masuk, telat menempati posisi, dan bahkan malah mengikuti kameraman yang sedang mengitari Fikra. Berapapun pengulangannya, kami menikmati proses latihan dengan penuh kegembiraan, kekompakan, dan kekeluargaan.
“HIIAAT! EUU!” Gue teriak amat keras sambil memukul Pepsi Man, tapi gue keburu ditendangnya lalu jatuh sambil merasakan sakit teramat sangat di bagian ulu hati (bohongan). Gue nyengir senyengir-nyengirnya, percis aki-aki over dosis akibat kebanyakan menelan obat serbuk Bintang Toedjoe. Teman lain pun sama, mereka berjatuhan dan kesakitan. Latihan sementara berhenti karena ada kesalahan oleh teman lain.
Gue masih selonjoran di bawah papan tulis dengan topi merah yang dikebelangkan. Gue memandang teman-teman satu per satu, mereka sibuk dengan perannya masing-masing. Bule wong Solo (Dhika) sedang menggaruk kakinya, mungkin celananya belum diganti selama dua minggu. Lalu di samping kiri, ada juru kamera (Alfado) sedang me-review video latihan barusan. Kemudian di samping kanan, ada sapu ijuk buluk yang sedari tadi menclok di ujung kelas.
GEDEBUG! Tiba-tiba sobat gue (Fikri) jatuh gara-gara … sapuk ijuk buluk. Refleks, kami tertawa secara biadab.
“GYAHAHAHA!” Fikra tertawa sungguh enak sekali.
“AWHOAHAHA!” Gue tertawa sejadi-jadinya, karena gue melihat langsung Fikri terpeleset oleh sapu ijuk, yang harusnya sapu ijuk itu sudah ada di tong sampah.
“GRRAHAHAHA!” teman lain juga tertawa di batas kewajaran. Fikri? Dia sok cool dan berusaha memasang mimik muka tenang.
Fikra bertanya pada Fikri, “Ahahahah, Fik, lu ngapa Fik? Ahahahah.”
Fikra masih tertawa sembari memegang perutnya yang terasa sakit (ketawa melulu) karena insiden tidak sengaja Fikri barusan. Tak lama, latihan diulangi kembali. Berharap, insiden tadi tidak terulangi lagi.
***
Di depan bank mini sudah, di kelas pun sudah, kini kami latihan di samping TK. Tak jauh berbeda dengan tempat-tempat sebelumnya, di tempat ini kami juga latihan cukup serius diselingi guyonan yang cukup lucu.
Buat gue, nggak enaknya latihan di samping TK adalah lantainya (pijakan) kasar. Hal itu dikarenakan kondisi lantai belum diberi ubin/ keramik dan masih berupa semen kering. Hal tersebut tentu membuat gue ekstra hati-hati, agar jika sedang berpura-pura jatuh atau lari, kaki atau tangan gue tidak terkena bagian tajam dari lantai itu.
Pukul-pukulan, tendang-tendangan, lompat-lompatan, dan teriak-teriakan membuat gue kehabisan energi dan menjadi … lapar. Gue periksa kantin, ternyata di sana sudah sepi. Hanya ada beberapa bangku kosong yang telah ditalikan pada meja.
Teman lain sedang pemanasan, yang bertujuan agar tidak ada yang keseleo atau kecengklak saat proses latihan. Gue duduk di meja butut, diam sebentar, bengong kurang lebih satu menit, kemudian gue periksa isi tas. Berharap ada nasi padang hangat (tapi itu nggak mungkin). Gue mengambil tempat makan (misting) punya gue. Lalu gue buka perlahan, terdapatlah sisa ikan mas bekas makan siang.
Ikan mas tersebut kondisinya sudah tidak utuh, tidak segar, dan tidak menimbulkan selera bagi siapapun yang melihatnya. Pada bagian sisi kiri ikan mas, dagingnya sudah terkelopek bekas comotan gue siang tadi. Sementara pada bagian sisi kanan ikan mas, dagingnya masih utuh.
Gue bolak-balik badan ikan mas tersebut, kemudian gue ketuk, lalu gue pegang pada bagian daging. Tak dianya, ikan mas bekas makan siang telah berlendir, itu tandanya: basi. Seketika gue mual dan mau muntah, ditambah di samping ikan mas masih banyak nasi sisa makan gue.
Biasanya, setiap gue membawa bekal ikan jenis apapun ke sekolah, nggak pernah basi. Ada indikasi, nyokap terlalu cepat mengangkat ikan tersebut ketika digoreng. So, ikan mas itu masih basah dan belum benar-benar matang.
