My Story: Tidak Ada Alasan Untuk Tidak Bahagia



Seminggu kemudian pasca peristiwa yang mengharukan itu (baca: surat undangan), gue beserta keluarga diajak bertamasya oleh Mang Toto ke tempat pemandian air panas Sariater. Yap, Mang Toto adalah paman dari keluarga Nyokap gue. Sudah pada tahu lah ya, kenapa gue menyebutnya nggak Paman Toto atau Uncle Toto? Hahaha. Yes, we are Sundanese.
Mendapat ajakan ke Sariater, kita sekeluarga langsung menjawab: ya, ikut. Terlebih, kita nggak harus mengeluarkan ongkos untuk ke sana. Karena, kita menggunakan mobil pribadi dan tinggal duduk manis sembari ngemil camilan. Sejak pagi buta, kita sudah mempersiapkan segala keperluan. Padahal, keperluan yang kita siapkan hanyalah handuk, baju salin, celana salin, dan celana dalam salin. Hahaha.
Nyokap dan Ajeng (adik gue), terlihat sibuk kesana-kemari mencari perlengkapan untuk dibawa ke Sariater. Sementara gue, masih tidur-tiduran di kamar sambil main handphone. Dikarenakan gue yang terlihat bermalas-malasan di pojokan tempat tidur, Ajeng pun menegur gue dengan bahasanya yang frontal.
“Eh, Bahlul! Mau ikut, gak?” tanya adik gue, si Ajeng sembari membuka lemari.
Gue yang kaget dengan pertanyaan frontalnya itu hanya menjawab singkat, “Hem.”
Ajeng menimpali lebih sarkasme, “Tidur, weh! Hudang atuh!”
Gue lalu membalasnya sambil menggeliat, “Hoooeeemmzzz….”
Dia pun keluar kamar dengan raut muka manyun.
Tak lama berselang, Nyokap memanggil gue bahwa air hangat sudah siap di kamar mandi. Betul sekali pembacaku yang budiman, terkadang gue mandi pagi masih pakai air hangat. Hahaha. Selesai mandi, gue mencari baju yang mau dipakai. Kebetulan, ada salah satu baju warna hitam dengan leher v-neck bertuliskan westpak merah. Gue pilih baju tersebut karena terlihat casual apabila dipadukan dengan celana jeans.
Selesai berpakaian, gue malah kembali tidur-tiduran di tempat ternyaman sedunia: kamar. Gue guling-guling mencari posisi yang nikmat. Kemudian, gue mengambil handphone yang terletak di atas tempat tidur. Gue buka aplikasi Line, kali saja ada pesan berhadiah yang berisikan bahwa gue mendapatkan seribu seterika Maspion. Tapi, kayaknya itu nggak mungkin. Hahaha.
Saat membuka aplikasi tersebut, muncul pesan dari saudagar, eh saudara gue yang bernama Haditsa yang isi pesannya tersebut, “Vroh, udah siap?”
Lantas gue membalas dengan mengetik pesan, “Udah vrooh.”
Padahal, gue masih tidur-tiduran sambil memakai sarung. Hahaha.
Tapi gue ada benarnya juga, gue memang sudah siap. Hanya saja tinggal memakai celana panjang, selesai deh. Lelaki itu nggak ribet. Lain halnya dengan Nyokap dan Ajeng yang masih bolak-balik dari teras ke dapur, dan dari dapur ke teras. Setelah semua selesai, maka kita siap berangkat ke rumah Mang Toto yang terletak di Gedong Lima.
***
Mungkin kalian pada heran, kenapa sih kok namanya Gedong Lima? Kenapa nggak Gedong Sate atau Gedong Putih? Hahaha. Jadi begini, berdasarkan informasi yang gue himpun, saik lah. Gedong Lima adalah lima rumah yang telah lama berdiri sejak zaman penjajahan Belanda. Nggak kebayang kan, lima rumah itu berarti sudah kolot banget.
Tapi yang membuat gue takjub, rumah-rumah tersebut masih kokoh berdiri. Konon katanya, bahan bangunan pada saat itu memang bagus. Lalu, rumah khas Belanda itu nggak seperti rumah kebanyakan. Rumah Gedong Lima dalamnya lega dan tergolong cukup luas. Pintu masuk dan pintu kamarnya pun, terbilang tinggi untuk orang Indonesia. Wedeh, itu tandanya rumah tersebut bisa dikategorikan sebagai saksi hidup atau sejarah di masa lalu. Duh, jangan ngomong masa lalu deh ya, nanti galau. Hahaha.
Nah, paman gue yakni Mang Toto menempati salah satu lima rumah bergaya Belanda itu. Juga, Mang Toto termasuk yang menempati salah satu rumah yang cukup luas. Terus, kenapa kok paman gue bisa menempati rumah berarsitektur Belanda itu? Iya, karena dia salah satu pegawai PN. Kertas Padalarang yang bisa dibilang senior (sudah lama) di perusahaan tersebut. Jua, lima rumah Gedong Lima itu adalah aset PN. Kertas Padalarang. Jadi, rumah lega itu adalah rumah dinas.
***
Oke, maka kita segera berangkat tanpa Bokap. Exactly, Bokap nggak ikut karena dia masih di Jakarta. Ckrek. Pintu gerbang telah dikunci dan kita naik motor bertiga. Ingat lho ya, jangan samakan kita dengan remaja-remaja labil yang suka muncul saat sore tiba. Hahaha. Sepanjang perjalanan, gue kembali mengingat denah lokasi itu. Ya, denah lokasi yang doi posting di Facebook beberapa minggu lalu. Itulah mengapa gue mau ikut ke Sariater, hanya karena gue mau bergembira sejenak.
***
Ketika sampai di rumah Gedong Lima, kita disambut oleh Mang Toto dan keluarga. Kirain, kita telat dan membuat mereka menunggu. Eh nggak tahunya, keluarga Mang Toto ternyata belum benar-benar siap. Karena, bekal makanan yang harus dibawa cukup banyak. Memang, tradisi kita dari dulu selalu membawa makanan/ bekal dari rumah jika ingin bepergian. Tentu saja, kalau kata orang Sunda mah ngabotram, yakni makan bersama dengan sanak famili baik di dalam ruangan maupun di alam terbuka.
Setelah semua siap, kami pun berangkat menaiki mobil Suzuki Carry Futura. Bisa dibilang, mobil tersebut cukup melegenda di Indonesia. Juga, mobil jenis itu adalah rival dari mobil Expass pada waktu dulu. Sejenak gue melihat mobil tersebut, pikiran gue langsung kembali ke waktu kecil. Dahulu, kalau ada mobil Carry atau Expass yang parkir saja, gue pasti terkesima. Apalagi sama mobil Expass yang bagian depannya bagol dan moncong ke depan. Terlebih, gue memang suka mengamati dashboard mobil kala itu. Kalau sekarang, gue lebih suka mengamati cewek-cewek.
Baik, semua sudah masuk ke dalam mobil. Mang Toto selaku empunya mobil menjadi supir, di sebelahnya ada Haditsa yang memakai kacamata hitam bersiap belajar teknik-teknik menyetir dari ayahnya. Kemudian di bagian tengah ada bibi gue yakni Bi Tintin, adiknya Haditsa yaitu Salma, dan Ajeng. Terakhir di jok paling belakang ada gue sendiri dan Nyokap, plus ban serep yang lagi tiduran.
“Bismillah….” Doa Bi Tintin pasca mobil mulai meninggalkan halaman rumah.
Nyokap pun berdoa sambil matanya merem melek agak disayu-sayukan.
Sebelum memulai perjalanan jauh, mobil harus diisi bensin terlebih dahulu agar prima di segala medan. Untuk itu, kami berbelok ke pom bensin Kotabaru Parahyangan. Waktu itu udara masih segar, sehingga suasana di pom bensin pun bisa dibilang cukup lengang. Bensin telah terisi penuh, maka mobil kembali ke jalan yang benar, eh ke jalan raya. Karena masih pagi, gue tutup rapat kaca mobil yang sedari tadi menerpa mata gue sampai kering.
Kondisi di dalam mobil
Saking halusnya mobil berjalan, lantas gue menaikkan kedua kaki ke atas jok. Kalau kata orang-orang: santai seperti di pantai. Gue yang biasanya naik motor dan harus ngegas, ngerem, dan lihat kaca spion pun kini tinggal duduk manis. Saking pewenya gue duduk, gue sampai cengar-cengir bak orang dusun.
Tak lama, Bi Tintin menoleh ke belakang dan berkata, “A Faris duduknya nyantai banget.”
