Coretan Selasaku II : Teman Pertama

Seperti hari Selasa sebelumnya, hari Selasa kali ini berjalan lancar seperti biasa. Aku bangun tidur, dibangunkan Ibu. Aku bersyukur bisa bangun tidur dalam keadaan sehat wal afiat. Bukannya aku sombong, tapi jika dibandingkan dengan orang-orang yang sedang dirawat di rumah sakit, aku amat beruntung bisa membuka mata lagi.
Layaknya minggu kemarin, aku selalu tidur di pagi hari. Sekitar jam 5 Subuh aku mulai memejamkan mata. Barulah sekitar jam 9 pagi, aku bangun dan bersiap berangkat kuliah. Sebelum berangkat kuliah, aku selalu menyempatkan diri untuk salat Dhuha. Bukannya aku sok alim, tapi karena aku selalu ingin rezekiku tercukupi dan aku merasa bahwa diriku pendosa.

Aku senang, karena pada mata kuliah Produksi Media Elektronik, aku dapat berjumpa dengan teman-teman yang konsentrasi Humas. Terlebih, aku sekelas lagi dengan salah satu teman terbaikku di kampus, Erick namanya. Buatku, Erick adalah teman pertama yang menganggapku sebagai teman.
Mengapa aku bilang demikian? Jujur, pada semester-semester awal kuliah, aku jarang masuk. Bukan tanpa sebab, melainkan karena aku sakit kulit cukup parah. Ya, aku berjerawat ekstrem sehingga aku harus absen berbulan-bulan. Imbasnya, IPK-ku lumayan kecil. Imbas lainnya, aku dicap sebagai orang sombong, pemalas, dan sifat-sifat jelek lainnya oleh beberapa teman.
Tetapi, Erick tidak demikian. Erick adalah satu-satunya orang yang percaya penuh padaku. Pernah waktu itu, ada tugas kelompok yang mengharuskan meneliti suatu perkampungan. Teman-teman lain langsung dapat kelompok, karena mereka sejak awal kuliah sudah saling akrab (ada chemistry). Sedangkan aku? Tak satupun teman ada yang mengajakku. Jujur, waktu itu aku sedih dan bingung.
Aku sudah meminta ke salah satu temanku agar aku dapat masuk ke kelompoknya. Tapi, aku ditolak mentah-mentah dengan alasan: sudah penuh. Seolah-olah, aku bak benalu yang selalu menyusahkan mereka. Kalau diingat-ingat kejadian itu, aku laksana sampah yang nggak mungkin dipungut orang. “Baiklah,” pikirku, mungkin aku banyak dosa. Semoga aku sabar.
Pada malam hari di hari itu juga, aku langsung meng-sms Erick.
“Rick, gue boleh gak masuk ke kelompok lu?” tanyaku.
“Oy Faris. Iya boleh-boleh aja, Ris,” jawab Erick.
“Wah, kalo gitu makasih banget, Rick,” balasku.
“Iya masuk aja kali, Ris. Oiya, nanti lu bagian yang ngetik makalahnya, ya. Biar gue dan temen-temen yang ke sananya.”
“Oke Rick, sip.”
Dengan demikian, Erick adalah salah satu teman akrabku. Walaupun kita berbeda keyakinan, tapi hal itu nggak membuat kita jaga jarak. Malah, aku langsung nyambung ketika pertama kali ngobrol dengannya. Bahkan, Erick adalah orang pertama yang menanyakan kabarku pasca aku sakit jerawat. Biasanya, dia selalu bertanya, “Oy Faris, ke mana aja lu?”
Semoga nanti siang, ada ucapan salam hangat dari teman baikku itu. Alhamdulillah….

Komentar