Faris si Anak Kontrakan: Kehidupanku di Kampus: Tahun 2017

Bismillah….
Musibah Membawa Berkah
Di samping aktivitas kuliah, aku juga punya pekerjaan sampingan sebagai tukang ketik. Pekerjaan tersebut sudah kulakukan sejak tahun 2013 silam hingga sekarang. Penghasilan atau upah dari pekerjaan tersebut cukup untuk tambahan uang jajanku. Selain itu, aku menjadi lebih aktif dengan adanya pekerjaan tersebut.
Malam hari, ketika aku sedang menyelesaikan suatu pekerjaan, ayah menawariku mie rebus. Aku menerima tawarannya, sebab aku lagi sibuk dan dikejar tayang. Ayah segera pergi ke dapur untuk memasak mie rebus dua buah. Aku menunggunya sembari terus mengetik dan tetap fokus pada pekerjaanku.
Ilustrasi mie rebus
Tidak lama, mie sudah matang dan siap untuk disantap. Sesaat aku ingin menyeruput kuah mie rebus, seketika kuah yang ada di sendok tumpah mengenai keyboard laptopku. Detik itu juga, keyboard laptopku menjadi tidak berfungsi disebabkan kuah yang masuk ke celah-celah keyboard.
Sontak, aku jadi stres karena pekerjaan dan tugas kuliahku menjadi terhambat akibat salah satu komponen laptop rusak. Aku galau dan menyesali perbuatanku yang teledor tersebut. Akhirnya, terpaksa aku menggunakan keyboard fisik yang dicolokkan ke laptopku. Sejak saat itu, aku kapok dan tidak pernah makan lagi di dekat laptop.
***
Sekitar dua bulan kemudian sejak kejadian itu, aku dibelikan laptop baru oleh ayah dan diantar ibuku ke BEC (Bandung Electronic Center). Aku beli laptop bermerek USUS dengan warna merah marun pilihan ibuku. Warnanya bagus, tidak norak, dan terlihat elegan di mataku. Ternyata, ibuku punya jiwa seni yang lumayan juga, hehehe….
Ilustrasi laptop baru
Setelah dibelikan laptop, aku girang bukan kepalang. Aku merasa seperti hidup kembali setelah kemarin-kemarin aku galau. Honestly, ketika laptop lamaku rusak, aku memang sering galau, melamun, dan tidak bergairah. Rasanya, waktu itu aku tengah mengalami fase “hidup enggan mati tak mau”. Bukan tanpa alasan, sebab barang elektronik seperti laptop, smartphone, dan internet adalah hal yang cukup primer di zaman sekarang.
Persiapan PKL
Memasuki pertengahan tahun 2017, para mahasiswa diharuskan untuk mengikuti PKL (Praktik Kerja Lapangan). Praktik kerja lapangan adalah salah satu kegiatan yang wajib diikuti oleh semua mahasiswa sebagai persyaratan sidang akhir. Karena itu, pihak kampus menggelar acara tentang persiapan PKL yang akan dilaksanakan di aula kampus.
Ilustrasi persiapan PKL
Esok hari, aku bersama mahasiswa lain sudah berkumpul di aula kampus. Kami duduk lesehan di lantai yang adem. Entah kekurangan dana atau memang tidak ada kemauan, pihak kampus tidak menyediakan kursi untuk kami. Padahal, kami telah membayar uang DPP, uang bangunan, dan uang buku panduan PKL. Alhasil, keadaan kami saat itu seperti pengungsi di tempat pengungsian.
Awalnya, aku mau praktik kerja lapangan di PT. Kertas Padalarang, dengan alasan agar dekat dengan rumahku dan tidak perlu mengeluarkan banyak biaya. Namun, hal itu tidak jadi sebab tugas atau pekerjaan yang ditawarkan tidak relate (tidak nyambung) dengan jurusan yang kuambil. Hingga, aku harus mencari tempat PKL yang lain.
***
Pada akhirnya, ibuku meminta tolong kepada paman dari keluarga ayahku untuk dapat memasukkan aku ke salah satu tempat yang relate dengan jurusanku. Lantas, pamanku bersedia untuk menempatkanku di kantor majalah sunda. Aku senang, karena sebelumnya aku sempat bingung dan tidak tahu mau PKL di mana.