Gue bereaksi malu-malu karena takutnya nggak sopan. Tapi sebelum gue menurunkan kaki, Bi Tintin berkata, “Udah nggak apa-apa A Faris, sok aja bebas.”
Semakin lama, kondisi di dalam mobil semakin ramai akan obrolan para sanak famili gue itu. Tema yang diobrolkan bebas dan bermacam-macam. Ibaratnya, tema obrolan mereka itu dari A ke G, dari kuliner ke konflik peperangan, dan dari tanaman ke furniture. Pokoknya, loncatan obrolannya itu sungguh jauh sekali. Hahaha. Karena puyeng akan topik yang mereka bahas, gue pun lebih memilih mendengarkan lagu melalui earphone. Sehingga, suasana seperti di video klip artis mancanegara.
Mobil mulai memasuki tol, lalu terlihatlah sebidang lapangan Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) Cimahi. Lapangan tersebut cukup luas dan bagus. Gue nggak terlalu tahu lapangan itu milik Unjani atau milik TNI. Karena, Unjani sendiri terletak di kawasan TNI. Ngemeng-ngemeng, tadinya gue mau masuk Unjani sebelum akhirnya gue masuk Universitas Pasundan (Unpas). Karena, Unjani lebih dekat dari rumah gue yang berada di Padalarang. Akan tetapi, Program Studi Ilmu Komunikasi Unjani akreditasinya masih B, maka gue beralih ke Unpas. Namun nggak enaknya, Kampus Unpas bisa dibilang cukup jauh sehingga boros bensin dan gue sepertinya bakal tua di jalan. Eh maap kok jadi curhat begini.
Dengan terlihatnya lapangan luas itu, orang-orang seisi mobil pun langsung nyamber membicarakan lapangan tersebut.
“Tuh Wa, lapangan Unjani.” Kata Bi Tintin ke Nyokap.
Nyokap menimpali, “Oh itu Bi, oh….”
“Iya Wa, tuh…kalau weekend mah suka ramai di situ teh.” Balas Bi Tintin.
“Oh gitu, Bi? Oh…ck ck ck.” Timpal Nyokap sambil menggemercikkan mulutnya (khas emak-emak).
Bi Tintin berucap, “Iya Wa, kalau weekend mah kan suka jualan di situ. Reseup deh, Wa,” Bi Tintin menambahi, “Suka ada artis di situ teh, Wa. Kadang-kadang mah ada Sule.”
Nyokap yang seakan nggak percaya berucap, “Sule?! Sule yang di OVJ, Bi?!”
“Iyah, malah kadang ada artis anu.” Kata Bi Tintin.
Gue lupa nama artis yang dibilang Bi Tintin itu, karena begitu banyaknya artis yang hadir pada event yang diadakan di tempat tersebut. Gue dapat membayangkan, betapa riweuh nan gimbreung acara tersebut jika sedang berlangsung.
***
Beberapa menit berlalu, akhirnya kita tiba di Tempat Pemandian Air Panas Sariater. Saat mobil mendekati tempat pengambilan karcis, pikiran gue kembali ke zaman waktu SMP. Betul, ketika SMP dulu gue pernah tamasya ke Sariater bareng teman-teman dan juga doi. Setelah mengambil karcis dan membayar di loket pembayaran, Mang Toto mencari lokasi parkir yang strategis. Petugas parkir memberitahu bahwasanya di parkiran atas masih ada tempat kosong. Tapi setelah dilihat lebih lanjut, parkiran atas itu hanya diparkiri oleh bis saja.
Pelang Sariater
Sontak, Mang Toto lebih memilih memarkirkan mobilnya di parkiran bawah. Terlebih, jalan menuju ke parkiran atas dipenuhi oleh batu dan kerikil yang membuat ban mobil menjadi selip. Akan tetapi, petugas parkir keukeuh bahwa kita harus parkir di parkiran atas. Baiklah, mau tidak mau kita mematuhi instruksi petugas parkir tersebut karena dia lebih paham seluk-beluk di parkiran itu.
Rem tangan telah ditarik, kita pun turun. Setelah turun dari mobil, yang pertama kali gue lakukan adalah berkaca ke kaca mobil. Hal itu gue lakukan karena barang kali muka gue agak gantengan atau malah agak lecek. Lalu hal kedua yang gue lakukan adalah merapikan rambut, dan yang terakhir adalah mengecek bulu hidung supaya nggak ada upil atau bulu hidung yang keluar.
Sesudah melakukan tradisi jahiliyah di atas, gue melihat ke sekeliling. Gue takjub, karena suasana di Sariater nggak jauh berbeda ketika waktu gue SMP dulu. Gue melihat begitu banyak bus besar parkir di sana. Tidak ketinggalan para supir bus dan kenek yang sedang beristirahat atau sedang mengecek mesin bus masing-masing. Juga, ada banyak penumpang yang berada di dalam bus sambil makan bacang dan sejenisnya. Serta banyak penumpang bus yang masih di luar hanya untuk ngadem atau ngenyoh gorengan.
Di sana, terdapat banyak warung atau emperan yang menjual berbagai suvenir dan masakan. Hal itu wajar, karena di setiap tempat wisata selalu ada yang menjual cinderamata. Melalui cara itulah, warga di sekitar objek wisata dapat mendapat rezeki dan dapat bertahan hidup. Emperan yang terdapat di Sariater tempatnya begitu panjang. Emperan-emperan itu berjejer di sepanjang parkiran atas. Jika gue waktu itu membawa uang banyak, maka dapat dipastikan gue lebih memilih belanja suvenir daripada berendam diri di air panas.
Tak dianya, ternyata dari sekian banyak warung, ada satu warung yang di depannya ada bale atau tempat duduk yang terbuat dari bambu. Gue ingat, warung itu adalah warung yang pernah gue tongkrongi bersama teman-teman SMP. Kalau nggak salah, gue dan teman-teman beli Pop Mie di warung itu. Tapi, bukan warungnya yang bikin gue baper, melainkan bale yang berada tepat di depan warung tersebut.
Ya, bale itu pernah diduduki oleh doi dan teman-teman satu gangnya. Pikiran gue masih jernih, doi duduk manis dengan rambutnya yang agak keriting mengembang. Nggak ketinggalan, curi-curi pandang antara gue dan doi pun sempat terjadi beberapa menit. Doi yang lagi ketawa-tawa bersama teman-temannya, sesekali melihat ke arah gue. Begitu juga dengan gue yang seperti doi tingkahkan. Duh, betapa masih bolonnya kita berdua saat itu.
Lamunan gue terusirkan oleh panggilan Nyokap dan yang lain. Nyokap memanggil gue dengan cara melambaikan tangan sambil memegang sapu tangan putih. Gue pikir lebih lanjut, panggilan Nyokap ke gue itu seperti lambaian perpisahan orang-orang zaman dahulu. Iya, lihat saja film Titanic yang ditinggal sanak familinya ke Amerika. Mereka yang nggak ikut pergi dadah-dadah sambil melambaikan sapu tangan putih ke orang-orang yang berada di atas kapal Titanic.
Dengan berjalan santai, gue menghampiri mereka. Setelah mengeluarkan segala macam keperluan dari mobil, kita merencanakan untuk membeli tiket. Para orangtua yaitu Nyokap, Bi Tintin, dan Mang Toto berunding. Sementara para wong cilik yaitu gue, Haditsa, Salma, dan Ajeng asyik ngobrol sesuai dengan era kita yang kekinian. Berhubung setengah perjalanan gue menahan kencing, maka gue meminta izin ke Nyokap untuk ke toilet.
“Bu, Faris mau ke toilet.” Kata gue ke Nyokap yang lagi asyik berunding.
“Iya, ati-ati. Eh tapi toiletnya mana nggak kelihatan. Apa mau dianter?” Nyokap balik tanya.
“Gak, gak usah.” Jawab gue, gusar.
“Iya udah, nanti balik lagi ke sini.” Perintahnya.
Ya, begitulah Nyokap gue. Gue mau ke toilet saja ada kata-kata: ati-ati dan mau dianter. Nyokap memang tipikal orangtua protektif kepada anak-anaknya, termasuk ke gue yang mulai dewasa ini (ceilah). Dengan agak kesal gue berjalan menelusuri kerikil-kerikil putih yang berserakan. Gue menengok kesana-kemari, yang ada malah toko suvenir. Gue kembali menuruni jalanan berkerikil itu.
