My Story: Sebuah Perpisahan

Awalnya, gue sama sekali nggak menyangka bahwa gue bakal ketemu dua orang teman seangkatan yang rada gila. Sebelumnya, gue mengikuti perkuliahan Semester Pendek (SP) sebanyak 15 mata kuliah. Benar 15, nggak kurang dan nggak lebih. Banyak banget, kan? Jujur, itu banyak banget dan bikin gue kewalahan. But alhamdulillah, gue berhasil hantam seluruh mata kuliah tersebut dengan tepat waktu.
Selain itu, SP kali ini adalah SP yang pertama kali gue ikuti selama gue kuliah 4 tahun. Jadi, gue masih awam dengan SP walaupun gue tergolong senior di kampus. Jangankan SP, ruangan kelas dan nama dosen pun gue nggak hapal.
Ilustrasi semester pendek
Ketika pertama kali mengikuti SP, gue menganggap bahwa cuma gue mahasiswa paling tua. Karena kebanyakan yang ikut SP adalah mahasiswa adik kelas. Tak disangka, ternyata ada beberapa mahasiswa seangkatan bahkan kakak kelas yang ikut SP juga. Fyuh, gue nggak sendiri.
Saat mengikuti SP mata kuliah Bahasa Inggris, terdapat sosok mahasiswa bermata sipit, memakai kacamata, dengan dipadu kemeja setelan rapi. Mahasiswa tersebut terlihat pintar, smart, dan kompeten. Gue beranggapan bahwa dia adalah salah satu tetua Badan Eksekutif Mahasiswa. Penampilannya itu amat mirip dengan salah satu sahabat baik gue, Aldo.
Tak lama berselang, hadir satu mahasiswa lain yang berpenampilan rapi, rambut klimis, memakai kacamata, dan dipadu dengan kemeja pantai yang sengaja ia buka kancing atasnya. Mahasiswa tersebut terlihat seperti cowok metrosexual nan kaya raya. Lantas, ia menyapa mahasiswa bermata sipit. Gue pikir, mereka berdua adik kelas. Tak terduga, ternyata mereka seangkatan sama gue.
Mereka berdua mengobrol dan duduk bersebelahan. Tepat di samping mahasiswa kaya, ada gue yang sedang menguping pembicaraan mereka. Mahasiswa kaya itu tersenyum ke arah gue sambil memperlihatkan giginya. Gue pun tersenyum seraya menganggukkan kepala sebagai tanda hormat. Kedua mahasiswa tersebut rupanya sedang membicarakan perihal motor bekas. Jadi, mahasiswa bermata sipit itu hendak meminta saran dari mahasiswa kaya.
Dosen mata kuliah Bahasa Inggris hari itu nggak masuk. Terpaksa, kami bubar lebih cepat dari biasanya. Kedua mahasiswa yang namanya masih misterius tersebut keluar kelas dengan obrolan mereka. Pagi itu, gue terpaksa berdiam diri di dalam kelas. Sebab, ada tugas Bahasa Mandarin yang harus gue kerjakan selugasnya. Sedangkan kedua mahasiswa itu, telah pergi entah ke mana.
***
Keesokan harinya, gue ketemu lagi dengan mahasiswa kaya berambut klimis. Kami bertemu di tangga, koridor, ruang piket, dan ruangan kampus lainnya. Gue curiga, sepertinya mahasiswa kaya itu mengambil SP 15 mata kuliah, sama kayak gue. Sejujurnya, mahasiswa kaya itu punya tampang yang tegas dan agak keras. Akan tetapi, setiap kali gue berpapasan dengannya dan menyapanya, dia selalu membalas sapaan gue.
Ilustrasi cowok metrosexual
Selain rambut klimis, mahasiswa kaya tersebut punya penampilan yang lain daripada yang lain, yakni dia selalu membuka kancing atas kemejanya dan menggulung celananya ke atas mata kakinya. Entah, mungkin dia menganggap bahwa penampilan tersebut keren. Well, its cool and suit for him. But not for me, maybe.
***
Keesokan harinya, gue sekelas dengan mahasiswa bermata sipit. Masih dengan kemeja dan celana chino yang sama, dia duduk di bangku yang sama pula. Waktu itu, kami belum berkenalan. Sehingga, suasana menjadi kikuk dan canggung. Begitu juga dengan mahasiswa lain yang mengambil SP Bahasa Inggris.
***
Lusa, gue dan mahasiswa bermata sipit itu kebetulan duduk di bangku panjang. Kami duduk, saling menyapa, mengobrol, dan bertukar nomor telepon. Secara kebetulan, dosen Bahasa Inggris tidak masuk dan kami hanya absen di ruang piket. Selagi menunggu jam yang ketiga, gue dan mahasiswa bermata sipit itu sempat ngobrol seraya bercanda. Ketika kami sedang asyik tertawa, duduklah seorang mahasiswi, bernama Rosalinda.
