Faris si Anak Kontrakan: Kehidupanku di Kampus: Tahun 2019

Bismillah….
Waktu Terasa Cepat Berlalu
Terkadang, aku suka memikirkan masa lalu sebelum tidur. Jika sudah seperti itu, aku suka senyum sendiri atau malah suka terharu sendiri. Entah dari mana datangnya, memori itu tiba-tiba muncul di dalam ingatanku. Semua momen, kejadian, peristiwa, kenangan manis, atau kenangan buruk selama aku hidup terlihat jelas di dalam benakku.
Ilustrasi cinta pertama
Sepuluh tahun lalu atau lebih tepatnya tahun 2009, aku menginjak bangku kelas 3 SMP. Sepuluh tahun lalu pula, aku berpisah dengan cinta pertamaku. Cinta pertama, sekaligus cinta terindah dalam kehidupanku. Aku mengenal hakikat cinta dari dirinya. Tapi sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Sungguh, cinta itu tidak selamanya manis.
Rasanya, seperti baru kemarin semua kenangan itu terjadi dan mengisi hari-hariku. Aku bersyukur, sepuluh tahun kemudian ternyata aku masih hidup. Sepuluh tahun pun berlalu, mana tahu pula bahwasanya aku sedang kuliah di Bandung. Terkadang, waktu dan cinta mempunyai sifat yang sama. Keduanya indah ketika dirasakan, namun kejam ketika ditinggalkan.
Daftar Sidang Akhir
Separuh temanku sudah pada lulus, sebagian dari mereka juga sudah pada sidang akhir. Bahkan, temanku Hedot yang menjalani pra sidang sebelumku, sudah sidang akhir juga. Cuma aku dan segelintir teman-teman seangkatan, yang belum sampai tahap tersebut. Maklum, hanya orang-orang pilihan Tuhan yang memiliki sifat slow seperti itu.
Ilustrasi daftar sidang akhir skripsi
Setelah beberapa kali bimbingan skripsi, akhirnya aku siap untuk daftar sidang. Karena sudah terlalu ngaret, dosen waliku sampai mengirimiku pesan untuk segera daftar sidang akhir. Alasannya, bulan Juli adalah pergantian semester, jadi mahasiswa diharuskan untuk membayar uang DPP lagi.
Awalnya, aku mau daftar sidang pada bulan Mei. Namun, niat tersebut terpaksa diundur dikarenakan orangtuaku mau bayar utang terlebih dahulu. Saat itu memang ada beberapa utang yang harus dilunasi, agar kami merasa lega dan tidak ditagih melulu. Maka, dengan berat hati aku mengalah dan lebih memilih untuk banyak bersabar, tawakal, dan berdoa.
Kejar Tayang
Akhir bulan Juni, aku mendaftarkan diri untuk mengikuti sidang akhir. Hari pertama aku ditolak, disebabkan persyaratan sertifikat belum lengkap, aku pun pulang lagi ke rumah. Hari kedua, aku ditolak lagi disebabkan persyaratan pas foto belum ada, dengan berat hati aku pulang lagi ke rumah.
Ilustrasi kejar tayang
Hari ketiga, aku ditolak lagi karena SKS melebihi persyaratan yang telah ditentukan. Automatis, aku segera mengubahnya di sistem kampus. Setelah diuji dengan beberapa cobaan, akhirnya aku dapat mengikuti sidang akhir. Jujur, beberapa kendala tersebut membuatku emosi dan panas hati. Namun apa boleh buat, kehidupan terkadang tidak semulus yang dibayangkan.
***
Esok harinya, aku pergi lagi ke kampus untuk mengambil surat undangan sidang akhir. Anehnya, aku tidak mendapatkan sms pemberitahuan dari pihak kampus sebelumnya. Untung saja, hati kecilku berkata bahwa surat undangan sudah dapat diambil. Ternyata firasatku benar, surat undangan tersebut sudah dicetak dan esok harinya aku langsung sidang!
Seminggu itu lumayan capek bagiku, karena aku terus pulang-pergi dari rumah menuju kampus. Seminggu penuh itu pula, aku daftar sidang sekaligus sidang akhir. Aku merasa seperti dikejar deadline dan dikejar tayang. Untungnya, aku telah terbiasa dengan hal-hal yang dapat memacu adrenalin seperti itu.
Menit-Menit Terakhir
Rabu pagi, aku telah berpenampilan rapi layaknya seorang bos dengan mengenakan jas, kemeja, celana bahan, sepatu pantofel, dan rambut yang klimis. Pagi itu, aku mengobrol santai bersama kedua teman, Firsan dan Jeki yang juga mengikuti sidang akhir. Mereka berdua teman seangkatan dan termasuk orang-orang pilihan Tuhan yang sangat slow.