Sesudah sampai di bawah, terpampanglah tulisan toilet di samping kiri. Toilet itu letaknya agak tersembunyi, tapi di dalamnya cukup baik daripada toilet-toilet di tempat wisata lainnya. Sambil berdakwah di blog ini: tidak lupa gue memasukkan selembaran dua ribu rupiah ke dalam kotak kencleng. Uang itu tentu saja untuk memakmurkan toilet tersebut supaya bersih, wangi, dan nggak bau pesing. Jadi buat kalian para pembaca blog gue ini, jangan lupa ya guys kalau kalian ada uang lebih, hendaknya disedekahkan ke jalan yang benar. Barang kali uang yang kalian sedekahkan dapat menjadi amal jariah. Amin.
Selesai buang air kecil, gue kembali ke atas. Tapi ternyata, semua sanak famili telah lenyap ditelan kerikil yang berserakan (dramatisir).
“Lah, pada ke mana nih orang-orang?” tanya gue dalam hati, bingung. “Tadi bukannya ada di samping mobil?”
Sambil celingukan tanpa arti, gue mencari-cari mereka. Gue periksa melalui kaca mobil, nggak ada. Gue periksa di warung terdekat, barang kali mereka sedang ngenyoh, nggak ada juga. Karena puyeng dan cuaca sedikit agak terik, gue garuk-garuk kepala lalu turun garuk-garuk pantat. Sesaat menggaruk pantat, terdengar suara lengkingan Nyokap memanggil. Oh ternyata, Nyokap dan lainnya telah di bawah. Kalau kata orang Sunda mah, pasilingsingan.
Gue pun terpaksa turun menghampiri Nyokap. Meskipun gue kayaknya lebih senang kalau nggak ditemukan. Karena, gue bisa jalan-jalan sambil tebar pesona ke para pengunjung wanita.
“Ih kirain teh, A Faris ke mana. Dicari-cari juga dari tadi….” Seloroh Bi Tintin.
Gue hanya tertawa malu.
Nyokap pun nggak tinggal diam, “Iya, kirain kamu teh di mana. Udah di atas aja.”
Gue nyengir puas.
***
Seperti biasa, kita berkumpul dahulu sebelum membeli tiket masuk. Waktu itu, Nyokap lagi nggak punya duit alias lagi bokek. Jadi, jikalau nggak salah Nyokap nggak memberi sumbangan tiket masuk kepada Mang Toto cs. Yoyoy, kita bertiga cuma numpang tamasya doang. Hahaha, licik ya.
Saking niat nggak niat gue pergi, gue hanya membawa tas selempang kecil yang hanya berisikan handphone, celana dalam, dan dompet. Sedangkan baju salin gue taruh di tas Nyokap. Sementara sanak famili lain begitu repot. Haditsa saudara gue, menggendong tas ransel yang menggembung. Gue taksir, tas yang dia gendong lumayan berat. Salma adiknya, pun sama membawa tas ransel. Sedangkan Ajeng, cuma bawa nama alias nggak bawa apa-apa.
Haditsa dengan tas ranselnya, Nyokap memasang ekspresi nggak punya duit, dan Ajeng memasang wajah barongsai
Setelah berunding cukup alot, akhirnya kita mendekati loket. Di sana, banyak orang berkerumun yang formasinya hampir sama dengan kita yakni membuat lingkaran. Disinyalir, mereka juga sedang berunding menyiapkan uang untuk tiket masuk. Sekaligus, berencana untuk mengelabui petugas loket dengan mengatakan yang akan masuk ke Sariater cuma dua orang, padahal yang masuk dua puluh orang.
Mang Toto sebagai pemimpin regu, eh kok jadi kayak Pramuka begini. Maaf. Mang Toto selaku kepala keluarga bertindak sebagai pembeli tiket. Dengan celana bahan yang dinaikkan sebetis dan juga sandal jepit, membuatnya terlihat seperti anak buah kelompok Santoso (teroris buron yang sudah tertangkap). Mang Toto yang super santai itu masuk ke dalam kerumunan orang-orang yang membeli tiket. Dilihat lebih lanjut, gayanya itu mirip Serizawa ketika sedang ngaso.
Haditsa dan Salma tertawa geli melihat tingkah laku bapaknya tersebut. Bahkan, mereka berkata ke gue bahwa bapaknya tak ubahnya teroris.
“Ai si Ayah mah, gitu. Mirip teroris.” Celetuk Haditsa, tepat di samping gue.
Gue cekikikan.
Salma menimpali, “He’eh si Ayah mah, kayak teroris gitu. Ahehehe…ahehe….”
Gue tertawa semakin girang, karena memang lucu sekali.
Karena sedikit lama Mang Toto memesan tiket. Maka gue mencoba menghampiri ke kerumunan antrian loket. Gue berdiri di sana agak lama, melihat orang sekitar. Sesekali gue menghampiri loket karena siapa tahu petugasnya ada yang cantik. Tapi sayangnya, petugas loket tersebut berwajah biasa saja dan mulai menua. Oleh karena itu, gue kembali ke tempat semula tanpa adanya rasa penasaran.
***
Sesudah tiket didapat, kami melanjutkan perjalanan ke pintu masuk Sariater. Di sana, terdapat paling besi yang berputar. Jikalau palang besi itu kita dorong lebih kuat, maka paling besi bagian belakang akan membentur tulang punggung. Betul, coba saja kalian praktikkan jikalau berwisata ke suatu tempat. Dijamin deh, pinggang berasa dipukul pentungan satpam. Hahaha.
Sehabis melewati palang besi yang berputar tersebut, kita kembali jalan. Kita berjalan menurun, menelusuri jalan setapak. Pada samping kanan jalan terdapat pohon-pohon rindang yang membuat hati gue begitu bahagia. Selain pohon, terdapat beberapa kolam ikan dan patung-patung. Ada patung ikan, patung kodok, dan patung angsa. Sayangnya, di sana nggak ada patung manekin.
Selama menapaki jalan setapak itu pula, gue, Haditsa, Salma, dan Ajeng berbagi candaan. Begitu juga dengan para orangtua yang asyik berseloroh di bagian depan. Selagi berjalan, terdapat saluran air berbentuk seperti comberan. Tapi, saluran air tersebut berisi air bening. Ternyata setelah gue amati lebih lanjut, saluran air itu dilintasi oleh para ikan. Kalau di kehidupan manusia, saluran air itu laksana jalan tol. Pokoknya, di hari itu gue merasa seperti liburan di Jepang.
Di tengah jalan, kita sedikit tersasar. Mang Toto selaku ketua rombongan sempat kebingungan akibat anak jalan yang berkelok. Kita bahkan sampai balik arah, karena lokasi yang dituju nggak ketemu juga. Berhubung gue adalah satu-satunya orang yang pernah ke Sariater, maka gue pun diminta untuk menjadi petunjuk jalan (guide).
“A Faris pernah ke sini dulu?” tanya Bi Tintin.
“Iya Bi, pernah.” Jawab gue sambil menenteng keresek berat yang isinya nggak tahu apaan.
“Ai ini teh, ka mana deuinya? Tanya Mang Toto, sedikit bingung.
“Coba A Faris, tahu nggak? Jadi petunjuk jalan. Da Mang Toto dan Bi Tintin mah, belum pernah ke sini.” Ucap Bi Tintin.
Karena gue juga sudah lupa, maka gue pun menjawab apa adanya, “Hehe iya, Bi. Tapi udah lupa sekarang mah”.
Nyokap menambahi, “Wah itu mah, udah lama, Bi. Waktu SMP.”
“Kirain teh masih inget, A Faris.” Kata Bi Tintin.
Gue diam, karena kalaupun gue menjadi petunjuk jalan nantinya malah makin tersasar dan kembali ke pintu masuk tadi.
***
Sekitar 10 menit kita mencari tempat berendam yang klop, akhirnya kita berhasil menemukan tempat yang dimaksud. Tempat pemandian air panas itu kolamnya seperti kolam renang; yakni air yang kebiruan, terdapat banyak pengunjung, dan ada kantin serta toko oleh-oleh. Gue sempat agak ragu, apakah kolam tersebut berair panas atau berair dingin. Karena waktu SMP dulu, gue nggak ke tempat yang satu ini. Melainkan gue, teman-teman, dan para guru hanya berendam di air terjun bebatuan yang telah terbukti di sana berair panas.
Ilustrasi kolam air panas
Baiklah, no problem. Kita menunggu Mang Toto yang sedang memesan tiket masuk. Gue pantau kondisi di dalam kolam tersebut, dan ternyata memang ramai. Gue sempat sedikit mager. Karena di bayangan gue, kita berendam di kolam yang tempatnya sepi, sunyi, dan tenang. Sehingga, gue bisa menenangkan pikiran dan badan gue di kala itu.
