Faris si Anak Kontrakan: Kehidupanku di Kampus: Daftar Kuliah

Bismillah….
Tak pernah kubayangkan sebelumnya, bahwa dalam kehidupan yang kujalani, aku akan kuliah di Bandung. Selain Yogyakarta, menurutku Bandung salah satu kota ikonik bagi para siswa untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan, Ir. Soekarno pun sewaktu muda dahulu pernah kuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung). Karena itulah, dapat dikatakan aku seorang yang beruntung karena bisa merasakan kehidupan kampus di Kota Kembang itu.
Sebelumnya, aku dinyatakan tidak lulus SNMPTN maupun SBMPTN. Mendapatkan kenyataan pahit tersebut, jujur membuatku kesal dan marah. Padahal, aku berkeyakinan tinggi bahwa setelah aku lulus SMK, aku dapat melanjutkan di perguruan tinggi negeri. Nyatanya, keinginan tersebut tidak berjalan sesuai harapan.
Lantas, aku mendesak kedua orangtuaku supaya aku dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dengan mendaftarkan diri ke perguruan tinggi swasta. Kalau boleh jujur, aku daftar kuliah bukanlah karena ingin menuntut ilmu, melainkan ingin pergi bermain dan melarikan diri dari rutinitas pekerjaan sampinganku. Di samping itu, tujuanku kuliah adalah ingin gegayaan dan menghabiskan masa mudaku dengan bersenang-senang.
Ilustrasi daftar kuliah
Setelah survei ke berbagai kampus swasta yang ada di Bandung, maka dapat diputuskan bahwa aku pengin kuliah di kampus swasta yang letaknya di Jl. Tamansari. Aku meyakinkan ayahku bahwa kampus tersebut sepertinya pilihan yang tepat untukku. Ayahku menyetujuinya meskipun dalam raut mukanya terbersit mimik tidak yakin. Aku tidak peduli, waktu itu aku telah dibutakan oleh emosi dan egoku.
Kemudian, aku segera mendaftarkan diri pada portal online kampus tersebut. Sembari ditemani oleh ayah, aku memilih dan memilah jurusan yang tepat menurut minat dan bakatku. Sejujurnya, aku menyukai bahasa dan sastra. Namun, dikarenakan fakultas bahasa di kampus tersebut masih berakreditasi B, maka aku urungkan niatku itu. Setelah dipikir matang-matang, aku yakinkan bahwa aku lebih condong ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Pilihanku tersebut tidak terlepas dari saran ayahku. Menurutnya, aku diyakini akan betah menimba ilmu di fakultas itu. Selain alasan tersebut, sebenarnya ayahku pengin bahwa di antara anak-anaknya haruslah berbeda jurusan dalam bidang keilmuan. Mungkin karena itu, di antara kakak, aku, dan adikku punya watak yang berbeda.
Pada awalnya, aku pengin masuk ke jurusan Hubungan Internasional. Sebab, aku ada keinginan untuk menjadi duta besar di salah satu negara Eropa. Namun lagi-lagi, ayahku tidak terlalu setuju dengan pilihanku itu. Setelah sekian lama musyawarah, maka dapat diputuskan bahwa aku akan memulai petualanganku di jurusan Ilmu Komunikasi.
***
Beberapa hari kemudian, aku meregistrasi diri ke kampus yang terletak di Jl. Tamansari. Kala itu, aku ditemani oleh adik sepupuku menggunakan motornya. Saat itu pula, aku belum terlalu mahir menggunakan sepeda motor. Jadi, ke manapun aku selalu dibonceng olehnya atau oleh orang lain. Beda jauh dengan sekarang, sudah ribuan kilometer jarak yang telah kutempuh dengan menggunakan sepeda motor.
Sebagai orang awam, aku benar-benar tidak tahu situasi dan kondisi lingkungan kampus tersebut. Alhasil, aku harus menanyakan kepada beberapa orang yang berada di sekitar dengan mimik muka planga-plongo. Selain diriku, banyak pula calon mahasiswa-mahasiswi baru yang sedang mendaftar dengan ditemani orangtua mereka. Ada pula beberapa di antara mereka yang tengah menanyakan informasi mengenai biaya dan fasilitas kampus itu.
