Faris si Anak Kontrakan: Kehidupanku di Kampus: Ospek di Sabuga

Bismillah….
Aku telah diterima menjadi mahasiswa di kampus swasta itu. Aku merasa senang bukan kepalang, karena sebentar lagi aku akan menghabiskan masa mudaku dengan penuh suka cita – pikirku kala itu. Aku pun menjadi semangat, sebab rutinitas harianku sebagai tukang ketik akan segera kutinggalkan.
Pagi buta, aku telah mandi dan berdandan rapi, suatu hal yang amat jarang kulakukan sebelumnya. Dengan mengenakan seragam SMK (putih dan abu-abu), aku berangkat menuju Sabuga (Sasana Budaya Ganesha) bersama kakakku menggunakan sepeda motornya. Sebelum ia menuju ke kantornya, kakakku dengan sukarela mengantarkanku ke sana.
***
Sesampainya di Sabuga, ada banyak calon mahasiswa – mahasiswi baru yang juga masih mengenakan seragam SMA/ SMK lama mereka. Mahasiswa dan mahasiswi baru itu berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka ada yang berjalan secara berombongan dan ada pula yang berjalan sendiri-sendiri, seperti diriku.
Gedung Sabuga Bandung
Saat itu, aku merasa kurang nyaman. Karena waktu sekolah dahulu, aku selalu bersama teman-temanku ke manapun aku pergi. Aku merasa sedikit jealous kepada para mahasiswa baru yang berjalan beriringan itu. Mereka terlihat saling mengenal satu sama lain dan terlihat hangat. Sedangkan aku, tak satu pun ada orang yang berbicara dan berjalan denganku.
Mahasiswa dan mahasiswi baru tersebut ada yang berjalan kaki, ada yang diantar oleh orangtua mereka menggunakan sepeda motor, dan ada pula yang menggunakan mobil pribadi seorang diri. Aku memandang dan mengamati orang-orang sembari duduk di pelataran gedung Sabuga. Alhasil, aku menjadi agak sentimentil dan terbawa suasana. Rasanya waktu itu, aku mau pulang saja ke rumah.
***
Setelah memasuki ruangan Sabuga, aku duduk di salah satu kursi kosong yang berderet. Aku duduk di tengah-tengah, tidak terlalu tinggi dan tidak juga terlalu rendah. Aku lihat ada banyak orang-orang yang masuk, mungkin berjumlah sekitar ribuan. Aku duduk manis sambil menyaksikan keadaan sekitar yang begitu ramai.
Meskipun suasana saat itu ramai, riuh, dan berisik, namun hati dan perasaanku malah sebaliknya. Aku merasa kesepian, tidak ada satu orang pun yang mengenaliku. Pun, aku juga tidak kenal mereka semua. Aku diam, sesekali tersenyum jika ada orang yang lewat dan bilang permisi kepadaku. Aku lebih banyak diam, untungnya ada juga beberapa calon mahasiswa baru yang bernasib sama denganku: tidak punya teman.
Rowman sang drummer band Ungu
Selagi aku memandang ke sekeliling ruangan Sabuga, terdapat calon mahasiswa baru di bagian bawah yang wajahnya mirip sekali dengan drummer grup band Ungu. Saking mirip, dia dan drummer Ungu bagaikan pinang dibelah dua.
Selain itu, ada juga calon mahasiswa baru yang lain, mirip dengan drummer grup band Slipknot, Joey Jordison. Rambutnya gondrong, badannya kecil, dan wajahnya agak tengil. Hari itu, baru pertama kalinya aku menyaksikan bermacam wajah manusia dari berbagai wilayah di Indonesia.
***
Tak lama berselang, acara pembukaan dimulai. Acara pembukaan penerimaan calon mahasiswa – mahasiswi baru tersebut dibuka oleh Ketua Rektor. Sorak-sorai terdengar begitu menggema ke seluruh ruangan Sabuga. Aku bertepuk tangan dan ikut bergembira, meskipun suasana hatiku tidak sebahagia itu.
Setelah acara pembukaan usai, acara dilanjutkan dengan berbagai pengenalan program minat dan bakat mahasiswa semacam program ekstrakurikuler. Selagi kakak kelas berbicara di atas panggung, tiba-tiba di salah satu pojok dinding ruangan ada orang iseng yang membentuk alat kelamin laki-laki dengan memanfaatkan sinar proyektor. Sontak, seluruh ruangan menjadi histeris, terutama dari jajaran bangku perempuan. Adapun dari jajaran bangku laki-laki malah ketawa-ketiwi tidak berdosa.
Ilustrasi motivator yang lebay
Sesudah acara pengenalan alat kelamin laki-laki, tibalah acara yang banyak menguras air mata. Aku masih ingat, pembicara kali ini adalah seorang bapak berkumis, mengenakan jas rapi, dan pada bagian atas rambutnya agak botak. Penampilan dan perawakannya tersebut amat mirip dengan motivator yang mengandalkan bacotan-bacotan yang agak lebay.
Ternyata dugaanku benar, motivator tersebut menyapa, berbicara, dan berteriak dengan berapi-api. Intonasi nada bicaranya itu tak ubahnya seorang komandan perang yang sedang memimpin pasukan untuk menyerang musuh. Tiba pada suatu momen, motivator itu berdoa dengan suara yang lirih dan agak didramatisir. Sontak, para peserta ospek menangis, menjerit, dan terharu. Namun bagiku, hal itu sungguh memuakkan dan memualkan.
