Faris si Anak Kontrakan: Kehidupanku di Kampus: Tahun 2018

Bismillah….
Kasih Tak Sampai
Tahun 2018 awal, dapat dikatakan sebagai tahun yang penuh dengan kesedihan. Bukan tanpa sebab, melainkan aku memikirkan nilai-nilai yang masih kosong dan mengalami patah hati terhebat yang tidak pernah kualami dalam kehidupanku sebelumnya. Aku depresi, tidak bergairah, dan mood swing.
Ilustrasi kasih tak sampai
Jujur, aku sudah tidak kuat lagi melihatnya. Setiap kali aku melihatnya, hatiku seperti diinjak-injak, lalu hancur berkeping-keping. Kemudian, kepingan itu dibakar dan dibuang ke tengah lautan. Entah aku lebay atau aku yang cengeng, tapi begitulah dampak yang kurasakan setiap kali aku melihat dirinya.
Sebenarnya, aku ingin menyatakan perasaanku kepadanya sejak pertama kali aku dan dirinya bertemu. Namun sayangnya, dia sudah punya pacar. Sehingga, aku urungkan niatku itu karena aku takut terkena karma buruk. Terlebih, aku tidak mau merusak hubungan orang lain, karena aku sendiri tidak suka jika ada yang berbuat seperti itu kepadaku. Jadi, aku pilih mundur dan menahan perihnya cinta yang tak dapat kumiliki, seorang diri.
Cinta Dalam Diam
Hebatnya, aku telah lama memendam perasaanku sejak semester pertama kuliah. Betul, selama itu aku berhasil menyembunyikan rasa sukaku kepadanya hingga semester akhir kuliah. Setelah kupikir, ternyata diriku jago juga dalam hal memendam perasaan laksana seorang perempuan. Namun, aku juga punya alasan yang kuat kenapa aku tidak meluapkan perasaanku pada dirinya.
Ilustrasi cinta dalam diam
Kalau boleh jujur, saat itu aku benar-benar confused (membingungkan). Aku suka dia, tapi dia sudah ada yang punya. Nafsu menyuruhku untuk menyatakan rasa cinta padanya, tapi hati kecilku justru sebaliknya. Pikiranku terus memikirkan dirinya, sedang aku sendiri justru ingin melupakannya. Kedua unsur alam bawah sadar tersebut, terus bergejolak di dalam diriku.
Aku tahu, bahwa perempuan tidak hanya dia seorang di dunia ini, bahkan di kampusku. Ada banyak perempuan lajang yang lebih cantik, lebih manis, lebih wangi, atau lebih salehah dari dirinya. Namun anehnya, aku tetap ingin memilikinya meskipun hal itu amatlah tidak akan mungkin terjadi. Sepertinya, kutipan “we fall in love with people we can’t have” amat cocok bagi diriku.
***
Dikarenakan aku sudah tidak sanggup lagi melihat dirinya, dengan terpaksa aku tidak masuk kuliah sepanjang semester 8. Hari-hari yang kulalui sepanjang semester tersebut hanya kugunakan untuk makan, tidur, berak, dan rebahan. Sesekali, aku membantu ayah bekerja jika memang ada pekerjaan.
Ilustrasi aku rehat sejenak dari perkuliahan
Melihat perubahan sikapku seperti itu, lantas ibu bertanya: mengapa kamu tidak masuk kuliah terus? Aku hanya merespons bahwa diriku sedang jenuh dan mau istirahat dulu. Padahal, jawaban yang keluar dari mulutku tersebut hanyalah dusta belaka. Keadaan yang sebenarnya, aku mengalami patah hati terhebat yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Cinta Itu Membunuhku
Setelah tiga bulan aku tidak masuk kuliah, seketika badanku menjadi gendut. Awalnya, aku mengira bahwa tubuh, mental, dan pikiranku semakin sehat. Namun, setelah aku membaca suatu artikel yang membahas mental illness (penyakit mental), ternyata perubahan berat badan yang kualami tersebut adalah ciri-ciri seseorang yang terkena penyakit depresi.
