Faris si Anak Kontrakan: Kehidupanku di Kampus: Ospek Fakultas

Bismillah….
Subuh aku sudah bangun dan telah bersiap untuk mandi. Suatu hal yang teramat jarang terjadi dalam kehidupanku bahwa pagi buta aku sudah rapi dan wangi. Aku berangkat menuju kampus dari rumahku sekitar jam 4 pagi. Betul, terlalu pagi bagiku, tapi mau bagaimana lagi, toh pembukaan ospek sudah dimulai jam 5 pagi.
Aku berangkat diantar oleh kakakku menggunakan motor kumbang (vespa) miliknya. Demi diriku, dia sampai rela berangkat lebih pagi menuju kantornya. Sejujurnya, aku merasa berhutang budi kepada kakakku yang baik itu.
Ilustrasi sun tangan orangtua
Aku siap berangkat dan siap memulai lembaran baruku di Bandung. Tidak lupa sebelum pergi, aku sun tangan ibu dan ayahku untuk meminta doa, ridho, dan wasilahnya. Langit masih gelap, awan putih bertumpuk-tumpuk menjadi satu. Hawa dingin menusuk kalbu dan tulangku yang tengah duduk di atas jok motor.
Aku merasakan deru angin yang dingin menerpa wajahku yang maskulin ini. Lampu-lampu rumah di pinggir jalan menerangi kepergian kami. Sinaran lampu-lampu itu membuat bayangan motor yang sekelebat. Aku menjadi ngantuk dan berhalusinasi. Maklum, aku kurang tidur dan tiga hari sebelumnya aku disibukkan dengan persiapan ospek.
***
Tak lama, kami sudah mengaspal di atas jalanan kota Bandung, kota yang romantis – katanya, aku tak begitu percaya. Entah mengapa pagi itu, hatiku tetiba merasa sedu. Rasanya, aku mau pulang lagi ke rumah. Hati dan perasaanku menjadi dingin, sedingin angin pagi itu. Mungkin, hal itu hanyalah perasaanku saja. Aku harus kuat! – batinku, kala itu.
Sejujurnya, aku sangat awam mengenai Bandung dan segala isinya. Aku sama sekali tidak tahu tentang budayanya, masyarakatnya, adat-istiadatnya, bahasanya, kebiasaannya, dan sebagainya. Aku datang dan kuliah di sana tanpa ada rencana sebelumnya. Bagiku, pilihan ini adalah takdir Tuhan Yang Maha Pengasih untuk kemaslahatan diriku.
Bandung dengan segala isinya
Tak lama kemudian, kami sampai di depan kampus. Ada banyak motor dan mobil yang terparkir di sana. Kilauan cahaya dari lampu belakang motor dan mobil tersebut menyilaukan pandanganku. Aku merasa sedikit gentar, sebab kala itu aku tidak kenal dengan siapa pun. Aku menjadi skeptis, pikiranku melanglang buana ke beberapa tahun silam.
Kakakku pamit, tidak lupa dia berpesan padaku bahwa diriku harus berhati-hati. Aku mengangguk, kakakku pun melajukan motornya di tengah kepadatan lalu lintas pagi itu. Aku berdiri seorang diri, mematung tanpa arti, dan tidak ada yang menemani. Aku melihat sekitar; ramai, berisik, dan hiruk-pikuk memekakkan telingaku. Belum apa-apa, firasatku kala itu sudah tidak enak.
***
Lagi-lagi, perasaan itu kembali muncul: aku merasa asing. Asing bukan berarti bahwa aku seperti turis, tapi aku merasa jiwa dan hatiku kosong. Aku lihat mahasiswa baru yang lain, mereka tak ubahnya seperti diriku: tidak mengenal satu sama lain. Aku melihat ke sekeliling, tak satu pun wajah yang kukenal dan semuanya terasa aneh bagiku. Mungkin, ini yang disebut dengan gegar budaya atau culture shock.
