Gogon Short Story : Prolog

Berjuta bintang menghiasi langit malam gelap nan sunyi. Bintang-bintang itu benderang, menerangi seluruh makhluk malam. Berkelap-kelip di kejauhan, seakan plastik keripik singkong yang terkena sorot lampu motor. Langit hitam pekat yang ditaburi bintang-bintang itu begitu menawan, indah, dan megah.
Angin berhembus tenang, bahkan suaranya pun tak ada. Dedaunan dan ranting pohon ikut bergoyang, tapi tak bersuara. Pasir pantai pun enggan berbisik, mungkin ia malu. Hanya deburan ombak, yang sedikit meramaikan suasana di malam ini. Amboi, adakah malam sesempurna ini?
Aku telentang, merasa melayang, sambil memandang bintang terang. Aku tatap tajam semua bintang yang berjumlah tak terhingga itu, hingga berjuta bintang seperti berada di dalam mataku. Dari kejauhan, bintang yang banyak itu seperti jerawat bruntus yang tumbuh di pipi, kening, atau hidung seseorang. Hanya saja, bintang-bintang tersebut terlihat indah, sedangkan jerawat bruntus terlihat menyebalkan.
Dragon aka Gogon.
Saking nikmatnya aku menyaksikan karya Tuhan, diriku tak menyadari bahwa ada tangan yang sedari tadi melingkar di leher dan dadaku. Tangan yang mulus, putih, bersih, dan terdapat bulu-bulu halus di permukaan kulitnya. Aku elus pelan tangan itu sampai menggeliat. Aku elus lagi secara horizontal dan vertikal dengan berulang kali. Hingga akhirnya, keluar pekikan manja dari samping telingaku, “Geli, tahu. Mas….”
Dia adalah kekasihku, kekasih halalku. Ayana namanya. Dia perempuan yang baik, salihah, seiman, keibuan, dan tulus mencintaiku apa adanya. Dia berwajah cantik, bergigi rapi, berkulit putih bersih, bola mata indah bagaikan bola pingpong, dan rambutnya yang agak bergelombang seperti ombak di Laut Mediterania.
Ayana cintaku, adalah seorang perempuan yang sederhana. Orangtuanya membuka bisnis restoran kecil-kecilan, yakni warteg. Begitu juga dengan dirinya, yang bekerja sebagai pelayan di warteg milik orangtuanya. Pertemuan dan perkenalan kami berasal, karena aku sering makan di wartegnya. Lewat percakapan simpel yang kontinyu, kami pun akhirnya saling jatuh cinta.
Kami telah menikah, seminggu lalu. Kami sengaja pergi ke Florida, hanya untuk berbulan madu. Sudah sehari kami berada di sini, menikmati pantai Florida dengan panoramanya yang epik. Tempat ini, amat cocok untuk pasangan yang sedang berbulan madu seperti kami.
Aku menghentikan aktivitas tanganku di tangannya. Dia terdiam, hanya dengusan napas pelan, yang berhembus menyentuh pipiku. Dia tersenyum genit, memandangiku lekat, selekat lem perangkap tikus. Senyum di bibirnya semakin mengembang, matanya disipit-sipitkan, dan wajahnya semakin mendekati wajahku.
“Kamu kenapa, Honey?” tanyaku, tepat di depan wajahnya yang merah merona.
“Nggak. Cuma mau ngelihat wajah kamu aja, Mas.”
“Ngelihat wajahku? Bohong, ah. Kayaknya kamu minta dicium, yah? Hehe.”
“Ih, kamu mah, Mas. Sotoy,” jawabnya, manja.
“Lah, ini buktinya wajah kamu mepet-mepet ke wajah aku,” kataku, terus menggodanya. “Kalau bukan minta dicium, apa dong?”
“Huuu… Mas sotoy, ih,” jawab Ayana sambil memijit hidungku yang besar. “Kalau bukan dicium, ya di—“ Dia belum selesai ngomong, aku sambar bibirnya yang merah merekah dengan satu hentakan. Dia kaget dan sedikit berontak. Namun lama kelamaan, dia pun menikmatinya dan membalas ciumanku.
Cukup lama kami ciuman. Kecup mengecup, sedot menyedot, dan saling bertukar lidah. Saking lamanya ciuman, bibir kami sampai lecet. Setelah 15 menitan, kami menghentikan aktivitas nikmat tersebut.
Ayana memandangiku dalam, dengan ekspresi wajah yang puas. Tangannya yang dari tadi di atas dadaku, kini pindah menggapai pipiku. Jemarinya yang panjang dan lentik menyapu, membelai, dan mengelus wajahku yang manly. Aku terbuai dibuatnya. Dia tersenyum girang.
Tak mau kalah, aku pun mengusap wajahnya yang cantik bagaikan bulan purnama. Aku putar-putar jemariku di pipinya. Aku usel-usel jemariku di telinganya. Aku cubit-cubit kecil hidungnya yang mungil. Ayana hanya terpejam, mencoba menikmati sensasi geli menggelitik di setiap sudut wajahnya.
“Honey?” tanyaku, lirih.