Gue bingung mau diapakan ikan mas itu; Kalau gue makan paksa, tentu saja gue akan muntah-muntah saat itu juga, dan teman-teman akan menyangka bahwa gue masuk angin. Kalau gue kasihkan ke teman-teman, mereka pasti menolak secara tegas, dan mereka akan menyangka bahwa gue ingin meracuni mereka.
Gue berpikir sambil membuka insang ikan basi itu, dan gue semakin mual. Selagi gue menimang-nimang, Wisnu menghampiri gue.
“Wiiih … apaan tuh Ja–“ tanyanya, terputus.
Mungkin ketika dilihat dari jarak jauh, ikan mas tersebut masih segar. Namun ketika didekati, Wisnu baru sadar bahwa kondisi ikan mas itu sudah … menyerupai bangkai ikan zombie.
“Hm? Ini Nu, ikan mas. Lu, mau?” ucap gue, sambil menawarkan ikan basi tersebut kepadanya.
Wisnu diam, melototi misting punya gue, lalu bertanya,“Ha? A–ah, nggak Jat. Lagian itu kayak udah basi gitu ya, Jat?”
Gue diam sebentar, mau jawab jujur atau bohong. Tapi, dikarenakan takutnya nanti Wisnu akan kejang-kejang pasca makan ikan mas tersebut, gue memilih menjawab jujur.
“Iya, emang udah agak-agak basi gitu, Nu,” jawab gue, jujur.
“Yaaah … sayang banget tuh, Jat,” ucapnya, merasa seperti kecewa.
Gue yakin, sebenarnya si Wisnu kelaparan. Tapi, karena dia masih sayang sama nyawanya dan masa depannya masih panjang, maka dia urungkan untuk memakan ikan mas basi itu.
Sedangkan, kalau gue menjawab bohong kepadanya, maka gue akan bilang, “Oh … nggak kok, Nu, masih seger kok, dagingnya masih empuk. Gue aja barusan makan, nih lu coba aja.” Begitu. Ikan mas habis, Wisnu juga “habis”.
Kemudian, teman lain datang menghampiri gue dan Wisnu yang sedang menatap ikan mas basi itu. Saat melihat ikan mas basi, pertanyaan mereka juga sama dengan pertanyaan Wisnu yakni bertanya, “Itu apaan, Jat?”
Sebenarnya, mereka sudah tahu bahwa yang mereka lihat adalah ikan. Namun, karena mereka pun lapar, maka mereka berbasa-basi dengan mengeluarkan pertanyaan retorik (pertanyaan yang tidak perlu dijawab). Dikarenakan mereka bertanya, maka gue jawab, “Ini? Ikan mas.” Amat tidak mungkin jika jawaban gue adalah ikan hiu atau ikan duyung.
Bingung harus dikemanakan ikan basi itu, akhirnya gue meletakkan ikan basi di lantai, tepatnya di pinggir teras TK. Gue letakkan ikan basi itu secara perlahan, berharap ada kucing yang datang akan bau anyir dari ikan basi.
Setelah diletakkan di lantai, gue amati ikan basi itu beberapa saat. Sesaat diamati, ternyata ikan basi tersebut cukup besar dan dagingnya masih banyak. Sangat disayangkan, daging ikan mas itu harus dibuang secara cuma-cuma. Tadinya, gue mau berteriak begini sambil menatap langit, “Kenapa kamu harus basi ikaaan? Aku lapar! Dagingmu masih banyak! Kenapah?! Kenapaaaaah?!” Lalu, suara petir menggelegar diiringi datangnya hujan. Dramatisir.
Pasca gue meletakkan ikan basi tersebut, beberapa teman ada yang sedikit terkejut mengenai tindakan gue itu.
“Lho, Jat. Kok ikannya lu taro di lantai, Jat? tanya Natigor.
Gue menolehnya, lalu menjawab, “Iya, Gor. Ikannya udah basi.”
Natigor memandang ikan basi penuh haru. Sepertinya, dia juga menyayangkan bahwa ikan mas besar itu harus dibuang secara cuma-cuma. Kemudian, Natigor melengos untuk bersiap latihan.
Kali ini, giliran imigran gelap (Dhika) yang mendatangi gue sambil bertanya perihal ikan basi tersebut.
“Jat! Kok lu taro di sana sih, Jat?” tanyanya heran.
Gue jawab, “Ini udah basi, Le.”
Dhika diam, matanya memandang sayu ke ikan basi. Mungkin Dhika berharap, dia bisa menjelma menjadi kucing garong supaya bisa makan ikan basi itu.
“Kalo lu mau, ya makan aja,” tawar gue, padanya.
“Gak lah, Jaaat …,” katanya, sambil nge-dance ala robot gedek.