Linda adalah mahasiswi angkatan 2015 jurusan Ilmu Komunikasi, fokus pada Humas. Linda berasal dari Medan, Sumatera Utara. Hal itu terlihat dari bentuk muka dan bibirnya yang kental. Tekstur mukanya nggak beda jauh sama gue, yakni serba tebal. Dia sudah lama tinggal di Bandung, bersama dengan bibinya.
Kenapa gue bisa tahu namanya? Hal itu bermula dari mahasiswa bermata sipit yang lebih dulu berkenalan dengannya. Harus gue akui, kemampuan komunikasi antarpersonal yang dimiliki mahasiswa bermata sipit itu cukup kompeten dan andal. Dia bisa dengan mudah, kenal, dan dekat dengan orang yang baru dia kenal. Suatu hal yang mungkin sulit gue terapkan.
Ilustrasi komunikasi antarpersonal
Tak cukup waktu lama, mahasiswa bermata sipit itu melancarkan manuvernya kepada Linda. Gue masih ingat, percakapan antara mereka berdua yakni sebagai berikut:
“Aku kelihatan awet muda, yah?” tanya mahasiswa bermata sipit.
“Ah, nggak juga, sih.” kata Linda.
“Menurut kamu, aku angkatan berapa?” tanyanya, lagi.
“Hmm… seangkatan,” jawab Linda, polos.
“Wahaha, tuh kan benar, aku awet muda,” kata mahasiswa bermata sipit, pede bangsat. “Lin, aku ganteng, yah?”
“Apa, ganteng?” Linda balik tanya, dibarengi ekspresi muka mau muntah.
Gue tercengir-cengir melihat ekspresinya itu.
“Iya, mukaku ganteng, kan?” tanya mahasiswa bermata sipit, keukeuh.
Tak lama, Linda menjawab, “NGGAK SIH… MUKA KAKAK PENUH DENGAN BEBAN.”
Sontak, gue ketawa ngakak. Sementara mahasiswa bermata sipit itu hanya tersenyum kecut. Linda? Mungkin dia sudah menyiapkan keresek untuk mengeluarkan mualnya.
Tak lama kemudian, Linda pamit pulang. Mahasiswa bermata sipit itu dengan pede mengucapkan hati-hati kepada Linda. Setelah Linda pulang, mahasiswa bermata sipit itu memberi tahu namanya ke gue. Lele, itulah nama mahasiswa bermata sipit tersebut. Sengaja gue samarkan namanya demi harga dirinya.
***
Lele adalah seorang mahasiswa angkatan 2014 jurusan Ilmu Komunikasi. Meskipun telah senior, dia ternyata belum mengambil penjurusan (Jurnalistik dan Humas). Entah mengapa dia bisa separah itu. Ada indikasi masa kuliahnya bentrok dengan pekerjaannya. Ya, gue dapat berempati bahwa kuliah sambil kerja memang nggak gampang. Buat gue, kuliah sambil kerja cukup merepotkan.
Meskipun Lele terombang-ambing di dunia perkuliahan, tapi pengalaman kerjanya tidak bisa dianggap remeh. Dia telah bekerja di beberapa tempat; perusahaan, restoran, perhotelan, dan lain sebagainya. Bagi gue, pengalaman kerjanya tersebut adalah skill yang dapat memberi alasan atas kekurangannya di perkuliahan.
Ilustrasi Lele
Buat gue, Lele adalah seorang yang mandiri, pekerja keras, dan penuh kemauan. Di samping itu, dia pun berbakat dalam menarik perhatian lawan jenis. Gue mengibaratkan bahwa Lele mirip Chu Patkai (siluman babi di serial Kera Sakti) dalam hal ketertarikannya kepada perempuan.
Dia menunjukkan bukti-bukti chat-nya dengan beberapa wanita ke gue. Dia mengaku bahwa dirinya kini tengah lajang. Namun, dia memiliki banyak gebetan. Hal itu bertolok belakang dengan gue yang tengah lajang, gebetan pun nggak punya. Lele pun mengaku bahwa dia malas untuk berpacaran. Dia lebih suka menjalani hubungan teman tapi mesra. Well, masa pedekate memang selalu lebih indah daripada masa pacaran.
***
Besok setelahnya, dosen Bahasa Inggris kembali nggak masuk. Ya, beliau sering nggak hadir dan lebih banyak mangkir. Apakah itu yang dinamakan kegabutan dan korupsi waktu? Gue nggak tahu. Karena dosen nggak ada, maka para mahasiswa SP berkumpul di selasar kampus.
Kami berbincang, main game, dan duduk-duduk. Sedangkan gue hanya membuka Whatsapp untuk membalas pesan ibu yang menanyakan keberadaan gue. Adapun Lele, dia asyik buka Instagram hingga tertawa keras. Suara ketawanya tersebut percis orang stres di Rumah Sakit Jiwa.