Ilustrasi merasa asing
Setelah semua mahasiswa baru berkumpul, kami disuruh berbaris di suatu jalan dekat kampus. Kami berbaris dengan rapi sesuai grup atau kelompok masing-masing. Grupku dibagi ke dalam gua grup; satu grup untuk perempuan dan satu grup lagi untuk laki-laki. Karena hari itu masih gelap dan hanya diterangi oleh lampu jalan, maka muka kami tidak terlalu kelihatan dengan jelas. Dipikir-pikir, kami waktu itu tak ubahnya pelaku curanmor yang ketangkap basah oleh warga sekitar dan diinterogasi di pinggir jalan.
Sembari mengatur barisan, sesekali mataku ini mencuri pandang ke arah samping untuk melihat perempuan-perempuan yang kuanggap cantik. Namun, tak satu pun di antara mereka yang balas melihatku. Terindikasi, aku dianggapnya tukang parkir. Belum apa-apa, aku sudah tidak populer dan tidak menjual di mata mereka.
***
Esok hari, aku dan maba yang lain berkumpul di tempat parkir, lebih tepatnya parkiran belakang kampus. Kala itu, kami mengenakan seragam kemeja warna putih dan celana bahan warna hitam. Setelan kami itu percis seperti siswa SMK yang tengah magang sebagai kasir di toko swalayan.
Dengan hati yang riang gembira, aku menyimak setiap perkataan yang dilontarkan oleh kakak kelas atau petugas tatib (tata tertib). Kakak kelas (mentor grup) dan petugas tatib rupanya tidak sama, hal itu terlihat dari seragam yang mereka mengenakan. Kakak kelas mengenakan jas almamater dan celana jeans, mereka terlihat lebih kasual. Adapun petugas tatib, mereka berpakaian serba hitam dan serba kaku dengan mimik muka yang digalak-galakkin.
Pada awalnya, aku mengira bahwa petugas tatib sama halnya seperti kakak kelas yang lain. Tidak tahunya, mereka (petugas tatib) tak ubahnya aktor dan aktris yang tengah berperan sebagai tokoh antagonis yang dibuat-buat. Aku juga baru tahu, fungsi petugas tatib bukanlah untuk menertibkan mahasiswa baru, melainkan untuk membentak mahasiswa baru. Dengan pakaian serba hitam dan raut muka yang sok galak, mereka tidak jauh berbeda seperti satuan pengamanan yang amatir.
Ilustrasi teriak-teriak
Sambil teriak-teriak dan membentak kami, para petugas tatib itu menerapkan aturan-aturan yang harus kami taati dan patuhi. Saat itu, petugas tatib tersebut berjumlah sekitar 17 orang. Mereka berdiri berjejer sembari memperkenalkan diri satu per satu dengan gaya yang sangat tengil. Entah kenapa, saat itu aku berpikiran bahwa petugas tatib amatlah keren. Tapi seiring bertambahnya usia dan pemikiranku terhadap dunia, aku menganggap bahwa petugas tatib sangatlah norak.
Aku dan mahasiswa baru yang lain disuruh berdiri, istirahat di tempat, duduk lesehan, dan menundukkan kepala oleh para petugas tatib. Dengan raut muka galak dan intonasi yang tinggi, mereka tak ubahnya Firaun di zaman Nabi Musa as. Sedangkan aku dan maba yang lain, tak ubahnya para budak yang disuruh kerja paksa untuk membuat piramida.
Setelah beberapa omelan, teriakan, suruhan, dan hardikan yang keluar dari mulut para petugas tatib, akhirnya kami dipersilakan untuk duduk bersila. Kemudian, muncul para kakak kelas dan memberitahu kami untuk membawa beberapa perlengkapan yang harus dibawa untuk esok hari.
***
Mentari semakin meninggi, hawa udara pun semakin panas. Aku baru tahu, siang hari di Bandung sebelas dua belas dengan siang hari di Jakarta: hareudang, nyet! Aku dan maba yang lain dikumpulkan di lapangan tengah kampus. Sembari menutupkan kepala dengan buku, kami berdiri dengan gelisah karena saking panasnya siang itu. Bahkan saking teriknya mentari siang itu, kami seperti sedang berkumpul di Padang Mahsyar.
