Analisis Tentang Delman

A.    Definisi Delman
Delman adalah kendaraan transportasi tradisional beroda dua, tiga, atau empat yang tidak menggunakan mesin tetapi menggunakan kuda sebagai penggantinya. Variasi alat transportasi yang menggunakan kuda antara lain adalah kereta perang, kereta kencana, dan kereta kuda.
B.     Penamaan Delman
Nama kendaraan ini berasal dari nama penemunya, yaitu Charles Theodore Deeleman, seorang litografer dan insinyur yang memiliki bengkel besi di pesisir Batavia pada masa Hindia Belanda. Orang Belanda sendiri menyebut kendaraan ini dengan nama dos-à-dos (punggung pada punggung, arti harfiah bahasa Perancis), yaitu sejenis kereta yang posisi duduk penumpangnya saling memunggungi. Istilah dos-à-dos ini kemudian oleh penduduk pribumi Batavia disingkat lagi menjadi 'sado'. Istilah lain dalam berbagai bahasa daerah cukup beragam yang sebenarnya merujuk pada wujud benda yang sama.
1.      Kahar atau Karetek
Bahasa Sunda mengenal istilah kahar dan keretek. Meskipun merujuk pada kendaraan yang sejenis, tempat pijakan penumpang untuk naik pada keretek lebih lebar dibandingkan delman. Pijakan pada delman hanya berukuran cukup untuk satu kaki saja. Selain itu, delman lebih tinggi dari karetek.
2.      Nayor
Nayor adalah variasi bentuk delman, dengan kabin yang lebih tertutup; tidak mirip dengan kabin oplet. Nayor hanya dijumpai beroperasi di sekitar kota Cibadak, Sukabumi.
3.      Dokar
Istilah lain yang dikenal masyarakat adalah dokar. Sebagian kalangan menyakini nama dokar berasal dari bahasa Inggris dog car. Keberadaan dokar sebagai salah satu warisan budaya Jawa memberikan ciri khas tersendiri di tempat-tempat wisata, seperti di Parangtritis, Alun-alun Kidul Yogyakarta Indonesia. Dogcart (atau dog-cart) adalah sebuah kendaraan berkuda ringan yang awalnya didesain untuk kegiatan berburu, dengan sebuah kotak di belakang kursi pengemudi untuk membawa seekor anjing pemburu atau lebih. Kotak tersebut dapat diubah menjadi bangku kedua. Seorang pemuda atau anak kecil yang disebut "tiger" berdiri di balkon bagian belakang kereta untuk membantu atau melayani pengendara. Bentuk kendaraan berubah dengan cepat pada abad ke-19 sehingga memunculkan berbagai variasi nama untuk jenis yang berbeda. Dog-cart memiliki kesamaan dengan Phaeton, yaitu kereta berkuda satu yang sporty dan ringan, kereta ringan yang tangkas serta dapat dinaiki seorang pengendara dan pengemudi, tetapi berkuda dua pada tipenya untuk satu atau dua orang, dengan sebuah bangku belakang dan penutup yang bisa dibuka-tutup; dan cabriolet yang beroda dua dan berkuda satu, serta penutup lipat yang bisa menutupi dua orang (salah satunya adalah si pengemudi).
Berbagai variasi yang lebih baru antara lain:
a)      Kereta dengan satu kuda, biasanya beroda dua dan tinggi, dengan dua bangku melintang yang saling memunggungi. Dalam bahasa Inggris, kendaraan ini disebut "bounder". Di India, kendaraan ini disebut "tumtum".
b)      Versi Perancis memiliki empat roda dan dua bangku yang saling memunggungi sehingga disebut dos-à-dos (bahasa Perancis untuk saling memunggungi).
c)      Dogcart versi Amerika memiliki empat roda dansebuah kompartemen untuk membawa binatang hasil buruan.
4.      Andong
Andong merupakan salah satu alat transportasi tradisional di Yogyakarta dan sekitarnya, seperti Solo dan Klaten. Keberadaan andong sebagai salah satu warisan budaya Jawa memberikan ciri khas kebudayaan tersendiri yang kini masih terus dilestarikan. Walaupun sudah banyak kendaraan bermotor yang lebih cepat dan murah, tetapi pengguna Andong di Yogyakarta masih cukup banyak. Andong-andong ini dapat ditemui dengan mudah di sepanjang jalan Malioboro, pasar Ngasem, dan Kotagede. Perbedaan andong dengan delman adalah andong memiliki empat roda, sedangkan delman memiliki dua roda. Di Jakarta, andong disebut ebroyang diambil dari singkatan Eerste Bataviasche Rijtuig Onderneming.
5.      Bendi
Bendi pernah menjadi transportasi primadona di Minangkabau. Pada masa Kolonial Belanda, bendi sering digunakan oleh saudagar kaya, para penghulu, ataupun petinggi pangrehpraja, seperti controleur, demang, asisten demang, dan lain sebagainya. Bendi juga sering mangkal di Stasiun Simpang Haruuntuk menunggu para penumpang yang pulang.