Selain kami bertiga, ada juga beberapa mahasiswa adik kelas yang mengikuti sidang. Rata-rata dari mereka adalah angkatan 2015, berarti mereka termasuk cepat, rajin masuk, dan tidak nakal. Jauh berbeda denganku yang tergolong lamban, jarang masuk kuliah, dan sangat nakal. Tidak masalah, toh kita tidak harus selalu sama, bukan?
Ilustrasi harap-harap cemas
Banyak di antara mereka yang memperlihatkan gerak-gerik gelisah, takut, panik, dan harap-harap cemas. Aku paham, karena sidang akhir skripsi merupakan ujian terakhir bagi para mahasiswa. Menurutku, sidang akhir seperti penimbangan amal kebaikan dan amal keburukan manusia di Padang Mahsyar kelak.
Akan tetapi, gerak-gerik seperti itu sama sekali tidak terlihat pada diri Firsan dan Jeki. Mereka malah santai, rileks, dan masih bisa ketawa-ketiwi. Entah mengapa kedua temanku itu dapat setenang itu. Disinyalir, mereka berdua sudah terbiasa mendapat cacian dari ketua prodi. Sedangkan aku, lebih memilih pergi memesan kopi supaya tidak terlalu ngantuk.
***
Hampir dua jam, aku dan teman-teman menunggu kedatangan dosen penguji. Saking lamanya kami menunggu, aku sampai tiga kali pergi ke toilet. Maklum, karena terlalu banyak minum kopi, aku jadi beser. Hingga pada akhirnya, ketua dan sekretaris prodi ilmu komunikasi datang, lalu sidang akhir skripsi resmi dimulai.
Ilustrasi menit-menit terakhir
Setelah diuji oleh dosen penguji yang pertama, maka aku harus segera menghadap pada penguji kedua. Parahnya, penguji yang kedua adalah mantan ketua prodi yang selalu bersikap sentimen kepadaku. Betul, beliau adalah orang yang mendampratku setahun yang lalu. Tetapi, aku tak gentar karena sudah terbiasa diperlakukan seperti itu.
Semua mahasiswa adik kelas yang diuji olehnya telah keluar satu per satu dari ruangan kerjanya. Hanya tinggal tersisa satu peserta sidang akhir, peserta tersebut tidak lain tidak bukan adalah diriku, si mahasiswa kupu-kupu. Dengan langkah gontai, mata sayu, dan rambut bau prengus, aku membuka pintu secara perlahan.
***
Sesaat laptop menyala, aku langsung mempresentasikan hasil karya skripsiku dengan suara yang parau dan tidak jelas. Aku terus membaca poin demi poin yang kuanggap penting di hadapannya. Sesekali aku melihat ekspresi wajahnya, terlihat beliau sepertinya telah pusing. Entah pusing karena suaraku tidak jelas, skripsiku kurang bagus, atau karena hari telah sore. Aku tidak peduli, terpenting aku harus segera keluar dari ruangan itu.
Seusai mempresentasikan hasil karya skripsiku, giliranku yang ditanya olehnya. Beliau bertanya apa arti member check? Aku menjawab menurut sepengetahuanku dengan mulut yang agak kelu, karena saking gugupnya saat itu. Aku terus diberi pertanyaan dengan tatapan penuh sentimen dan nada bicara yang ketus. Lagi-lagi, aku hanya menjawab seadanya sambil sesekali tersenyum palsu untuk mencairkan suasana yang mencekam.
Daku luluuusss!
Setelah beliau puas dengan seluruh jawabanku, aku diperbolehkan keluar ruangan dan menunggu hasil nilai sidang akhir. Aku, Firsan, Jeki, dan mahasiwa adik kelas yang lain risau untuk menunggu hasil nilai akhir. Tak berapa lama, kami disuruh masuk kelas oleh ketua dan sekretaris prodi ilmu komunikasi. Setelah kami berdiri berjejer, wakil dekan menyebutkan nilai sidang akhir kami satu per satu. Alhamdulillah, kami semua lulus saat itu juga.
***
Mungkin, aku adalah orang yang paling bahagia di antara mahasiswa yang lain. Bukan tanpa sebab, melainkan perjuangan dan kisah hidupku di bangku perkuliahan sangatlah ironi. Aku senang, sungguh senang, kelulusanku itu ibarat bisul menahun yang akhirnya pecah. Kini, nanah beraroma busuk yang terdapat pada bisul tersebut telah keluar dari kulitku.