Lima belas menit kemudian, mahasiswa lain memutuskan untuk bubar dan kembali ke rumah atau kostan mereka masing-masing. Hanya tinggal gue dan Lele yang masih duduk di selasar kampus. Biar nggak ngantuk, maka gue memesan kopi di depan kampus. Tak lupa, gue sekalian memesannya untuk Lele dan gue traktir dia. Toh, apalah arti uang Rp. 3.000 buat gue.
Tak lama berselang, muncul mahasiswa kaya dengan ciri khasnya yaitu kemeja yang terbuka, celana yang sengaja dingatungkan, dan kunci mobil yang menggantung di sakunya. Dia lantas menyapa kami dan segera duduk di samping Lele. Rupanya, mahasiswa kaya itu adalah sohib dekat Lele.
Almarhum Kasino Warkop  DKI
Saat itu, mahasiswa kaya tersebut belum terlalu kenal dan dekat dengan gue. Maka, dia hanya menyapa gue seperlunya dan berbicara lebih ke Lele. Dengan rambutnya yang selalu klimis, badan kurus, dan memakai kacamata, mahasiswa kaya itu amat mirip dengan tokoh Warkop DKI, Kasino.
Kemudian, mahasiswa kaya itu mengajak Lele untuk pindah ke kantin belakang. Mungkin, dia merasa nggak nyaman dengan suasana di selasar kampus yang cukup terbuka. Tak lupa, Lele dan mahasiswa kaya itu mengajak gue untuk pindah tempat tongkrongan. Tapi, gue menolak secara halus karena gue mau ketemu dengan Ketua Prodi yang super gemesin.
Setelah bertatap muka dengan Ketua Prodi, gue kembali duduk di selasar kampus yang kian sepi. Untungnya, gue ingat bahwa Lele dan mahasiswa kaya sedang berada di kantin belakang. Maka, gue kirim pesan singkat lewat Whatsapp yang menanyakan apakah mereka masih di sana. Lele membalas pesan singkat secara cepat, dia katakan bahwa mereka masih di sana. Tak perlu waktu lama, gue segera beranjak ke kantin belakang.
***
Selama 4 tahun kuliah, gue sangat jarang makan atau nongkrong di kantin belakang kampus. Kenapa? Karena suasana dan kondisi di sana amatlah bertolok belakang dengan selera gue yang bonafide. Secara kasarnya, kantin belakang kampus itu menurut gue kayak kandang ayam yang sudah bertahun-tahun nggak dibersihkan.
Setelah memasuki lorong kantin, gue mencari-cari Lele dan mahasiswa kaya. Ternyata, mereka berdua ada di pojok kantin. Setelah gue dekati, rupanya Lele sedang sibuk bermain game di ponselnya. Sementara mahasiswa kaya sedang sibuk menghisap rokoknya. Kegiatan mereka berdua dan suasana kantin, amat saling mendukung. Gue merasa bahwa momen itu seperti di film-film indie yang bertemakan narkoba, kekerasan, dan kemiskinan.
Ilustrasi kantin
Kemudian, gue disuruh memesan secangkir kopi oleh mahasiswa kaya. Gue lantas menghampiri bapak penjual kopi dan memesan kopi Good Day kesukaan gue. Gue pun duduk di samping mahasiswa kaya, yang mana dia malah membelakangi gue. Sesaat kopi tiba di meja, barulah mahasiswa kaya tersebut mengubah posisi duduknya.
Ketika Lele lagi asyik main game di ponselnya, gue dan mahasiswa kaya pun bertukar obrolan, pendapat, dan pikiran mengenai dunia perkuliahan yang pelik ini. Gue dan dia ternyata sepemikiran tentang Ketua Prodi yang begitu menggemaskan. Menurutnya, beliau amat baik kepadanya, bahkan dirinya sempat dikatakan: sudah tua belum lulus juga. Sumpah, kalimat itu sangatlah menyesakkan bagi kami.
Ilustrasi nyata mahasiswa senior
Tak perlu beribu menit, gue dan mahasiswa kaya sudah akrab dalam obrolan kami yang berubah menjadi bahan candaan. Gue ngakak, tertawa puas, dan bahkan air mata gue sampai rebas. Jujur, sudah sekian lama gue nggak tertawa lepas seperti di momen itu. Gue senang, karena biasanya setiap pergi ke kampus terasa membosankan. Namun saat itu, suasana kampus seketika berubah menjadi ceria.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul bersama mahasiswa kaya, gue memutuskan untuk cabut karena ada jam pelajaran lagi. Gue berpamitan dengan Lele dan mahasiswa kaya itu. Nggak lupa, gue pun membayari kopi mereka berdua. Bukannya gue banyak duit, sok kaya, atau sok berkecukupan, tetapi gue membayari mereka hanyalah karena pertemanan lebih penting ketimbang secangkir kopi. Dengan langkah tergesa, gue pun keluar dari kantin kumal itu.