Sembari menunggu, gue melihat ke sekeliling objek tersebut. Gue menilai tempat itu bagus, kayak resort-resort mewah di Tiongkok. Pikir gue, mengapa harus ke luar negeri kalau di negeri sendiri pun ternyata banyak objek wisata yang eksotis. Pepohonan yang rindang diiringi cuitan burung yang bersahutan kesana-kemari, membuat suasana hati gue rileks nan bahagia. Sungguh, gue merasa seperti nggak berada di dunia.
Sesekali gue menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya lewat pantat, eh lewat mulut. Hal itu gue lakukan untuk meregangkan otot-otot saraf gue yang terkena “tusukan cinta”. Selagi gue melakukan senam kecil, terdengar pekikan bocah dari arah belakang. Pekikan tersebut berhasil membuat kuping gue iritasi dan serta-merta gue menoleh ke belakang. Benar saja, di sana terdapat dua bocah laki-laki sedang bermain air di kolam seret.
Kedua bocah laki-laki tersebut terlihat amat asyik menciprat-cipratkan air kolam ke tubuh mereka masing-masing. By the way, kolam seret itu bukanlah kolam ikan atau kolam penyu, melainkan kolam untuk berendam air panas. Of course, kolam itu sama seperti tempat-tempat berendam air panas lainnya. Hanya saja, di tengah kolam tersebut terdapat patung ikan atau patung globe. Gue lupa-lupa ingat, yang pasti kedua bocah itu begitu riang gembira di dalamnya. Untungnya, kita nggak berendam di kolam seret tersebut. Lagian, kolam itu sepertinya memang belum siap pakai dan sedang tahap pemugaran.
***
Nggak lama, gue dipanggil oleh Mang Toto bahwa kita sudah boleh masuk. Satu per satu kita masuk dengan pemeriksaan terlebih dahulu oleh petugas keamanan. Kemudian, kita pun telah berada di tempat pemandian air panas yang bisa dibilang cukup privat. Seperti yang gue kemukakan tadi, bahwa di dalamnya hampir mirip dengan tempat kolam renang.
Tempat privat itu dibagi tiga kolam besar. Pada samping kolam terdapat bangku yang terbuat dari batu/ semen dan di depannya ada tempat duduk-duduk serta payung besar. Kemudian, tepat di belakang bangku semen adalah tempat untuk membersihkan diri bagi para pengunjung. So, ada beberapa shower di dalamnya tapi tanpa sabun batangan atau sabun cair.
Lantas, kita langsung menuju meja bundar yang kebetulan lagi kosong dan menaruh barang bawaan di atasnya. Anggota keluarga lain sigap melepas baju mereka, sementara gue masih berleha-leha di bangku batu karena sedari tadi tangan gue menenteng keresek besar. Selagi ngaso, Haditsa meminta gue untuk mengeluarkan handphone punya gue. Dia berencana mengajak seluruh sanak famili untuk melakukan wefie (selfie beramai-ramai). Haditsa mengeluarkan tongsis (tongkat narsis) warna putih dari tas Salma. Lalu, memberikannya kepada gue untuk diminta setting ke handphone gue.
Gue menerimanya dengan tangan terbuka, karena kalau dengan tangan tertutup nggak bakal bisa dipegang, kecuali Doraemon.
Haditsa bilang, “A Faris, coba di-setting dulu di hp A Faris.”
“Oke, Bro.” Kata gue sembari nyengir, karena sebelumnya gue sama sekali belum pernah menggunakan tongsis.
Dulu gue beranggapan bahwa tongsis adalah kependekan dari tongkat sista, yakni tongkatnya para kaum hawa. Namun setelah gue diberi tahu oleh Bagus, teman akrab gue, tongsis adalah kepanjangan dari tongkat narsis. Oke, dengan begitu gue dapat dikatakan gaptek alias gagap teknologi.
Setelah tongsis tersebut dipasang pada handphone, gue membuka pengaturan di kamera. Gue otak-atik hampir selama lima menit, tapi tongsis itu nggak nyetel juga. Haditsa yang kini telah telanjang dada menghampiri, lalu duduk di samping gue.
“Gimana, A Faris? Bisa, nggak?” Tanyanya.
“Nggak euy, Bro. Kenapa, ya?” Gue balik tanya.
“Coba A Faris, buka di pengaturan.” Perintahnya.
Sambil memicingkan mata, gue membuka menu pengaturan. Berharap tongsis putih itu dapat beroperasi di handphone Lenovo punya gue. Gue coba dari menu atas sampai menu terbawah. Tapi, nggak bisa juga. Dikarenakan nggak membuahkan hasil, Haditsa meminta gue untuk mengunduh aplikasi Camera 360 (aplikasi kamera para alay).
“Coba, A Faris unduh 360 aja.” Pintanya sambil mengotak-atik handphone gue. “Ada kuotanya, gak?”
Gue sedikit tertegun, karena tiga hari sebelumnya aplikasi alayers tersebut sudah gue uninstall.
“360? Emang bisa, gitu?” Tanya gue yang nggak niat mengunduh aplikasi itu.
Haditsa menjawab, “Biasanya mah bisa, A Faris. Kan di 360 mah ada semacam pengaturan khususnya gitu.”
Baik, demi wefie gue install balik aplikasi Camera 360.
Selagi menunggu proses pengunduhan, Nyokap menyuruh gue melepas baju dan cepat-cepat nyebur ke kolam panas. Gue yang mendengar suruhan Nyokap hanya mengangguk tanpa arti.
Aplikasi Camera 360 berhasil terpasang dengan munculnya notification checklist. Selanjutnya gue buka aplikasi tersebut yang seharusnya aplikasi itu nggak ada di handphone gue. Karena nggak tahu di mana letak pengaturannya, gue meminta tolong Haditsa. Dia oprek aplikasi Camera 360 dengan tampang serius. Gue yang duduk di sampingnya memantau dari dekat sambil melepas baju dan celana levis.
Sekitar lima menit, Haditsa menyerah. Dia terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya yang berarti: hape apaan nih, bonto banget.
“Nggak bisa euy, A Faris,” kata Haditsa sembari melepas tongsis dari handphone.
“Nggak bisa? Lho, kok?” tanya gue dengan raut muka Mr. Bean.
“Iyah, kayaknya mah nggak sinkron sama hape Lenovo,” jawabnya, sambil menyodorkan handphone gue.
Gue bertanya lagi, “Lah, emang kalau hape lain, bisa?”
“Bisa, A Faris, kalau hape Samsung yang punya si Adek (Salma) mah bisa,” jawabnya.
Gue diam sejenak. Gue pandangi handphone Lenovo kesayangan punya gue sambil membatin, “Apa yang salah, sama kamu?” Gue geser-geser layar handphone Lenovo yang pada akhirnya pikiran gue kembali membayangi doi. Gue bandingkan antara doi sama gue dan handphone Lenovo sama tongsis.
Betul, antara gue dan doi diibaratkan memang seperti itu. Pada awalnya, gue yakin banget bahwa tongsis itu bakal nyetel di handphone punya gue. Tapi faktanya, nggak sama sekali. Sama seperti gue dahulu, gue yakin betul bahwa doi adalah jodoh yang tepat buat gue. Tapi nyatanya, boro-boro. Gue belajar dari handphone dan tongsis tersebut. Bahwasanya, sesuatu yang dianggap nyetel dari luar (hardware), belum tentu nyetel di dalam (software). Pun dengan kita manusia, seseorang yang kita anggap cocok dari luar (penampilan), belum tentu cocok di dalam (hati).
Bayangan gue terpecah-belah oleh panggilan sanak famili yang ternyata mereka telah lebih dulu berada di kolam panas. Gue tersenyum, lalu menaruh handphone ke dalam tas. Berharap, gue bisa beli tongsis lain yang nyetel di handphone gue dan dapat menemukan jodoh lain yang tepat di hati gue. Dengan begitu, satu harapan telah ditambahkan ke mimpi luhur gue yang nggak pernah pudar.
***
Dengan celana boxer bermerek Converse, gue mendekati kolam panas. Para wanita, yakni Bi Tintin, Salma, dan Ajeng masih duduk di pinggiran kolam sambil mencipakkan kaki ke air. Kecuali Nyokap, dia sudah duluan mengapung di kolam itu. Sedangkan Mang Toto dan Haditsa juga sama. Kaki gue gemeteran, karena takut kalau nantinya gue malah jadi penyedap mie ramen.