Ilustrasi cinta membunuhku
Selama tiga bulan itu pula, hampir setiap hari aku tidur larut malam. Aku baru bisa tidur pada jam 2 atau jam 3 pagi. Automatis, aku jadi bangun kesiangan dan melewatkan salat subuh secara sia-sia. Dampak buruk lainnya yaitu mood-ku berubah semakin tidak menentu. Kadang aku gampang emosian, gampang kesepian, dan gampang kecapekan.
Karena terlalu sering begadang, pada pagi hari atau siang harinya aku jadi mengantuk. Saat orang lain mulai beraktivitas, aku malah bersiap untuk tidur. Saat orang lain berusaha mengejar mimpinya, aku malah kembali melanjutkan mimpiku di atas ranjang. Saat orang lain tidur nyenyak di malam hari, aku malah melek seorang diri. Pokoknya, pola hidupku waktu itu sama percis dengan kalong, kebalik….
Ketua Prodi Mendampratku
Hampir semua teman-temanku yang seangkatan tengah menyusun skripsi. Mereka rata-rata adalah mahasiswa yang rajin masuk kuliah, tidak pernah mangkir, dan tidak pernah cabut. Rerata dari mereka pun mempunyai IPK yang besar, berbeda jauh denganku yang punya IPK seala kadarnya. Namun, apalah arti IPK jika tidak punya skill dan keahlian – cetusku, angkuh.
Karena termotivasi teman-teman yang telah duluan mengajukan judul skripsi, aku pun menjadi bersemangat untuk mengajukan judul skripsi juga. Setelah lembar pengajuan judul skripsi ditandatangani oleh dosen wali dan sekretaris prodi, aku bergegas menuju loket tempat pengajuan judul skripsi.
Ilustrasi lembaran pengajuan sidang akhir
Setelah aku menyerahkan lembaran tersebut, seketika aku langsung ditolak. Aku kaget karena menurutku semua yang tertulis pada lembaran itu sudah benar. Ternyata, alasan kenapa aku ditolak adalah karena IPK-ku masih kurang dengan persyaratan pengajuan judul skripsi. Saat itu juga, aku langsung murung dan bersedih hati. Aku berusaha untuk tetap tegar meskipun hatiku tengah bergetar.
Selagi memikirkan jalan keluar, aku beritahu Hedot yang waktu itu ia sedang berada di Banten. Aku ungkapkan seluruh permasalahanku sambil meminta masukan dan saran darinya. Sebagai teman yang baik, ia jawab seluruh pertanyaanku dengan seksama. Hingga akhirnya, ia memberiku saran agar aku memilih jalan pintas, yaitu mengubah nilai lewat jalur belakang.
***
Esok hari, aku pergi menuju ruangan prodi ilmu komunikasi untuk menghadap ketua prodi. Kebetulan saat aku datang, kaprodi tengah ada di luar ruangan. Tanpa basa-basi terlebih dahulu, kuutarakan maksud dan kehendakku kepadanya. Tak disangka, saat itu juga aku malah didamprat olehnya di depan pintu masuk ruangan prodi ilmu komunikasi.
Ilustrasi diriku didamprat oleh ketua prodi
Aku hanya diam sambil menundukkan pandanganku ke arah lantai. Sementara, ketua prodi terus mendampratku dengan perkataan yang cukup nyelekit. Aku hanya merespons iya dan iya, padahal aku sendiri tidak tahu perkataan beliau karena saking cepatnya ia ngomong. Kebetulan, waktu itu adalah bulan puasa; aku haus, lapar, musafir, dan didamprat pula. Perfect sudah syarat-syarat doa dikabulkan oleh-Nya.
Satu hal yang membuatku heran saat kejadian itu adalah, aku tidak tersulut emosi dan memilih untuk bersabar. Aku hanya diam seribu bahasa dan menerima semua perkataan pahit itu dengan ikhlas. Bahkan, setelah dampratan tersebut usai, aku masih bersikap tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Mungkin dengan adanya kejadian itulah, aku dapat “naik kelas”.
Sekali Semester Pendek, 15 Matkul Terlampaui
Setelah menerima banyak masukan dari dosen wali, akhirnya aku mengikuti Semester Pendek (SP) yang pertama kali sejak aku masuk kuliah. Saking banyaknya nilai kosong dan nilai seperti tokai (E), ternyata ada 15 mata kuliah yang akan di-SP-kan! Menurutku pribadi, jumlah segitu sangat banyak dan bahkan aku sempat pesimis untuk dapat menuntaskan semua matkul tersebut. Akan tetapi, nyatanya Dia punya kehendak lain.