Selanjutnya giliran teman seranjang, eh sebangkunya, yakni Gifari menanyakan akan hal ikan basi itu.
“Ngapa lu buang, Jat?” tanyanya.
Gue menengoknya, lalu menjawab, “Udah basi, Ri.”
Gifari menatap lekat ikan basi itu dengan penuh rasa kecewa. Mungkin Gifari berandai, agar dia bisa kebal dari sakit perut supaya dapat memakan ikan basi itu.
“Yah … sayang banget, Jat,” ucapnya, kecewa.
Gue nggak balas, sibuk mempercantik ikan basi itu di lantai. Layaknya Chef Juna jika sedang mempercantik hidangan di kitchen.
Tak lama berselang, seekor kucing datang menghampiri ikan mas basi itu. Kucing itu mengendap-endap dari balik hijaunya tanaman. Dengan sorot mata binal, kucing itu melangkah anggun mendekati rezekinya (ikan). Sambil mengeluarkan lidah, kucing tersebut mengeong manja, “Meyong~ meyong~ ong~” Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kucing itu berkata, “Kakak~ Ikannya buat aku~ Ya, Kak~”
Ketika ikan basi sudah berada di hadapannya, kucing itu mengendus (memeriksa) perlahan. Kucing itu mengecek, apakah ikan tersebut benar-benar ikan atau hanya tipuan, misal: luarnya ikan tapi di dalamnya tahu cibuntu. Setelah tiga endusan, akhirnya kucing itu bersedia menyantap ikan basi tersebut dengan lahap. Hap hap hap.
Pada akhirnya, ikan mas bekas makan siang gue nggak mubazir, karena ada manfaatnya: buat kucing. Sembari jongkok, gue tatap lekat kucing “beruntung” itu. Sepertinya, kucing itu belum sarapan dari tadi pagi. Indikasi tersebut terlihat dari cara dia menggigit, mengunyah, dan menelan ikan basi.
Saat menyantap bagian daging ikan basi, lidah kucing itu menyapu sela-sela bibirnya, yang menandakan bahwa ikan basi: masih enak, lezat, dan nikmat. Seandainya manusia yang menyantap ikan basi tersebut, mungkin juga lidahnya akan menyapu sela-sela bibir. Namun, bukan karena nikmat atau lezat, tapi karena efek keracunan.
Sekitar delapan menit kemudian, kucing kelaparan itu berhenti memakan ikan basi. Sambil membuka rahangnya lebar-lebar, kucing itu melengos pergi. Sepertinya, dia (kucing) ingin berkunjung ke rumah mertuanya di Kelapa Dua Wetan. Makanya, kucing itu menyantap ikan besar agar tenaga dan staminanya terisi kembali untuk perjalanan jauh selanjutnya. Seiring kucing itu pergi, ajakan dari teman-teman bahwa latihan akan segera dimulai, terdengar.
“Ris! Ayo, Ris,” ajak teman-teman. “Jat! Ayo, Jat. Buru Jat.”
Maka, gue segera mendatangi teman-teman sekaligus meninggalkan kerangka (duri) ikan basi. Semoga, kucing itu nggak ambruk di tengah jalan, karena ikan yang disantapnya barusan, adalah ikan basi. Meyong~
***
Sudah berhari-hari kami jatuh bangun (latihan berantem), akhirnya diputuskan jua bahwa esok hari, film Nekat akan di sekitar bangunan terbengkalai. Masih jernih di benak gue, saat shooting proyek film pendek tersebut, gue mengenakan kaos oblong warna putih dipadu dengan celana jeans “perempuan”. Kenapa dinamakan jeans perempuan? Karena di bagian kantong depan jeans, terdapat hiasan berupa bintang. Jadinya, penampilan gue dulu tak ubahnya cewek tomboy.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pada scene pertama menampilkan tokoh utama (Fikra) dijambret oleh pemuda tidak tahu diri (gue). Pengambilan gambar dilakukan dengan teknik ELS (Extreme Long Shot). Extreme Long Shot adalah: teknik kamera atau video yang menyajikan bidang pandangan luas. Intinya, kamera mengambil keseluruhan pemandangan. Objek utama dan objek lainnya nampak sangat kecil dalam hubungannya dengan latar belakang.
Saat scene awal, gue berlari ngebut sambil membawa kabur tas milik manusia semok (Fikra). Sementara di belakang gue, manusia semok mengejar dengan nafsu tinggi. “Cut!” perintah sutradara, Aby.
