Mau Mudik? Jangan Lupa Bawa Bekal Makanan (BPOM Blog Competition)

Bismillah….
Waktu kecil, gue pasti mudik bersama keluarga ke rumah nenek di Bandung. Budaya tahunan tersebut tidak pernah kami lewatkan, kami selalu pulang kampung saat lebaran tiba. Buat gue pribadi, mudik adalah tradisi sakral khas Indonesia yang unik sekaligus langka. Unik, karena budaya mudik hanya terdapat di Indonesia. Langka, karena budaya tersebut hanya terlaksana setahun sekali.
Dulu, gue selalu antusias dan senang ketika bulan Ramadan tiba. Sebab, dua minggu terakhir bulan Ramadan adalah hari libur dan gue pun dapat mudik ke kampung halaman. Gue beserta keluarga berangkat dari Jakarta ke Bandung menggunakan bus di Terminal Kampung Rambutan. Kami biasa berangkat pagi hari, karena udara saat itu masih segar dan terminal pun belum terlalu ramai.
Mudik ala BPOM. Sumber: @bpom_ri on Instagram.
Namanya mudik, kami membawa banyak tas yang berisikan baju salin, celana salin, alat mandi, alat komunikasi, uang, dan juga diri masing-masing. Dari sekian banyak bawaan yang kami bawa, untungnya kami tidak membawa kulkas atau dispenser. Karena jika kami membawa kulkas atau dispenser, maka dapat dipastikan kami kayak orang mau pindahan dari Jakarta ke daerah konflik.
Ayah selalu membawa tas paling berat. Sebagai kepala keluarga, ia dapat diandalkan dan dapat dipercaya. Ibu pun sama, ia membawa tasnya dan juga tas yang lain. Gue juga bawa tas ransel besar, yang beratnya setara dengan 20 batako. Sedangkan adik yang paling damai, dia nggak bawa apapun selain namanya. Sementara abang, masih kuliah di Bandung dan tidak ikut mudik.
Sebelum mudik, tidak lupa kami pamit ke tetangga dekat dan tetangga jauh. Selain minta maaf, kami pun meminta agar mereka menjaga kontrakan tempat kami tinggal. Betul, kami tinggal di kontrakan kecil nan sempit di daerah marjinal Ibu Kota Jakarta. Meskipun begitu, kami tetap bisa hidup damai, tenang, dan nyaman.
Setelah pamit ke tetangga, kami naik angkot jurusan Cilangkap-Kelapa Dua Wetan. Setelah sampai di pertigaan jalan raya, kami turun dan naik angkot jurusan Terminal Kp. Rambutan. Walaupun terkesan ribet dan agak melelahkan, tapi entah mengapa gue selalu semangat dan riang gembira. Beda jauh ketika mau berangkat sekolah, gue selalu mengantuk dan lesu. Itulah keistimewaan mudik, yakni dapat membangkitkan gairah seseorang.
Sesudah sampai di Terminal Kampung Rambutan, kami turun. Karena kalau kami nggak turun, niscaya kami bakal diturunkan secara paksa oleh supir angkot. Setelah turun, kami bayar ke supir angkot. Sebab kalau nggak bayar, mungkin kami akan berurusan dengan pihak berwajib.
Kemudian, kami berjalan menuju selasar Terminal Kampung Rambutan. Sebelum masuk, kami diharuskan membayar sebesar kurang lebih Rp.500 s.d Rp.1.000 di zaman itu. Sesaat memasuki terminal, kami langsung dikerubungi oleh kondektur bus yang membujuk kami supaya naik busnya. Sejujurnya, gue paling senang saat momen tersebut. Kenapa? Karena gue berasa artis internasional yang tengah dikerubungi oleh wartawan dan paparazzi.
Gerbang Terminal Kampung Rambutan. Sumber: kumparan.com
Sejak kecil, gue selalu banyak permintaan dan persyaratan yang bisa dibilang nggak jelas. Gue selalu menyarankan ayah bahwa jangan naik bus yang sudah penuh atau bangku paling depan yang sudah diduduki orang lain. Sebab, gue selalu mau duduk di kursi paling depan dan di dekat jendela. Waktu dulu, hal itu adalah kewajiban. Sekarang? Lesehan pun gue mau. Terlebih, kalau naik busnya gratis, gue mau banget.
Ayah selalu menuruti permintaan gue, begitu pun dengan ibu. Karena, mereka berdua juga suka duduk di bangku paling depan. Alasannya, lebih gampang ketika waktu turun dari bus dan dapat menikmati pemandangan di depan. Setelah berhasil menduduki bangku paling depan, kami menunggu dengan sabar nan bersahaja.