Ilustrasi majalah sunda
Pamanku bilang pada ibuku bahwasanya aku nanti akan PKL di Situ Gunting. Aku siap sedia ditempatkan di mana pun juga. Terpenting, aku bisa mendapatkan pengalaman dan nilai PKL. Namun sayangnya, aku PKL sendirian dan tidak ada barengannya. Sedangkan mahasiswa yang lain ada yang sendiri dan ada pula yang beramai-ramai. Tapi tak mengapa, toh aku sudah terbiasa sendiri.
Aku PKL di Majalah Sunda
Pagi hari yang cerah, aku berangkat menuju Situ Gunting dengan menggunakan sepeda motor. Setelah sampai di lokasi, aku sempat struggle (kebingungan) mencari alamat yang pasti. Aku terus mencari letak kantor majalah sunda tersebut. Aku bolak-balik sekitar 15 putaran dari depan jalan sampai akhir jalan Situ Gunting.
Karena tidak ketemu juga, aku buka aplikasi Google Maps di ponselku. Pada akhirnya, ketemulah tempat lokasi majalah sunda tersebut. Sesaat aku menyaksikan tempat itu, refleks alisku langsung mengernyit keheranan. Tadinya aku mengira, aku akan PKL di kantor majalah sunda ternama. Kenyataannya, tempat PKL tersebut tak ubahnya rumah komplek kebanyakan.
Ilustrasi rumah berdebu
Aku turun dari motorku, lalu mengetuk pintu gerbang sambil memberi salam. Aku lihat suasana di dalam rumah gelap gulita, berdebu, dan minim pencahayaan. Keadaan di sana sepi, seperti tidak ada tanda-tanda aktivitas kehidupan manusia. Lokasi di tempat sekitar pun sunyi senyap, hanya ada suara dedaunan yang tersibak angin.
Sejujurnya, aku merasa takut dan tidak betah saat diriku melihat rumah itu. Setelah aku salam beberapa kali, muncul suara seseorang dari lantai atas. Katanya, aku dipersilakan masuk dan naik ke lantai dua. Dengan perasaan ragu-ragu, aku mencopot sepatu dan beranjak ke atas.
***
Setelah diriku berada di lantai dua, kulihat terdapat dua komputer yang sangat berdebu. Bahkan saking tebalnya debu yang menempel, kedua komputer tersebut terlihat seperti dilapisi oleh dark chocolate (cokelat hitam khas Belgia). Selain itu, peralatan atau alat-alat komputer juga sudah usang dan tidak layak digunakan.
Ilustrasi komputer kotor
Tepat di sebelah kanan ruangan, ada dua komputer yang masih menyala. Satu komputer terlihat agak bagus dan kekinian, sedangkan satu komputer lainnya adalah komputer jadul yang berwarna putih dengan monitor tabung. Kemudian, aku duduk sembari melihat ke sekeliling ruangan. Hampir di setiap sisi ruangan itu, semuanya berdebu dan kotor. Aku tersenyum kecut, haruskah aku PKL di tempat seperti ini?
Selang beberapa menit, muncul laki-laki berkepala pelontos. Lelaki tersebut amat mirip dengan Park Myeong Su (komedian asal Korea Selatan). Hanya saja, lelaki itu berambut tipis sedangkan Park Myeong Su adalah artis. Dia menyalamiku, aku membalas salamnya itu. Tak lama, muncul seorang perempuan. Perempuan tersebut adalah anak kandung pemilik majalah. Aku terkejut, lalu memberi salam yang manis kepadanya.
***
Aku duduk pada kursi kayu yang telah disediakan. Sedangkan mereka berdua, duduk di kursi masing-masing sambil melihat ke arah komputer. Kami hanya berdiam diri dengan perasaan canggung yang teramat sangat. Aku lebih banyak menunduk dan menelan ludah, sebab aku adalah tamu sekaligus orang asing.
