Review Film Legong Dance of The Virgins : Kisah Romansa di Tahun Jebot

Film produksi Paramount Pictures ini adalah film yang bertemakan roman dengan mengambil latar belakang film di daerah Bali. Film ini mungkin dianggap sebagian besar orang adalah film karya bangsa Indonesia. Namun faktanya, film jadul tersebut adalah film garapan Amerika Serikat.
Film lawas ini sepintas seperti film komedi Charlie Chaplin, yakni tidak ada percakapan/ dialog dan hanya menggunakan bahasa isyarat sambil diiringi musik gamelan khas Bali. Mungkin, dikarenakan waktu itu peralatan film tidak secanggih seperti sekarang, film tersebut menjadi terlihat sangat sederhana.
Usut punya usut, film yang disutradarai Henri de la Falaise ini ternyata cukup populer di masanya. Dahulu, dengan tampilan film sesederhana itu cukup membuat orang banyak terkesima. Jika dibandingkan dengan film-film saat ini, film tersebut bagaikan langit dan bumi, amat jauh berbeda. Sayangnya, film yang Indonesia banget ini bukanlah film Indonesia.
Legong Dance of The Virgins, menceritakan kisah romansa pemuda Bali pada zaman baheula. Poutou, seorang gadis desa sekaligus penari tercantik jatuh cinta kepada Nyong, sang pemain gamelan. Keduanya tidak sengaja bertemu di acara adat-istiadat Bali. Poutou terkesima akan ketampanan dan kepiawaian Nyong dalam bermusik gamelan. Saking naksirnya Poutou kepada Nyong, pandangannya sampai tidak dapat berpaling ke lain orang.
Poster film Legong Dance of The Virgins
Dikarenakan Poutou terus memandangi Nyong, Nyong pun sadar bahwa ia sedang dicuri-curi pandang oleh Poutou. Lantas, Nyong bereaksi dengan memberi senyuman kepada Poutou. Poutou yang sedari tadi memandangi Nyong pun menjadi salah tingkah. Matanya mendelak-delik akibat perasaan malu campur bahagia.
Kemudian, Poutou pulang ke rumahnya dan memberitahu ayahnya yang bernama Gousti Bagus bahwa ia sedang dilanda kasmaran. Gousti Bagus senang, karena anak perempuannya sudah menemukan tambatan hatinya untuk dijadikan suami.
Beberapa hari kemudian, Poutou pergi ke pasar dan menemukan Nyong sedang mengajari anak-anak bermain gamelan. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Poutou akhirnya duduk-duduk sebelum kembali ke rumah hanya untuk bertemu pujaan hatinya.
Nyong pun menghampiri Poutou yang sedang duduk manis di sudut pasar. Nyong duduk lebih rendah di dekat Poutou sambil cengar-cengir. Pada akhirnya, Poutou memberi sekuntum bunga kepada Nyong, yang menandakan bahwa Poutou suka sama Nyong. Kalau zaman sekarang, dapat diartikan sebagai menyatakan cinta. Salutnya, malah perempuan yang menyatakan cinta kepada laki-laki. Kalau dewasa ini, perempuan yang menyatakan cintanya duluan bisa dibilang nggak tahu malu.
Setelah itu, sore hari yang hangat, Nyong baru bangun dari tidurnya. Dengan wajah yang ceria, ia berkemas memakai sarung dan baju untuk pergi ke suatu tempat. Di tengah jalan, ia melihat gadis cantik lain yang hendak mandi di sungai. Gadis itu bernama Saplak. Saplak ya, bukan somplak apalagi koplak, bukan. 
Karena tak kunjung ada kabar dari Nyong yang hendak menemui ayah Poutou, Poutou pun akhirnya pergi ke pasar untuk mengetahui keberadaan Nyong. Setelah sampai di pasar, Nyong tak ada. Poutou merasa sedih karena pujaan hatinya itu malah PHP (Pemberian Harapan Palsu).
Nyong terpana akan kecantikan Saplak yang tidak kalah cantiknya dengan Poutou. Nyong pun menjumpai Saplak dan memberinya sekuntum bunga yang terpasang dari celah kupingnya. Nyong menyatakan cintanya kepada Saplak selagi ia masih berhubungan dengan Poutou. Dari sini, konflik baru saja dimulai.
Keesokan harinya, Nyong mengunjungi Gousti Bagus, ayahnya Poutou. Gousti Bagus sudah mesam-mesem, karena ia mengira bahwa Nyong sudah siap dipersunting oleh Poutou. Bagai petir menggelegar di siang bolong, rupanya Nyong mengatakan sebaliknya. Nyong hendak pamit karena ia tidak jadi menikahi Poutou dan akan melamar Saplak.
Raut muka Gousti Bagus langsung berubah 360 derajat. Awalnya mesam-mesem kini malah menjadi asem. Gousti Bagus marah campur kecewa sesaat ia mendengar pernyataan Nyong. Nyong pun diusir oleh Gousti Bagus dengan cara yang tidak mengenakkan.
Setelah mengetahui bahwa Nyong telah berpindah ke lain hati, Poutou menjadi galau. Ia terlihat murung, tidak bergairah, dan hidup enggan mati tak mau. Ia begitu tidak bersemangat di hari terakhir ia menari Legong. Ia diberi semangat oleh temannya bahwa ia harus menari dengan baik.
Kemudian, tiba giliran Poutou menari. Musik gamelan telah dimulai, tapi Poutou belum tampil juga. Penonton heran sekaligus bertanya-tanya: ke mana penarinya, nih? Karena sudah tidak mood menari, Poutou pun sampai dipaksa oleh temannya.
Ia pun muncul di hadapan orang banyak dan langsung menari bersama teman-teman setariannya. Kebetulan Nyong yang bermain gamelan pun ada di sana. Akibat stress atau saking tidak percaya bahwa Nyong telah pindah ke lain hati, Poutou pun jatuh pingsan di akhir tarian Legong.
Beberapa hari setelahnya, Poutou penasaran akan perasaannya yang telah hancur-lebur, hingga ia menguntit Nyong dan Saplak pergi. Diikutinya mereka berdua di suatu tempat. Hingga pada akhirnya, dengan kedua matanya sendiri ia menyaksikan Nyong mencium Saplak. Bagaikan diiris gergaji tumpul, hati Poutou terpotong-potong berserakan. Ia merasakan patah hati terpahit, lebih pahit dari daun Sambiloto.
Poutou menekurkan kepalanya. Ia menunduk, sedih. Hatinya kini telah hancur, terbang, kemudian hilang. Poutou menjadi tidak punya hati. Ia merenung, memikirkan harus bagaimana ia selanjutnya. Hingga akhirnya, ia berdoa di atas jembatan sembari menjatuhkan sekuntum bunga, yang kemudian disusul oleh dirinya.
Pesan moral yang dapat diambil dari film historis ini adalah seyogyanya kita sebagai anak muda, jangan sampai mengikuti jejak Poutou. Kalau patah hati membuat kita sedih, kecewa, dan kesal, itu hal yang wajar. Karena, setiap manusia punya sense (perasaan). Asal, jangan terlalu dimasukkan ke hati. Pada dasarnya, ketika kita jatuh dalam setiap aspek kehidupan apapun, kita harus bangkit, kita harus move on. Satu lagi, patah hati bukan akhir dari segalanya. Juga, patah hati membuat kita semakin dewasa.

Komentar