Dalam sebuah lagu Minang yang mengiringi tari payung, terdapat lirik “Babendi-bendi ka sungai tanang, singgahlah mamatiak bungo lambayuang”. Lirik tersebut mengisyarakatkan bahwa bendi dulunya merupakan kendaraan tradisional populer masyarakat Minangkabau. Keberadaan bendi di kota Padang semakin berkurang karena kalah oleh kehadiran bemo pada tahun 1980-an. Kondisi tersebut diperparah oleh krisis moneter yang terajdi pada tahun 1998. Abdullah Rudolf Smit pada harian Haluan mengatakan bahwa ia merasa gelisah dengan berkurangnya bendi di Kota Padang, sebab alat transportasi tradisional itu seharusnya bisa menjadi potensi yang bisa tergarap secara maksimal, tetapi belum dilakukan oleh pemerintah kota. Keunikan dan orisinalitas bendi bisa mendongkrak jumlah wisatawan asing untuk datang ke Kota Padang dan beberapa daerah lainnya di Sumatera Barat.
C.    Sejarah Penggunaan Delman
Sejarah penggunaan delman berbeda dengan kendaraan lain seperti mobil. Sejak awal hingga sekarang delman dibuat dengan bentuk sama atau tetap, meskipun ada pula yang menggunakan ban mobil. Sebagian kusir mengatakan bahwa penggunaan ban mobil lebih bagus untuk jalan yang rata dan berkondisi baik atau penggunaan pada jalan raya. Namun, untuk jalan yang kondisinya kurang baik, lebih baik menggunakan roda delman yang konstruksinya memiliki jari-jari yang lebih besar.
Delman di Monas, Jakarta. Sumber: Tempo.co
Di beberapa daerah terutama di Nusa Tenggara Barat, dikenal dengan Cidomo yakni kependekan dari "Cikar-Dokar-Mobil". Delman kini digunakan lebih pada angkutan lingkungan yang berjarak tempuh pendek atau di pedesaan yang bersifatnya regional antarkampung. Terlebih saat ini tergusur oleh kehadiran ojek sepeda motor, taksi ataupun angkutan umum bermotor lainnya seperti bajaj dan bemo. Meskipun demikian, pada beberapa kawasan terutama kawasan wisata. Delman diizinkan beroperasi dengan mengikuti aturan kebersihan perkotaan seperti penampung kotoran kuda. Untuk tujuan tersebut, delman diberi nomor seperti halnya pada penomoran kendaraan bermotor yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Setempat.
Dalam sejarah, tercatat pada masa Pemerintah Hindia-Belanda di Indonesia, delman digunakan sebagai angkutan antarkota, terutama sebelum kereta api dan kendaraan bermotor lainnya beroperasi di Indonesia. Tercatat pada tahun 1885, Forbes pernah menyewa delman untuk perjalanan dari Bogor menuju Bandung dengan biaya enam belas gulden yang ditempuh selama tiga belas jam perjalanan.
D.    Analisis
Berdasarkan pembahasan di atas, maka saya akan menganalisis poin kedua yakni sistem pencaharian hidup atau sistem ekonomi. Alasan saya ingin menganalisis poin kedua ialah karena di tempat daerah saya tinggal, Padalarang, terdapat mata pencaharian yang sudah ada dari dulu sampai sekarang, yakni delman. Delman di daerah Padalarang sudah eksis sejak Ibu saya masih SD sampai Ibu saya berkepala 5 (sekarang). Bisa ditebak sudah dari dulu sekali delman beroperasi dibandingkan dengan angkutan bermesin, seperti angkot atau ojek. Kala itu, delman merupakan transportasi primadona bagi warga Padalarang dan sekitarnya, karena begitu membantu untuk membawa barang banyak, seperti belanjaan. Zaman dulu, mobil dan motor sangat jarang bahkan susah ditemui. Orang-orang jika bepergian lebih suka berjalan kaki atau naik delman, itupun jika ada uang. Untuk orang menengah ke bawah, berjalan kaki atau mengayuh sepeda merupakan pilihan tepat. Karena tidak perlu mengeluarkan biaya, serta sehat (hitung-hitung olahraga).
Ibu saya bercerita bahwa dulu, udara masih sangat sejuk nan asri. Tidak ada kemacetan ataupun polusi udara yang berlebihan. Beda dengan sekarang, kemacetan dimana-mana, polusi semakin meningkat, dan semrawut. Ditambah, kasus-kasus asusila semacam pembunuhan, perkosaan, penculikan, dan sebagainya hampir tidak ada. Sekitar tahun 2000, saya beserta orangtua selalu mudik ke rumah nenek apabila lebaran tiba. Dikarenakan orangtua kerja di Jakarta, maka setiap setahun sekali diwajibkan untuk pulang kampung, yakni ke Padalarang. Selalu ada yang ditunggu-tunggu ketika lebaran tiba, yaitu naik delman. Merupakan sensasi tersendiri apabila menaiki delman saat maghrib tiba atau malam tiba. Begitu terasa suasana mudik serta suasana di bulan puasa. Angin sepoi-sepoi yang membelai wajah, hentakan kaki kuda, serta suara kusir yang berbunyi “huss.. ck ck ck” menambah kenikmatan di setiap perjalanan ke kampung.