Perlahan gue duduk di pinggiran kolam, lalu mencelupkan satu kaki ke kolam ngebul tersebut. Alhasil, gue nyengir dan bibir gue nyengsol sebelah. Bulu kaki gue seakan-akan dibakar oleh lilin cina.
“Aaarrhh….” Dengus gue pasca kaki kanan tenggelam ke air panas.
Selagi gue mendengus kepanasan, Bi Tintin bertanya, “Panas ya, A Faris?”
“I­­–i–iya Bi arh…,” jawab gue, nyengir. Padahal dalam hati, “UDAH TAHU PANAS!”
Sesudah kaki kanan, sekarang giliran kaki kiri yang gue celupkan, dan pekikan dari mulut gue pun keluar tak tertahankan, “AKKHH!”
Haditsa yang melihat tampang absurd gue, memotivasi gue bahwa rasa panasnya itu akan hilang.
“A Faris! Nggak apa-apa, nanti juga panasnya bakal hilang. Nih, Ditsa juga biasa aja, jadi seger.” Ucap Haditsa yang sedang mengambang di kolam panas, yang gue pikir kolam itu nggak beda jauh sama kuah ramen.
Mendengar kata-katanya, gue cuma tersenyum tanggung yang berarti: seger pale lo!
Nggak lama, para wanita memberanikan diri mencebur ke kolam ngebul itu. Ajeng dan yang lain ekspresinya sama kayak gue tadi: panas, nyet. Sementara gue masih enjoy mengayunkan kedua kaki di pinggiran kolam. Hahaha, cemen banget ya gue. Dikarenakan gue yang nggak kunjung turun, Nyokap pun akhirnya meneriaki gue, “Dis! Ayo turun!”
Kemudian, Nyokap menghampiri gue dan memulai pembicaraan, “Panasnya mah cuma pertama doang, lama-lama mah nggak.”
Gue diam tanpa ekspresi.
Kemudian Nyokap kembali bicara, “Turun, biar seger.”
“SEGER APANYA ORANG PANAS KAYAK GITU!” Batin gue, nggak percaya.
Oke, karena takut dianggap lekong, maka gue memberanikan diri untuk berendam di kolam tersebut. Air ngebul itu naik ke paha, lalu naik ke perut, dan akhirnya sampai ke dada.
“Huuurrhhh…,” gue memekik kecil.
Ternyata benar, nggak semenderita apa yang gue bayangkan sebelumnya. Benar juga, lama-lama air panas itu berubah menjadi air jahe, eh maksudnya jadi hangat. Gue memejamkan mata sambil menopang kepala ke belakang. Sungguh, gue merasakan ketenangan dan kedamaian batin.
Tidak lupa, gue membasuh muka dengan air panas yang mengandung belerang tersebut. Karena, dari dulu gue jerawatan, dan semoga saja air tersebut dapat mengurangi jerawat yang ada di muka gue. Betul, tujuan lain wisata ke Sariater adalah untuk pengobatan kulit gue. Kali saja, melalui air belerang itu gue bisa seganteng Ben Affleck. Always ngarep.
Parahnya, mata gue menjadi pedih akibat terkena air belerang. Gue pejamkan mata agak lama, berharap melalui air itu pula mata gue menjadi jernih bak intan berlian. Gue kedip-kedip supaya pedihnya cepat hilang. Karena masih sedikit pedih, gue pun membuang muka ke arah kanan kolam agar terhindar dari cipratan air. Sesudah pedihnya hilang, alangkah tertegun gue melihat sebuah pelang yang berisikan tata tertib bagi para pengunjung.
Pelang tersebut lumayan besar dan lumayan tinggi. Pelang itu berwarna hijau  dengan tulisan berwarna putih dan terdapat simbol-simbol. Salah satu peringatan yang masih gue ingat dari pelang tersebut adalah pengunjung nggak boleh bawa…bekal dari rumah. Ya, hampir di setiap tempat seperti itu pengunjung tidak diridoi membawa bekal. Pengunjung harus membeli makanan berat maupun ringan yang telah disediakan di situ juga. Bangsatnya, harga makanan dan minuman dibanderol tinggi setinggi langit. Itu harga apa cita-cita?
Gue terkekeh melihat pelang tersebut, dan tiba-tiba Haditsa sudah ada di samping gue.
“Kenapa, Bro?” Tanya Haditsa yang melihat gue tertawa kecut.
“Heheu, itu Bro, lihat deh tulisannya.” Kata gue sembari menunjuk ke pelang itu.
“Oh…haha, emang da hampir setiap tempat kayak gini mah, harus beli di sini.” Katanya.
“Iya, pelit amat yak.” Respons gue.
Haditsa cuma tersenyum, lalu berenang ke sudut lain.
Gue bergidik ngeri, sesaat melihat Haditsa berenang di air panas bercampur belerang.
“Anjir, tuh orang. Gak pedih, apa ya?” kagum gue.
Sementara gue malah berdiri di pojokan kolam sambil ngos-ngosan akibat efek belerang. Gue yang cuma mondar-mandir dari pojok ke pojok kolam, membuat Nyokap berang.
“Dis! Belajar renang tuh, sama Ditsa!” Teriak Nyokap dari pojok lain.
“Gila kali, belajar renang di kuah soto kayak begini.” Batin gue, kesal.
Gue pun menggelengkan kepala tanda nggak mau. Namun, Nyokap ngeyel.
“Kenapa nggak mau? Biar bisa!” Suruh Nyokap.
“Buset dah pake bilang kenapa, dasar emak-emak.” Ujar gue dalam hati, lalu berkata, “Nggak, ah! Takut melepuh!”
Nyokap malah memasang tampang kesal, yang berarti: nggak bisa dibilangin, lu!
***
Kurang lebih setengah jam berendam di kuah tongseng (air panas), gue mulai merasa pusing. Kata orang-orang, pusing yang gue rasakan itu adalah efek dari belerang. Mata gue mulai samar-samar melihat objek di sekitar. Bahkan gue hampir nggak bisa ngebedain, mana Mang Toto dan mana Haditsa. Hahaha, just keding, eh kidding.
Nyokap yang melihat tampang gue mulai kisut, menyuruh gue untuk menepi dulu. Gue pun menuruti nasihatnya dan langsung naik ke pinggir kolam. Gue duduk di situ sambil melihat orang berlalu-lalang. Ketika gue lagi duduk manis, tiba-tiba gue dikagetkan oleh suara bapak-bapak, “Woe! Jangan main ke sana itu…aduh di sini aja….”
Benar saja, penampilan bapak itu amat klop dengan suaranya yang begitu berisik macam toa; botak, gede, bertato, dan kulitnya mengkilat. Gue bisa menduga, bahwa bapak itu semasa mudanya adalah seorang preman di pasar kaget. Rupanya, bapak itu sedang memperingati anak perempuannya yang main terlampau jauh. Gue lihat dia bersama istrinya yang terlihat biasa saja. Anaknya pun bisa dibilang manis ketimbang bapaknya (iyalah).
Seingat gue, bapak bertato tersebut mempunyai dua orang anak secara keseluruhan. Anak sulung yang dipanggil “woe” barusan dan adiknya yang masih balita. Sesuai dengan gesturnya yang gahar, bapak botak itu menyemplungkan dirinya ke kolam panas secara biadab. Dia mengambil ancang-ancang percis seperti mau berenang di tengah laut. Byuur. Air menciprat kesana-kemari gara-gara bapak botak tersebut.
“Pelan-pelan, dugong!” Kutuk gue atas aksi bapak itu.
Entah dia mau unjuk gigi kepada pengunjung lain atau wataknya yang memang caper, tapi bapak botak itu hanya sebentar saja di dalam kolam. Ada kemungkinan, kulit testisnya nggak tahan terkena air panas. Kali ini, bapak botak itu menghampiri istrinya yang sedang menggendong anak keduanya. Kirain gue, bapak itu sekadar berbicara atau mengambil makanan. Tapi perkiraan gue lain, bapak gahar itu menggendong anak keduanya dan kemudian dia ajak anaknya untuk…belajar berenang. Wat da fa!
Dia taruh buah hatinya itu secara perlahan di air belerang. Meskipun sangar, orangtua manapun tetap saja lembut ke anaknya. Gue salut, bapak bertato itu masih terdapat sisi kelembutan dari dirinya. Anehnya, anak keduanya itu nggak nangis dan malah tertawa girang ketika ujung kakinya mengenai kuah ramen. Tapi nggak mengherankan juga sih, wong bapaknya kayak begitu. Hahaha.