Durasi ngetem bus di Terminal Kp. Rambutan terbilang cukup lama, bisa sampai dua jam! Bayangkan, dua jam! Saking lamanya, gue sampai nguap-nguap cantik di dalam bus. Terkadang pula, gue ngupil dan mengelapkannya ke bangku bus. Seandainya dua jam dipakai nonton film, maka film yang kami tonton sudah tamat.
Bus-bus yang Terdapat di Terminal Kampung Rambutan. Sumber: picssr.com
Oleh karena itu pula, kami mengisi waktu hanya dengan duduk-duduk santai sambil mengamati situasi dan kondisi sekitar. Hanya itu, bisa dibilang cukup membosankan. Sebab, waktu itu belum ada smartphone canggih seperti sekarang. Kalau pun mau mendengarkan lagu, maka harus beli iPod dan iPod abal-abal yang harganya 200 ribu.
Satu momen yang paling gue suka ketika menunggu bus ngetem adalah melihat langit kebiruan. Buat gue, langit kebiruan di pagi hari sangat indah nan eksotis. Terlebih, dengan adanya semburat sinar mentari, maka pemandangan itu semakin lebih sedap tuk dipandang. Selain langit, gue pun suka memandangi bintang-bintang. Sedari kecil, gue memang senang dengan hal-hal yang menyangkut kebesaran Tuhan.
Sesaat bus berangkat meninggalkan Terminal Kampung Rambutan, sopir pun diganti. Awalnya, gue rada kaget ketika sopir bus diganti. Sebab, gue takut kalau sopir pengganti tersebut adalah orang jahat. Namun, ayah kasih tahu ke gue bahwasanya sopir baru tersebut adalah sopir yang asli dan bukan sopir gadungan. Sesaat mendengar kata-kata ayah, hati gue menjadi tenang.
Waktu dulu, Tol Cipularang belum ada seperti sekarang. Dahulu, Jakarta-Bandung masih lewat jalur Puncak (via Cianjur-Bogor). Alhasil, durasi perjalanan dari Jakarta ke Bandung memakan waktu hingga 6 sampai dengan 7 jam! Bayangkan, hampir setengah hari kami duduk di dalam bus. Akan tetapi, hal itu tidak terasa membosankan karena panorama dan suasana jalan yang berhasil menghibur kami.
Kondisi Tol Cipularang. Sumber: ayobandung.com
Amat berbeda jika dibandingkan dengan durasi perjalanan Jakarta-Bandung sekarang, yang hanya memakan waktu 1 jam setengah atau 2 jam saja. Durasi perjalanan segitu cukup ringkas, jika dibandingkan dengan durasi perjalanan waktu dulu. Umpamanya, mau bolak-balik Jakarta-Bandung sampai 4 kali dalam sehari pun, nggak masalah.
Ketika bus sudah mendekati daerah Bandung Barat, kondektur pun memberi tahu ke penumpang. Maka, kami turun di jembatan Cimareme yang dekat pabrik Rohto. Setelah turun, kami menuruni anak tangga yang agak curam dan licin. Buat gue, anak tangga itu cukup berbahaya jika kita tidak berhati-hati. Sekali terpeleset, maka dapat dipastikan baju dan celana akan kotor terkena tanah merah.
Kemudian, kami naik angkot dan turun di Tagog. Setelahnya, kami menaiki delman menuju rumah nenek. Dulu, delman di daerah kampung halaman kami masih banyak yang beroperasi. Namun kini, populasi delman semakin berkurang dan berkurang. Kini, delman yang beroperasi bisa dihitung dengan jemari karena saking sedikitnya.
Delman di Daerah Tagog. Sumber: dokumen pribadi.
Setiap kali menaiki delman, gue bawaannya pasti mengantuk. Mungkin, hal itu karena delman berjalan tidak terlalu cepat dan tidak pula terlalu lambat. Tiap menuju rumah nenek, kami akan melintasi jalan yang bernama Sodong. Sodong adalah jalan yang cukup historis. Sebab, jalan itu selalu membuat gue waas setiap kali gue melewati dan memandangi panoramanya saat sore hari. Sesudah melewati jalan tersebut, kami sampai di rumah nenek.
***
Lima belas tahun kemudian, kami sekeluarga tidak pernah merasakan mudik jauh lagi. Karena, kami telah pindah ke Bandung dan menetap di sini. Akan tetapi, bukan berarti kami tidak pernah mudik lagi ke rumah nenek. Kami tetap mudik ke rumah nenek yang jaraknya dari rumah kami hanya berkisar 100 meter.
Oleh karena itu, gue membeli mi instan cup di minimarket untuk bekal makanan selama perjalanan mudik. Agar kita nggak keracunan atau kedaluwarsa dari makanan yang kita beli, maka kita harus menerapkan prinsip pangan aman mudik. Hal itu penting, sebab ketika mudik, kita membutuhkan energi yang cukup bagi tubuh kita.