***
Setelah dicekokin dan dicuci otak oleh motivator itu, para peserta ospek dipersilakan untuk ishoma (istirahat, sholat, dan makan). Saking mualnya dan lieur-nya, aku bergegas pergi untuk mengambil air wudhu agar jasmani dan rohaniku tetap utuh. Entah mengapa, aku merasa sudah bosan, padahal acara belum selesai dan baru setengah hari.
Ilustrasi berwudhu
Sesampainya di sana, ternyata ada banyak peserta ospek yang berwudhu sekaligus ke kamar mandi. Suasana kala itu sangat ramai, lantai pada basah, dan bau asem menyengat dari ketiak para peserta ospek. Tinggal ditambah lapak daging dan kolam ikan, maka jadilah pasar tradisional yang becek dan bau amis.
Amat disayangkan bagiku, ruangan formal sebesar Sabuga tidak menyediakan kamar mandi yang manusiawi. Bahkan saking sempitnya, antrean orang yang mau ke kamar mandi sampai menjalar jauh. Namun itu dahulu, tidak tahu kalau sekarang. Mudah-mudahan, kamar mandi di sana sudah diperbaiki dan diperluas.
***
Aku merasa agak segar, efek dari percikan air wudhu dan sembahyang Zuhur. Sesaat aku mau kembali ke tempat duduk di bagian atas, ternyata sudah pada penuh. Aku perhatikan sekali lagi ke arah atas, mungkin saja ada bangku yang kosong, namun nyatanya tidak. Lantas, terpaksa aku duduk lesehan di samping tribun bersama para peserta ospek yang lain.
Di sana, terdapat beberapa calon mahasiswa baru dari berbagai penjuru daerah. Mereka ada yang berasal dari Padang, Cirebon, Bandung, Banten, dan kota lainnya. Akan tetapi, para peserta ospek yang duduk-duduk lesehan tersebut kebanyakan berasal dari kota Banyuwangi. Sepertinya, mereka telah saling lama kenal. Hal itu terlihat dari obrolan dan bahasanya yang agak kasar. For your information, semakin kasar bahasa seseorang ke temannya, maka semakin akrab mereka.
Ilustrasi menguping pembicaraan
Aku duduk selonjoran sembari menguping pembicaraan mereka. Sejujurnya, aku tidak terlalu mengerti bahasa mereka, karena mereka menggunakan bahasa Jawa campur Sunda. Aku hanya berusaha untuk duduk serileks mungkin. Kulihat, salah satu dari mereka ada yang main pesawat terbang dari kertas. Ia meniupkan pesawat mainannya itu ke arah tribun atas. Begitu terus, ia ulang-ulang sampai aku bosan melihatnya. Setelah dipikir-pikir, keadaanku waktu itu tak ubahnya budak berlian di zaman Rasulullah.
***
Selang beberapa jam kemudian, waktu Ashar tiba. Aku kembali mengambil air wudhu untuk menyegarkan mukaku yang mulai kusam, kumal, dan dekil. Seusai sembahyang Ashar, aku berniat melihat-lihat stand pameran yang terdapat di teras gedung Sabuga. Di sana, ada banyak stand yang telah disediakan oleh pihak kampus. Beberapa stand tersebut yakni Mapak Alam, DKM, Jurnalistik, Fotografer, dan lain sebagainya.
Mail dalam serial kartun Upin dan Ipin
Selagi aku menikmati pameran tersebut, aku dikagetkan oleh seseorang yang menepuk pundakku. Aku pikir aku mau dihipnotis, ternyata tidak. Rupanya, seserang yang menepukku itu adalah calon mahasiswa baru juga seperti aku. Aku lupa namanya, yang jelas dia berpostur kurus, tinggi, dan gaya rambutnya seperti Ismail bin Mail yang ada di kartun Upin dan Ipin.
Aku menyapanya dengan senyum yang agak tanggung, karena aku tidak kenal dia dan dia tidak kenal aku. Akan tetapi, sepertinya dia orang yang baik, hal itu terlihat dari kopiahnya yang sedang ia pegang. Usut punya usut, dia ingin mengajakku untuk bergabung jadi anggota DKM, sama seperti dirinya yang sudah mendaftar duluan. Aku diam, aku berpikiran bahwa aku bukan orang saleh dan banyak bergelimang dosa. Namun karena tidak enak dengannya, maka aku putuskan untuk bergabung dengan DKM. Serius atau tidak serius, kita lihat saja ke depannya – pikirku kala itu.
***
Pancaran sinar mentari mulai meredup, sang surya kini telah berada di ufuk barat. Aku mulai lelah, penat, dan pusing. Badanku, rambutku, dan ketiakku jadi lengket akibat keringat yang keluar dari pori-poriku. Efeknya, yakni aku merasa kerasan, emosian, dan rasanya ingin menendang pintu masuk.
Untungnya tidak lama kemudian, acara penutupan dimulai dan kami dipersilakan untuk pulang ke rumah atau kostan masing-masing. Situasi dan kondisi sore itu sungguh ramai, aku merasa semakin pening dan jangar. Rasanya kalau nggak mendapatkan dosa, mungkin sudah aku tekel satu-satu mereka semua.
Ilustrasi keramaian
Aku keluar gedung Sabuga dengan berjalan lesu, lunglai, dan tak berdaya. Terdengar lebay memang, namun begitulah yang kurasakan saat itu. Tidak perlu menunggu lama, aku SMS kakak supaya dia menjemputku. Selagi menunggu kakakku, tidak lupa aku potrat-potret keadaan sekitar. Maklum, hal itu kulakukan karena aku baru saja membeli ponsel baru. Selang beberapa lama, akhirnya kakakku datang. Maka, aku pulang dengan perasaan tak menentu.

Komentar