Sergio Ramos rajanya injury time
Dipikir-pikir, perjuanganku mendaftar sidang hingga sidang akhir, diibaratkan seperti Sergio Ramos. Kapten Real Madrid tersebut terbiasa mencetak gol pada menit-menit terakhir waktu pertandingan. Tidak jarang pula, ia mencetak gol di masa injury time (tambahan waktu). Sedangkan aku, berhasil lulus kuliah di masa-masa semester akhir.
Salat Ashar Paling Nikmat
Hari semakin senja, spektrum alam yang tadinya berwarna kuning terang, kini berubah menjadi oranye. Paduan langit dan awan yang menyatu pada sore itu, membuatku terpesona akan keindahan-Nya. Pancaran surya yang mulai meredup, seakan memberitahu bahwa aku belum menunaikan salat Wusta (salat Ashar).
Ilustrasi salat Ashar
Dengan langkah seribu, aku bergegas menuju masjid kampus untuk bersyukur kepada-Nya. Aku ambil air wudu dengan sangat tumaninah dan perlahan. Setelah terbasuh air wudu, badanku agak segar dan cenghar (tidak ngantuk). Lantas, aku mulai takbiratul ihram kemudian tenggelam pada bacaan salatku.
***
Selagi salat, entah mengapa tiba-tiba air mataku bercururan dengan derasnya. Aku tidak kuasa lagi menahan emosi dan haru yang selama ini kupendam. Semua ingatan sejak awal aku masuk kuliah hingga sidang akhir, seakan terlihat jelas di benakku. Pipiku basah berderai air mata sukacita, ragaku patuh menghadap kiblat, dan hatiku khusyuk memuji-Nya.
Aku terharu sehabis menunaikan salat Ashar
Aku sesenggukkan dalam salatku, hingga tubuhku terguncang akibat luapan tangis dan luapan emosi yang positif. Saking terharunya aku, ingus encer berwarna bening sampai keluar dengan sendirinya dari lubang hidungku. Alhasil, suara ingus yang tersedot dan isak tangisku semakin terdengar.
Aku semakin menghayati bacaan salatku. Tangisku pecah ketika membaca Surah Ad-Duha. Mungkin, ada beberapa mahasiswa atau mahasiswi yang melihat atau mendengarkanku yang sedang mewek. Namun, aku benar-benar tak peduli, karena saking nikmatnya salat Ashar waktu itu.
Semesta, Aku Lulus!
Senja itu, suasana dan keadaan sekitar kampus ramai dipenuhi oleh para peserta sidang dan teman-teman yang mengucapkan selamat sukacita. Mereka banyak yang menangis haru, tersenyum bahagia, berfoto bersama, berpelukan hangat, bergandengan tangan, dan menelepon kedua orangtua mereka.
Ilustrasi kelulusanku dan teman-teman
Aku tersenyum puas melihat ekspresi kegembiraan mereka yang beraneka macam. Aku pun sama, yakni langsung memberitahu ibu dan ayahku lewat Whatsapp. Aku beritahu kedua orangtuaku, bahwa aku telah lulus kuliah dan berhasil menjadi seorang pemenang sejati. Aku merasa lega, bahagia, senang, gembira, takjub, dan perasaan sukacita lainnya yang tidak dapat kuekspresikan melalui kata-kata.
Selagi memandang momen manis tersebut, aku teringat bagaimana sulitnya perjuangan kuliah yang telah aku hadapi selama kurang lebih 6 tahun. Aku teringat masa ospekku, tersasar ke masjid TNI, tidak masuk kuliah selama 3 bulan karena penyakit kulit, salah masuk kelas, tidak punya teman, teman sekelas tidak ada yang akrab denganku, nilaiku banyak yang kosong, PKL di majalah sunda, berangkat ketika hujan deras, merasakan patah hati terhebat, mengikuti semester pendek, dan beberapa ujian lainnya.
***
Setelah memasukkan laptop ke dalam tas ransel, aku bergegas menyeberang jalan untuk membeli minuman dan camilan di minimarket. Sesaat keluar dari minimarket, aku berhenti sejenak hanya untuk memandang langit berwarna jingga di senja kala itu. Aku dibuat kagum oleh lukisan-Nya yang tampak sempurna, tanpa retak, dan tanpa cacat.
Hasil jepretanku sore itu pasca sidang akhir skripsi
Aku pandang karya seni ciptaan Tuhan tersebut dengan lekat. Aku keluarkan ponselku, kemudian kuabadikan langit indah itu untuk kumasukkan ke dalam IG stories. Setelah kupotret dari beberapa sudut yang pas, aku posting foto yang paling bagus. Sebelum beranjak pergi, aku pandang langit itu sekali lagi seraya berucap: semesta, aku lulus!

Komentar