Sekadar informasi, daftar kuliah adalah pertama kalinya aku tidak diantar dan tidak ditemani oleh orangtuaku. Karena itu, aku menjadi sedikit canggung, kikuk, dan panik. Aku merasa kaget saat merasakan pengalaman itu, sebab dari dahulu aku terbiasa disuapi daripada mencari nasi sendiri. Berawal dari situlah, kemandirianku terus berlanjut hingga sekarang.
Ilustrasi baju distro
Waktu itu, aku masih menyukai baju atau kemeja distro khas Bandung. Pokoknya, kalau belum mengenakan baju distro, belum gaul rasanya. Bahkan, aku pernah membuang-buang uangku senilai tujuh ratus ribu rupiah hanya untuk membeli baju distro. Kalau dipikir-pikir, uang sebanyak itu lebih baik dibelikan untuk paket internet atau makanan.
Ketika mendaftar kuliah, aku mengenakan kemeja distro punya kakakku. Terlihat keren memang, tapi terlalu memaksakan – pikirku saat ini. Dipadu dengan celana jeans dan sepatu keluaran toko BJ Gent, aku merasa gentlemen. Entah kenapa saat itu, aku merasa tampan dan rupawan, sedangkan yang lain aku anggap tak ubahnya para hamba sahaya.
Harus kuakui, tujuanku berdandan sedemikian rapinya adalah untuk menarik lawan jenis yang berada di lingkungan kampus. Siapa tahu pikirku, di antara banyaknya mahasiswi yang tengah makan di depan kampus, ada yang meleleh sesaat melihat penampilanku. Namun nyatanya, tidak ada satu pun.
***
Selang beberapa hari, tibalah saatnya aku mengikuti ujian masuk penerimaan calon mahasiswa-mahasiswi baru. Aku sangat antusias agar dapat mengikuti ujian masuk tersebut dengan harapan nilaiku memuaskan dan aku dinyatakan lolos. Namun usut punya usut, ibuku bilang bahwa tes tersebut hanyalah formalitas belaka dan semua calon mahasiswa-mahasiswi yang mengikuti tes itu sudah pasti akan diterima.
Sesaat mendengar pernyataan ibu, hatiku menjadi tenang dan bahagia. Sebab, aku tidak perlu belajar lagi dan lebih menghabiskan waktuku untuk memilih dan memilah pakaian mana yang akan kupakai untuk esok hari.
Keesokan harinya, aku diantar dan dibonceng lagi oleh adik sepupuku. Kebetulan, adik sepupuku itu kuliah di salah satu kampus yang terletak di Jl. Tamansari. Namun, aku dan adik sepupuku berbeda almamater. Ia menemaniku hingga aku masuk kelas untuk mengikuti ujian masuk kampus. Walau tanpa kedua orangtua dan teman-temanku, nyatanya ada adik sepupuku yang setia menemani, menolong, dan membimbingku.
Ilustrasi tes ujian masuk kuliah
Setelah memasuki kelas, aku merasa percaya diri. Karena, aku merasa ganteng sendiri hanya karena aku mengenakan kemeja distro milik kakakku. Aku melihat ke sekeliling kelas, ada banyak calon mahasiswa dan mahasiswi baru yang telah duduk di bangku. Mereka terlihat siap sedia untuk mengerjakan soal-soal dengan baik dan benar.
Seingatku, ada banyak calon mahasiswi yang cantik dan bening. Sedangkan untuk calon mahasiswa, aku tidak terlalu memedulikannya karena aku adalah pencinta wanita. Selama aku di dalam kelas, tak pernah kupalingkan pandangan mataku dari wanita-wanita yang menurutku cantik itu. Kembali pada topik sebelumnya, bahwa aku kuliah tidak benar-benar ingin kuliah, melainkan hanya untuk pengakuan diri dan pencitraan diri.

Komentar