Seiring sinar matahari yang menyengat kami, maka tericumlah bau keringat, bau amis, dan bau prengus yang semerbak. Terindikasi, bau keringat berasal dari bau ketek para maba, bau amis berasal dari area vital para maba, dan bau prengus berasal dari rambut para maba yang terbakar sinar ultraviolet.
Rambut merah ala G-Dragon Bigbang
Selagi menutup hidung dan menyeka keringat yang mengalir deras, aku melihat ada pemandangan yang menarik, yaitu maba laki-laki berambut merah. Gaya rambutnya amat mirip dengan mas-mas tukang salon di daerah perkampungan. Sedangkan warna rambutnya merah menyala, percis seperti gaya rambut G-Dragon di video klip Bang Bang Bang.
Aku tersenyum geli melihatnya, karena gayanya itu kurang etis jikalau diterapkan di lingkungan akademis. Sebenarnya selain itu, ada banyak tingkah laku malawading maba yang yang aneh-aneh. Namun, maba berambut merah ala G-Dragon itulah yang paling kuingat. Kira-kira, maba berambut merah itu sudah taubat nasuha atau belum ya? Hehehe….
***
Malam tiba, rembulan mulai menampakkan sinarnya yang syahdu. Sayup-sayup suara jangkrik dan bunyi dengungan nyamuk pun mulai terdengar di telingaku. Tetapi, aku belum beristirahat dan masih harus melanjutkan persiapan yang akan kubawa besok. Terdapat banyak permintaan aneh-aneh yang dipinta oleh kakak kelas, salah satunya adalah membuat topi dari kertas karton.
Topi tersebut berbentuk segitiga kerucut, percis topi petani. Hanya, topi yang kubuat malah mirip dengan topi kurcaci yang ada di game Harvest Moon Back to Nature. Topi yang kubuat dengan tanganku sendiri itu terlalu tinggi dan juga bentuknya keras. Namun saat itu, menurutku topi tersebut bagus dan berseni.
Ilustrasi topi kurcaci
Topi yang kubuat dengan kesungguhan hati tersebut berwana biru tua, karena waktu itu aku tergabung ke dalam grup Facebook. Kakak kelas atau mentor grup menyuruhku dan maba lainnya untuk menempelkan logo Facebook di bagian depan topi tersebut. Lucunya, aku malah nge-print logo Facebook kecil pada kertas yang berbeda-beda. Alhasil, aku jadi rugi dan hal itu baru kusadari setelah berbulan-bulan aku kuliah.
Selain meminta perlengkapan atau embel-embel yang tidak jelas, para kakak kelas juga meminta aku dan maba lainnya untuk membawa bermacam-macam snack, seperti ciki, permen, cokelat, es krim, dan masih banyak lagi. Aku menyangka bahwa berbagai makanan ringan itu dikasihkan pada kaum duafa. Nyatanya, semua snack yang enak tersebut malah dinikmati oleh mereka. Sejujurnya aku kesal, karena aku merasa seperti hamba sahaya yang sedang dibego-begoin oleh majikannya yang zalim.
Ilustrasi berbagai macam snack
Selain daripada itu, aku juga kesal karena harga semua snack tersebut tidaklah murah. Aku baru menyadari bahwa pengorbanan orangtuaku sungguh besar; mulai dari membiayaiku kuliah, membeli perlengkapan ospek, membeli snack, dan masih banyak lagi. Setelah empat tahun kuliah, aku baru menyadari pula bahwa aku sudah terkena ilmu hitam oleh para kakak kelas yang berlagak seperti kaum fakir tersebut.
***
Sama seperti hari-hari sebelumnya, aku berangkat jam 4 pagi menuju kampus. Setelah sampai, aku dan maba yang lainnya disuruh berbaris rapi di depan kampus oleh petugas tatib. Dengan rambut botak, badan kurus kering, dan memakai nametag, maka diriku tak ubahnya seperti penjahat kelas kakap yang tengah dipindahkan dari Rutan Cipinang ke penjara Alcatraz.