Lantas kami berhenti sementara, kemudian menghampiri kameraman (Alfado) untuk melihat hasil video. Setelah di-replay, baik gue maupun Fikra terlihat amat kecil. Ditambah, waktu itu suasana di sekitar sekolah amat sepi, akibatnya adegan kejar-kejaran begitu hening.
Jadi, hasil video dari adegan pertama bukan seperti orang mengejar orang, tapi seperti kumbang tanduk (Fikra) mengejar seekor ngengat (gue). Jika orang yang berpandangan negatif menonton aksi kejar-kejaran antara gue dan Fikra, maka mereka akan mudah menebak bahwa film pendek tersebut menceritakan: lika-liku manusia homo.
Scene berikutnya, yaitu shooting pengepungan terhadap Pepsi Man (Fikra) oleh para penjahat ababil (gue dan teman lain) di gedung terbengkalai. Proses shooting berlangsung seru dan juga lucu. Kala itu cuaca sedang tidak bersahabat, yakni hujan ringan.
Entah mengapa jika kami (khususnya gue) berada di gedung “yang nggak jadi-jadi”, pasti sedang turun hujan. Contohnya adalah ketika shooting Foxone Movie, hujan rintik-rintik. Pun, ketika shooting film pendek Nekat, hujan ringan. Terakhir, ketika gue merekam bangunan terbengkalai itu seorang diri, hujan gemericik. Tapi, itu semua bukan faktor apa-apa. Gue yakin hal tersebut cuma kebetulan dan tidak ada sangkut-pautnya dengan dunia takhayul.
Shooting pada bagian ini menerapkan sistem one take. One artinya satu, take artinya ambil/ pengambilan, berarti satu pengambilan. Jadi, one take adalah (menurut gue) dimana beberapa adegan atau tahapan hanya dalam satu kali pengucapan “action”. Sebab itulah, kami latihan fighting terlebih dahulu. Apabila kami tidak latihan terlebih dahulu, ada kemungkinan para pemain “lupa di tengah jalan”.
Bagi gue, sistem ini lumayan menantang. Karena jika terjadi suatu kekeliruan, maka tidak adanya pengulangan dari adegan yang salahnya saja, namun otomatis harus diulang dari awal.
Sore mendung itu, kilat tak henti-hentinya memancarkan cahaya di langit kelabu. Dikarenakan hujan, Alfado menutup kameranya dan juga dirinya dengan kain semacam kain terpal. Sementara para pemain ada yang terkena hujan, ada juga yang nyempal-nyempil bersama Alfado.
“Action!” shooting dimulai. Kameraman memutari Fikra, tidak ketinggalan di belakangnya para penjahat ababil juga ikut berputar sambil cekikikan. Jika dianalogikan akan lucu sekali; Murid lain sudah di rumah, mereka sudah mandi sore, makan, istirahat, dan sebagainya. Sementara kami, malah berputar-putar di tengah bangunan “sunyi” sembari cekikikan dan kehujanan. Demi film besutan kami (M2M), kami rela kehujanan, dan kami bangga.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa para penjahat ababil mengeroyoki Pepsi Man (Fikra) secara tidak manusiawi. Selagi dikeroyok, Pepsi Man mengeluarkan tenaga dalamnya sehingga para penjahat ababil terhempas kesana-kemari.
Kemudian, penjahat ababil satu per satu menantang Pepsi Man untuk berduel. Tetap saja, jagoan selalu menang, dan akan terus menang. Maka, penjahat ababil berhasil ditaklukkan oleh Pepsi Man. Namun, ada satu penjahat ababil yang masih tetap bertahan dan merupakan penjahat ababil terkuat, yakni Aby. Akhirnya, mereka berdua bertarung layaknya pria jantan pada umumnya.
Siapakah pemenangnya? Abykah? Fikrakah? Atau tukang tutut? Makanya tonton di Youtube. Bom!
***
Kelas tiga atau kelas akhir selalu diidentikkan dengan kelulusan, dan kelulusan pastilah harus ditempuh melalui Ujian Nasional. Oleh karena itu, para guru SMK PKP 1 was-was dengan para peserta didiknya. Khususnya, peserta didik tingkat akhir.
Para guru terlihat gimbreung (repot) akan nasib para murid kelas tiga. Tapi, siswa dan siswi kelas tiganya malah santai-santai saja. Para guru mengidamkan adanya perubahan, baik perubahan secara tingkah laku maupun perubahan aktivitas belajar di sekolah dan di rumah.
Dari sisi tingkah laku misalnya: asalnya malas menjadi rajin, asalnya lambat menjadi cekatan, asalnya suka melawan guru menjadi menuruti perintah guru, dan sebagainya.