***
Esoknya, gue dan salah satu teman baru yang seangkatan, yakni Upi sibuk mengerjakan tugas final mata kuliah Wawancara. Upi adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi yang fokus pada Jurnalistik, sama kayak gue. Dia berasal dari Bekasi, wajahnya mirip orang Asia Utara (Jepang, Korsel, atau Korut). Rambutnya kayak Oppa Korea dan berwarna kemerah-merahan semu oranye. Pertama kali melihatnya, gue kira dia imigran gelap dari Tiongkok. Nyatanya, sangkaan gue salah.
Ketika gue dan Upi asyik mengerjakan soal Wawancara, tetiba muncul mahasiswa kaya dari pintu utama kampus. Penampilannya terlihat segar, seperti biasanya. Dia tersenyum dan menyapa gue. Lalu, dia bertanya pada Upi dengan kalimat sunda gaul. Ternyata, dia dan Upi sudah lama kenal. Usut punya usut, dia dan Upi dulunya teman satu kelas.
Ilustrasi imigran gelap dari Tiongkok
Berawal dari situlah, mahasiswa kaya itu menyuruh gue untuk menyimpan kontaknya. Setelah gue simpan nomor teleponnya, maka gue tahu nama si mahasiswa kaya tersebut. Perkenalkan, namanya adalah Sabi. Dia adalah orang Bandung, lebih tepatnya Banjaran. Kata Lele, Sabi adalah anak seorang boss. Entah, gue nggak tahu pasti bokapnya boss di bidang apa. Sabi sendiri tidak pernah mengaku-ngaku bahwa dia adalah anak boss. Akan tetapi dari tampilannya, Sabi berasal dari keluarga menengah ke atas.
Hari-hari selanjutnya, gue beserta Lele dan Sabi semakin dekat nan akrab. Kami sering nongkrong di depan kampus, duduk-duduk, mengobrol, ngopi, menggoda cewek lewat, dan bahkan mengerjakan tugas bersama. Gue merasa bahwa kami bertiga begitu lucu, aneh, dan janggal. Mengapa? Sebab, teman-teman seangkatan kami sudah ada yang sidang, menyusun skripsi, dan atau bekerja. Sedangkan kami; masih harus kuliah, mengerjakan tugas, dan ngopi di warung sambil mengerjakan tugas Pengantar Statistik Sosial.
Ilustrasi Pengantar Statistik Sosial
“Anu lain mah keur pada sare, liburan, na ai urang mah masih we kieu…,” keluh Sabi, sambil menulis.
“Bahahaha… iya, Bi. Gini amat, ya.” jawab gue, diselingi ngakak.
Tiba-tiba, Lele ikut nimbrung dengan mengatakan, “Nanti ah, saya mah mau buka klinik ruqyah di kampus.”
Kontan, gue tertawa keras, “BAHAHAHA… TERAPI RUQYAH BAPAK LELE!”
“Keur naon kitu Le, maneh hayang buka tempat ruqyah di kampus?” tanya Sabi sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Enya keur siga urang. Mahasiswa tingkat akhir anu stres, depresi, atau frustrasi ketika menghadapi skripsi,” kata Lele, lugas dan percaya diri.
“Yeuh, ai sia!” seru Sabi.
Gue hanya tertawa keras untuk yang kesekian kali.
***
Hari Sabtu, gue diajak main Playstation 4 oleh Lele dan Sabi. Gue nggak menyangka bahwa mereka berdua ternyata suka main PS juga. Tanpa penolakan, gue segera bergabung. Kami bertiga berangkat menaiki mobil pribadi punya Sabi. Mobilnya adalah sedan Honda Civic keluaran tahun 2006. Mobilnya tersebut terlihat seperti mobil balap dengan warna krem metalik.
Ketika gue memasuki mobilnya, tercium wangi khas mobil dengan kenyamanan yang lumayan. Meskipun mobilnya itu sudah berumur, tapi kondisi interior dan tarikannya masih enak dan mulus. Gue duduk di belakang, sementara Lele dan Sabi duduk di depan. Jujur, baru kali ini gue diajak main di sekitaran Bandung sambil menaiki mobil. Biasanya, gue selalu naik motor atau angkutan umum.
Ilustrasi Honda Civic milik Sabi
Setelah sampai, kami segera booking tempat. Kami bermain selama 4 jam, waktu yang menurut gue cukup lama. Tempat rental PS tersebut cukup berisik, tapi bagus secara kualitas dan pelayanan. Kami bermain game sepakbola, yaitu Pro Evolution Soccer (PES) 2018. Sejujurnya, itu adalah pertama kali gue bermain dan memegang joystick PS 4. Gue merasa bahagia, senang, dan excited. Masa kecil gue seperti terpanggil kembali sesaat gue memegang stick dan fokus ke layar televisi.