Setelah barisan terlihat cukup rapi, maka kami dipersilakan untuk duduk dan dibiarkan begitu saja hingga matahari meninggi sepenggalah. Aku tidak begitu tahu, ke mana perginya para kakak kelas dan para petugas tatib. Disinyalir, mereka tengah menikmati bermacam snack yang enak-enak di suatu ruangan khusus.
Sinar mentari semakin panas, pancaran teriknya mulai menghangatkan punggung. Aku masih duduk diam sembari mendengarkan lagu-lagu favorit melalui earphone. Sesekali aku melihat sekeliling, aku lihat maba yang lain ada yang bengong, ada yang mengobrol, ada yang menggibah, ada yang ngantuk, dan masih banyak lagi. Menurutku, suasana saat itu amat mirip dengan suasana di tempat pengungsian, yakni penuh dengan kesedihan dan kemelaratan.
Ilustrasi tempat pengungsian
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya para kakak kelas dan petugas tatib pun datang. Seperti biasa, mereka berdiri berjejer ke samping dan petugas tatib mulai teriak-teriak tidak jelas seperti orang kesurupan. Aku dan maba lainnya hanya bisa pasrah menunduk, semakin miriplah kami dengan para budak di zaman Firaun.
Kemudian, para kakak kelas mulai menunjuk ketua grup dan wakil ketua grup. Grupku diketuai Dodit (nama samaran), yaitu seorang maba berewokan yang berasal dari Kuningan, Jawa Barat. Adapun wakil ketua grup yang dipilih oleh kakak kelas yaitu… aku. Ya, aku dipilih hanya karena aku berdiri di belakang Dodit.
Dikarenakan Dodit sering pindah ke belakang, malah jadi aku yang acap kali duduk di posisi paling depan. Sebagai seorang ketua grup yang diamanati oleh kakak kelas, seharusnya ia bisa bersikap gentleman dan tetap duduk di depan. Alhasil, para maba yang lain menyangka bahwa akulah yang menjadi ketua grup. Namun, itu tidak menjadi masalah bagiku, karena aku pada dasarnya memang seorang pemimpin sejati.
***
Azan zuhur mulai berkumandang di sekitar kampus. Aku dan maba lain dipersilakan untuk istirahat, solat, dan makan (ishoma). Cuaca saat itu cukup panas, bahkan rambutku yang mulus ini sampai kaku akibat terkena sengatan matahari. Aku solat zuhur bersama para maba lain yang beragama Islam. Setelah itu, aku kembali ke tempat dudukku dan makan siang.
Sesudah makan siang, kami bermain game dan quiz yang telah dipersiapkan dengan baik oleh kakak kelas. Berbagai game dan quiz tersebut adalah surat cinta, nyanyi, stand up comedy, lenong bocah, dan lain sebagainya. Selagi bermain game dan quiz, berdirilah seorang maba bermata jereng dengan rambut mohawk ngehek. Maba tersebut rupanya memenangkan game atau quiz dan berhak mendapat hadiah.
Tidak ada hujan tidak ada angin, maba itu langsung berjoget erotis dengan memaju mundurkan pinggulnya ke arah depan dan ke arah belakang. Automatis, para maba yang lain dan para kakak kelas ada yang tertawa geli dan ada juga yang tertawa jijik. Tidak sedikit juga di antara mereka ada yang memasang mimik muka: ai sia kunaon jinkz?!
Ilustrasi joget erotis
Aku tertawa prihatin melihat tingkahnya itu, antara lucu dan jijik bercampur menjadi satu. Kebetulan, maba yang berjoget erotis itu satu baris denganku, yakni di depan. Hanya saja, ia berada pada grup lain dan terpisah sekitar dua grup. Kalau saja ia berada tepat di sampingku, mungkin akan kubelikan obat Combantrin untuknya.