Dari sisi aktivitas belajar misalnya: asalnya mengerjakan PR di sekolah menjadi mengerjakan PR di rumah (namanya juga Pekerjaan Rumah), asalnya tidak pernah mencatat menjadi giat menulis, asalnya tidak pernah bawa buku pelajaran menjadi bawa buku pelajaran, dan sebagainya.
Mereka (para guru) mengharapkan itu semua agar seluruh murid kelas tiga dapat lulus. Akan sangat nelangsa jika salah satu murid ada yang tidak berhasil melewati “tahapan akhir” itu.
Jua, hal tersebut berdampak buruk bagi status akreditasi sekolah.  Awalnya berakreditasi A, menjadi  (C pangkat dua). Nggak lucu, kan? Masa iya, status akreditasi sekolah kayak judul kaset PS hanya karena satu siswa yang tidak lulus. Dengan demikian, para guru tidak pernah merasa bosan untuk mendidik sekaligus menasihati murid kelas tiga. Salah satu guru yang dimaksud adalah Bu Eno (guru Mata Pelajaran Matematika).
Saat itu (gue lupa entah pas pelajaran Matematika atau Pendalaman Materi) kami sedang diajar oleh Bu Eno. Bu Eno menerangkan ilmu yang telah dikuasainya kepada kami dengan jelas di depan kelas. Kami menyimak penerangan dan penjelasannya dengan penuh penghayatan sembari manggut-manggut. Panggutan itu bisa berarti mengerti, atau bisa juga terkantuk-kantuk karena saking nggak mudeng. Gue termasuk yang tengahnya, antara mengerti dan ngantuk, tapi lebih banyak ngantuknya.
Setelah menerangkan beberapa rumus, kami diperintah untuk mengerjakan soal yang terdapat di buku cetak. Kemudian, kami menuntaskan soal tersebut. Sementara Bu Eno duduk di kursi kerajaan (kursi guru yang tinggi) menunggu kami menyelesaikan titahnya. Sedangkan gue menunggu Fikri (teman sebangku) mengerjakan soal sambil berpura-pura sibuk menulis.
Mungkin karena bosan Bu Eno duduk melulu kayak burung kasuari, maka dia beranjak dari kursi kerajaan untuk mengecek anak didiknya. Bu Eno memantau kami satu per satu. Dia berpindah, dari meja ke meja lain. Matanya menatap nanar dengan raut muka penuh curiga.
Tidak jarang, ia membantu kami menyelesaikan soal sekaligus memberi saran dan motivasi. Dengan sabar, Bu Eno keliling kelas menolong kami mengerjakan soal yang dianggap rumit. Melihat sikap keibuannya, gue lantas berimajinasi bahwa kami tak ubahnya anak burung yang belum bisa “terbang”, yang hanya bisa “cuap-cuap”, masih butuh disuapi, dan perlu belajar banyak agar dapat “terbang” dengan baik seperti induk burung (Bu Eno).
Bu Eno masih berkeliling sambil memberi wejangan. Tak lama, ia mendekati meja gue dan Fikri. Kemudian, ia melihat hasil kerjaan kami yang masih belum selesai. Sorot matanya memandang tajam ke arah buku tulis. Ia mengambil paksa pulpen yang dipegang gue, lalu memberi arahan kepada gue dan Fikri.
“Nah … ini begini, bukan begini … Faris,” sarannya.
“Ouh …,” respons gue.
“Kemudian, setelah mengetahui hasilnya, kamu kalikan lagi ke sini …,” bimbingnya.
Gue memasang muka serius.
Fikri memasang muka terlalu serius.
“Sehabis itu, maka kamu akan mengetahui hasilnya. Mengerti, Faris?” tanyanya.
Gue berpikir sebentar, lalu menjawab, “Ngerti, Bu.”
Bu Eno melengos ke meja lain. Belum lima detik Bu Eno pergi, gue sudah lupa lagi akan kata-katanya.
“Fik, jadi gimana, Fik?” tanya gue ke Fikri.
“Apanya?” tanya Fikri.
“Ini, habis dari sini, digimanain?” tanya gue perihal soal Matematika.
“Bentar, Ris,” tunda Fikri, dia sibuk menghitung soal.
Dikarenakan sebagian murid belum selesai mengerjakan soal, maka Bu Eno kembali ke singgasananya (meja guru). Dengan setia, ia menunggu kami yang lelet sambil mengetuk-ngetukkan spidol.
Sekitar lima belas menit kemudian, Bu Eno kembali turun dari kursi kebesarannya. Lalu, ia melakukan kewajibannya: mengecek hasil pengerjaan kami. Bu Eno memeriksa dari ujung meja kiri depan (mejanya Almira dan Winda) sampai ujung meja kanan belakang (mejanya Alfado dan Arfil).