Mi Cup Instan. Sumber: dokumen pribadi.
Karena itu pula, gue selalu cek kemasan makanan yang telah gue beli tersebut. Gue amati secara detail; apakah kemasan makanan ada yang rusak, sobek, pecah, berlubang, atau menggelembung. Pengecekan ini penting sebab jika barang atau makanan yang kita beli rusak, maka kita bisa membatalkan pembelian atau menukarnya dengan barang yang baru. Selain itu dengan cek kemasan terlebih dahulu, maka kita telah melatih diri kita untuk lebih berhati-hati sebelum membeli sesuatu.
Cek Label. Sumber: @bpom_ri on Twitter
Selain cek kemasan, maka kita perlu juga cek label. Menurut akun Twitter BPOM Republik Indonesia, label pada produk terdapat 6 butir. Enam butir tersebut adalah; nama produk, komposisi/ daftar bahan, berat bersih/ isi bersih, nama dan alamat produsen/ importir, nomor izin edar, dan keterangan kedaluwarsa atau kode produksi.
Berbagai Keterangan Produk Mi Cup Instan Tersebut. Sumber: dokumen pribadi.
Cek label cukup penting, karena pada produk terdapat komposisi/ kandungan gizi, isi/ berat bersih, alamat produsen, label halal, dan izin edar BPOM yang tertera pada belakang atau samping produk. Label pada produk atau kemasan tersebut bertujuan untuk memberi informasi kepada pembeli. Jadi, pembeli seyogyanya memerhatikan produk yang mau dibeli.
Cek Produk BPOM di Situs Resmi BPOM. Sumber: dokumen pribadi.
Di samping itu, kita pun perlu cek izin edar. Izin edar adalah perizinan suatu barang atau produk yang telah terverifikasi keamanan, kejelasan, dan keasliannya dari BPOM. Ibaratnya, izin edar itu kayak lembaga sensor film yang telah meluluskan suatu film untuk dapat ditonton masyarakat luas. Jadi, barang siapa yang telah memiliki izin edar BPOM, maka produk tersebut sudah bisa digunakan.
Cek Izin Edar. Sumber: @bpom_ri on Twitter
Berdasarkan akun BPOM di Twitter, pangan olahan produksi dalam negeri terdapat 12 digit angka, pangan olahan impor ada 12 digit angka juga, dan pangan olahan hasil industri rumah tangga pangan adalah 15 digit. Jika kita masih ragu-ragu, bimbang, galau, atau tidak percaya pada label tersebut, maka kita bisa mengeceknya di situs www.cekbpom.pom.go.id. Selain itu, kita pun bisa mengeceknya lewat aplikasi BPOM yang terdapat pada Playstore.
Cek BPOM di Aplikasi Playstore. Sumber: dokumen pribadi.
Terakhir, yakni kita harus cek kedaluwarsa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia V, kedaluwarsa adalah terlewat dari batas waktu berlakunya sebagaimana yang ditetapkan (tentang makanan). Empat tahap pengecekan tersebut penting, tapi yang terpenting adalah cek kedaluwarsa. Karena, rata-rata orang pasti mengecek tanggal kedaluwarsa terlebih dahulu sebelum membeli suatu produk.
Cek Kedaluwarsa. Sumber: @bpom_ri on Twitter
Cek kedaluwarsa amat penting dilakukan dan diperhatikan oleh kita sebelum membeli produk, barang, ataupun makanan. Dengan mengecek kedaluwarsa, maka kita telah bersikap hati-hati, jeli, dan detail terhadap produk yang mau kita beli. Jika kita sembarang asal pilih dan membeli tanpa mengecek tanggal kedaluwarsa terlebih dahulu, maka ditakutkan kita akan menyesal nanti. Misal, kita membeli susu basi lalu meminumnya, maka dapat dipastikan kita akan kejang-kejang. Oleh karena itu, jangan lupa cek kedaluwarsa, yaa!
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa cek kemasan, cek label, cek izin edar, dan cek kedaluwarsa amat penting sebelum kita membeli barang, produk, makanan, minuman, dan atau makanan ringan. Pepatah mengatakan bahwa “mencegah lebih baik daripada mengobati” dan keempat standar pengecekan di atas adalah perwujudan dari pepatah tersebut. #panganamanmudik #cekklikbpom
***
Agar lebih jelasnya, lihat di sini:
Website           : www.pom.go.id
Halo BPOM    : 1500533
Instagram        : @bpom_ri
Facebook         : @BadanPOM
Twitter            : @bpom_ri

Komentar