Ilustrasi momen canggung
Selang beberapa menit, bapak berkepala pelontos memecah keheningan di antara kami. Ia bertanya padaku, hendak ada keperluan apa aku ke sana? Aku jawab dengan jujur, bahwa aku ingin PKL di tempat itu, jika diperbolehkan. Ia merespons bahwa diriku tidak akan cocok jika PKL di sana. Katanya, ia takut bahwa pekerjaan di tempat itu tidak sesuai dengan jurusan, minat, dan bakatku. Aku memahaminya, karena aku pun berpikir demikian.
Akan tetapi, aku bingung mau PKL di mana lagi. Aku menunduk, pandangan mataku kosong sambil memikirkan tempat PKL selanjutnya. Aku menatap cahaya mentari sore yang menembus melalui jendela dengan perasaan mengambang. Karena iba melihat mimik wajahku yang nelangsa, bapak berkepala pelontos menyuruhku untuk datang besok lagi. Karena saat itu, owner majalah sunda tersebut sedang tidak ada.
Menjadi Seorang Jurnalis
Esok harinya aku bertemu dengan Pak Tedi, pemilik majalah sunda. Beliau ternyata sudah berusia lanjut, rambutnya telah memutih, dan kulitnya sudah agak kendur. Akan tetapi, sorot matanya masih tajam laksana burung rajawali yang sedang mengintai tikus di pematang sawah.
Ilustrasi jurnalis
Saat aku datang, beliau tengah duduk pada salah satu kursi di ruang tamu. Aku memberi salam padanya, kemudian dipersilakan duduk di sampingnya. Menurutku, perawakan Pak Tedi tak ubahnya bos besar Yakuza. Badannya bongsor, gaya duduknya seperti kepala suku, dan rambutnya tersisir rapi ke belakang. Tinggal diberi tato naga pada bagian punggungnya, jadilah ia ketua gangster.
Pak Tedi lalu bertanya, ada keperluan apa kamu datang ke sini? Aku meresponsnya bahwa jika diperbolehkan, aku ingin PKL di perusahaannya. Ia sempat terdiam beberapa saat, mungkin beliau bingung dengan upah yang dikeluarkannya untukku. Sementara aku duduk manis sambil cengar-cengir menunggu keputusannya.
***
Selagi Pak Tedi diam membisu, tiba-tiba muncul anak kecil berbadan bosor sedang main ponsel. Entah anak tersebut anaknya Pak Tedi, cucunya, atau anak tetangganya, aku tidak tahu. Namun yang pasti, anak tersebut seperti kurang gerak dan kurang terpapar sinar mentari pagi. Hal itu terlihat dari badannya yang gemuk nan menggelambir dan terkesan letoy.
Ilustrasi bocah gendut nan letoy
Selang beberapa detik, akhirnya aku diterima PKL di tempatnya. Aku berterima kasih kepadanya dengan perasaan bahagia. Tidak perlu waktu lama, aku langsung diberi tugas untuk meliput Danau Situ Ciburuy, Guha Pawon, dan Masjid Al-Irsyad Satya. Dengan semangat dan sigap, aku pamit untuk meliput ketiga tempat tersebut. Padahal, aku langsung pulang ke rumah dan tugas tersebut akan kuliput esok hari.
***
Setelah tiga bulan aku PKL dan meliput beberapa tempat di kawasan Bandung Barat, aku lantas mengirimkan hasil liputanku ke alamat email majalah sunda tersebut. Ada beberapa tulisan atau artikel yang kukirimkan. Tapi, hanya satu artikel yang diterima dan siap naik cetak, yaitu artikel Masjid Al-Irsyad Satya Kotabaru Parahyangan.
Artikel yang dimuat di majalah sunda
Aku senang, gembira, dan merasa berhasil karena hasil liputan dan jerih payahku dapat naik cetak. Aku merasa tidak sia-sia telah PKL di tempat yang berdebu tersebut. Alhasil, pada artikel Masjid Al-Irsyad Satya tertulis nama redaksinya, yaitu namaku. Tidak lupa sebelum berpamitan, aku ucapkan terima kasih kepada paman, bapak berkepala pelontos, anaknya Pak Tedi, dan tentunya Pak Tedi sang bos besar Yakuza.
