Faris si Anak Kontrakan: Kehidupanku di Kampus: Tahun 2015

Bismillah….
Tersasar ke Masjid TNI
Seperti hari-hari sebelumnya, aku berangkat kuliah naik Bus Damri. Setelah turun dari bus, aku melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkot yang aku sendiri tidak tahu rute angkot tersebut. Aku hanya bilang ke supir bahwa aku mau ke jalan yang mana letak kampusku berada. Supir angkot itu mengiyakannya, aku pun naik.
Masjid Kodilat TNI AD Bandung
Namun bodohnya, supir malah menyuruhku turun dengan alasan macet. Aku pun turun dengan perasaan kecewa tanpa membayarnya. Kemudian, aku naik angkot untuk yang kedua kalinya dengan harapan aku dapat cepat sampai. Sialnya, aku malah tersasar dan terdampar di Masjid Kodilat TNI AD.
Karena jam pelajaran telah dimulai, terpaksa hari itu aku tidak jadi kuliah. Aku pasrah menerima takdir Tuhan, mungkin sudah dari Lauh Mahfuz-nya aku harus menepi di masjid berwarna hijau tua tersebut. Aku duduk diam merenung, lalu dengan sendirinya aku menyeka mataku yang mulai basah. Aku sedih, sebab niatku baik untuk mencari ilmu. Namun entah kenapa kala itu, aku seperti dilarang untuk kuliah.
***
Setelah kurang lebih 20 menit aku berdiam diri, tetiba perutku pun berbunyi. Maklum, aku belum makan siang waktu itu. Lapar semakin menjadi dan perutku semakin mengerucuk, maka aku cari secercah makanan. Kebetulan, pada bagian samping masjid tersebut ada kantin yang banyak menjajakan makanan.
Beberapa macam makanan yang dijual yaitu nasi goreng, mie rebus, mie goreng, bakso, capcay, ketoprak, dan masih banyak lagi. Karena aku sudah lama tidak makan ketoprak dan bahkan hampir lupa rasanya, maka aku memesan satu porsi ketoprak. Tak lama, ketoprak yang aku pesan datang dengan diantar oleh pelayan.
Lotek Makanan Khas Sunda
Namun setelah kulihat secara detail ketoprak tersebut, rasanya ada yang berbeda dari ketoprak yang biasa aku makan sewaktu di Jakarta dahulu. Ketoprak yang aku pesan ini, malah terlihat seperti lotek – makanan Sunda. Meskipun lotek tidak berbeda jauh dengan ketoprak, akan tetapi menurutku ketoprak lebih “berat” daripada lotek yang terasa “ringan”.
Sesudah perutku terisi dengan ketoprak versi orang Sunda, aku kembali berdiam diri di dalam masjid. Aku beriktikaf meskipun saat itu bukan bulan Ramadan. Tapi tak mengapa, toh dengan begitu mungkin aku dapat lebih dekat dengan Tuhan Yang Maha Baik. Sekitar dua jam aku duduk santai di rumah-Nya, kakakku datang menjemput dan kami pun pulang.
Jerawat Oh Jerawat
Hari demi hari, jerawat yang ada di mukaku bukannya semakin berkurang, tapi malah semakin meradang. Aku mungkin stres disebabkan culture shock yang kurasakan sejak pertama kali aku kuliah. Lantas, aku menertawai diriku sendiri; kuliah di Bandung saja aku mengalami gegar budaya, apalagi jika aku kuliah di luar pulau, luar negeri, atau bahkan luar planet?
Ilustrasi Jerawat
Karena jerawatku ini harus disembuhkan, maka aku berikhtiar untuk berobat ke klinik yang berada di Rajamandala. Pamanku merekomendasikan klinik tersebut, sebab menurutnya klinik itu terkenal manjur. Namun, setelah tiga kali aku berobat ke klinik tersebut, tidak ada perkembangan pada jerawatku ini.
***
Karena tidak ada perkembangan yang cukup signifikan, pamanku memberi saran bahwa terdapat tempat pemandian air panas yang mungkin dapat meredakan jerawaku ini. Lantas, aku menerima masukannya tersebut dan mandi di tempat air panas yang dimaksud. Kala itu, aku berendam selama kurang lebih 20 menit. Belum setengah jam aku berendam, aku sudah pusing dikarenakan efek belerang yang begitu menyengat.