Bu Eno memeriksa dari barisan paling kiri terlebih dahulu. Dia melihat secara detail ke buku tulis masing-masing siswa. Dia mengecek dari meja depan sampai tengah tidak ada masalah. Namun, ketika sampai di meja Fikra, dia berhenti, lalu menatap heran ke arah buku tulis Fikra.
“Fik, kamu salah nih Fik …,” kata Bu Eno.
“Hah? Salah?” tanya Fikra sambil memeloti penyelesaian soal itu.
“Sini, kamu tuh gimana sih …,” kata Bu Eno sambil menyambar pulpen yang di tangan Fikra.
Bu Eno memang selalu seperti itu, pas ngomong “sini tangannya” pasti ia langsung menyambar pulpen yang dipegang siswa.
Bu Eno menerangkan penyelesaian soal secara rinci kepada Fikra. Fikra mendengarkan arahannya dengan saksama.
“Nah, terus hasilnya berapa, coba …?” tanya Bu Eno ke Fikra.
Fikra menghitung, matanya menatap langit-langit kelas, dan mulutnya komat-kamit.
Bu Eno tidak sabar, lantas dia ngomong, “Ayo berapa, Fik? Lama banget sih kamu Fik, Ya Allah ….”
“Ben–tar, Buu,” kata Fikra meminta sedikit kelonggaran waktu.
Bu Eno hanya memutar bola matanya, yang berarti: please, dech.
Tujuh detik kemudian, Fikra menjawab dengan pede, dan hasilnya … salah.
Bu Eno menggelengkan kepala sambil berdecak, lalu berkata, “Ya salah dong, Fik ….”
“Kok, masih salah sih, Bu?” tanya Fikra, heran.
“Ya nggak tahu, kan kamu yang ngerjain. Ibu hanya sekadar meriksa doang,” ucap Bu Eno.
Fikra menghitung lagi dengan lebih teliti. Sementara Bu Eno menunggu tepat di samping mejanya. Sembari menunggu Fikra mengerjakan soal, Bu Eno terus melancarkan wejangannya kepada Fikra dan juga seluruh murid M2M.
“Yang lain juga, kerjakan lagi ayo,” perintah Bu Eno.
Kemudian, Fikra sudah menyelesaikan soal, lalu berkata, “Udah, Bu.”
“Udah, Fikra?” tanya Bu Eno.
“Iya, Bu.”
Bu Eno mengecek hasil kerjaan Fikra, mata bundarnya membaca jawaban Fikra. Kemudian, dia menaruh kembali buku tulis Fikra ke mejanya.
“Kerjakan lagi Fik, kamu masih salah, nih,” perintah Bu Eno.
“Apa, Bu? Salah?!” Fikra tak habis pikir, untuk yang kesekian kalinya dia masih salah juga.
Sementara Bu Eno menggelengkan kepalanya lagi sambil menutup muka dengan telapak tangan. Mungkin, Bu Eno lelah.
Dulu, kami sangat susah diatur. Namun, sebagai guru teladan, Bu Eno tidak penah bosan mencurahkan daya dan upayanya kepada kami semua.
Sekali lagi, Bu Eno membimbing Fikra. Sembari menolong Fikra menyelesaikan soal, Bu Eno juga memberi nasihat kepadanya. Dari beberapa nasihat yang dilontarkan oleh Bu Eno, ada satu perkataan yang sampai sekarang masih gue ingat … dan akan selalu gue ingat.
“Fikra, kamu itu udah kelas tiga, Nak … masa kamu mau kayak gini terus. Kamu harus berubah dong, Nak …,” nasehat Bu Eno, pada Fikra.
Fikra tertegun.
Gue pun tertegun di kursi belakang.
Kelas mendadak hening.
Ya benar, kata-kata itu. Kalimat “kamu harus berubah” begitu jelas terdengar oleh telinga gue, mungkin juga oleh teman lain. Sesaat mendengar kalimat tersebut, darah di tubuh gue berdesir, pundak bergetar, dan merasa merinding karena ucapannya.
Perkataan yang dikeluarkan oleh Bu Eno kepada Fikra maknanya sungguh “dalam”. Perkataan tersebut seperti sebuah suntikan atau stimulus kepada semua murid M2M. Perkataan yang amat berharga dari relung sanubari guru Matematika. Perkataan yang membuat kami menjadi lebih semangat belajar. Perkataan yang membuat kami yakin, bahwa kami akan lulus. Perkataan yang akan selalu diingat sampai kapan pun jua. Terima Kasih, Ibu …
Bu Eno diam, Fikra diam, dan teman lain pun diam. Hanya ada suara angin yang menyeruak ke sela-sela jendela kelas. Tak ingin larut ke dalam suasana melankolis, Bu Eno kembali ke kursi digdayanya untuk menerangkan soal di depan kelas. Fikra masih diam menunduk, menatap pekerjaannya yang belum selesai. Teman lain tak berbeda jauh dengannya. Sedangkan gue bersikap seperti biasa: mematung tanpa arti.