Kami bermain cup mode, jadi pemenangnya akan mendapatkan trofi bergengsi, yaitu trofi Konami Cup. Masing-masing dari kami memilih 2 tim, gue pilih klub AS Roma dan Juventus. Pertandingan pertama adalah gue vs Sabi. Pada pertandingan itu, gue berhasil mengalahkan Sabi dengan skor 4-2, skor yang amat meyakinkan.
PES 2018
Setelah mengalahkan Sabi, kali ini gue berhadapan dengan Lele. Mulanya gue sempat memandang remeh kemampuan Lele dalam bermain game sepakbola. Faktanya, Lele cukup tangguh dan menyulitkan. Gaya bermainnya seperti orang kebanyakan, yakni mengandalkan serangan R1 dan prinsip: lari, lari, dan lari. Sedangkan gaya main gue lebih ke tiki-taka, yakni operan pendek nan terstruktur dipadu dengan permainan indah. Pada akhirnya, Lele berhasil menumbangkan gue dengan skor 2-0. Well, not bad.
***
Tak terasa, 4 jam telah berlalu dan waktu pun habis. Kami bergegas merapikan diri dan hendak membayar di kasir. Gue sempat panik karena di dompet hanya menyisakan uang Rp. 10.000. Tak dianya, Sabi si mahasiswa kaya membayar kami berdua. Gue merasa nggak enak karena telah merepotkan dan nggak nyumbang duit. Maka, dari situ gue belajar bahwa orang yang luarnya terlihat emosian, tegas, dan keras ternyata punya hati yang lembut selembut tahu Cibuntu.
Selanjutnya kami tidak langsung pergi ke kampus, akan tetapi cari makan siang terlebih dahulu. Mengingat bahwa kami belum makan dan bahkan gue sampai kedinginan karena perut gue belum diisi makanan. Awalnya, Sabi dan Lele mau makan di Rumah Makan Ibu Imas yang terletak di dekat Alun-alun Bandung, namun mereka memutuskan untuk makan siang di belakang Mall Yogya.
Ilustrasi warung makan Ibu Imas
Lele memesan ayam bakar, sedangkan Sabi memesan ayam goreng. Adapun gue yang lebih memilih sosis goreng seharga Rp. 10.000. Harga tersebut pas dengan isi dompet gue yang nelangsa ini. Atas kebaikan Allah, Sabi berkata bahwa gue hendaknya memesan ayam goreng saja. Sedangkan untuk pembayarannya, biar dia yang bayar. Jujur, selama 4 tahun kuliah, baru kali ini gue ditraktir terus-terusan sama teman. Gue pun, jadi nggak enak.
Kami makan lahap, utamanya gue. Naasnya, Sabi salah mengambil ayam goreng. Dia malah mengambil bagian paha, sementara gue bagian dada. Hal itu dia katakan setelah nasi yang terdapat di piring gue telah habis. Maka, gue merasa diuntungkan karena mendapat daging yang lebih banyak.
Ilustrasi ayam bakar
Selesai makan, Lele dan Sabi langsung merokok. Sementara gue hanya mengecek ponsel yang sepi obrolan. Sesaat kami mendinginkan perut, tetiba datang mbak-mbak penjual rokok yang berpakaian seksi. Automatis, Lele jelmaan Chu Patkai langsung bersikap sok keren.
Dia sempat menggoda mbak penjual rokok itu, sementara gue dan Sabi diam sambil mendengarkan percapakan antara Lele dan mbaknya. Akhirnya dengan sedikit bujukan dan rayuan mbaknya, Lele membeli korek gas. Katanya, dia terpaksa membeli korek api itu, karena kasihan dengan mbaknya yang telah bersedia merayunya.
Sekitar 15 menit kami mendinginkan perut, kami pun cabut ke kampus. Dalam mobil Honda Civic milik Sabi, tidak henti-hentinya gue membayangkan bahwa gue bisa naik mobil pribadi dari Padalarang ke Bandung. Lewat angan-angan itu pula, gue punya mimpi yang baru lagi.
***
Setelah sampai di kampus, gue dan Lele turun. Sabi langsung melanjutkan perjalanan ke rumahnya. Tidak lupa sebelum turun, gue mengucapkan terima kasih kepadanya karena sudah mentraktir gue main PS, makan ringan, dan makan berat. Sabi berkata bahwa hal itu bukanlah masalah. Baru kali ini, gue punya teman baru tapi langsung in kayak Sabi.