Sembari memegang tangan anaknya, bapak botak itu juga memberi motivasi, “Ayo! Ayo! Iya, pinter….” Kemudian dia tangkap anaknya itu, lalu dipeluknya erat di dadanya. Lagi, anaknya tertawa girang diperlakukan seperti itu. Ngemeng-ngemeng, bapak dan anak tersebut ukurannya jauh berbeda. Ibaratnya, laksana paus dan cumi-cumi. Gue yang sedari tadi selonjoran di pinggir kolam, kali ini kembali berendam.
Bangkenya, saat gue berendam si bapak botak klimis itu kembali loncat dan tentu saja air berhamburan kemana-mana. Byuuur. Loncatan yang kedua lebih gila daripada loncatan yang pertama tadi. Malah, beberapa tetes air ada yang masuk ke mata gue.
“Aduhanjing bangsat! Botakontlo!” Umpat gue sambil menyeka mata.
Kontan, pengunjung lain menatap sekitar setengah detik ke bapak caper itu. Mungkin, mereka ada yang berpikiran: uhh, keren bangeet. Atau bahkan sebaliknya: dihh, nggak bangeet.
Belum lima detik, hal serupa terjadi lagi. Tapi kali ini bukan dilakukan oleh bapak botak, melainkan oleh … Haditsa. Byuur. Gue nggak sangka, adik sepupu gue itu melakukan percis apa yang bapak botak itu lakukan. Pantas saja, dia tadi sempat naik ke permukaan kolam. Hebatnya, baik bapak botak dan Haditsa berenang sambil menenggelamkan kepala mereka.
Pasca Haditsa melompat, bapak botak itu terlihat kaget dibarengi sorotan mata: anjir, anak siapa lu tong? Seketika, para pengunjung terdiam kembali. Mereka nggak habis pikir, karena kolam tersebut adalah tempat untuk relaksasi dan merendam diri, dan bukan tempat untuk berenang maupun loncat indah.
***
Berhubung gue kembali pusing, maka gue memutuskan untuk menyudahi ritual berendam di kuah ramen. Gue kembali ke bangku batu untuk mengeringkan badan terlebih dahulu sebelum gue mandi di pancuran shower. Ketika gue lagi duduk, datang sekelompok remaja yang seusia gue. Sekelompok anak remaja tersebut berjumlah enam orang. Mereka pasti sama kayak gue, yakni mengisi waktu libur.
Satu dari keenam remaja tersebut memakai riben (kacamata) dengan model rambut poni alay. Dia berjalan layaknya jeger (petantang-petenteng). Kemungkinan, dia adalah pentolan atau ketua geng, atau malah yang paling tua di antara teman-temannya. Selagi dia berjalan di hadapan gue, gue tatap mukanya lekat dan dia pun menoleh ke arah gue dengan tatapan: woi, moron.
Sekitar tiga detik kami saling menatap bak di film-film koboi. Tinggal dikasih efek aliran listrik maka antara gue dan dia seperti di komik-komik manga. Lantas dia berhenti di kolam yang kedua. Kemudian dia memerhatikan suasana di sekitar kolam tersebut. Nggak lupa, dia juga meminta saran kepada teman-temannya sebelum akhirnya menaruh tas dan perlengkapan mereka di meja plastik.
Cukup lama gue duduk sambil bermain handphone. Nyokap dan yang lainnya telah lebih dulu beristirahat di meja plastik yang dinaungi payung besar. Kecuali Haditsa, dia masih asyik berenang di kuah soto. Ajeng mengambil baju salin yang diikuti oleh para wanita lainnya. Sedangkan gue dan Mang Toto masih duduk-duduk sambil minum bir, eh air bening.
Sambil memandang sekitar kolam, ternyata remaja yang memakai kacamata tadi melihat gue melulu. Dari kejauhan, dia memandang gue bak musuh besar atau malah gadis desa. Karena nggak mau nantinya malah salah paham, maka gue mengalihkan pandangan. Saat gue kembali memandang ke sekitar, pentolan itu kembali memandang gue dengan pandangan genit. Anjir lah, gue jadi takut. Takut bukan karena dilihat melulu, tapi gue takut kalau dia ternyata … maho. Apa lagi, waktu itu sedang marak aliran LGBT.
***
Setelah dua jam freestyle di kuah seblak, akhirnya Haditsa berhenti. Dia berjalan menghampiri gue, kemudian mengambil sebotol air minum dari tasnya dan duduk di samping gue. Kita bercengkerama layaknya saudara dekat. Nyokap dan Bi Tintin menyuruh kita untuk segera mandi karena kita belum makan siang. Tapi, namanya juga anak muda pasti ada saja topik hangat yang asyik untuk diperbincangkan.
Lima belas menit kita ngobrol, para wanita sudah anggun (selesai mandi). Nyokap dan yang lain sudah memakai baju salin mereka. Sementara gue, Haditsa, dan Mang Toto masih telanjang dada.
“Enak lho, A Faris, berenang di situ.” Kata Haditsa yang memuji kondisi air panas di Sariater.
“Hehe, iya. Awalnya panas, tapi jadi enak ya?” Kata gue yang mengakui pengakuan Haditsa tadi.
“Iya bener, A Faris. Ditsa mah mau berenang lagi ah. A Faris mau, gak?” ujar Haditsa.
“Wat da fa?! Emang kagak puyeng lu, Tong?” Kata gue dalam hati, lalu merespons, “Hah? Ah nggak ah, sok Ditsa aja.”
Sambil beranjak, Ditsa berujar, “Ya udah atuh, enak lho.”
Di balik kata “ya udah atuh”, ditambah kata “enak lho” yang arti terselubungnya adalah: nyesel lo, kalau lo gak ikut. Memang dah, adik sepupu gue itu begitu anti mainstream.
***
Setelah gerimis kecil turun, mendung menghiasi langit. Hawa dingin menyelimuti para pengunjung diikuti datangnya kabut putih dari berbagai penjuru. Gue amat menyukai cuaca kayak begitu, karena rasanya seperti berada di dataran Eropa. Mungkin karena hal itu, Haditsa kembali menceburkan dirinya ke kolam panas. Selang beberapa menit, hujan pun turun.
Badan sudah kering, saatnya gue mandi. Seperti yang telah gue bilang tadi, bahwa tempat mandi terletak percis di belakang bangku batu yang gue duduki. Benar, tempatnya itu nggak tertutup melainkan terbuka. Jadi, kita para lelaki nggak bisa leluasa telanjang bulat. Kalau pun telanjang bulat, akan banyak burung gondrong beterbangan dan tentunya para perempuan akan berteriak histeris.
Seketika, gue mendekati salah satu shower dari keenam shower yang ada. Tanpa babibu lagi, gue putar keran ke arah kiri. Ternyata, air yang keluar bukan air dingin, tapi air … panas.
“ANJRIT! PANAS!” spontan gue, sambil melompat kecil.
Untungnya, kulit punggung gue nggak gosong.
Ilustrasi tempat mandi
Lantas, gue putar kembali keran ke arah semula dan air berhenti keluar. Kemudian, gue putar keran secara perlahan ke arah sebaliknya, yaitu kanan. Benar saja, air yang keluar adalah air dingin segar. Beda banget sama air belerang di kolam itu yang panas dan berbau tulang fosil dinosaurus. Berarti, sistem yang diterapkan di Sariater bisa dibilang modern. Atau, memang gue yang kudet dan katro?
 Selagi gue asyik membasuh badan memakai air dingin, tetiba Mang Toto datang dan menyalakan shower yang satunya lagi. Sialnya, shower tersebut hanya menghasilkan air panas. Kontan saja, Mang Toto sedikit kaget karena air panas yang keluar dari shower itu lebih panas dari air kolam tadi. Dikarenakan shower lainnya juga sama terpakai oleh para pengunjung, maka Mang Toto nebeng di shower gue.
“Ikut Ris, ah.” Kata Mang Toto.
“E–e iya Mang, sok.” Kata gue sambil mempersilakan, dan gue menepi sebentar.
Mang Toto hanya sebentar mandi di situ. Ia hanya mengusap badan dan kepalanya dengan memakai sedikit sampo. Ok, gue kembali melanjutkan main basah-basahan di shower itu, karena sedari tadi kulit gue dicecoki sama kuah tongseng panas (air kolam). Cukup lama gue mandi di situ dan merasa ada yang kurang. Benar, gue mandi nggak pakai sabun.
Kampretnya, gue nggak bawa sabun dari rumah. Karena, di bayangan gue pihak Sariater sudah menyiapkan sabun bagi para pengunjung. Gue lantas mencari sabun sisa ke sisi tembok. Alhamdulillah, rezeki anak saleh memang nggak ke mana. Gue menemukan sabun Lifebuoy batangan yang masih utuh. Iya, sabun itu masih keras seperti baru dibuka dan nggak lembek. Disinyalir, sabun tersebut adalah sabun bekas pengunjung lain yang kebetulan dia adalah anak dari pengusaha sabun colek.