Ilustrasi pemandian air panas
Setelah dirasa cukup aku berendam diri pada air panas dengan aroma belerang yang bau tersebut, aku pun pulang ke rumah nenek. Sesampainya di rumah nenekku, aku merasa bahwa jerawat yang berada di mukaku malah semakin meradang. Aku semakin stres, pusing, dan tidak tahu mau berobat ke mana lagi.
***
Siang itu pikiranku semakin berat, berkecamuk, dan bercabang. Aku merasa capek dan hanya ingin tidur di kamar yang gelap. Aku memikirkan perkuliahanku, karena sudah dua hari aku tidak masuk kuliah. Agar dapat menghilangkan kegelisahanku, aku setel lagu Coldplay yang berjudul A Sky Full of Stars. Aku naikkan volume lewat earphone dan aku merasa nyaman hingga akhirnya aku tertidur lelap.
Malam yang Kelam
Karena jerawat yang kuderita tak kunjung membaik, maka aku pergi berobat ke dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin di RS Kharisma Cimareme. Malam itu, aku diantar ibuku. Kami harus menunggu agak lama, sebab dokter datang terlambat. Di samping itu, ada banyak pasien mengantri.
Sesudah diberi resep obat, kami perlu menebus obat tersebut pada loket pengambilan obat. Tidak lama kemudian, namaku dipanggil oleh petugas loket. Lantas, ibu yang membayar obat tersebut. Namun secara tidak terduga, ibu hanya dapat menebus obat itu setengahnya.
Selagi obat diracik dan dipersiapkan oleh apoteker, terlihat raut wajah ibu yang tidak biasa, wajahnya kelihatan kebingungan. Aku memahaminya, sebab waktu itu kami tidak punya uang yang cukup. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk tetap tegar, tetap kuat, dan tabah akan ujian yang kuderita.
***
Jarum jam menunjuk pukul 22:30, ibu telah menebus setengah obat itu. Lalu, kami bersegera untuk pulang karena hari sudah malam. Karena tidak punya cukup uang untuk bayar dua ojek, terpaksa ibu memilih untuk naik angkot. Selain itu, ibu beralasan bahwa naik angkot lebih aman dan tidak terkena angin malam. Aku berpesan padanya agar hati-hati, sedang aku langsung naik ojek menuju rumah.
Ilustrasi kumenangiiis~
Malam yang dingin itu, aku menangis di sepanjang perjalanan. Emosiku sudah tidak dapat terbendung lagi, air mata bercucuran membasahi pipiku yang berjerawat. Saat itu, aku merasa bersalah dengan semua hal yang telah terjadi. Aku merasa sangat sentimentil, rapuh, dan hancur. Untungnya, tidak satu pun pengendara lain yang melihatku menangis, termasuk tukang ojek yang ada di depanku.
***
Sesampainya di rumah, aku mengambrukkan diriku ke atas kasur. Aku sudah capek atas segala ujian, cobaan, dan penderitaan yang kurasakan. Saat itu, aku berpikiran bahwa hidupku sudah tidak ada gunanya lagi. Malam itu, rasanya aku mau jatuh saja dari atas ketinggian lalu mengawang di udara dan terhempas ke bawah.
Ilustrasi kelamnya malam itu
Malam yang sunyi itu, aku pusing memikirkan hidup dan masa depan. Pikiranku seakan bercabang ke berbagai arah. Aku memikirkan perkuliahanku yang berantakan, uang yang sia-sia terpakai, dan memikirkan kesehatanku. Aku juga kasihan kepada kedua orangtuaku yang sudah bayar uang bulanan kuliah, tapi aku sendiri malah tidak kuliah. Pikiran-pikiran negatif itu terus memenuhi kepalaku.
Aku menjadi susah tidur, seakan masa depanku gelap dan aku mulai putus asa meratapi alur kehidupanku yang kacau. Aku meringkuk, mencoba menahan tangis untuk yang kesekian kalinya. Aku mencoba memejamkan mata, dan yang terlihat hanya ada kegelapan, kedinginan, serta keputusasaan. Malam itu, adalah malam yang terkelam dalam kehidupanku.