Kemudian, acara berganti pada pemberian materi yang disampaikan oleh ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Para maba perempuan berteriak histeris, karena ketua BEM itu berwajah rupawan dengan alis tebal dan rambut klimis. Aku mengakui kegantengannya, walau aku juga tidak beda jauh dengannya.
Selagi menyimak sambutan ketua BEM yang rupawan tersebut, tetiba maba cantik yang duduk di sebelah kiriku mencolek lenganku. Aku girang bukan kepalang, mungkin dia taksir padaku – pikirku kala itu, kepedean. Ia tersenyum padaku, aku pun sebaliknya, maba cantik itu menyodorkan sebotol aqua padaku. Aku menolaknya, karena aku pikir ia menawarkan minum padaku. Setelah kutolak dengan sopan, tidak tahunya ia berkata: bisa bukain botolnya, gak?
Ilustrasi malu-malu kocheng
Aku langsung malu, karena aku begitu kepedean dan kegeeran. Lantas, aku mencoba untuk membuka botol minumnya tersebut. Namun, lagi-lagi aku harus malu, karena aku tidak sanggup membuka botol air itu dikarenakan tanganku licin dan berkeringat. Maka, aku kasih lagi botol aqua itu kepadanya sambil berkata: maaf, tanganku licin, coba minta tolong sama yang onoh….
***
Hari semakin sore, sinar mentari mulai meredup dan mulai terasa hangat. Sambil duduk lunglai, aku pun mulai merasa lelah dan ngantuk. Ketek, rambut, dan selangkanganku terasa lengket dan gatal-gatal. Rasanya waktu itu aku ingin cepat pulang, mandi, dan langsung tidur. Ibarat baterai handphone, mungkin kondisi badanku hanya tersisa 10%.
Sebelum maba pulang, seperti biasa para petugas tatib menyuruh kami membersihkan sampah sisa-sisa makanan bekas tadi siang. Sampah-sampah tersebut dikumpulkan dari sudut satu ke sudut yang lain, dan dari depan ke belakang. Mungkin karena saking ngantuknya, salah satu petugas tatib cewek berteriak tepat di atas kepalaku. Aku kaget dan agak emosi, lalu aku tengadahkan kepalaku sembari menyorot tepat di kedua bola matanya.
Ilustrasi saling menatap
Petugas tatib cewek itu menyuruhku untuk mengoper totebag dari depan ke belakang. Aku memandang kedua bola matanya sekitar dua detik dengan tatapan: bisa kalem gak, nyet? Ia pun memandang mataku dengan sorot mata yang sok buas dan terkesan dibuat-buat. Hingga akhirnya aku mengoper totebag tersebut ke belakang. Untungnya, aku tidak jatuh cinta dan dia pun sebaliknya.
***
Pancaran sinar tata surya semakin meredup dan warnanya telah berubah jadi kebiru-biruan. Magrib sebentar lagi tiba, aku duduk seorang diri sembari memandang maba yang lain. Aku pandang mereka dengan seksama, mungkin saja ada teman SD atau SMP yang kuliah di sana juga. Namun setelah lama kupandang, semua itu nihil.
Ilustrasi jerawat meradang
Akibat kecapekan dan kurang tidur, alhasil jerawat yang ada di mukaku semakin banyak dan semakin meradang. Aku meringis kesakitan sambil sesekali kupencet jerawat yang matang dan keluarlah nanah putih yang luar biasa baunya. Aku cium bau nanah tersebut dan semakin dicium, semakin nikmat pula baunya. Bagiku, sore itu adalah sore paling tidak enak sepanjang sejarah hidupku.
Ospek fakultas pun resmi usai, aku dan maba yang lain berhamburan ke pinggir jalan. Kami pulang secara berombongan dan berdesak-desakkan. Sembari memakai snapback G-Dragon yang bertuliskan bad boy, aku sms kakak agar segera menjemputku di depan kampus. Momen itu, adalah salah satu momen terbangsat dalam hidupku.

Komentar