Berjuang Saat Turun Hujan
Sebulan kemudian, aku mempersiapkan segala keperluanku untuk mengikuti seminar KKPT (Kuliah Kerja Praktik Terpadu). Beberapa hal yang kupersiapkan di antaranya adalah soft cover hasil KKPT, almamater, kemeja, dan celana bahan. Adapun seminar yang dimaksud bukanlah seminar seperti pada umumnya, melainkan seminar uji KKPT.
Aku masih ingat betul, waktu itu aku berangkat dari rumah sekitar jam 12 siang. Kala itu, langit mendung disertai angin yang amat kencang. Ibu menyuruh agar aku berangkat besok lagi. Akan tetapi, aku telah janjian dengan penguji seminar KKPT jam 2 siang. Mau tidak mau, aku harus berangkat meskipun cuaca saat itu sangat creepy (seram).
***
Sebelum berangkat menuju kampus, aku terlebih dahulu menyimpang ke fotokopi yang berada dekat rumah nenek. Tujuanku ke sana adalah untuk mencetak tiga jilid soft cover hasil KKPT-ku. Setelah ketiga soft cover tersebut dicetak, tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras. Saking derasnya, atap toko fotokopi sampai bergoyang tidak beraturan. Terpaksa, aku meneduh sebentar sambil mengecek barang bawaanku.
Ilustrasi berkendara saat turun hujan
Karena hujan tak kunjung reda dan waktu pun terus berputar, dengan langkah berani aku nekat berangkat menuju kampus. Tidak lupa, aku memakai jas hujan terlebih dahulu dan menutup jilid soft cover dengan keresek. Dengan menyebut nama Allah, aku pun berangkat di bahwa derasnya hujan dari Padalarang ke Bandung.
Salah satu keuntungan ketika berkendara saat hujan deras adalah situasi jalan menjadi lengang. Hingga, motorku terus melaju dengan kecepatan yang stabil. Bahkan saking sepinya jalanan kala itu, tidak terasa aku telah sampai di jalan ABC, Bandung.
***
Saat aku melewati jalan Naripan, tetiba ada mobil melaju kenjang dari arah berlawanan dan seketika aku terciprat genangan air. Detik itu juga aku langsung emosi sambil teriak: wey, bangsath! Untungnya, aku memakai jas hujan sehingga kemeja dan celanaku tidak kebasahan. Akan tetapi, tasku yang ditaruh di bawah kaki menjadi sedikit basah.
Ilustrasi terciprat air
Jikalau aku mengingat-ingat masa itu, sungguh terasa sekali perjuanganku. Aku merasa segala sesuatunya tidak ada yang instan, semua butuh proses, dan juga butuh waktu. Terkadang, aku pun tidak menyangka bahwa aku bisa melewati itu semua. Sejujurnya, setiap chapter yang kujalani saat kuliah, tidak ada yang mudah. Seperti kata Coldplay: No body say, it was easy….
Dipertemukan dengan Mang Hedot
Memasuki semester 7, aku masih harus mengambil beberapa mata kuliah yang belum kuambil pada semester sebelumnya. Salah satu mata kuliah yang kuambil adalah PKn, yakni mata kuliah yang terdapat pada semester 3. Aku terpaksa mengambil banyak SKS, sebab yang ada dalam pikiranku hanyalah lulus kuliah secepatnya.
Awalnya, aku sempat ragu dan malas. Karena, mata kuliah PKn tersebut aku sekelas dengan adik kelas yang tidak kukenal. Ada perasaan “dingin” yang kurasakan saat itu. Namun aku berpikir; toh sedari dulu aku pun tidak terlalu akrab dengan teman sekelas. Jadi, apa yang harus kukhawatirkan? – benakku, kala itu.
***
Senin, pertama kali aku masuk mata kuliah PKn. Para mahasiswa yang mengambil matkul tersebut hampir semuanya tidak kukenal. Meskipun, mungkin ada beberapa mahasiswa seangkatan yang bernasib sama denganku. Lantas, aku duduk di bangku yang masih kosong. Aku diam sembari melihat sekeliling, hampir semua mahasiswa itu terasa asing di mataku. Tak lama kemudian, suara pintu terbuka dan betapa terkejutnya aku, karena seseorang yang masuk itu adalah teman lamaku, Mang Hedot.