Nilaiku Amburadul
Akibat sakit yang kuderita, aku terpaksa menepi selama 3 bulan, atau kurang lebih satu semester aku tidak masuk kuliah. Lucu memang, hanya karena penyakit jerawat, yang mungkin kata sebagian orang tidak ada apa-apanya. Namun bagiku, penyakit ini sungguh mengerikan dan berhasil membuat skenario hidupku menjadi kacau. Dampak buruk lainnya, banyak matkul yang terbengkalai. Sehingga, banyak nilai yang kosong dan kayak tokai, yaitu E.
Ilustrasi Nilai Amburadul
Setelah setahun aku pergi dan pulang kuliah menggunakan angkutan umum, akhirnya aku memiliki SIM C juga. Aku senang, karena dengan menaiki motor dapat memangkas waktu perjalanan dan tidak perlu mengeluarkan ongkos perjalanan. Aku masih ingat, pertama kali aku naik motor ke kampus adalah seminggu sebelum UAS dilaksanakan.
Kala itu, aku berkesempatan masuk untuk menghadiri mata kuliah ilmu budaya sunda. Hebatnya, aku baru masuk kuliah sekali dari 14 kali pertemuan. Sungguh, suatu rekor yang amat membanggakan bagiku. Aku juga masih ingat, dosen yang mengajar mata kuliah tersebut berkepala pelontos, agak kurus, dan kecanduan merokok. Perawakannya itu jika diamati lebih rinci, amat mirip dengan Baraka (karakter di Mortal Kombat).
***
Selain mata kuliah ilmu budaya sunda, aku pun baru masuk sekali dalam mata kuliah teknologi informasi dan komunikasi. Tak ayal, para mahasiswa yang lain memandangku penuh heran karena mereka baru pertama kali melihatku. Mungkin mereka berpikir, aku salah masuk kelas atau tuyul yang menjelma menjadi mahasiswa.
Disebabkan aku hanya masuk satu kali dalam hampir setiap mata perkuliahan, maka rata-rata nilaiku pada jeblok. Aku tidak terlalu kaget dan tidak terlalu sedih, karena itulah resiko yang harus kuterima. Aku hanya dapat menertawai hasil nilai-nilai tersebut dengan perasaan getir. Tapi lucunya, mata kuliah ilmu budaya sunda aku mendapat nilai A. Padahal, aku tidak mengikuti UTS dan hanya mengikuti UAS. Benar kata orang, rezeki anak saleh tidak akan ke mana.
Rindu Teman Lama
Disebabkan aku jarang masuk kuliah, dampak terbesarnya adalah aku menjadi tidak terlalu akrab dengan teman sekelas. Hubunganku dan mereka hanya sebatas teman biasa dan bukan teman dekat, apalagi sahabat. Hubunganku dan mereka pun terkesan amat hambar, kaku, dan seperlunya. Bahkan, ketika ada tugas kelompok pun, aku harus memohon dan mengemis kepada mereka.
Ilustrasi Teman Lama
Untungnya dari sekian banyak teman-teman yang menolakku, masih ada satu teman yang bersedia menerimaku untuk masuk ke dalam kelompoknya, dan teman yang kumaksud itu bernama Wiwik. Ia berasal dari kota di ujung Jawa Barat. Meskipun dirinya terbilang orang yang nakal karena suka masuk klub malam, namun ia adalah orang baik di mataku. Hingga saat ini, Wiwik akan selalu kukenang sebagai seorang teman.
***
Kalau boleh jujur, aku lebih banyak menghabiskan waktuku seorang diri pada bangku perkuliahan. Entah itu berada di kelas, kantin, musala, tempat parkir, warung kopi, dan tempat lainnya. Aku merasa kesepian dan “kedinginan” ketika sedang berada di kampus. Hal tersebut membuatku kembali mengawang ke masa lalu, masa-masa ketika aku punya banyak teman.
Ilustrasi aku sendiri tiada yang menemani
Aku jadi kangen dengan teman-teman “gilaku” semasa SMK dahulu. Aku kangen canda tawa bersama mereka, menjahili orang bersama mereka, dan melalukan hal absurd di luar nalar bersama-sama. Perasaanku menjadi sentimentil dan penuh rindu dengan momen-momen yang indah itu. Rasanya, aku ingin sekali kembali ke masa-masa itu. Akan tetapi, hal itu adalah suatu ketidakmungkinan. Aku, harus ikhlas menjalani ini semua.

Komentar