Ketika gue lagi sibuk sabunan, remaja yang memakai kacamata hitam tadi datang. Dia memberi sedikit senyuman kepada gue ketika dirinya memasuki kamar mandi terbuka. Gue pun membalas senyumannya agak canggung. Ok, ternyata dia orang baik dan nggak seperti prasangka gue tadi. Kebetulan, waktu itu cuma gue dan dia yang berada di tempat shower. Dapat dibayangkan, betapa risih gue saat itu.
Sesaat kami saling melempar senyum, dia langsung membuka keran. Tak dianya, setelah keran diputar ternyata kerannya … lepas! Seketika, air deras berhamburan ke mana-mana. Buuuurrr!
“Anjir, ieu kumaha ieu (ini gimana ini)!?” katanya, panik.
Sementara gue, langsung balik badan dan cekikikan nggak kuat menahan tawa, “KIKIKIK!”
Dengan sigap, teman-temannya datang membantu memasang keran yang lepas ke dalam bolongan air. Mereka saling bahu-membahu menahan derasnya air yang keluar dari bolongan tersebut. Berkali-kali mereka coba memasukkannya, tapi tetap nggak bisa juga. Ada pengunjung lain yang membantu, tapi tetap nihil. Akhirnya, keran itu tetap dibiarkan begitu saja dan mereka pergi melapor ke security. Alhasil, air terbuang percuma.
Sebenarnya, banyak para pengunjung yang sesudah mandi nggak mematikan shower kembali. Tentu saja, air menjadi mubazir. Padahal, kalau kita menilik saudara-saudara kita yang di Afrika, mereka sedang kritis air bersih. Begini juga, pikiran gue mulai dewasa dan mulai bijaksana. Selagi di sana, gue yang beberapa kali menyetop keran bekas pengunjung yang habis mandi.
Amat disayangkan, kesadaran mereka benar-benar kurang atau bahkan nggak ada sama sekali terhadap air bersih. Padahal, air adalah sumber kehidupan yang harus kita jaga demi kelangsungan hidup selanjutnya. Oleh karena itu, jangan lupa ya tutup keran jika habis mandi dan pakai air secukupnya dimulai dari sekarang. Cintai dirimu, cintai lingkunganmu, dan cintai masa depanmu.
***
Selesai mandi, gue bersegera menuju kamar ganti yang letaknya berada di samping toko suvenir. Gue ambil baju, celana, celana dalam, dan keresek hitam dari tas selempang. Sembari berjalan, mata gue curi-curi pandang ke teteh kasir yang menjaga toko suvenir tersebut. Teteh kasir itu bisa dikategorikan sebagai cewek yang “lumayan”. Wajahnya tegas, dingin, memakai kerudung, tapi sedikit binal. Pokoknya, gemesin.
Nggak lupa, gue menutupi titit yang terceplak jelas dibalik celana boxer. Untuk soal kemaluan yang menyembul, gue masih ada rasa malu terhadap cewek di sekitar. Hahaha. Setiba di depan pintu kamar ganti, gue baru sadar bahwa pintu tersebut bentuknya kayak pintu kandang kuda. Iya, bentuk pintunya itu kayak pintu bar di film-film koboi. Baik, nggak masalah buat gue, yang pentingnya dalamnya bersih.
Ketika gue buka pintu dan melangkahkan sebelah kaki, tercium bau pesing campur bau asem. Disinyalir, bau pesing adalah bau dari air kencing, dan bau asem adalah bau dari testis laki-laki. Hoek, seketika itu juga dada gue mual. Sembari menggosokkan hidung karena saking bau, gue mencari kamar ganti yang pas.
Gembelnya, tiap-tiap kamar ganti di sana hanya ditutupi oleh selembar tirai. Makin menjadi, kamar ganti itu memang nggak beda jauh sama kandang kuda. Dapat kalian bayangkan, ketika sedang ganti baju lalu tiba-tiba nongol kepala dari pengunjung lain sambil melet-melet. Sungguh, hal itu semoga nggak akan pernah terjadi. Apalagi, kalau yang memiliki kelainan sexual seperti (maaf) LGBT, kamar ganti itulah “surga” bagi mereka.
Pada akhirnya, gue kebagian juga di tempat yang agak tertutup meskipun pintu toilet nggak bisa dikunci. Baiklah nggak apa-apa, setidaknya gue nggak buka celana di dalam tirai yang gue sebutkan tadi. Tapi sialnya, di dalam toilet itu bau pesing sungguh menyengat. Gue nggak habis pikir, yang kencing kayaknya bukan manusia, tapi sapi. Selama sepuluh menitan gue seperti diracun di dalam toilet itu.
Gue pun keluar dan kembali menghidup udara segar gratis yang telah diberikan oleh Yang Maha Pengasih. Gue bersyukur bahwasanya gue selama ini begitu banyak mendapat kenikmatan. Kalau udara itu berbayar, nggak kebayang kita manusia harus mengeluarkan duit segimana setiap sekali menghirup dan menghembuskan napas.
Gue menghampiri Nyokap sambil cengar-cengir karena hidung gue sudah lepas dari jeratan bau pesing nan pahang. Nyokap mengernyitkan dahinya yang menandakan ada yang nggak beres sama gue.
Gue memulai pertanyaan, “Napa, Bu?”
“Ai baju dan celana dalam salin kamu, mana?” Nyokap balik tanya.
Gue diam sebentar, mengingat-ingat kejadian di dalam kamar ganti tadi.
“Oh iya, ketinggalan.” Kata gue sambil memutar badan.
“Ah kamu mah, apa-apa lupa!” ucap Nyokap, sedikit kesal.
Ya bagaimana otak gue nggak pikun, toh kondisi di dalam kamar ganti bagaikan di ruang mayat.
***
Hujan semakin deras, membuat kita terutama gue menjadi lapar. Kalau hujan turun, paling enak memang makan yang hangat-hangat. Contohnya seperti making love sambil selimutan, eh maaf bukan itu. Contohnya kayak makan siomay hangat, cuanki, dan tentu saja mie instan. Terbersit di kepala gue untuk menyantap Pop Mie. Pun, Haditsa yang masih bertelanjang dada juga mau makan Pop Mie.
“Makan mie kayaknya enak yah, A Faris?” tanyanya pada gue.
“He’eh bener banget, Bro.” Jawab gue, setuju.
Dikarenakan mendengar percakapan kita berdua, Nyokap dan Bi Tintin menyuruh kita untuk membeli empat bungkus Pop Mie. Dua bungkus buat gue dan Haditsa, serta dua bungkus lagi buat Ajeng dan Salma. Baik, tanpa pikir panjang kita berdua menuju warung kecil yang kebetulan menjajakan Pop Mie juga.
Ilustrasi Pop Mie
Sesampainya di warung yang dituju, Haditsa mempersilakan dirinya untuk memesan keempat Pop Mie.
“Biar Ditsa aja yang mesen, A Faris.” Katanya.
“Oh, ya udah.” Kata gue.
Kita menunggu sebentar, sebelum akhirnya dua Pop Mie siap disantap.
“Nih A Faris, buat si Adek dan Ajeng dulu,” ucapnya sambil memberi Pop Mie itu.
Lalu, gue mengantarkan dua Pop Mie tersebut kepada para adik.
Kemudian, gue kembali ke kedai itu dan belum sampai kedai ternyata kedua Pop Mie lainnya sudah dibawa sama Haditsa. Sungguh, saudara gue itu memang baik banget kepada kakak sepupunya.
Pop Mie yang ngebul itu menghangatkan indra penciuman gue dari cuaca yang begitu dingin. Setiap kali menyeruput kuah Pop Mie gue barengi dengan reaksi: sshh ahh. Aliran kuah Pop Mie dari mulut, lalu turun melalui kerongkongan, dan sampai di perut membuat gue merasa hangat. Apalagi ketika gigi menggigit ball-ball kressnya, beuh nafsu syahwat gue, eh nafsu makan gue semakin menjadi.
***
Sembari menyantap Pop Mie, mata gue juga ikut “menyantap” teteh kasir yang menjaga toko suvenir. Sedari tadi, teteh kasir itu cuma duduk dan menatap lurus ke depan. Kebetulan, posisi gue juga berada di satu garis lurus dari tatapannya dan yang paling dekat berdasarkan posisi duduk.