Lantas, pikiran gue langsung flashback (mengingat kembali) ke masa-masa saat gue pertama kuliah. Dulu, boro-boro gue diajak main, diajak makan, ataupun ditraktir sama teman sekelas, disapa pun nggak. Sejujurnya, itu bikin gue kecewa dan agak sakit hati. Entah karena apa mereka memandang gue kayak orang asing.
Ilustrasi dikucilkan
Oke, mungkin karena gue tipikal mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang) yang jarang ngumpul dengan mereka. Tapi, gue punya alasan pasti karena rumah gue jauh dan gue ada pekerjaan yang harus dikerjakan. Bahkan hingga kini, gue menganggap bahwa mereka kayak bukan teman sekelas. Mereka pun sama, menganggap gue bukan teman sekelas mereka. Well, gue merasa bahwa kuliah di sini benar-benar penuh dengan rintangan.
Sesaat gue dan Lele turun, Sabi membunyikan klakson yang menandakan bahwa dia langsung pulang. Tidak lupa, gue dan Lele memberi gestur jempol kepadanya yang berarti: mantap kawan, hati-hati di jalan! Sesudah itu, Lele menyusul pulang.
Sedangkan gue hendak berterima kasih (salat) kepada Tuhan Yang Maha Baik. Berkat limpahan rahmat-Nya, gue cuma punya teman yang sedikit. Bahkan saking sedikitnya, real friends gue itu bisa dihitung jari. Meskipun begitu, teman-teman gue tersebut sudah gue anggap seperti sahabat dan saudara dekat.
***
Seperti biasa; gue, Lele, dan Sabi nongkrong di warung kecil milik Mak Acih. Warung sederhana itu telah menyaksikan sejarah kami, yakni tiga mahasiswa senior yang masih berkutat di Semester Pendek ketika teman lainnya sudah pada sidang skripsi. Bagi gue, warung kecil itu memiliki kenangan manis yang akan selalu gue kenang sampai nanti.
Andai gue nanti sudah berkeluarga, warung kecil tersebut akan gue tunjukkan kepada istri dan anak-anak gue. Gue akan kasih tahu mereka bahwa dulu selagi muda, gue pernah nongkrong bersama dua teman yang kurang waras di warung itu. Semoga, istri dan anak-anak gue kelak bisa memaklumi gue apa adanya. Hehehe.
Pada pagi yang cerah itu, gue dan kedua teman baru gue tersebut ngopi. Buat kami, ngopi adalah sesuatu yang harus dilakoni sebelum kami bertiga menghantam hari yang akan kami jalani. Gue suka kopi Good Day moccacino, karena menurut gue kopi tersebut adalah yang terbaik buat selera dan lambung gue.
Ilustrasi ngopi
Adapun Lele, dia suka kopi cappucino atau kopi susu. Pokoknya, Lele suka kopi yang manis-manis, nggak beda jauh dengan selera gue. Sedangkan Sabi, dia lebih suka kopi hitam. Kata orang kebanyakan, cowok yang suka kopi hitam adalah cowok yang macho, menyukai tantangan, dan gentlemen. Hal itu amatlah cocok dengan garis muka Sabi yang keras, tegas, dan lugas.
Setelah memantikkan korek gas ke rokoknya, Sabi menyatakan pemikirannya tentang masa liburan setelah Semester Pendek.
Panorama Bali, Indonesia
“Re, urang ka Bali, yuk?” ajak Sabi ke Lele.
“Ha? Rek naon ka ditu?” Lele balik tanya.
“Nya liburan atuh, urang refreshing di ditu,” jawab Sabi.
“Ma enya we berdua, jiga pasangan maho wae,” kata Lele, seraya bergidik.
Gue tertawa ngakak setelah mendengar perkataan Lele itu.
“Enya nya, urang pan masih normal. Najis pisan mun ka Bali berdua jeung maneh,” kata Sabi, lalu ia menyengir pahit.
Lantas, Sabi bertanya ke gue, “Maneh mau gak, ke Bali?”
“Hm? Bali? Mau ngapain di sana?” tanya gue, yang belum pernah ke luar Pulau Jawa.
“Nya liburan we. Kita bertiga ke Bali, mau gak?” tanyanya, lagi.
Gue terdiam, karena Bali lumayan jauh dan urusan kuliah pun belum kelar.
“Nanti kita bawa cewek-cewek, terus di sana kita ***,” kata Sabi, meyakinkan.
Gue semakin terdiam, belum bernah begituan.
“Mau, gaak?” tanya Sabi, membuyarkan lamunan gue yang mulai kalut.
Gue menolaknya secara halus, sepertinya gue nggak bisa. Terkecuali, kalau kami nanti bawa pasangan halal kami masing-masing, baru gue mau.