Menelusuri jalanan pedesaan, ditemani cahaya dari api yang dipasang di dokar, melihat pemandangan Padalarang dari atas, serta kelap-kelip terang dari lampu rumah yang berjejer. Begitu indah, damai, tentram, dan harmonis. Sungguh perjalanan yang tidak akan terlupakan sampai kapanpun jua. Sesampai di gang rumah nenek, kami turun, ada perasaan bahagia, senang, bercampur kangen. Ibu tidak lupa membayar ongkos ke kusir delman, sedangkan Ayah mengangkut barang bawaaan. Tidak lama setelah itu, delman berputar arah kembali ke pangkalan, saya menatap dalam-dalam pergerakan delman yang melaju lalu terdengar suara langkah kaki kuda yang semakin lama semakin menjauh. Seakan saya ingin berpesan kepada sang kusir supaya diberi rezeki lebih oleh Allah SWT serta untuk kuda yang pasti capek mengangkut orang banyak serta bawaan, agar diberi makanan dan vitamin supaya sehat.
Sekarang, 15 tahun lalu, hal seperti itu sudah jarang terjadi. Bahkan setelah pindah dari Jakarta ke Padalarang, saya belum pernah naik delman lagi. Ironis. Orang-orang atau mungkin termasuk saya lebih suka naik kendaraan bermesin, seperti angkot atau motor, karena lebih cepat sampai ke tujuan. Mungkin ada juga yang beralasan bahwa naik delman merupakan hal yang kuno, alias kekunoan, dibanding dengan naik motor atau mobil, yang kekinian. Seiring berjalannya waktu dan semakin membludaknya kendaraan bermotor, maka delman pun semakin sedikit. Sekarang, delman yang mangkal setiap harinya di Tagog, Padalarang, bisa dihitung dengan jari. Miris. Jika dibandingkan dengan 15 tahun lalu, delman yang beroperasi bisa sampai 15 delman. Juga, dulu delman diberi hiasan atau pernak-pernik, baik kuda maupun keretanya. Jadi, semakin enak dipandang, dan terkesan rapi, terawat, aman, dan nyaman untuk dinaiki. Bandingkan dengan delman sekarang, begitu polos, apa adanya, simpel, terkesan buladig, dan tidak terawat. Ditambah kuda yang begitu kurus, kecil, dan tidak bertenaga. Sedangkan dulu, kuda yang digunakan besar, berotot, gagah, kuat, tinggi, dan warnanya bagus. Penyebabnya mungkin delman kalah bersaing dengan transportasi bermesin, yang menyebabkan para kusir berpikir untuk menggunakan kuda yang kecil, toh yang naik delman sudah sedikit.
E.     Simpulan
Terlepas dari itu semua, kita sebagai generasi penerus bangsa sudah seyogyanya untuk mempertahankan, merawat, dan melestarikan budaya tradisional nenek moyang yang telah lama dianut, contohnya delman. Sangat disayangkan jika delman punah sementara transportasi yang berpolusi semakin digdaya. Kasihan anak-cucu kita nanti tidak bisa melihat delman eksis, seperti orangtua atau kakek-neneknya yang pernah sempat merasakan naik delman atau hanya sekadar melihat. Sungguh pilu jika transportasi asli Indonesia tidak beroperasi atau bahkan hilang di negeri sendiri. Sudah saatnya kita kembali menggunakan transportasi tradisional meskipun hanya seminggu sekali. Yang penting kita jangan sampai lupa bahwa sebelum adanya motor, mobil, dan berbagai transportasi lain, delman adalah primadona bagi setiap orang. Perlu diberikan kesadaran bagi setiap elemen masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan transportasi tradisional Indonesia. Kemudian perlu diberikan penyuluhan kepada masyarakat akan bahaya kendaraan yang menghasilkan polusi. Juga, agar diberi tahu kepada masyarakat bahwa jangan menjadi manusia egois. Contohnya; pergi ke kantor atau kampus naik mobil tapi sendiri, sekalian ajak teman-teman supaya hemat ongkos, tenaga, dan pikiran. Pergi ke warung atau masjid naik motor, lebay banget, seakan-akan tidak mau capek, mendingan jalan kaki menyehatkan serta tidak menimbulkan polusi.


Tidak lupa, pihak pemerintah seharusnya mendukung agar transportasi tradisional tidak terkikis oleh arus globalisasi. Bukan malah mendukung transportasi canggih menduduki atau mengkudeta transportasi tradisional. Pemerintah diminta jangan tutup mata melulu, sekali-sekali mah melek bahwa di luar sana (masyarakat) butuh dukungan serta pertolongan dari pihak adikuasa (pemerintah). Tak usah memberi janji dan harapan bila tidak ada bukti, rakyat adalah manusia bukan robot. Hendaknya pemerintah jangan mementingkan perut sendiri, masih banyak orang yang serba kekurangan di setiap daerah. Buka hati, buka mata, buka telinga. Kalau bukan kita, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi.

Komentar