Dikarenakan gue nggak mau kalah sama teman lain, maka gue berinisiatif mengerjakan soal tanpa bantuan Fikri. Gue cepat menulis rumus yang tertera pada buku cetak, lalu menghitungnya. Perkataan Bu Eno gue jadikan moodbooster (semangat terbarukan) buat diri gue sendiri.
Sret sret sret. Akhirnya, gue berhasil mengerjakan soal dengan tanpa campur tangan Fikri. Setelah mendengarkan pengajaran Bu Eno di papan tulis, ternyata jawaban gue … salah. Demikian, gue lantas melihat jawaban yang benar, yakni jawaban Fikri. Ujung-ujungnya, gue tetap menyontek ke Fikri. Tapi setidaknya, gue sudah mau mencoba mengerjakan soal tersebut berkat nasehat Ibu Eno.
***
Entah karena nasehat Bu Eno atau memang kemauan dari dirinya sendiri, Fikra terlihat lebih semangat dalam belajar. Semangat belajar Fikra mulai tercium sejak diadakannya Pendalaman Materi. Dia begitu antusias saat guru menerangkan suatu pelajaran di depan kelas. Sesekali dia bertanya kepada teman lain mengenai hal yang belum diketahui atau dimengerti.
Sorot matanya berbeda saat kelas satu dan kelas tiga. Sorot matanya ketika kelas satu terkesan: beler, belekan, dan kelabu. Ketika menginjak kelas tiga, sorot matanya terkesan: jernih, berbinar, dan bercahaya. Sepertinya, Fikra mengakui bahwa di kelas tiga dia mesti ada perubahan.
Klimaksnya, yakni pada saat mempelajari pelajaran Matematika di Pendalaman Materi. Tumben-tumbennya Fikra meminta ‘tuk diperiksa hasil pengerjaannya oleh Bu Eno.
Fikra meminta dicek hasil jawabannya, “Bu, kayak gini, Bu?”
“Mana, Fik?” tanya Bu Eno sembari menghampirinya.
Bu Eno memeriksa hasilnya, dan ternyata hampir benar.
“Dikit lagi, Fik. Itunya udah bener, tinggal kamu bagi,” saran Bu Eno.
Fikra tekun memperbaiki jawaban yang salah.
Gue yang melihatnya, menjadi ikut terangsang dan lebih bersemangat.
Bu Eno sibuk kesana-kemari, karena para murid meminta, bahkan memaksa untuk dicek hasil jawabannya. “Bu ini gimana Bu? Hasilnya begini bukan Bu? Ini bener apa salah Bu? Bu saya bener kan, Bu? Bu lihat punya saya Bu, Bu ke sini dong Bu,” pinta murid-murid M2M.
Tak jarang, beberapa murid ada yang sampai beranjak dari tempat duduknya hanya untuk mengetahui: benar apa salah. Untungnya, dari sekian banyak permintaan yang terucap, tidak ada yang seperti ini, “Bu udah mandi belum, Bu?”
Mendapat banyak permintaan dan paksaan, membuat Bu Eno menjadi bingung. Kemudian ia berteriak sambil menutup telinga serta matanya mendelik ke atas ala member JKT48, “Haduuuh … ibu pusiiing, satu-satu ya … satu-satu.”
Hampir semua penyelesaian soal matematika siswa diperiksa oleh Bu Eno. Sedangkan gue seperti biasa: berpura-pura masih menulis soal. Barulah ketika jawaban teman lain sudah dibenarkan oleh Bu Eno, maka gue melihat (baca: menyontek) jawaban tersebut.
Alhasil, ketika Bu Eno memeriksa lembar jawaban gue, dia akan bilang, “Ya! Benar, Faris.” Dengan demikian, gue akan mengacungkan jempol tinggi-tinggi dibarengi menyeringai lebar. Kelicikan adalah pangkal kecerdikan.
***
Waktu terus bergulir mendekati Ujian Nasional. Semangat belajar Fikra pun semakin berkobar. Dia semakin getol dalam mempelajari setiap pelajaran, terutama pelajaran Matematika.
“Bu, ini bener nggak?” tanya Fikra.
Bu Eno menghampiri mejanya, “Mana, Fikra?”