Sabi memaklumi gue, lantas dia mengaku bahwa dia dan Lele sudah pernah begituan. Begituan di sini bukan berarti making love, tapi lebih ke percumbuan, mesum, atau zina. Sabi mengaku bahwa dia pertama kali melakukan hal itu adalah ketika dirinya duduk di bangku SMA. Dia lakukan bersama teman perempuannya di toilet sekolah. Well, menurut gue mereka berdua cukup berani dengan menyatakan hal-hal nggak senonoh kepada orang yang baru mereka kenal.
Lele pun sama, pertama kali begituan adalah saat dia duduk di bangku SMA. Hal itu bermula dari mantan pacarnya yang mengajaknya ke rumah. Kemudian, mantan pacarnya itu merayunya dan meremas alat vital Lele, dan terjadilah begituan. Jadi, pengalaman cinta kedua teman baru gue tersebut cukup menyeramkan buat gue yang masih awam banget soal begituan. Sebab, senakal-nakalnya gue, gue nggak pernah begituan.
Ilustrasi mesum
Ketika gue jujur bahwa gue masih tergolong cupu, Lele dan Sabi lantas berkata bahwa gue adalah orang baik. Menurut mereka berdua, sifat baik gue ini harus dipertahankan dan jangan sampai coba-coba seperti yang telah mereka coba. Bahkan, Sabi mengaku malu sesaat dia tahu bahwa gue belum pernah minum minuman keras, nggak merokok, dan nggak pernah main perempuan.
Setelah dipuja-puji seperti itu, gue jadi malu sendiri. Karena, gue nggak merasa baik dan orang-orang cuma tahu kondisi lahiriyah gue semata. Mereka menilai bahwa gue adalah orang yang baik, nggak macam-macam, pendiam, dan sifat-sifat positif lainnya. Akan tetapi, gue sebagai pemilik diri ini menilai bahwa gue masih jauh dari kata baik. Buat dunia luar, mungkin gue tergolong polos. Tapi untuk diri sendiri, gue adalah orang yang liar dan brutal.
***
Dalam menjalani hari-hari Semester Pendek yang gue lalui, gue nggak bergaul dengan Lele dan Sabi saja, tapi gue juga bergaul dengan teman seangkatan lain, salah satunya adalah Fiki. Fiki berasal dari Padang, Sumatera Barat. Gue sudah lama kenal dengannya semenjak masa ospek. Dia adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi, dengan mengambil jurusan yang sama yaitu Jurnalistik.
Biasanya setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu, gue dan dia sering makan siang bareng di Rumah Makan Ponggol dekat kampus. Rumah makan tersebut adalah rumah makan paling enak di antara rumah makan yang lain di sekitaran kampus. Selain harganya murah, rasanya pun nggak kalah dengan restoran-restoran besar.
Ilustrasi Rumah Makan Ponggol
Selain makan bareng dengan Fiki, gue pun sering makan bersama Brodi (salah satu sahabat baik gue). Sayangnya, gue nggak pernah makan siang bareng dengan cewek cantik di rumah makan tersebut. Padahal dari segi tempat, lokasi, dan ruangan, rumah makan tersebut amat cocok dijadikan tempat kencan atau mengajak seseorang yang spesial. Semoga, gue bisa mengajak seseorang yang gue anggap spesial untuk makan bareng di sana.
Sesekali, gue mentraktir Fiki jikalau gue punya uang lebih. Sering kali, dia menolak traktiran gue yang ujung-ujungnya dia mengucapkan: ah, terima kasih, Ris! Lewat dirinya, gue menjadi tahu bahwa di Padang, tidak ada rumah makan dengan embel-embel: Rumah Makan Padang. Katanya, rumah makan Padang di sana hanyalah rumah makan seperti rumah makan pada umumnya.
Ilustrasi Rumah Makan Padang
Fiki pun menjelaskan lebih lanjut, bahwa kualitas cita rasa masakan Padang di sini berbeda dengan kualitas cita rasa masakan di kampungnya. Gue mempercayai omongannya itu, sebab dia adalah orang Padang. Namun, dia pun menyatakan bahwa beberapa rumah makan Padang di sini ada yang enak pula.
***
Memasuki minggu terakhir Semester Pendek, Senin; gue, Lele, dan Sabi nongkrong bareng di kantin belakang kampus. Kami duduk di bangku panjang yang sudah amat dekil, lusuh, dan kotor. Bangku itu amat kontras dengan kami bertiga yang berpenampilan rapi, bersih, dan kece. Setelah duduk, kami memesan jus; gue pesan jus jeruk, Lele pesan jus alpukat, dan Sabi memesan jus mangga.
Sambil menunggu jus datang, kami bercakap-cakap seperti biasa.
“Ai maneh pas daftar ka kampus waktu dulu, sendiri atau dianter orangtua?” tanya Sabi, memulai percakapan sambil menghisap rokok kuat-kuat.
“Gue dianter saudara gue, Bi.” jawab gue, lugas.