Sesekali, teteh kasir itu menulis pada buku agenda dan terkadang berdiri menata merchandise yang digantung dan yang disimpan dalam bilik kaca. Dari sekian banyak pengunjung cewek yang ada di sana, bagi gue teteh kasir itu adalah cewek tercantik. Ya, kecantikannya itu looks so natural dan gue terpesona dibuatnya.
Merasa dipandang terus oleh gue, akhirnya mata indahnya itu melihat ke arah gue. Seketika, gue tersenyum dan dia pun menyenyumi gue sebelum ada pembeli datang. Lantas, gue senyum-senyum sendiri sambil makan Pop Mie. Benar saja kata orang, kontak mata lebih ngefek daripada lewat omongan atau berkomunikasi secara lisan.
Sesudah pembeli pergi, teteh kasir itu kembali menatap lurus ke depan. Walaupun dia memakai hijab atau kerudung, akan tetapi lekuk tubuh proporsionalnya begitu tercetak jelas. Hal itulah yang membuat gue terkesima sekaligus sange. Kali ini, gue nggak menatapnya dan lebih memilih fokus makan Pop Mie. Karena gue tahu bahwa dia sedang melihat ke arah gue dengan tatapan: mas, ganteng deh.
Akan tetapi, gue kembali memandangnya meskipun nggak se-intens tadi. Tiap kali gue pandang dirinya yang sedang melamun, tetiba bola matanya bergeser melihat gue. Dengan cepat, gue pura-pura menoleh ke arah lain. Ketika dia melihat ke arah lain, gue pandang kembali dirinya. Sampai pada suatu saat ketika mata gue terpaku ke arahnya, tiba-tiba dia menatap gue sekilas lalu berpaling sambil menyunggingkan senyuman, yang artinya: kamu nakal. Alhasil, gue senyum kegirangan.
***
Hari mulai siang, ibu guru. Eh kok malah nyanyi ya, hahaha. Jam menunjukkan pukul 11:00 yang tandanya matahari mulai meninggi. Mang Toto selaku leader memberitahu kita bahwa harus cepat-cepat kembali ke mobil. Dengan sigap, kita berkemas memasukkan baju salin dan segala keperluan ke dalam tas. Dirasa telah rapi dan bersih, kita pun menuju pintu keluar. Ketika gue melintas di depan toko suvenir, gue berkata dalam hati, “Sampai ketemu lagi ya, teteh cantik. Dadah~” Hingga saat ini, wajah modis dan tubuhnya itu masih selalu terbayang.
Karena sedari tadi hujan, maka gue memutuskan untuk menutup kepala dengan kain terpal, eh bukan, tapi dengan handuk muka. Sembari menenteng keresek besar, gue jalan agak ditengil-tengilkan agar terlihat seperti rapper Korea Selatan (G-Dragon) ketika GD sedang berada di Changi Airport. Mungkin orang-orang menganggap gue banyak gaya, karena tingkah laku gue itu. Tapi ya, daripada kepala kehujanan lalu gue nanti malah sakit, kan yang rugi gue juga.
***
Sesampainya di beranda Sariater, Mang Toto menyuruh kita untuk menunggu karena hujan semakin deras. Sementara Mang Toto menuju parkiran untuk mengambil mobil yang ia namakan Si Blue. Orang lain pun sama, yakni menunggu di beranda Sariater ketika salah satu orang di antara mereka mengambil mobil di tempat parkiran. Sehingga, nanti mobil yang akan menjemput mereka.
Ini gue. udah mirip GD belum?
Selagi menunggu Mang Toto mengambil Si Blue, perhatian gue tertuju pada sebuah mesin minuman otomatis. Betul, ketika gue SMP dulu mesin minuman otomatis itu belum ada dan bahkan mesin minuman tersebut belum lahir (emang benda hidup?). Lantas, gue mendekati mesin minuman otomatis itu serta menyidiknya secara detail bak orang kampung.
Rasa penasaran gue akan mesin minuman otomatis tersebut ternyata juga menyirat perhatian adik gue, Ajeng. Dia menghampiri gue dengan raut muka percis kayak gue: ini apa?
Sambil memegang mesin minuman otomatis, Ajeng bertanya, “Ini apaan, Dis?”
Gue yang lagi sibuk memperhatikan mesin tersebut, menjawab sekenanya, “Rak minum.”
“Rak minum? Gimana caranya?” dia balik tanya sambil menaikkan satu alisnya.
“Iya, jadi masukin koin atau uang ke sini, terus ntar minumannya bakal keluar otomatis.” Jawab gue lengkap, seperti penemu mesin tersebut.
Ajeng menganggukkan kepalanya, yang tandanya tahu ngerti tahu nggak.
Kurang lebih 15 menit gue dan Ajeng menyidik-nyidik rak minuman tersebut, teriakan lantang Nyokap memanggil kita akhirnya menggema juga.
Akhirnya, kita semua telah masuk ke mobil dan siap menuju homeland. Puji syukur alhamdulillah, gue telah dikasih anggota badan lengkap dari Allah SWT Yang Maha Sempurna. Karena, sebelum keluar dari gerbang utama Sariater, gue menangkap seseorang (maaf) cacat yang anggota badannya nggak lengkap dan nggak seutuh orang kebanyakan. Orang tersebut hanya bisa duduk di pinggiran pos jaga Sariater dengan tangan menengadah ke atas. Gue nggak bisa ngebayangin jikalau gue (amit-amit dah, jangan Ya Allah) jadi dia. Mungkin, gue lebih memilih untuk mengakhiri hidup. Semoga, orang cacat itu selalu disayangi dan diberi rezeki oleh Allah SWT Yang Maha Pemurah. Amiin Ya Rabb.
***
Untuk menghilangi rasa jenuh dan sunyi yang melanda seisi mobil, Mang Toto menyetel radio. Dengan adanya suara radio dipadu jalan yang berkelok-kelok, membuat suasana hati gue seketika melow. Sampai pada akhirnya, program radio tersebut memutar lagu Ran yang berjudul Pandangan Pertama.
“Kurasa ku telah jatuh cinta
Pada pandangan yang pertama
Sulit bagiku untuk bisa
Berhenti mengagumi dirinya”
Alhasil, lamunan gue kembali kepada doi. Memang betul, gue suka doi ketika kelas satu SMP dulu, yakni pada pandangan pertama. Pandangan yang membuat gue merasa jatuh cinta, belajar mencintai lawan jenis, dan belajar mencoba untuk berhenti mencintai doi. Buat gue, cukup sulit untuk nggak suka sama doi dan hal tersulit untuk melupakan tentang doi. Karena untuk melupakannya pun, butuh waktu bertahun-tahun dan itu nggak gampang.
Berbahagialah!
Setelah lagu ceria itu berhenti, terdengar iklan McDonalds yang alunan lagunya seperti ini: mana lagi~ mana lagi selain di Mekdi~. Lantas, lirik tersebut gue ubah menjadi: mana lagi~ mana lagi selain dirimu~. Jleb banget. Sepertinya hal itu benar adanya, bahwa selain doi, nggak ada lagi cewek yang membuat gue merasa “hidup”. Semenjak doi ngomong begini waktu di bus dahulu: maaf ya, kalau ada salah. Gue merasa amat kehilangan dan gue merasa amat bersalah dengan apa yang telah gue lakukan ke doi dulu.
Tanpa sadar, ternyata air terjun, eh air mata telah membasahi pipi gue. Untungnya, Nyokap dan yang lain nggak tahu karena posisi gue menghadap ke luar jendela. Entah kenapa, suasana hati gue mendadak berubah menjadi sedu sedan bak orang melarat. Sesudah iklan McD berlalu, berganti pada program radio sebelumnya dan tentunya topik yang akan dibahas juga ganti.
Karena saking “derasnya” perasaan gue kala itu, topik yang dibahas pada radio itu nggak terlalu gue simak. Gue lebih memilih untuk melihat pemandangan alam di luar jendela mobil. Namun, terekam salah satu kutipan penyiar radio tersebut yang mengatakan: oleh karena itu, “tidak ada alasan untuk tidak bahagia” jadi, harus semangat terus ya sahabat anu.
Gue tertegun, memandang lurus ke depan sebentar dan mengakui quote tersebut. Ya benar, nggak ada gunanya gue bersedih hati terus-terusan. Biarkan doi yang sekarang, karena telah bahagia sama pasangan barunya (baca: suaminya). Buat apa bersedih hati, toh gue masih memiliki keluarga lengkap, masih bisa makan enak, masih bisa tidur nyenyak, dan tentunya … cewek masih banyak. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk tidak bahagia.


-THE END­-

Komentar