Kemudian, Bu Eno memeriksa hasil penyelesaian Fikra, dan akhirnya … benar!
“Ya! Benar Fikra,” kata Bu Eno.
Fikra senang tak terkira, “YES!”
Raut mukanya menggambarkan perasaan puas, karena Fikra telah berhasil menyelesaikan soal matematika dengan kemampuannya sendiri. Penantian panjang itu pun, dapat dicapainya jua.
***
Terkadang, ada saatnya Fikra mengalami kesukaran dalam menerima pelajaran. Hal tersebut gue ketahui ketika gue dan teman lain sedang berjalan menuju kantin SMA PKP. Masih jelas di ingatan, kala itu Fikra memasukkan tangan ke saku celananya. Gaya berjalannya pun bak seorang Yakuza. Plus, gaya berpakaiannya yang ketat seperti Panji Milenium. Dengan model rambut jambul ombaknya, dia mirip coverboy tabloid Bintang (tabloid favorit emak-emak).
Gue lihat Fikra garuk-garuk kepala, mukanya kusut, matanya merem sebelah akibat silau dari sinar matahari. Karena ingin mengetahui apa yang terjadi, gue bertanya padanya, “Ngapa, lu Fik?”
Fikra menoleh, lalu bilang, “Hm? Puyeng gua soal matematika yang tadi.”
“Yang mana?” tanya gue, sok bisa.
“Itu yang nomor empat. Lu bisa, Jat?” tanyanya, berharap gue bisa.
Gue diam sebentar, lalu merespons, “Oh … yang itu.”
“Iya, bisa lu, Jat?”
“Kagak.”
“Ebuseh.” Fikra menyesal kenapa harus bertanya pada gue.
Maka, di pagi yang cerah itu, kami melanjutkan perjalanan ke kantin SMA sembari membuat lelucon lucu.
Tak jarang, ketika Fikra mengalami kesukaran dalam mengerjakan beberapa soal, dia menengok ke arah belakang sambil berpikir. Dia menatap mulai dari Faiz-Aby, Andika-Alif, dan terakhir gue-Fikri. Tatapan matanya tertuju pada keenam temannya tersebut. Mulutnya bergumam, jarinya menghitung, dan matanya kosong karena saking seriusnya Fikra belajar.
Saat Fikra menengok ke belakang, terkadang gue menaikkan satu alis padanya yang berarti: oy, Fik. Tapi, Fikra malah tidak merespons. Sepertinya, tujuan dia menengok ke belakang adalah untuk mencari inspirasi.
Sesekali gue terpergok olehnya sedang memeperkan upil ke kerah baju seragam Pae (Andika Hermawan). Kontan, Fikra tertawa menyaksikan kejahilan (kejahatan) gue. Ketika Fikra sedang mencari “ilham”, acap kali dia memandang lekat gue dan Fikri.
Gue yang merasa dilihat olehnya lantas memasang tampang blo’on: mata melotot, mulut tersenyum dower, dan alis ngangkat secara hidrolik. Tinggal memegang pisau dapur, maka gue tak ubahnya boneka pembunuh berantai. Fikra yang menyadari tingkah konyol gue berkata, “Ape, lu Jat?! Hehe ….”
Pengakuan Fikra di Facebook
Bonus. Akunya, dulu Fikra mempunyai lima mantan di sekolah. Gue nggak tahu siapa nama-nama mantannya, paling juga teteh kantin. Just kidding.
***
Gue kurang tahu saat ini Fikra melanjutkan kuliah atau kerja. Namun yang pasti, dia masih suka nge-gym.

Catatan:
1.      Mohon maaf bila ada yang tersinggung.
2.      Mohon maaf bila dialog tidak sesuai aslinya, karena cerita di atas sudah 3-4-5 tahun lalu.
3.      Nama guru sengaja disamarkan.
4.      Tunggu update selanjutnya, hanya di tintakahyangan.blogspot.com.

Komentar

  1. ini si fikra 1 tempat gini, bayar berapa dia hahaha.. yang lainnya ris ditunggu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. wahahaha, yoi baru sempet si fikra doang, nanti deh gue lanjutin lagi by. thank yoo :D

      Hapus
  2. Silakan Kunjungi Artikel Hasil Bola

    Hasil Pertandingan Argentina vs Kolombia 16 Juni 2019
    Hasil Pertandingan Paraguay vs Qatar 17 Juni 2019
    Hasil Pertandingan Uruguay vs Ecuador 17 Juni 2019

    Dan dapat Hubungi Kontak Kami +62-8122-222-995

    BalasHapus

Posting Komentar

Ditunggu komentarnya...