“Oh… ai urang mah basa eta nya, daftar ka kampus teh sorangan, we,” ucap Sabi, mengenang masa lalunya. “Ka mana-mana teh sorangan. Planga-plongo sorangan urang mah.”
Lantas, Lele menceletuk, “Watir kitu, maneh mah, Bi.”
“He’euh, bayar DPP sorangan, bayar SP sorangan. Sagala we urang mah sorangan,” kata Sabi, nada bicaranya sedikit kesal tapi ada rasa bangga.
“Ai maneh, bayar DPP dibayarin apa nggak?” tanya Sabi ke gue.
“Gue mah… dibayarin ibu gue, Bi,” jawab gue, jujur.
Sontak, kedua mata Lele dan Sabi membesar sesaat mereka mendengar jawaban gue.
“Wah… si ieu mah anak mami,” ujar Lele, lalu tertawa.
Sementara Sabi geleng-geleng kepala seakan tidak percaya.
“Maneh mah main jarang, nginap nggak boleh, DPP dibayarin, anak mami banget,” kata Sabi sambil cengir. “Maneh teh laki-laki men, sudah gede. Maneh harus belajar mandiri biar nantinya nggak kaget.”
Walaupun terdengar seperti menasehati gue, kata-kata Sabi itu ada benarnya juga.
***
Setelah ngobrol ngalor-ngidul, kami bertiga memutuskan untuk cabut. Gue mengira bahwa kami akan main PS 4 dahulu sebelum kami pulang ke rumah masing-masing, tapi nyatanya nggak. Sabi ingin mencuci mobilnya yang kotor karena kecipratan kotoran. Lele mau ngojek online, yakni aktivitas rutinnya yang sedang ia lakukan. Sedangkan gue langsung pulang ke Padalarang.
Kami berjalan pelan menyusuri tempat parkir motor. Sambil berjalan, nggak lupa gue pandangi sungai kotor yang berada di samping kampus. Gue berdoa, semoga 10 tahun dari sekarang, sungai tersebut bisa jernih sejernih air galon. Sambil berjalan pula, gue berharap bahwa kami bertiga bisa lulus kuliah secepatnya.
Ilustrasi kami bertiga
Setelah sampai di tempat parkir motor depan kampus, kami berpisah. Sabi menjabati tangan Lele, lalu tangan gue. Dia mengucapkan hati-hati kepada gue dan Lele. Kemudian, Sabi berjalan menuju mobilnya yang parkir di bawah pohon rindang. Badan yang kurus, celana ngatung, kemeja yang sengaja dibuka, dan rambutnya yang klimis mungkin akan gue kenang selalu sebagai teman baik semasa gue kuliah di Bandung.
Setelah memandangi Sabi, gue berpamitan ke Lele. Gue menjabat tangannya seraya berharap dia bisa menyelesaikan studinya dan tetap mengembangkan ilmunya tentang cara menarik lawan jenis yang baik dan benar. Setelah itu, gue bergegas ke kampus untuk suatu urusan.
Sesaat gue berbalik ke belakang, tiba-tiba Lele berteriak, “Ris! Kapan kita ketemu dan main lagi?”
Gue tertawa mendengarnya, lalu menjawab, “Gampang! Whatsapp gue saja, Le!”
Ketika mendengar jawaban gue itu, Lele tersenyum mengembang. Gue segera pergi menahan emosi yang nggak karuan. Emosi yang hampir sama ketika gue harus berpisah dengan teman-teman semasa SMK dulu. Waktu itu saat perpisahan SMK, gue menangis sejadi-jadinya. Gue nggak dapat menahan air mata yang tertumpah begitu deras. Kali ini, emosi itu kembali ke dalam rongga dada gue.
Ilustrasi perpisahan
Sembari memasuki lorong kampus, ingatan gue melayang kembali ke saat gue bertemu Lele di kelas, berjumpa Sabi, obrolan antara Lele dan Linda, bermain PS 4 bersama, makan bareng, ditraktir Sabi, naik mobil Sabi, nongkrong di warung Mak Acih, bercanda di kelas, menggoda cewek, dan masih banyak lagi momen-momen gila yang telah kami lakukan selama Semester Pendek.
Ketika gue hendak pulang, Lele sudah menghilang. Begitu juga dengan Sabi, yang mobilnya sudah tidak ada. Angin dingin di siang hari itu membuat gue merasa takjub akan kehidupan gue yang keren ini. Gue sama sekali nggak menyangka bahwa di fase ini, gue banyak berjumpa dengan orang-orang baik.
Ilustrasi sebuah harapan
Seraya menenteng helm, gue berpamitan ke Bapak Satpam. Setelah motor menyala, gue menyusuri jalan depan kampus. Terlihat warung kecil milik Mak Acih yang telah merekam jejak 3 orang mahasiswa senior yang masih berkutat di Semester Pendek. Gue tersenyum, lalu melajukan motor secepatnya.

Komentar