“Kenapa, Mas?”
“I love you….”
Ayana terdiam. Mengekspresikan wajah datar. Tak lama kemudian, dia tertawa renyah. “I love you, too, Mas…,” jawabnya, cute.
“Aku sayang kamu, Honey,” kataku, sembari memainkan rambutnya yang bergelombang.
“Aku juga sayang kamu, Mas.”
“Aku sayang banget sama kamu.”
“Aku lebih sayang kamu,” Dia nggak mau kalah argumen. “Sayaaang, banget.”
“Nggak, sayangan aku ke kamu, Honey.”
“Nggak, pokoknya aku lebih sayang kamu, Mas.”
Kini giliranku yang diam. Aku mengapit wajahnya dengan kedua tanganku, sambil berkata, “Cintaku ke kamu, bagaikan jarak bumi ke bulan, Honey.”
“Ya, udah. Cintaku ke kamu, Mas, bagaikan bumi ke planet pluto.”
“Oke. Cintaku ke kamu, bagaikan bumi ke blackhole, Honey,” kataku tak mau kalah.
“Kamu nggak mau ngalah banget, sih, Mas,” katanya, cemberut. “Cintaku ke kamu, kayak jarak Galaksi Bima Sakti ke Galaksi Andromeda, Mas. Makin jauh, makin sayaaang.”
Sambil mengatur badan ke posisi telentang, aku bergumam pelan, “Kenapa selalu cowok yang harus mengalah?” Ayana tertawa kecil. Dia mendekapku erat dengan kedua tangannya. Aroma semerbak dari tubuhnya menusuk hidungku. Maka, kuhadapkan kembali badanku ke samping, dan memeluknya erat, seerat tikus yang terperangkap lem perekat.
Lalu, terdengar suara samar-samar di telingaku, “Gon, bangun Gon. Udah jam 8 ini.”
“Suara siapa itu? Dari mana asalnya?” pikirku, heran.
Tak lama, suara sengau itu terngiang kembali, “Gon! Bangun, woi! Udah siang ini.”
“Bangun? Siang? Jelas-jelas aku sadar dan ini sudah malam,” ucapku, sedikit kesal.
Ayana melepaskan dekapannya secara tiba-tiba. Kemudian, dia bilang, “Mas… bangun.” Terus kata-kata itu berubah menjadi, “Gon… bangun.”
“Iya, Ayana… aku bangun, yah,” kataku, mesra.
“Ayana?! Siapa itu, Gon?!” suara itu hadir kembali.
“Ayan—“ Kata gue terputus, kaget. Karena di samping gue, ada Emak lagi duduk. “Ayana on, maksudnya, Mak.”
“Bukan aya naon, kali. Emak juga barusan denger, kamu nyebut nama Ayana,” kata Emak.
“Nggak, Mak. Emak salah denger, barusan Dragon nyebut ayana on,” kibul gue, sambil berusaha membuka mata karena saking ngantuk.
Emak malah marah, sambil nyentak, “Aya naon, aya naon! Ini udah siang, tahu?! Kamu kuliah nggak, sih?! Cepet bangun! Nanti kamu telat lagi, telat lagi. Capek deeeh.”
“Iya Mak, iya…,” kata gue, sambil mau meringkuk kembali.
“Gogon! Jangan tidur lagi! Inget, kamu sekarang udah semester 7! Harus berubah, Nak,” Emak memberi nasihat di saat gue lagi ngantuk berat. “Lagian, kamu semalem ngapain, sih?! Jagain lilin?!”
“Gogon semalem belajar, Mak,” jawab gue, di balik selimut.
“Belajar dari Hongkong?! Emak juga tahu, semalem kamu main PS!” Emak serba tahu.
“Udah, udah! Bangun! Bangun!” suruh Emak, sambil membuka paksa selimut yang gue pakai. Gue hanya menggeliat bagaikan kucing garong yang terbangun dari tidur siang. Gue duduk. Berat rasanya untuk membuka kedua mata. Mata gue bagaikan dilumuri lem perangkap tikus. Gue ingin tidur kembali. Tapi, apa daya, Emak sudah mengambil paksa selimut, guling, dan bantal kesayangan gue.
Gue beranjak dari tempat tidur Monokurobo milik adik gue. Gue bangun terhuyung-huyung sambil menggapai ke sekitar. Takut kalau gue nabrak lemari atau pintu karena gue jalan sambil merem. Dari kamar sebelah, Emak teriak, “Gon! Jangan tidur lagi, kamu!”
“Iye Mak, iye…. Set, dah!” ujar gue, agak kesal. “Emak bawel bat, dah.”
“Kalau bukan Emak yang ngebangunin kamu, siapa yang bakal ngebangunin?!” tanya Emak. “Untungnya kamu punya emak, kayak Emak gini. Kalau nggak, kamu udah bablas tidur sampai jam 3 sore!” Gue diam. Kata-kata Emak barusan, ada benarnya juga.
Gue lihat jam di ruang tamu. Jam menunjukkan angka 8, dan sejam lagi ada mata kuliah. Gue harus bergegas mandi, menyiapkan pelajaran, dan sarapan. Sebelum beranjak ke kamar mandi, gue tatap tempat tidur sembari bergumam, “Ayana, nanti kita lanjutin lagi yah, bulan madu kita di pantai Florida.”
***

Dengan demikian, Dragon Short Story baru akan dimulai dari sini. Tunggu update selanjutnya, hanya di tintakahyangan.blogspot.com. 

Komentar

Posting Komentar

Ditunggu komentarnya...