Mamang Hedot
Tak kusangka, aku kembali dipertemukan dengan Hedot, yakni salah satu teman semasa ospek dahulu. Aku masih ingat, dulu kami sekelompok pada ospek jurusan. Hedot berasal dari Serang, Banten. Dia menempuh konsentrasi Hubungan Masyarakat (Humas), sedangkan aku konsentrasi Jurnalistik. Dia lebih muda dua tahun dariku, namun sikap dan wibawanya lebih dewasa daripada aku.
Sesaat ia masuk ke dalam kelas, aku segera menyapanya sambil menyalaminya. Ia kaget melihatku yang telah berada di dalam kelas. Aku pun terkejut melihatnya yang bisa sekelas denganku. Karena penasaran, aku bertanya padanya; kenapa ia mengambil mata kuliah PKn? Alasannya, adalah karena ia ingin mengubah nilai yang sebelumnya menjadi lebih bagus. Aku mengangguk kegirangan, sebab diriku tidak sendirian dan ada teman seperjuangan.
***
Sejak saat itu, kami semakin akrab dan semakin sering bertemu. Hedot pun sering kali membantu, menolong, dan memberi saran dalam proses penyelesaian studiku di kampus. Harus kuakui, ia banyak membantu dan menemaniku di masa-masa akhir semester. Dapat dikatakan, ia amat berjasa terhadap perkembangan karirku di bangku perkuliahan. Tanpa bantuan dirinya, mungkin aku tidak akan seluwes ini.
Ilustrasi mentraktir Mang Hedot
Jika punya uang lebih, tidak jarang aku mentraktirnya. Bahkan di antara semua teman-teman, Hedot adalah teman yang paling sering kubelikan makanan atau minuman. Bukannya aku sombong, melainkan aku hanya ingin berbagi kenikmatan kepada kawan baikku itu. Selain itu, aku kasihan melihat badannya yang kurus kering seperti kurang gizi. Karena itu pula, aku tidak mau temanku itu menderita kelaparan. Kawkawkaw….
Karena rumahku jauh dari kampus, sering kali aku menumpang istirahat di kost-annya yang terletak di jalan Cikawao. Jika kami telah berkumpul, tidak jarang kami membahas hal-hal yang konyol mengenai keadaan kampus, kehidupan teman-teman, dan diri kami sendiri. Selalu ada hal lucu yang dapat membuat kami tertawa terbahak-bahak. Rasanya, menertawai kekonyolan merupakan salah satu cara untuk memaknai kehidupan.
Meraih Mimpi Bersama
Berawal dari tempat kostannya pula, kami acap kali pergi bermain ke berbagai tempat. Beberapa tempat yang telah kami kunjungi di antaranya yaitu mall, perpustakaan, swalayan, toko buku, kampus, kedai makanan, dan masih banyak lagi. Jika kami bepergian, dialah yang paling sering mengendarai motor. Alasannya, karena ia tahu betul seluk-beluk jalan pintas di Kota Bandung. Pokoknya, Hedot adalah seorang teman yang dapat diandalkan.
Ilustrasi meraih mimpi
Saking seringnya kami bepergian ke suatu tempat, maka kami tak ubahnya Dudung dan Maman anak Citaman yang dinyanyikan oleh grup band The Changcuters. Pada penggalan lirik lagu tersebut, terdapat kalimat: mengadu nasib di perantauan. Lirik tersebut amat cocok dengan keadaan kami berdua, yakni berjuang menuntut ilmu demi tercapainya cita-cita atau mimpi besar.
Kira-kira begitulah gambaran atau analogi kami yang ada di kepalaku. Kami merantau, berjuang, menuntut ilmu, mencari pengalaman, dan bertahan hidup di negeri orang. Tidak jauh berbeda dengan Dudung dan Maman; jika sukses, kami akan kembali ke kampung halaman masing-masing. Semoga, mimpi itu bisa diraih dan persahabatan kami tak akan pernah lekang oleh zaman.

Komentar