Selama aku mengikuti semester pendek, aku banyak bertemu dengan teman-teman baru yang pada baik. Aku bertemu Lele, Sabi, Upi, Fiki, Linda, Arga, dan beberapa teman dari adik kelas. Bagiku, semester pendek saat itu mempunyai kesan dan pesannya tersendiri. Aku merasa bahwa banyak momen bagus selama aku mengikuti SP. Agar lebih detailnya, kamu dapat cek artikel sebelumnya dengan judul: Sebuah Perpisahan.
Pertolongan Allah Itu Ada dan Nyata
Setelah sebulan aku mengikuti semester pendek, secara drastis IPK-ku merangkak naik. Nilai yang kosong dan nilai kayak tokai (E) tergantikan dengan nilai yang lebih baik. Seketika aku speechless (tidak dapat berkata apa-apa) sesaat mengecek transkrip nilaiku. Aku beritahu ibuku, ibu langsung senang dan gembira. Aku dan ibu langsung sujud syukur saat itu juga.
Ilustrasi pertolongan Allah
Kami tidak menyangka hal yang membahagiakan itu dapat terjadi secepat ini. Terlebih, banyak nilaiku yang kosong pada setiap semesternya. Bahkan, aku sempat ragu dengan nasibku di bangku perkuliahan. Aku sempat memprediksi bahwa kemungkinan aku masih harus kuliah selama setahun atau dua tahun lagi. Tetapi, semua prediksiku itu salah besar dan diganti dengan karunia yang lebih besar dari-Nya.
Sejak saat itu, aku jadi sadar bahwa pertolongan Allah itu ada. Aku pun meyakini bahwa Tuhan Allah itu nyata adanya. Kita beribadah, berdoa, dan memuji-Nya bukanlah pada sesuatu yang tuli dan bisu. Melainkan, beberapa pendekatan diri kita kepada Tuhan tersebut merupakan perbuatan yang benar dan bukan perbuatan yang sia-sia.
Tatapan Terakhir
Pagi hari, tumben-tumbennya aku telah berada di kampus. Bukan tanpa alasan, karena aku mau mengajukan judul skripsi ke Pak Rantang (petugas kampus). Dengan niat yang bersih dan langkah penuh semangat, aku berjalan menyusuri tempat parkiran. Selagi berjalan santai pada lorong kampus, secara tidak sengaja aku melihat dirinya tengah sidang di ruang dosen.
Ilustrasi tatapan terakhit bertemu
Dia menyadari kehadiranku, mataku dan matanya saling menatap dalam. Seakan, ada pembicaraan serius lewat tatapan kami itu. Dunia yang kujalani seakan berhenti berputar untuk sementara waktu. Aku menyukainya, mengaguminya, dan mencintainya. Namun apalah daya, cinta tidak harus memiliki. Karena tak mau patah hati lagi, aku pergi dan memutus kontak mata antara kami berdua. Juni 2018, adalah terakhir kali aku melihat dirinya.
Mati Satu Tumbuh Seribu
Sejak saat itu, aku tidak pernah melihatnya lagi, dan mungkin tidak akan pernah. Aku merasa seperti seorang pengecut, pecundang, dan pembohong. Aku dirundung perasaan serba salah, akal dan hatiku seakan bertolok belakang. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, semua pikiran positif dan pikiran negatif tentangnya terus muncul di dalam kepalaku. Baru pertama kali dalam hidupku, aku dikalahkan oleh cinta, perasaan, dan perempuan.
Ilustrasi cinta sejati akan selalu ada
Terlepas dari semua kegagalan cinta yang kualami itu, nyatanya hingga kini aku masih tetap hidup dan beraktivitas selayaknya manusia normal. Aku jadi paham, patah hati terhebat yang kurasakan itu nyatanya dapat membuatku lebih kuat dan lebih dewasa. Walau, setiap kali aku mengenang dirinya, hatiku selalu ingin menangis. Mati satu tumbuh seribu, semoga kisah cintaku selanjutnya sama seperti kutipan itu. Hehehe….

Komentar